Bab 2. Pacar Suamiku

1003 Kata
Bagus seketika tersenyum menyeringai. "Jangan berharap lebih sama saya, Tiara. Saya mohon jangan membuat beban di pundak saya semakin terasa berat," pinta Bagus seraya memejamkan kedua matanya sejenak. "Beban? Kamu menganggap pernikahan kita ini beban?" tanya Tiara, bola matanya kian memerah lengkap dengan buliran bening yang memenuhi pelupuknya. Bagus menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. "Akh! Sudahlah, saya sedang malas berdebat dengan kamu. Jangan menunggu saya, kamu tidur saja duluan," ujar Bagus dengan wajah datar. "Tapi kamu mau pergi ke mana, Mas?" Tiara kembali bertanya dengan nada suara lemah. Bagus sama sekali tidak menanggapi pertanyaan istrinya. Dia berjalan menuju pintu kamar lalu hendak membuka pintunya kemudian. Namun, laki-laki itu seketika menghentikan gerakan tangannya. "Aku mohon jangan pergi, Mas. Jangan tinggalkan aku sendirian di sini," pinta Tiara memelas juga memohon dengan sangat. Lagi-lagi Bagus tidak menanggapi ucapan istrinya. Laki-laki itu hanya menoleh dan menatap sinis wajah Tiara sekejap, setelah itu dia benar-benar membuka pintu kamar lalu kembali menutupnya kasar setelah Bagus Anggara keluar dari dalam kamar hotel. Tiara mengusap wajahnya kasar. "Ya Tuhan, mengapa aku harus menjalani mahligai pernikahan tanpa cinta? Sanggupkah aku bertahan? Mampukah aku menjadi istri yang berbakti kepada suamiku? Berilah hamba kesabaran seluas samudera, Tuhan. Limpahkanlah hamba hati yang lapang agar hamba bisa menjalani semua ini dengan ikhlas," gumam Tiara, mengusap dadanya sendiri yang kian terasa sesak. *** Keesokan harinya pukul 07.00, Tiara baru saja selesai membersihkan diri. Tubuhnya terasa lemas, kelopak matanya pun terlihat membengkak akibat terjaga semalaman karena menunggu kedatangan suaminya yang sampai saat ini masih belum menunjukkan batang hidungnya. Dia pun memutuskan untuk sarapan pagi di lantai dasar. "Ya, pura-pura bahagia juga butuh tenaga, aku harus makan yang banyak biar tenagaku terisi penuh," gumam Tiara seraya membuka pintu kamar hotel lalu keluar dari dalamnya kemudian. Pintu kamar hotel yang berada tepat di depan kamar Tiara pun dibuka di waktu yang bersamaan. Tiara yang masih berdiri tepat di depan pintu seketika bergeming tatkala mendapati suaminya keluar dari dalam kamar tersebut. Bagus menatap sinis wajah istrinya. "Mas Bagus?" sapa Tiara dengan kedua mata yang membulat sempurna. "Jadi, semalam kamu menginap di hotel ini juga?" Bagus menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara kasar. "Bukan urusan kamu," ucapnya singkat. "Sama siapa kamu menginap di kamar itu, Mas?" tanya Tiara, mulai menaruh curiga. Belum sempat Bagus menjawab pertanyaan istrinya, seorang wanita tiba-tiba saja keluar dari dalam kamar yang sama dengan Bagus. Wanita tersebut masih mengenakan pakaian tidur berbahan tipis dengan rambut basah yang digerai memenuhi punggungnya. "Ponsel kamu ketinggalan, sayang," ucap wanita tersebut, tubuhnya seketika mematung tepat di belakang tubuh kekar Bagus tatkala mendapati Tiara berada di depan sana. "Wanita ini siapa, Mas?" tanya Tiara, bola matanya seketika memerah seraya menatap wanita tersebut dari ujung kaki hingga ujung rambut. Wanita itu berjalan menghampiri dengan penuh rasa percaya diri. "Perkenalkan, aku Dona. Pacarnya Mas Bagus, kami sudah berpacaran selama tiga tahun," ucapnya seraya mengulurkan telapak tangan hendak bersalaman. Tiara bergeming, buliran bening seketika berjatuhan tanpa terasa. Hatinya bagai dihujani beribu-ribu pisau tajam, rasa sakit yang dia rasakan tidak main-main. Mahligai pernikahan yang baru saja hendak dia jalani bersama suaminya seolah runtuh seketika itu juga. Tiara mengabaikan uluran tangan wanita bernama Dona. Dia memalingkan wajahnya kearah lain, bahunya terlihat naik turun akibat menahan rasa sesak. Bagaimana bisa dia berjabatan tangan dengan pacar dari suaminya sendiri? Dona tersenyum menyeringai seraya menurunkan telapak tangannya. "Kamu pasti terkejut dengan kenyataan ini, kan?" tanya Dona seraya meraih telapak tangan Bagus lalu menggenggam erat jemarinya. "Apa kamu tidak malu karena sudah merebut pacarku?" Tiara seketika menoleh dan menatap wajah Dona dengan tatapan mata tajam. "Dia memang kekasihmu, Dona, tapi sekarang laki-laki yang berada di sampingmu itu adalah suamiku!" tegasnya penuh penekanan. "Apa kamu tidak malu bermalam di hotel dengan suami orang? Aku istri sah Mas Bagus, dan dia suamiku. Jadi, apapun alasannya kamu tetap berada di sisi yang salah." Wajah Dona seketika memerah menahan rasa amarah. "Apa kamu bilang? Malu? Hahahaha! Untuk apa aku malu? Dia pacar aku, sudah tiga tahun kami pacaran. Kami bahkan sudah berencana akan menikah tahun ini, tapi apa? Kamu datang dan merebut dia dariku?" "Apa kamu tidak tahu arti dari kata takdir?" tanya Tiara tidak ingin mengalah. "Pacar kamu ini ditakdirkan untukku, lihat ini!" tegasnya seraya memperlihatkan cincin yang melingkar di jari manisnya, "Cincin ini adalah simbol pernikahan kita, Dona. Pernikahan kami sah di mata hukum dan agama, meskipun kalian sudah berpacaran selama tiga tahun, tapi pada kenyataanya kalian tak berjodoh." "Dasar wanita tidak tahu diri, lancang sekali kamu ngomong kayak itu, hah?" teriak Dona merasa tidak terima. "Tahu apa kamu tentang takdir? Tahu apa kamu tentang Tuhan?" "Seharusnya kamu mundur ketika tahu bahwa Mas Bagus akan menikah," ucap Tiara tetap tidak ingin mengalah. "Cukup!" bentak Bagus, menatap wajah istri juga kekasihnya secara bergantian. "Dona, saya minta kamu masuk ke dalam sekarang juga, dan kamu Tiara ... saya ingin bicara dengan kamu," sahutnya menarik telapak tangan istrinya dan membawanya masuk ke dalam kamar hotel. Bagus mencengkram pergelangan tangan Tiara kasar lalu menghempaskan tubuhnya hingga dia mendarat di atas ranjang dalam posisi tertelungkup. Laki-laki itu benar-benar murka dengan apa yang baru saja dilakukan oleh istrinya. Menurutnya, sikap Tiara terlalu lancang karena telah berani melabrak Dona tepat di depan wajahnya. "Lancang sekali kamu, Tiara? Memangnya kamu siapa berani mengatakan hal seperti itu sama Dona, hah?" teriak Bagus dengan bola mata membulat sempurna. "Aku siapa? Aku istri kamu, Mas," jawab Tiara lemah dan bergetar. "Saya 'kan sudah bilang sama kamu, kita jalani hidup kita masing-masing. Kamu bebas menjalani hidup kamu dan saya pun bebas menjalani hidup saya!" bentak Bagus menunjuk wajah Tiara menggunakan jari telunjuknya. Tiara seketika bangkit lalu berdiri tegak tepat di hadapan suaminya. Kedua matanya yang memerah nampak tajam menatap wajah laki-laki itu. Sementara Bagus, balas menatap wajah istrinya dengan tatapan tak kalah tajam penuh kebencian. "Baik, kalau kamu memang maunya seperti itu, Mas. Kamu bebas melakukan apapun dengan wanita itu, tapi--" Tiara menahan ucapannya sejenak seraya menarik napas berat. "Jika dalam kurun waktu satu tahun kamu masih belum mengakhiri hubungan kamu dengan dia, maka ceraikan aku saat itu juga," tegas Tiara penuh penekanan. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN