Bab 9. Modus

1012 Kata
"Maaf, saya tidak sengaja. Kamu ngejutin saya sih!" decak Bagus, wajahnya seketika memerah menahan rasa malu. "Lagian, siapa yang minta kamu menggendong aku ke sini, hah?" decak Tiara seraya memegangi pinggangnya sendiri "Kamu pasti modus, 'kan? Sengaja biar bisa pegang-pegang aku?" "Enak aja, saya--" Bagus terpaksa menahan ucapannya karena pintu kamar tiba-tiba saja di buka. Laila yang mendengar teriakan Tiara segera masuk ke dalam kamar, "Ada apa, Tiara? Kamu pasti jatuh dari gendongannya Bagus, 'kan?" tanyanya berjalan menghampiri dengan perasaan khawatir. "Ibu 'kan sudah bilang, hati-hati nanti istri kamu bisa jatuh, astaga! Malah beneran jatuh, 'kan?" "Saya gak sengaja, Bu. Lagian jatuhnya juga ke kasur ko, gak ke lantai," sahut Bagus melakukan pembelaan. "Tapi sakit, Mas. Pinggangku, argh!" ringis Tiara seraya memegangi pinggangnya sendiri. "Tuh 'kan sakit?" decak sang ibu merasa kesal. "Coba kamu pijit pinggang istri kamu. Kasihan dia." Bagus diam mematung. Memijit pinggang Tiara? Itu artinya dia akan kembali menyentuh tubuh istrinya. Bagus benar-benar merasa bingung, menggendongnya saja sudah membuatnya berkeringat dingin, sekarang dirinya diminta untuk memijit pinggang ramping Tiara? Bagus Anggara seketika dilanda rasa dilema. Apa yang akan dia lakukan sekarang? "Kenapa kamu malah diam saja, Gus?" tanya Laila merasa tidak habis pikir dengan kelakuan putranya. "Cepat pijit Tiara! Masa Ibu yang harus pijitin dia?" Bagus menghela napas kasar merasa kesal. Dia pun duduk di tepi ranjang dengan jantung yang berdetak kencang. Telapak tangannya mulai bergerak dengan perasaan ragu menyentuh pinggang ramping Tiara. ''Maafkan saya, Dona,'' batin Bagus dengan kedua mata yang terpejam sempurna. "Pelan-pelan, Mas. Sakit!" rengek Tiara seraya menahan senyuman dibibirnya. "Bagian mana yang sakit? Perasaan gak keras-keras amat jatuhnya. Ko bisa sakit sih?" decak Bagus dengan wajah datar. "Udah jangan banyak bicara, Gus. Pijit aja, kalau perlu kamu pijit seluruh badan istri kamu," sahut Laila sinis. "Ibu ngantuk, Ibu tidur dulu." Laila keluar dari dalam kamar lalu menutup pintunya kemudian. Sementara Bagus mulai memijit pinggang Tiara pelan tanpa sepatah katapun. Tiara memejamkan pelupuk matanya sejenak. Rasa aneh seketika menyelusup relung hatinya yang paling dalam. Sekujur tubuhnya pun mulai terasa merinding, ini adalah kali pertama tubuhnya di jamah oleh suaminya sendiri. "Cukup, Mas. Udah gak sakit ko," pinta Tiara merasa gugup. "Beneran udah gak sakit? Atau, kamu hanya berpura-pura sakit?" tanya Bagus dengan nada suara dingin seperti biasa. "Dih! Ngapain juga aku pura-pura sakit segala? Gak ada kerjaan. Lagian, untuk apa kamu menggendong aku ke sini?" decak Tiara tak kalah sinis. "Kamu gak dengar apa Ibu katakan tadi? Beliau yang meminta saya untuk memindahkan kamu ke ranjang," sahut Bagus kesal. "Kalau bukan karena Ibu yang minta, mana mungkin saya sudi menggendong kamu, Tiara?" "Terus, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Tiara datar. "Maksud kamu?" Bagus mengerutkan kening. "Apa kita akan tidur di ranjang yang sama?" Tiara mulai merasa gugup. "Tak ada pilihan lain lagi," sahut Bagus seraya berbaring terlentang. Tiara meraih bantal guling lalu meletakkannya tepat di tengah-tengah sebagai pembatas. "Ini batas kita. Jangan berani-beraninya kamu melewati batas ini, paham?" ketus Tiara. "Oke, siapa takut. Saya gak akan melewati batas, justru saya yang seharusnya memperingatkan kamu, jangan berani-beraninya kamu mengambil kesempatan dalam kesempitan," sahut Bagus tersenyum miring. "Yakin kamu gak bakalan melewati batas? Aku 'kan ikan segar yang menggiurkan, Mas?" ledek Tiara menatap sinis wajah suaminya. "Astaga, wanita ini! Kamu benar-benar ngeselin ya!" decak Bagus mulai menaikkan nada suaranya. "Kamu tuh yang ngeselin. Dasar kulkas 2 pintu!" Perdebatan sepasang suami istri itu pun sampai terdengar ke kamar Laila. Baik Bagus maupun Tiara tidak ada yang bersedia mengalah. Keduanya bak anak kecil yang sedang bertengkar memperebutkan mainan. Sampai akhirnya, suara ketukan di pintu mengejutkan mereka berdua juga menghentikan perdebatan mereka. "Bagus, Tiara!" sahut Laila tanpa membuka pintu kamar seperti apa yang dia lakukan sebelumnya. Bagus dan juga Tiara seketika bergeming seraya menatap wajah satu sama lain. "Apa kalian lagi bertengkar?" Kembali terdengar suara sang ibu di luar sana. "Tidak ko, Bu. Kami tidak bertengkar sama sekali," sahut Bagus dengan nada suara lantang "Ini ... eu ... Tiara kesakitan pas aku pijitin. Makannya dia marah-marah." "I-iya, Bu. Kami baik-baik saja ko!" ujar Tiara seraya menatap ke arah pintu. "Oh, Ibu kira kalian bertengkar. Ya sudah, cepat tidur sudah malam," pinta Laila. Suasana seketika hening. Suara Laila pun tidak lagi terdengar, sepertinya wanita paruh itu sudah kembali ke kamarnya. Tiara menatap sinis wajah suaminya lalu meringkuk dengan memunggungi Bagus Anggara. Hal yang sama pun dilakukan oleh Bagus, dia menutup hampir seluruh tubuhnya menggunakan selimut tebal, sementara Tiara dibiarkan meringkuk tanpa selimut. Keduanya benar-benar larut dalam lamunan masing-masing sebelum akhirnya benar-benar terlelap di ranjang yang sama untuk pertama kalinya. *** Keesokan harinya, Bagus mengedipkan pelupuk matanya pelan. Dia pun hendak merentangkan kedua tangannya dengan mulut yang dibuka lebar menahan rasa kantuk. Namun, laki-laki itu seketika menghentikan gerakan tangannya tatkala menyadari bahwa kepala Tiara berada di atas d**a bidangnya seraya memeluknya erat. Bagus bergeming, dia sedikit mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Tiara yang saat ini tengah tertidur dengan begitu lelapnya. Bagus mendengus kesal. Apa yang akan dia lakukan sekarang? Dirinya harus menurunkan kepala istrinya bagaimana pun caranya, sebelum sesuatu yang bersemayam di dalam jiwa seorang Bagus mulai terusik. "Astaga, Tiara. Kamu ko gini amat si tidurnya? Aduuuuh! Gimana cara nurunin kepalanya dia?" gumam Bagus, sementara jantungnya mulai berpacu kencang. Sedangkan Tiara masih bergeming, suara dengkuran kecil pun mulai terdengar di sela-sela hembusan napasnya. Suara aneh itu samar-samar terdengar lirih menggelikan. "Astaga! Malah ngorok lagi! Tiara-Tiara, cantik-cantik ko ngorok?" gumam Bagus terkekeh seraya menatap wajah istrinya lekat. Telapak tangan Bagus seketika menyentuh kepala Tiara hendak menurunkannya. Namun, laki-laki itu seketika bergeming saat satu kaki Tiara tiba-tiba saja bergerak naik dan melingkar tepat di kedua kakinya layaknya sedang memeluk bantal guling. "Argh! Tiara, kamu--" decak Bagus, kedua matanya seketika membulat sempurna, kaki Tiara benar-benar mendarat sempurna tepat di atas pusaka miliknya. 'Ya Tuhan! Apa yang harus saya lakukan sekarang? Astaga!' Bagus berdecak kesal di dalam hatinya. Bagus Anggara benar-benar tidak bergerak sedikit pun. Dia menatap langit-langit kamar melayangkan tatapan kosong. Sementara celana bahan yang dia kenakan seketika terasa sempit karena penghuninya di dalam sana tiba-tiba menegang. Sepertinya Bagus sudah tidak dapat lagi menahannya. "Maafkan saya, Dona," gumam Bagus sebelum akhirnya membalikan keadaan. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN