Semakin dekat

1228 Kata
Bara tidak dilarikan ke rumah sakit, Eyang Dira yang memintanya untuk dirawat saja di rumah. Sebelumnya Tiranti berada di kamar Bara terus menunggu pria ini sadar. Menyesal lagi karena selalu membuat Bara berakhir dengan pingsan. “Ran, udah biarin aja Bara tidur. ini udah malem, kamu kan besok masih ada ujian. Cepetan tidur.” De javu. Bahkan belum genap satu minggu dirinya membuat Bara kembali pingsan. “Eyang kenapa gak bilang kalau Mas Bara itu gak bisa makan pedes?” “Eyang mau liat aja gimana reaksi dia pas kamu masakin makanan andalan kamu. Tuh, semenghargai itu Bara sama kamu. jadi kalau nanti udah nikah, kamu gak akan kecewa sama Bara.” Karena dipaksa oleh Eyang, akhirnya Tiranti kembali ke kamarnya. Meskipun pada kenyataan, dia sulit memejamkan mata. Menatap langit langit, dirinya akan menikah dengan cucu majikannya sendiri. terasa aneh, Tiranti itu maunya menikah dengan pria yang dia cintai. Namun, jasa Eyang Dira tidak akan pernah tergantikan. Keesokan harinya saat Tiranti bangun, dia langsung memeriksa keadaan Bara. Masuk ke dalam kamarnya, ternyata Bara masih dalam posisi yang sama. Matanya terpejam dengan erat. “Ran, biarin aja. kamu berangkat. Tuh si Mang supir udah nungguin.” “Eyang, kita perlu bawa dia ke rumah sakit gak?” “Gak usah, Bara itu lagi tidur. bukan pingsan,” ucap Eyang Dira. “Dia sadar tadi bentar, terus tidur lagi.” Barulah Tiranti sadar, ada suara dengkuran yang dikeluarkan pria itu. “Yaudah, Tiranti berangkat dulu ya, Eyang.” Sepanjang Tiranti di sekolah, dia menghindari Seno yang terlihat ingin mendekatinya. Ada saja alasan supaya menjauh. Tiranti tau jelas kalau pria itu memang menyukainya, dan Tiranti tidak tega jika menolaknya. Ada perasaan yang juga membara di hatinya. Jadi Tiranti memutuskan untuk pulang saja, chat dari Seno juga dia balas dingin dan terkesan acuh. Mencoba focus pada Bara dan juga Eyang Dira untuk saat ini. “Eyang, Mas Bara udah bangun?” tanya Tiranti pada Eyang Dira yang sedang duduk di beranda. “Udah, dia lagi siap siap tuh mau pergi.” “Kemana?” “Kerja lah, kan dia sekarang pimpin cabang di Bandung, jadi harus bangun image baru.” “Boleh Tiranti ngomong sama Mas Bara?” “Sana, masuk aja,” ucap Eyang Dira yang sedang sibuk dengan camilan di pangkuannya. Tiranti mendekat ke kamar Bara yang terbuka, mengetuknya pelan hingga pria yang sedang memakai dasi itu menoleh. “Mas, boleh masuk?” “Masuk, Ran. Baru pulang?” Tiranti mengangguk. “Mas maaf ya buat semalem, Tiranti gak tau kalau Mas gak bisa makan pedes. Coba kalau Mas bilang, jadi gak akan kayak gini.” “Gak papa, Ran. Lagian emang saya yang lagi gak sehat.” Bara malu sendiri sebenarnya, tapi dia berusaha menutupi perasaan itu. “Deketan sini, Ran. Bisa tolong pakein dasi gak?” Karena perbedaan tinggi badan mereka, Bara meraih pinggang Tiranti dan membawanya supaya berdiri di atas ranjang. Tiranti kaget, tapi berusaha menutupi kegugupannya. Menyimpulkan dasi dan focus pada tangannya saja. Sementara Bara sedang mengagumi keindahan di hadapannya, terlihat begitu cantik sampai Bara ingin melahapnya. “Kamu udah beres ujian kan?” “Udah, Mas.” “Nah, mulai sama Eyang buat rencanain pernikahan kita ya. kamu maunya yang gimana, bilang aja sama Eyang.” “Emang… Mas gak mau request mau yang kayak gimana?” “Mas ikut kamu aja.” Bara ingin tidak ada kecanggungan lagi diantara mereka. “Kita ngomongnya jagan canggung lagi ya? kita kan mau nikah.” Tiranti mengangguk saja, meskipun pada kenyataannya tubuhnya panas dingin ketika Bara menyentuh pinggangnya. “udah selesai, Mas.” “Makasih, Tiranti,” ucap Bara kemudian membubuhkan kecupan di pipi perempuan itu. “Saya berangkat ya.” Sepeninggalan Bara, tubuh Tiranti langsung luruh tertunduk di atas ranjang. “Astagfirullah,” ucapnya mengusap daddanya berulang kali. **** “Ran, sini kamu.” Eyang Dira memanggil. “Buat seminggu kedepan, Bara bakalan sibuk. Jadi kamu sama Eyang yang siapin semuanya ya?” Lagipula Tiranti sudah selesai ujian nasional, dia hanya tinggal menunggu kelulusannya saja. “Iya, Eyang.” “Ngomong ngomong, kamu mau undang temen temen kamu gak?” Tiranti berfikir, teman temannya pasti disibukan dengan persiapan mereka ke universitas, bahkan sekarang sudah ada yang mulai pergi. Tiranti sendiri tidak punya teman baik, jadi dia rasa tidak perlu. Mereka hanya sekedar tahu kalau selama ini dirinya hidup bersama dengan sang Nenek. Ditambah lagi, Tiranti rasa tidak perlu. Lebih baik ini jadi acara keluarga Eyang Dira saja. “Gak ada, Eyang. Gak papa.” “Yaudah deh, sekarang pilih pilih aja apa yang kamu mau nih. Dekorasinya mau yang mana.” “Emang gak papa pilih sendiri? takutnya gak sesuai sama selera keluarganya Eyang kalau Tiranti yang pilih.” “Gak papa, kan mereka udah percayain semuanya sama kamu, Ran.” Akhirnya, Tiranti memilih yang paling cantik di matanya. Beberapa hari ke depannya, Tiranti dan Eyang Dira disibukan dengan persiapan pernikahan ini. Bara katanya sedang keluar kota. Sore itu, Tiranti kaget dengan kedatangan Ibu Ziya. Walaupun sosok itu tersenyum ketika menatapnya, Tiranti bisa merasakan Ibu Ziya yang terlihat tidak rela kalau Bara berakhir bersama dengannya. “Ran, mana Eyang?” “Ada di dalam, Bu.” “Jangan Ibu dong mangilnya, panggilnya Mama ya.” ibu Ziya mencubit pipi Tiranti. “Jangan main tanah juga, ayok ke dalam. Mau yang ada Mama omongin sama kamu.” Tiranti yang sedang berkebun itu ikut masuk, ternyata Ibu Ziya datang untuk membahas pernikahan. Dia membawa beberapa desain yang dirinya pilih juga. “Gimana sih? katanya biar Eyang aja yang handle?” Tanya Eyang Dira. “Eyang udah pilih nih, semuanya juga udah siap. Kita tinggal survey.” Melihat beberapa pilihan Eyang, Ibu Ziya mengerutkan kening. “Jelek gini, keliatan murahan, Bu. Masa iya pernikahan Bara pake bunga gini? Yang mahal dong.” Tiranti yang memilih itu merasa buruk. “Tinggal tambahin aja kalau gitu, gak usah rombak semuanya,” ucap Eyang Dira. “Ya?” “Iyadeh, ngomong ngomong gaunnya mau datang sekarang.” Hari ini, Tiranti diberikan nasehat untuk tidak melakukan apa apa. Dia harus diam dan melakukan perawatan. Gaun pengantin yang dipesankan dan didesain oleh Ibu Ziya juga sudah datang, bersama dengan designer yang membantu Tiranti untuk memakaikannya. Ketika Tiranti sedang dikamarnya bersama sang designer, Bara datang ke sana. akhirnya setelah beberapa hari, dia sudah menyelesaikan pekerjaannya. Sengaja supaya setelah menikah, Bara bisa berduaan dengan sang istri. “Eyang… Bara pulang,” ucapnya mencium tangan sang Eyang. “Mana Tiranti?” “Ada di kamarnya, lagi nyoba gaun pengantin.” “Boleh disamperin ke sana?” “Boleh, Mama kamu juga di sana.” Bara semangat sekali, dia melangkah menuju kamar Tiranti yang tertutup. Dia membukanya tanpa mengetuk, dan sepertinya orang orang di sana tidak menyadari keberadaanya. “Ran, bukanya kayak gini.” “Malu, Ma.” “Ngapain malu, di sini cewek semua. Biar bisa pas loh sama tubuh kamu. ayok buka aja.” Mata Bara terbelalak melihat Tiranti yang hanya memakai pakaian dalam saja di sana. tubuhnya bergetar dan matanya mengerjap, dia segera membalikan badan dan kaget ada Eyang Dira di sana. “Kamu lagi liat apa?” “Enggak, Eyang.” “Itu mimisan, kamu gak bisa bohong.” Eyang Dira segera menyeka hidung Bara. “Kamu kalau kaget itu kentara banget, liat apa emang?” “Liat syurga,” ucap Bara sambil tersenyum dan membiarkan Eyang Dira mmbawanya ke kamar untuk menghentikan mimisan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN