Bab 3. Perjanjian

1100 Kata
"Oke, deal?" sahut Bagus seraya mengulurkan telapak tangannya. "Kamu sendiri yang membuat kesepakatan ini, jadi jangan salahkan saya jika keluarga kita menanyakan masalah ini suatu saat nanti." Bagus tersenyum menyeringai, dirinya tidak perlu repot-repot melakukan banyak hal agar dia dapat terlepas dari wanita bernama Tiara dan bisa bersama Dona tanpa adanya hambatan. Satu tahun bukanlah waktu yang terlalu lama, dia yakin bahwa Dona bersedia menunggunya hingga waktunya tiba. "Oke, deal. Tapi--" Tiara menahan ucapannya. "Tapi apa lagi sih?" tanya Bagus kembali menurunkan telapak tangannya. "Tapi apa kamu yakin tak akan jatuh cinta sama aku, Mas?" tanya Tiara menatap sinis wajah suaminya. "Apa? Jatuh cinta sama kamu? Hahahaha! Jangan mimpi kamu, Tiara," sahut Bagus seketika tertawa nyaring. "Jangan berkhayal terlalu tinggi, Tiara. Saya tidak akan pernah jatuh cinta sama kamu, astaga!" "Oke, kita lihat saja nanti. Laki-laki mana yang akan tahan tinggal satu atap dengan seorang wanita," decak Tiara tersenyum menyeringai. "Akan aku tunjukkan seberapa kuatnya ikatan pernikahan kita. Aku juga akan membuat kamu jatuh cinta kepadaku, Mas Bagus!" tegas Tiara penuh tekad. "Coba saja kalau kamu bisa, Tiara. Saya yakin usaha kamu akan sia-sia karena hanya ada satu wanita yang saya cintai, dan akan menjadi satu-satunya wanita yang saya cintai di dunia ini, kamu tahu sendiri siapa orangnya," jawab Bagus tersenyum mengejek. "Oke, kita lihat saja nanti," sahut Tiara dengan penuh rasa percaya diri. *** Siang itu juga, Bagus dan Tiara memutuskan untuk cek out dari hotel di mana mereka menginap. Malam tadi yang seharusnya menjadi malam pertama mereka, harus diawali dengan pertengkaran dan diakhiri dengan kesepakatan di antara sepasang pengantin baru itu.Tidak ada yang namanya malam pertama seperti yang selalu dilakukan oleh pasangan pengantin baru pada umumnya. Bagus memboyong Tiara untuk tinggal di rumahnya. Meskipun istrinya ini lebih kaya darinya, tapi dia memutuskan untuk tinggal di rumahnya sendiri. Tiara adalah putri tunggal dari pengusaha kaya raya bernama Burhan Kartayajasa. Perusahaan mertuanya itu bergerak di bidang perhotelan dan telah memiliki cabang di beberapa kota besar seperti, Kota Jakarta, Jogjakarta, Surabaya dan beberapa kota besar lainnya. Sedangkan Bagus, dia hanya bekerja sebagai Direktur Pemasaran di salah satu perusahaan tekstil di kota Jakarta. Tiara memasuki rumah sederhana milik suaminya dengan wajah datar. Rumah itu tentu saja jauh lebih kecil dari rumah yang selama ini dia huni bersama kedua orang tuanya. Meskipun begitu, dirinya sama sekali tidak merasa keberatan tinggal di rumah tersebut karena statusnya sekarang adalah istri dari laki-laki bernama Bagus Anggara. Dia harus mengikuti suaminya ini di mana pun suaminya tinggal. "Kenapa ekspresi wajah kamu seperti itu, Tiara? Kamu tak suka tinggal di rumah yang jauh lebih kecil dari rumah orang tua kamu?" tanya Bagus menatap sinis wajah istrinya. "Siapa bilang? Kapan aku ngomong kayak itu?" tanya Tiara menyisir setiap ruangan di mana dia berpijak saat ini. "Rumah ini adalah rumah suamiku, dan aku harus ikut di mana pun suamiku tinggal." Bagus tersenyum menyeringai. "Kita akan tinggal di kamar terpisah, kamar saya yang di belakang itu, sedangkan kamu akan menempati kamar tamu yang ini," ucapnya seraya menunjuk pintu kamar yang berada tepat di belakang Tiara. "Oke, tak masalah kita tinggal di kamar yang berbeda, yang terpenting kita tinggal di satu atap yang sama," jawab Tiara, seketika berbalik lalu membuka pintu kamar. Bagus sama sekali tidak menanggapi ucapan istrinya, yang dia lakukan adalah berjalan ke arah belakang di mana kamarnya berada. Dirinya segera membuka pintu kamar lalu masuk ke dalamnya kemudian. Tiara yang merasa kesal dengan sikap dingin suaminya akan mencoba untuk bersabar dan membiasakan diri menerima perlakuan Bagus. Dia yakin hati suaminya ini akan melunak dan bersedia menerima dirinya sebagai seorang istri suatu saat nanti. *** Malam hari pukul 19.00, Bagus yang sedang tertidur lelap seketika membuka kedua matanya, ketika hidungnya mencium bau sedap makanan yang sedang dimasak. Laki-laki itu mengusap pelupuk matanya lembut mencoba untuk menyingkirkan rasa kantuk yang menguasai indra penglihatannya itu. "Bau harum apa ini?" gumam Bagus seketika bangkit lalu duduk tegak di atas ranjang. "Siapa yang lagi masak malam-malam begini? Astaga, baunya sedap banget." Bagus turun dari atas ranjang lalu berjalan ke arah pintu dan keluar dari dalam kamar. Dia menatap sekeliling seraya mendengus'kan hidungnya di mana bau masakan benar-benar memenuhi ruangan. Laki-laki itu pun berjalan ke arah dapur merasa penasaran, sebenarnya apa yang sedang dimasak oleh istrinya? "Kamu sudah bangun, Mas?" tanya Tiara, dia yang sedang berdiri tepat di depan kompor yang sedang menyala seketika menoleh dan menatap wajah suaminya, "Kamu pasti lapar, aku sudah masakin makanan untuk kamu, Mas. Ini yang terakhir sebentar lagi juga matang ko, tunggu sebentar, ya." Bagus bergeming. Dia menatap tubuh istrinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tiara mengenakan celemek berwarna biru muda, benda yang jarang sekali dia gunakan. Rambut panjang Tiara pun nampak diikat di ujung kepala. "Kenapa kamu diam saja, Mas? Duduklah di kursi," pinta Tiara seraya mematikan kompor karena rendang daging yang sedang dia masak baru saja matang. "Untuk apa kamu masak segala, Tiara? Saya tidak lapar ko," ucap Bagus seraya berjalan ke arah kursi lalu duduk dengan wajah datar. Apa yang Bagus ucapkan berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Bibirnya memang mengatakan bahwa dia tidak lapar, tapi perutnya mengatakan hal yang sebaliknya. Bunyi aneh seketika terdengar samar-samar dari dalam perut laki-laki itu membuat Tiara yang saat ini sedang menyajikan makanan seketika terkekeh. "Beneran kamu gak lapar? Cacing di perut kamu sepertinya sudah kelaparan tuh," decak Tiara tersenyum mengejek. Bagus seketika menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal. Dia pun menatap berbagai makanan yang sudah tersaji di atas meja lengkap dengan nasi putih yang terlihat masih mengepul. Tiara mengisi piring milik suaminya dengan nasi putih. "Sial, kenapa perut saya tak bisa diajak kompromi sih? Mana masakan Tiara kayaknya enak-enak lagi, ada rendang sama sambal goreng kentang. Semua ini makanan kesukaan saya lho," batin Bagus, menatap berbagai makanan yang sudah tersaji di atas meja makan. "Cepat makan, Mas. Kasihan cacing di dalam perut kamu tuh," pinta Tiara, duduk di kursi yang berada di sisi sebelah kiri. "Sebenarnya sih saya tak lapar-lapar banget, tapi karena saya tipikal orang yang selalu menghargai makanan, saya akan makan sedikit saja," ucap Bagus mulai mengisi piring miliknya dengan lauk-pauk yang ada. "Semoga rasanya sesuai dengan selera kamu, Mas. Aku sempat kursus memasak sebelum kita menikah," sahut Tiara, dia pun mulai mengisi piring miliknya dengan nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Sementara Bagus, laki-laki itu mulai menyuapkan satu sendok makanan ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya pelan. Kedua matanya nampak terpejam, merasakan betapa nikmatnya makanan yang saat ini berada di dalam mulutnya. "Sial, kenapa rasanya nikmat banget? Rasa rendang ini, persis seperti rasa rendang yang selalu saya makan di restoran padang," batin Bagus. Kedua matanya seketika terpejam sempurna merasakan betapa nikmatnya makanan yang sedang dia kunyah. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN