Bab 10. Layani Saya

1085 Kata
Tiara seketika membuka pelupuk matanya saat tubuhnya tiba-tiba saja di putar oleh suaminya hingga dia berbaring terlentang. Dia yang sedang tertidur lelap terpaksa menyudahi mimpi indahnya dengan perasaan terkejut. Posisi mereka berdua benar-benar intim bahkan tanpa jarak sedikit pun. "Ka-kamu mau apa, Mas?" tanya Tiara antara sadar tidak sadar, dia menatap wajah Bagus yang masih terlihat samar-samar. Bagus diam membisu. Deruan napasnya terdengar memburu. Tatapan matanya pun nampak sayu menatap wajah Tiara yang saat ini tengah berada di bawah kungkungannya. Tiara tiba-tiba saja mendorong tubuh Bagus kasar, "Jangan macam-macam kamu ya, Mas!" sinis Tiara seketika bangkit dengan menutup tubuhnya menggunakan selimut tebal. "Apa kamu lupa sama janji kamu, hah? Kamu bilang kalau kamu tak akan pernah menyentuh sehelai rambutku sekalipun?" Bagus mengusap wajahnya kasar lalu duduk tegak tepat di depan istrinya. "Ya, saya akan melanggar janji saya, Tiara. Layani saya sekarang juga!" jawab Bagus seketika mendorong tubuh istrinya hingga dia kembali berbaring terlentang lalu menindihnya kemudian. Tiara berusaha untuk berontak. Dia menggerakkan tubuhnya sedemikian rupa. Namun, usahanya sia-sia saja karena Bagus segera mengunci ke dua tangannya keras dan bertenaga. Tiara menatap wajah Bagus tajam merasa kesal. "Lepaskan aku, Mas," pintanya dengan bola mata memerah. "Kamu istriku, Tiara. Tubuhmu adalah milikku," jawab Bagus tegas dan penuh penekanan. "Sejak kapan kamu menganggap aku sebagai istrimu, hah? Apa kamu pernah memperlakukan aku sebagai seorang istri?" tanya Tiara, buliran bening mulai bergulir dari sudut matanya. "Melayani kamu memang tugasku, tapi--" Tiara menahan ucapannya, dadanya mulai terasa sesak karena harus menahan berat badan suaminya. "Tapi apa? Kamu tahu kalau melayani suami adalah kewajiban seorang istri? Jadi, layani saya sekarang juga," pinta Bagus hendak mendaratkan bibirnya di bibir merah istrinya. Tiara sontak memalingkan wajahnya ke arah lain dengan wajah dingin. "Melayani suami di atas ranjang memang tugas seorang istri, tapi menghargai istri juga kewajiban seorang suami," jawab Tiara dingin. "Aku akan melayani kamu sebagai seorang istri jika kamu sudah melakukan kewajiban kamu sebagai seorang suami. Menghargai aku, menerima aku sebagi istrimu seutuhnya dan--" Tiara menahan ucapannya dengan ke dua mata yang terpejam sempurna. "Kalau kamu sudah mengakhiri hubunganmu dengan wanita itu, Mas." Bagus sontak melepaskan lingkaran tangannya. Dia seketika bangkit lalu duduk tegak dengan perasaan berkecamuk. Laki-laki itu pun nampak mengusap wajahnya secara berkali-kali mencoba untuk menahan gejolak di dalam jiwanya. "Maafkan saya," ucapnya singkat lalu turun dari atas ranjang. Bagus berjalan menuju kamar mandi lalu masuk ke dalamnya kemudian. Laki-laki itu segera melucuti satu-persatu pakaian yang dia kenakan lalu berjalan menuju bathtub. Bagus mengisi bathtub dengan air dingin lalu mulai masuk ke dalamnya. Berendam adalah salah satu cara untuk meredakan gejolak di dalam jiwanya "Kamu benar-benar pandai berbicara, Tiara. Kamu baru akan menjalankan tugasmu sebagai seorang istri setelah saya melakukan kewajiban saya sebagai suami? Hahahaha! Cerdas, kamu benar-benar cerdas," gumam Bagus, lalu memasukan kepalanya ke dalam air seraya memejamkan kedua matanya. *** Sementara itu di dalam kamar. Tiara kembali meringkuk di atas ranjang. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa dirinya akan mendapatkan perlakukan kasar dari suaminya sendiri. Jika memang Bagus Anggara ingin dilayani di atas ranjang, bukankah dia bisa memintanya secara baik-baik? "Dasar gila! Bisa-bisanya dia berbuat sekasar itu?" gumam Tiara seraya mengusap pergelangan tangannya yang masih terasa sakit akibat cengkraman tangan suaminya. "Enak aja, emang aku ini wanita apaan. Aku gak akan pernah sudi melayani kamu selama kamu belum mengakhiri hubungan kamu sama si Dona." Tiara larut dalam lamunan panjangnya. Dia pun mengusap kedua matanya yang sempat berair. Dadanya pun kian terasa sesak. Sampai kapan dirinya akan terjebak dengan pernikahan yang menyakitkan ini? "Tiara, apa kamu sudah bangun?" tanya Laila di luar sana seraya mengetuk pintu kamar. "Iya, Bu. Aku udah bangun. Masuk saja," jawab Tiara seraya merapikan rambut panjangnya yang sedikit berantakan. Pintu kamar pun dibuka. Laila masuk ke dalam kamar dengan wajah ramah seperti biasa. Dia menatap wajah menantunya dengan perasaan heran karena kedua mata Tiara nampak memerah dan juga sembab. "Maaf, Bu. Aku bangun kesiangan. Semalam aku gak bisa tidur," sahut Tiara merasa tidak enak. "Tak apa-apa, sayang. Pengantin baru bangun kesiangan itu hal yang biasa," jawab Laila duduk di tepi ranjang. "Tapi apa kamu baik-baik saja? Mata kamu merah lho." "Hah? Eu ... aku baik-baik saja ko, Bu. Aku baru banget bangun, makannya mata aku merah kayak gini," jawab Tiara seraya mengusap kedua matanya pelan. Laila menatap sayu wajah Tiara. Dia diam saja bukan berarti tidak tahu apa-apa. Telinganya dapat berfungsi dengan benar, Laila dapat mendengar perdebatan panas antara putra dengan menantunya yang terjadi semalam. Telapak tangan Laila seketika mengusap kedua sisi wajah Tiara lembut dan penuh kasih sayang. "Ibu mohon bersabarlah sebentar lagi, Tiara. Ibu tahu tidak mudah untuk kamu menjalani semua ini," lirih Laila lembut. "Putra Ibu memang seperti itu, dia dingin dan sinis, tapi Ibu yakin cepat atau lambat dia akan menerima kamu sebagai istrinya, dan kalian akan menjalani rumah tangga ini dengan normal." Tiara seketika menunduk sedih. Buliran bening pun kembali bergulir tanpa terasa. Sampai kapan dirinya harus menunggu? Sementara dia bukanlah malaikat yang memiliki kesabaran yang tidak terbatas. "Sampai kapan aku harus menunggu, Bu? Aku--" Tiara menahan ucapannya seraya menggigit bibir bawahnya keras, dadanya pun kian terasa sesak tatkala mengingat bahwa suaminya masih memiliki hubungan dengan wanita lain. Laila seketika memeluk tubuh menantunya. "Berdoalah kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tiara. Berdoalah kepada-Nya yang maha membolak-balikkan hati manusia. Apa kamu tahu, doa tulus seorang istri sholehah bisa menembus langit dan di dengar oleh Tuhan. Berserahlah kepada-Nya." Tiara menganggukkan kepalanya. Suara isakan itu memang tidak terdengar sedikit pun, tapi buliran bening tidak berhenti bergulir dari pelupuk matanya. Rasa sakit yang dia rasakan tidak main-main. "Ibu sudah buatkan sarapan untuk kalian, Ibu tunggu di ruang makan ya," lirih Laila mulai mengurai pelukan. "Maaf karena sudah merepotkan Ibu. Seharusnya aku yang menyiapkan sarapan buat Ibu," ucap Tiara lagi-lagi merasa tidak enak. "Tak masalah. Ibu senang ko melakukannya," ujar Ibu lalu berdiri tegak. "Ibu tunggu kamu dan Bagus di ruang makan." Tiara kembali menganggukkan kepalanya seraya tersenyum ramah. Laila berjalan kearah pintu lalu membukanya dan keluar dari dalam kamar. Di waktu yang bersamaan, Bagus pun membuka pintu kamar mandi lalu keluar dari dalam sana dengan hanya mengenakan handuk kecil untuk menutup bagian bawah tubuhnya. Tiara sontak memutar badan memunggungi suaminya. "Astaga, Mas Bagus. Kalau mandi itu bawa pakaian ganti!" decak Tiara jantungnya seketika berdetak tidak karuan. "Memangnya kenapa? Saya suami kamu, apa salahnya saya berpakaian di depan istri saya sendiri?" jawab Bagus santai seraya berjalan ke arah lemari pakaian. Tiara menelan ludahnya kasar. ''Mas Bagus apa-apaan sih? Apa dia sengaja melakukan hal ini karena aku sudah menolak melayani dia?'' batin Tiara memejamkan kedua matanya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN