"Saya terima nikah dan kawinnya Tiara Andini Putri binti Burhan Kartayajasa dengan mas kawin tersebut di bayar tunai."
"Sah?"
"Saah!"
Bagus Anggara mengucap ijab qobul dengan nada suara lantang. Hanya dengan satu tarikan napas saja, gadis bernama Tiara Andini Putri telah sah menjadi istrinya. Para hadirin yang menyaksikan nampak tersenyum merasa bahagia dengan pernikahan yang sedang digelar di salah satu hotel berbintang 5 tersebut. Namun, ekspresi berbeda nampak ditunjukan oleh kedua mempelai.
"Maafkan saya Dona, saya berjanji tidak akan pernah jatuh cinta kepada Tiara. Pernikahan ini hanyalah formalitas, hati saya hanya untuk kamu,'' batin Bagus Anggara.
Dia pun menoleh ke arah samping dimana wanita bernama Tiara yang telah sah menjadi istrinya berada. Wanita itu terlihat cantik dengan mengenakan kebaya berwarna putih lengkap dengan riasan khas pengantin juga sanggul di kepalanya. Meskipun begitu, kecantikan yang terpancar dari wajah istrinya tetap saja tidak mampu menyentuh relung hati seorang Bagus. Laki-laki berusia 29 tahun itu sama sekali tidak tertarik dengan kecantikan Tiara.
Setelah serangkaian acara pernikahan itu selesai diadakan. Sepasang pengantin baru itu pun nampak sudah berada di dalam kamar hotel yang memang spesial dipesan untuk mereka menghabiskan malam pertama.
Tiara sudah berganti pakaian, riasan wajahnya pun sudah terhapus menyisakan wajah polosnya saja, tapi wanita itu tetap terlihat cantik dengan rambut panjang juga lesung di ke dua sisi pipi putihnya. Gadis berusia 25 tahun itu duduk di tepi ranjang dengan perasaan gugup, sementara Bagus masih berada di kamar mandi tengah membersihkan diri.
Tidak lama kemudian, pintu kamar mandi pun di buka. Bagus keluar dari dalamnya sudah mengenakan pakaian rapi. Tiara seketika menatap wajah suaminya dengan tatapan mata heran.
"Kamu mau ke mana, Mas?" tanya Tiara sontak berdiri tegak. "Jangan bilang kalau kamu mau keluar di malam pertama kita?"
Bagus sama sekali tidak menjawab pertanyaan istrinya, yang dia lakukan adalah berdiri di depan cermin seraya menatap tubuhnya sendiri dan memastikan bahwa penampilannya benar-benar sempurna.
"Mas! Kamu tak dengar apa yang aku katakan?" Tiara kembali bertanya dengan perasaan kesal.
Bagus benar-benar terlihat dingin. Laki-laki itu bahkan tidak menoleh ataupun menanggapi ucapan istrinya. Dia sama sekali tidak menganggap kehadiran Tiara.
"Jangan banyak nanya, saya mau kemana pun itu bukan urusan kamu, Tiara," jawab Bagus, menatap wajah istrinya dari pantulan cermin yang berada tepat di depan tubuhnya.
"Malam ini adalah malam pertama kita, Mas? Masa kamu tega ninggalin aku sendirian di sini?" tanya Tiara, nada suaranya seketika melemah.
Bagus akhirnya menoleh dan menatap wajah wanita itu dengan tatapan mata tajam, "Memangnya apa yang kamu harapkan di malam pertama kita, Tiara? Belah duren, seperti apa yang selalu di lakukan oleh pasangan pengantin baru diluaran sana?" sahut Bagus tersenyum menyeringai. "Jangan harap, Tiara! Ingat, kamu hanya menikahi raga saya, tapi tidak dengan hati saya, paham?"
Tiara seketika memejamkan ke dua matanya. d**a wanita itu seketika terasa sesak, bagaimana bisa laki-laki yang baru saja menikahinya siang ini mengatakan hal yang sangat menyakitkan seperti itu? Rasanya sakit luar biasa, relung jiwanya seolah di sayat menggunakan pisau tajam. Namun, Tiara mencoba untuk menahan rasa yang sebenarnya terasa begitu menyiksa itu. Dia kembali menarik pelupuk matanya lalu menatap wajah Bagus Anggara dengan bola mata memerah.
"Baik, aku paham maksud kamu, Mas, tapi kamu harus ingat satu hal. Aku adalah istrimu, wanita yang akan menemanimu sampai kamu tua dan mati, jadi cintailah aku," ucap Tiara dengan nada suara lemah, menahan rasa sesak. "Meskipun cinta itu datang terlambat, tapi aku akan menunggu dengan sabar di sini, sebagai istrimu."
Bagus lagi-lagi tersenyum menyeringai, "Terserah kamu saja, kamu mau nungguin saya seumur hidup kamu pun, saya sama sekali tidak peduli," ujarnya sinis. "Yang jelas, apa yang kamu katakan itu tidak akan pernah terjadi. Saya tak akan pernah mencintai kamu, apalagi sampai menganggap kamu sebagai istri saya, karena apa?" Bagus menahan ucapannya seraya berjalan menghampiri juga menatap wajah istrinya dengan tatapan mata tajam. "Karena saya tidak pernah menginginkan pernikahan ini, sejak awal pun saya tidak ingin menikah dengan kamu."
Tiara memalingkan wajahnya ke arah lain ketika Bagus berhenti tepat di depan tubuhnya. Tatapan sinis laki-laki itu membuatnya bergeming, dadanya pun kian terasa sesak. Apalagi, saat Bagus meraih dagunya dan membawa wajah cantiknya hingga tepat menghadap wajah laki-laki itu.
"Apa kamu lupa alasan kenapa kita menikah?" tanya Bagus menatap tajam wajah Tiara. "Saya hanyalah penebus hutang. Dunia memang terbalik, jika biasanya wanita yang dijual untuk membayar hutang orang tuanya, yang terjadi di sini adalah sebaliknya. Saya ... saya dijadikan tumbal atas hutang-hutang orang tua saya, Tiara!"
Bagus melepaskan tautan dagu Tiara kasar. Wajahnya benar-benar memerah begitupun dengan bola matanya. Rahang laki-laki itu pun nampak mengeras menahan rasa geram.
"Apa kamu tahu bagaimana perasaan saya, Tiara?" Bagus kembali bertanya dengan nada suara lantang, sementara buliran bening mulai membasahi wajah Tiara. "Hidup saya hancur, Tiara. Saya tidak bisa menikahi wanita yang saya cintai, seumur hidup saya akan terjebak dengan kamu di dalam mahligai pernikahan tanpa cinta!"
Tiara bergeming. Dadanya yang sudah terasa sesak semakin terasa sesak. Kelopak matanya semakin membanjir, tubuhnya pun seketika terasa lemas. Tidak ada kata yang mampu terucap dari bibir seorang Tiara.
"Saya peringatkan dari sekarang, jangan pernah berharap lebih sama saya, Tiara. Saya tidak akan pernah memberikan cinta saya untuk kamu, tidak akan!" tegas Bagus penuh penekanan. "Kita hanya akan tinggal satu atap, status kita pun hanya formalitas. Jadi, jalani hidup kamu seperti biasa, karena saya pun akan seperti itu."
Tiara menyeka wajahnya yang benar-benar membanjir. "Baik, kalau memang itu yang kamu inginkan, Mas. Aku akan mengikuti apapun perkataan kamu, karena kamu adalah suamiku," jawab Tiara dengan nada suara lemah, "Sudah menjadi tugas dan kewajibanku menuruti apa yang dikatakan oleh suamiku, karena kamu adalah imamku, Mas."
"Jangan so alim kamu, Tiara. Jangan so menjadi istri yang paling patuh di dunia ini," decak Bagus lagi-lagi menatap sinis wajah istrinya. "Kalau kamu ingin bebas pun akan saya izinkan ko, bahkan jika kamu ingin punya laki-laki lain sekalipun tidak akan saya larang!"
"Tega sekali kamu mengatakan hal seperti itu, Mas? Kamu pikir aku ini w************n, hah?" tanya Tiara dengan nada suara berat menahan rasa sesak. "Maaf, aku bukan wanita seperti itu. Aku hanya akan setia kepada satu laki-laki yaitu kamu, suamiku."
Bersambung