Bab 5. Mahligai tanpa Cinta

1071 Kata
Wajah Dona seketika memerah menahan rasa amarah. Hatinya terasa panas terbakar setelah mendengar bahwa kekasihnya tinggal di satu kamar yang sama dengan Tiara. Kenyataan bahwa Bagus telah menikah dan tinggal di satu atap yang sama saja sudah begitu mengoyak perasaanya. "Dasar wanita tak punya perasaan," decak Dona memejamkan kedua matanya sejenak mencoba untuk menahan rasa sakit yang sedang dia rasakan. "Kamu sudah merebut Mas Bagus dariku, Tiara. Kamu sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan aku. Kamu hanya memikirkan perasaan kamu sendiri dan bersikap seolah-olah kamu adalah orang yang paling tersakiti di sini, tapi kamu sama sekali tak mikirin bagaimana perasaan aku dan Mas Bagus. Kami sudah 3 tahun berpacaran lho." Tiara tertegun. Apa yang baru saja diucapkan oleh Dona seolah mampu menyentuh relung hatinya yang paling dalam. Apakah dirinya pantas dikatakan egois karena hanya memikirkan perasaanya sendiri tanpa memikirkan perasaan Dona, wanita yang telah menjalin kasih selama 3 tahun lamanya bersama suaminya? "Cukup, Tiara, Dona!" tiba-tiba terdengar suara latang Bagus seraya berjalan menghampiri mereka berdua. "Sebaiknya kamu pulang dulu, Dona. Saya akan menemui kamu nanti." "Aku mau tanya sama kamu, Mas? Apa yang baru saja dikatakan sama istri kamu ini benar? Kalian tinggal di satu kamar yang sama?" tanya Dona dengan bola mata memerah lengkap dengan buliran air mata yang memenuhi kelopaknya. "Bukannya kamu sudah berjanji sama aku kalau kamu gak akan pernah menyentuh wanita ini? Tega sekali kamu melanggar janjimu, Mas!" "Tidak, Dona. Semua itu sama sekali gak benar," sanggah Bagus penuh penekanan. "Kami tinggal di kamar yang terpisah. Sungguh! Saya bahkan tidak pernah menyentuh sehelai pun rambut dia." "Bohong!" bentak Dona dengan nada suara bergetar. "Kamu berbohong sama aku, Mas! Tega sekali kamu!" Dona seketika berbalik lalu keluar dari dalam rumah tersebut. Hati dan perasaannya benar-benar hancur dan terluka. Dirinya telah berbesar hati menerima pernikahan kekasihnya dengan wanita lain, dan rasanya sangat-sangat menyakitkan. Namun, Bagus Anggara telah melanggar janji yang telah dia buat sendiri bahwa dia tidak akan pernah menerima pernikahan ini apalagi menerima Tiara sebagai istrinya. Sementara Tiara masih bergeming di tempatnya. Tidak ada satu patah katapun yang mampu terucap dari bibirnya. Dia pun akhirnya sadar bahwa bukan hanya dirinya saja yang tersakiti di sini, tapi ada wanita lain juga yang merasakan hal yang sama, bahkan merasakan rasa sakit yang lebih dari apa yang dia rasakan saat ini. "Kejar dia, Mas," pinta Tiara seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kasihan Dona. Maaf, karena aku sudah berbohong sama dia." Tanpa berpikir panjang lagi, Bagus segera berlari keluar untuk mengejar kekasihnya. Sedangkan Tiara, tubuhnya seketika melemas. Tenaganya seolah habis terkuras, wanita itu menjatuhkan tubuhnya di atas kursi karena ke dua kakinya seakan tidak mampu lagi menopang berat tubuhnya. "Ya Tuhan! Apa yang sudah aku lakukan? Mengapa aku harus berada di tengah-tengah mereka? Pernikahan macam apa ini?" gumam Tiara seraya mengusap wajahnya kasar dengan kedua mata yang terpejam. Tidak lama kemudian, Bagus kembali dengan wajah datar. Tatapan matanya nampak kosong dengan pikiran yang melayang entah ke mana. Bagus duduk di kursi yang berbeda dengan Tiara. "Gimana, Mas? Kamu berhasil mengejar Dona?" tanya Tiara menatap sayu wajah suaminya. Bagus seketika menoleh dan menatap wajah Tiara dengan tatapan mata tajam. "Puas kamu sekarang, Tiara? Puas!" tanya Bagus penuh penekanan. "Saya minta tolong sama kamu, coba kamu posisikan diri kamu sebagai Dona. Bagaimana perasaan dia ketika tahu bahwa saya, pacarnya menikahi kamu? tiga tahun lho kami berpacaran. Waktu tiga tahun itu gak sebentar!" Tiara bergeming. Buliran bening seketika bergulir dari pelupuk matanya. Namun, dia segera mengusap kedua matanya juga menahan suara isaknya. "Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Mas?" tanya Tiara menunduk sedih. "Sesuai dengan kesempatan kita. Saya akan menceraikan kamu dalam kurun waktu satu tahun, selama satu tahun ini saya mohon kamu jangan menganggu Dona," jawab Bagus dengan nada suara dingin. Tiara kembali mengusap kedua matanya yang benar-benar membanjir. "Baik, aku akan mengikuti keinginan kamu, Mas. Kamu bebas melakukan apapun yang kamu inginkan di luar sana, bertemu dengan Dona atau apapun itu. Namun, ketika kamu sedang berada di rumah, kamu tetap suamiku, dan aku adalah istrimu." Dada seorang Tiara benar-benar terasa sesak. Perasaanya pun seketika dilanda rasa dilema. Niatnya untuk membuat Bagus jatuh cinta kepadanya pun seketika padam. Yang harus dia lakukan sekarang adalah, menunggu dan bersabar selama satu tahun sampai mahligai pernikahan tanpa cinta yang dia jalani benar-benar berakhir sesuai dengan perjanjian. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah dia sanggup menjalani kehidupan seperti ini selama satu tahun lamanya? "Oke, deal. Kamu sendiri yang membuat perjanjian itu. Saya bebas melakukan apapun yang saya inginkan di luar sana," jawab Bagus seraya mengulurkan telapak tangannya tanda sepakat. Tiara menerima uluran tangan suaminya meskipun dadanya terasa semakin sesak. *** Keesokan harinya, Bagus bangun pagi seperti biasa dan sudah siap untuk berangkat ke kantor. Stelan jas berwarna hitam tanpa dasi nampak sudah dia kenakan. Rambutnya pun ditata rapi terlihat begitu tampan. Bagus keluar dari dalam kamar dengan membawa tas kerja miliknya. Dia menatap sekeliling ruangan yang terlihat sudah rapi bahkan tercium bau wangi masakan. Laki-laki itu berjalan ke arah dapur dengan wajah datar. "Sarapan dulu, Mas," pinta Tiara tanpa menoleh. "Masakan yang semalam sudah aku hangatkan." Tiara nampak sedang berdiri tepat di depan mesin cuci. Pakaian kotor miliknya dan milik suaminya mulai dia masukan ke dalam sana. Setelah selesai melakukan hal itu, Tiara segera keluar dari ruang makan tanpa menoleh ke arah suaminya. Sikap Tiara benar-benar dingin, tidak seperti sebelumnya yang mengumbar bahwa dia akan membuat Bagus jatuh cinta kepadanya. Hal yang sama pun diperlihatkan oleh Bagus. Laki-laki itu segera menyantap makanan yang sudah tersaji di atas meja makan tanpa sepatah kata pun. Suasana di rumah tersebut benar-benar sepi dan hening hingga suara ketukan di pintu memecah kebekuan. "Ada tamu, Tiara. Coba lihat siapa yang datang!" pinta Bagus dengan nada suara lantang. Tiara yang sedang memainkan ponsel canggih miliknya segera berjalan ke arah pintu tanpa sepatah kata pun. "Mudah-mudahan yang datang bukan si Dona." Batin Tiara, dia tidak ingin kejadian semalam terulang lagi. Telapak tangan Tiara mulai memutar kunci lalu membuka pintu sesaat setelah dia tiba di sana. "Ibu mertua," sapa Tiara, kedua matanya seketika membulat sempurna. "Tiara, kenapa kamu sampai terkejut kayak itu melihat kedatangan Ibu?" tanya Laila ibunda Bagus tersenyum ramah. "Mas Bagus! Ibu datang, Mas!" teriak Tiara menatap ke arah ruang makan. Bagus yang sedang meneguk air putih seketika merasa terkejut hingga dia memuntahkan air putih yang belum sempat dia telan. "Apa? I-Ibu datang ke sini? Gawat-gawat! Kalau Ibu sampai tahu bahwa kami tinggal di kamar yang terpisah, bisa marah besar dia," gumam Bagus. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN