KALAH TARUHAN

1677 Kata
Banyu POV Hari ini aku ke sekolah mengambil buku yang tertinggal kemarin. Apalagi hanya kegiatan MOS bagi murid baru. Selain karena aku bukan panitia, itu juga membuang-buang waktuku saja. Lebih baik waktu senggang ini, kugunakan untuk berlatih renang atau nge-gym saja. Dari kejauhan kulihat tiga orang cewek berhadapan dengan Desi dan gengnya. Desi salah satu cewek yang kuhapal namanya di sekolah ini. Selain karena dandanan menornya, juga karena berkali-kali dia mendekatiku. Walaupun tidak pernah kubalas perasaannya. Aku terus memantau mereka, aku hanya mengawasi saja siapa tahu Desi bermain tangan kepada anak baru itu, terlihat jelas dari dandanan lucu mereka. Aku mulai berjalan perlahan mendekat, ingin mendengar jelas pembicaraan mereka. Raut wajah Desi yang sudah berubah emosi membuatku berpikir aku harus melerainya. Belum kulangkahkan kakiku, sudah ada Novan ketua OSIS yang melerai, aku pun bisa bernapas lega. Ketiganya berlari kecil melewatiku kemungkinan menuju Aula, sepintas wajah cewek di tengah diapit kedua temannya membuatku hilang fokus. Cantik, pujiku dalam hati. Pertemuan sekilas dengan cewek cantik anak baru di sekolahku lumayan membekas, walaupun aku harus berpikir dua kali untuk mendekatinya lebih jauh. Aku berjanji selama setahun ini akan fokus di kejuaraan. Apalagi ketika aku beranjak kelas tiga, aku pasti harus fokus untuk menyelesaikan sekolahku. Kemudian lulus, melanjutkan karir renangku dan menjadi atlet profesional. "Bay, ke kantin gak?" tanya Gery teman sekelasku. "Ok" Aku pun berjalan bersama-sama teman sekelasku menuju kantin. "Bay, lo dicariin Pak Syam. Lo ditunggu di kantornya sekarang" ucap Adnan dengan napas terengah-engah menghampiriku. Untung saja aku belum memesan makanan, aku hanya mengambil dua buah roti dan minuman bersoda untuk mengisi perutku, kemudian berjalan cepat menuju ruangan Pak Syamsir guru olahragaku sekaligus mentor renangku. Padahal aku sengaja ke kantin, siapa tahu aku bisa bertemu anak baru itu. Semua murid di sekolahan ini pasti akan ke kantin, kecuali dia tipe cewek yang membawa bekal dari rumah. Pak Syamsir memberitahukan bahwa besok aku harus mengikuti pertandingan renang di luar kota selama dua minggu. Beliau sudah mengurus semua ijin ke guru kelas dan mata pelajaranku. Walaupun sering ijin, aku selalu berusaha mengejar ketertinggalanku karena orang tuaku berpesan agar aku bisa menyeimbangkan sekolah dan hobiku. Mereka memberikan aku ijin untuk menjadi atlet profesional kelak, saat aku membuktikan bahwa aku juga bisa menyelesaikan pendidikan formal dengan nilai yang memuaskan. Berbekal bukuku dan catatan dari para cewek teman sekelasku, yang tanpa kuminta dengan suka cita akan mereka berikan. Bel sekolah berbunyi tanda pelajaran terakhir telah habis, aku harus balik ke rumah secepatnya memberitahukan orang tuaku mengenai keikutsertaanku dalam lomba renang ini. Motor besar kesayanganku ini selalu menemani hari-hariku, motor pemberian Ayah hadiah ulang tahun ke tujuh belas tahunku yang kujaga dengan baik selayaknya pacarku. Motor yang tidak pernah menyusahkan menemaniku menyusuri tiap jalanan yang ramai maupun lengang. Brum…brum…brum Kutancap gas motorku perlahan melewati kerumunan beberapa siswa yang berjalan keluar dari lingkungan sekolah. Aku melihat cewek berdiri sendirian. Aku takut membunyikan klakson membuatnya kaget. Terpaksa aku hanya menarik gas pelan, cukup memberitahukannya bahwa ada motor besar di belakangnya Deg... Cewek itu berbalik ke arahku, untung saja aku memakai helm full face. Orang yang melihatku dari luar pasti tidak bisa menebak ekspresi wajahku. Sedangkan aku bisa melihat wajah mereka dengan jelas dari dalam helm.   Dia si cewek itu, batinku. Andaikan saja aku tahu namanya berbasa-basi pasti aku akan berhenti dan mungkin menawarkannya untuk pulang bersama. Tapi kecanggunganku dan ketakutanku lebih mendominasi, mau tidak mau kupacu laju motorku dan melihatnya sekilas dari kaca spion motorku yang sudah naik ke dalam mobil yang menunggunya. *** Dua minggu aku mengikuti lomba, aku hanya bisa lolos hingga babak perempat final. Walaupun gagal menjadi pemenang tetapi catatan waktuku meningkat sejak terakhir keikutsertaanku dalam lomba. Apalagi aku sudah mampu mencuri hati beberapa klub untuk bergabung dengan mereka saat aku serius dalam atlet renang profesional dan menjadi atlet nasional tentu saja. Berdiri di podium internasional dan mengibarkan bendera merah putih, mewujudkan mimpi dan akan menjadi kebanggaan terbesarku semoga juga keluargaku kelak. Aku kembali masuk sekolah hari ini, betul saja banyak tugas sekolah menantiku. Catatan pelajaran dua minggu sudah tersimpan rapi di mejaku, hadiah dari teman cewek sekelasku yang baik hati. Ternyata ada pelajaran biologi dan harus kusetor setelah jam istirahat. Aku harus menghafalkan nama-nama tulang rangka manusia. Aku butuh tempat untuk konsentrasi dan menghindari kebisingan dari teman sekelasku yang heboh entah karena masalah apa. Terbersit tempat yang cocok dan sesuai, yaitu gudang sekolah. Tidak butuh lama akupun sudah bisa menghafalkan semuanya, tidak kuulangi saja sesekali sebelum menyetor ke guru mata pelajaran. Saat ingin beranjak dari tempat dudukku, kudengar sayup-sayup orang berbicara dari luar gudang. Kutebak suara cowok dan cewek. Kenapa harus aku berada di waktu yang salah dan harus mendengar pembicaraan tidak penting ini. "Aku mau ngomong, boleh" kudengar cowok itu berbicara. "Dari tadi juga kan ngomong" balas cewek itu dari suaranya saja dia ketusnya minta ampun. Amit-amit cewek kayak gitu dipacarin. "Aku suka kamu Gem" ucap cowok itu lagi. Aku yakin butuh perjuangan dan keberanian cowok itu bisa menyatakan cintanya. Sekilas cowok itu menyebut nama "Gem" entahlah Gem apaan. "Iya terus" cewek ini serem juga kedengarannya, cuek abis. "Jadi pacarku yah" cowok itu kudengar memohon. Astaga aku sebagai laki-laki sudah dalam tahapan putus asa. "Gak. Sori". Aku yakin cewek ini orang yang tidak pandai berbasa-basi. "Setidaknya berpikir kek, kok kamu jawabnya lugas gitu" betapa malunya cowok itu, tanpa basa-basi atau setidaknya memberikan harapan, langsung di tolak di tempat. Kalau aku sih, mungkin pindah sekolah saja. "Iya terus" ucap cewek itu. "Kamu yah!?" suara cowo itu kudengar setengah berteriak. "Kamu jangan macem-macem!" balas cewek itu akupun sudah bersiap-siap keluar, kalau terjadi sesuatu dengan cewek ini. Walaupun kami sesama cowok, setidaknya harus bersikap gentleman saat perasaan kami tidak terbalas. Jangan pernah menyakiti perempuan, karena itu sama saja menyakiti hati ibumu. Itu prinsip yang kupegang, terlebih lagi aku adalah anak satu-satu di keluargaku. Ibuku yang sabar dan lemah lembut adalah contoh istri yang akan kunikahi kelak.  "Lo itu sok cantik banget deh" ucap cowok itu lagi. Aku yakin ini caranya agar dia sedikit menjaga harga dirinya dengan pernyataan cintanya yang ditolak. "Gue gak pernah bilang gue cantik yah. Orang yang berikan penilaian itu. Kalo lo ada masalah dengan ini, yah salahin orang-orang yang nilai gue" jawab cewek itu. Perdebatan mereka semakin sengit. Kayaknya aku harus ikut campur. "Hei kalau ditolak gak usah nyolot. Apalagi kasar sama cewek," ucapku tegas. "Apa urusan lo. Kalo berani keluar sini, jangan sembunyi gitu." Tanganku sudah mengepal mendapat jawaban cowok itu. Lagian aku juga tidak ingin ikut campur tapi dia sudah bertindak kelewatan. "Gue udah rekam semua pembicaraan lo. Lo mau gue buka semuanya. Mau malu satu sekolahan hah!?" Ancamku berbohong. "Sialan lo!" umpat cowok itu. Astaga inginku buat babak belur wajahnya andaikan itu pacar atau adik perempuanku. "Terima kasih yah. Entah siapapun lo" ucap cewek itu dengan nada lebih lembut dibandingkan si cowok tadi. "Hmm..." balasku singkat. Aku mendengarkan langkahnya semakin jauh meninggalkan tempat ini. Setelah memastikan dia sudah menjauh barulah aku keluar dari tempat ini. Aku pasti malu andaikan satu sekolah tahu, cowok cuek kayak aku bisa menjadi tukang nguping. Taruh dimana harga diriku gaya maskulin yang kujaga selama ini harus luntur karena masalah percintaan sepele ini. Aku baru sadar tidak lama lagi jam istirahat akan selesai. Lebih baik aku melanjutkan menghapal sambil menikmati makan siangku di kantin. Untung saja setiba di kantin bersamaan dengan teman sekelasku. Aku pun mengambil posisi duduk di meja tengah kantin. Setelah memesan makanan dan es teh. Aku kembali fokus membaca dan mengulang-ulang hafalanku. Astaga ganggu banget sih, batinku saat ada cewek yang duduk semeja denganku tersenyum yang mungkin menurutnya senyum termanis yang dimilikinya. Aku hanya menatapnya dingin dan mengangkat bukuku seolah-olah memberitahukan bahwa aku lagi fokus belajar. Untung saja otaknya menangkap dengan cepat maksudku, karena biasanya ada saja cewek yang lumayan lemot. Setelah menghabiskan makan siangku, aku menyempatkan diri untuk sekedar berbincang-bincang dengan temanku. "Sstt…Gemintang tuh" ucap Gery, yang duduk dihadapanku. Aku enggan berbalik dan fokus kembali melihat bukuku. "Iya, lihat Novan kayaknya pedekate," balas Andre. "Pengen jadi korban Gemintang berikutnya kayaknya deh," ucap Gery sembari menepuk kedua tangannya seolah-olah memberikan semangat dan terkekeh. Mendengar itu aku penasaran dan berbalik, ternyata cewek yang disebut tadi sudah meninggalkan kantin dan kembali ke kelasnya. "Emang secantik apa sih?" tanyaku heran melihat reaksi kedua temanku ini. "Astaga, lu dari gua ya Bay. Gak tahu Gemintang" "Iya kan gue sering absen. Mana gue tahu lah," jawabku cuek. "Lo mau bukti, lu lewati kelasnya aja. Yah walaupun mutar dikit ke kelas kita. Dia duduk di kursi paling depan dekat pintu." "Kalau jelek, traktir gue besok yah" "Iya gue berani kalau ini" "Butuh gue temenin?" tawar Andre dan Gery "Gak...gak usah. Gue sendiri aja, emang gue bocah ditemenin." Setelah pembicaraan dengan temanku, dengan langkah santai aku berjalan menuju kelas cewek bernama Gemintang itu. Anak baru yang katanya sukses mematahkan hati banyak cowok di sekolah ini. Itu dia, kulihat sosok cewek berparas cantik duduk manis menatap arah keluar kelasnya   Deg Tatapan mata kami bertemu. Ingin kuhentikan waktu sementara, tapi kakiku tidak berkompromi dengan hatiku. Aku melewati kelasnya dengan debaran jantung tak menentu. Cewek yang sama, dengan yang kutemui dulu. Aku pun harus mengaku kalah dengan Gery dan Andre. Benar dia cantik, batinku. Setelah kembali ke kelas, aku berusaha untuk fokus dan melupakan sejenak pertemuanku dengan Gemintang. Kurapikan buku dan kumasukkan di tas ranselku. Kunyalakan motorku dan mengendarainya melewati kerumunan siswa yang berjalan keluar sekolah.  Eh itu dia, batinku. Setelah pertemuanku tadi, walaupun wajah Gemintang tampak dari samping, aku sepertinya sudah sangat mengenal sosoknya bahkan dari kejauhan Sepertinya semesta mendukung pertemuan kami. Kugas motorku pelan. Saatnya berbasa-basi dengan cewek ini pikirku. "Permisi" ucapku kikuk. "Eh maaf kak. Halangin jalan yah" jawab teman Gemintang ramah. Sepertinya wajahnya agak familiar. Aku baru ingat dia bergabung di klub olahraga. Cewek yang periang menurutku. Sedangkan Gemintang dan temannya yang lain hanya tersenyum malu melihatku. Aku kembali melajukan motorku melewatinya setelah kurasakan cukup untuk menyapanya. Kulihat dari kaca spion kedua temannya saling berbisik seolah-olah mengejek Gemintang. Imut banget sih pikirku. Setelah motorku berada di jalanan, kulakukan dengan kencang menyusuri keramaian kota.   “Suatu saat Gemintang akan berada di boncenganku, mungkin saja memelukku dari belakang” harapku.   Banyu POV end  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN