Terputusanya Masa Lalu

1902 Kata
Sebelum acara pernikahan, Bara diharuskan pergi ke Jakarta dulu. tidak semudah itu memindahkan pekerjaan dari Jakarta ke Bandung, belum lagi banyak sekali proyek yang harus Bara selesaikan di luar Negara. “Ini semua gara gara kamu yang tiba tiba nikah, jadinya Papa juga ikut seret-seret harus handle punya kamu,” keluh Graha pada sang anak. “Yaudah sih, Papah mau selamanya Bara jomblo? Daripada gak nikah nikah, mau?” “Jangan gitu, Bara.” Graha menatap tajam pada sang anak, dia memberikan berkas dan duduk di sofa. Mereka masih di rumah sebelum eksekusi nanti malam. Ibu Ziya masih berada di Bandung mengurusi semua persiapan. “Harusnya kamu lakuin ini dari awal. nikah biar cepet punya anak.” “Bara niat nikah itu bukan Cuma buat punya anak, tapi buat kebahagiaan juga, Pah. Bara bahagia kalau liat Tiranti, dia itu penyejuk hati Bara,” ucapnya sambil tersenyum membayangkan wajah Tiranti yang selalu membuatnya berdebar. “Udah tau latar belakang keluarga Tiranti?” “Tau, orangtuanya kecelakaan dan Tiranti masih kecil waktu itu. umurnya kayaknya baru 5 tahun, dia masuk panti asuhan dulu baru usia 9 tahun diangkat sama Eyang. Iya kan?” “Iya, dia anak yatim piatu. Kamu harus sayang sama dia. Jangan sakiti dia.” “Mana mungkin Bara sakitin dia, orang jantung ini Cuma berdetak buat dia aja.” sulit didefinisikan, seolah hatinya menegaskan kalau Tiranti-lah pemiliknya. Perasaan dimana Bara hanya ingin membahagiakan Tiranti, memeluknya dan memberikan kasih sayang padanya. takdir? Akhirnya Bara merasakan lagi detakan itu. “Tentang Jesica, kamu udah cerita sama Tiranti?” “Ngapain cerita, Pah. Itukan udah bagian dari masa lalu,” ucap Bara sambil terkekeh, matanya tidak lepas pandangan dari berkas di hadapannya. “Tapi Jesica itu bagian dari masa lalu kamu, yang bikin kamu mati rasa. itu harus dijelasin deh sebelum kalian nikah.” “Gak usah, Pah. Udah 12 tahun yang lalu, waktu Bara usia 20 tahun. Jadi gak ada yang perlu dibahas tentang Jesica.” Karena sang anak menentang, akhirnya Graha juga focus pada pekerjaannya. Di malam harinya, mereka harus pergi ke acara lelang amal. Bara dan Graha sudah memesan bangku dengan orang yang akan diajak kerjasama. Namun, Bara heran saat datang dan melihat bangku yang lebih banyak di meja bundar tersebut. “Selamat datang Tuan Graha,” ucap wanita tua itu. “Bara, kamu sudah besar ya.” “Halllo, Nyonya.” Bara menyalaminya. “Saya melihat ada banyak kursi di sini.” “Ah iya, saya mengajak teman saya yang lain untuk bergabung dengan kerjasama ini. tidak masalah bukan?” “Itu merupakan sebuah kehormatan,” ucap Graha. Sampai sosok yang datang itu mengejutkan Bara, dia adalah Liodra dengan kedua orangtuanya. “Ya Tuhan, saya tidak berfikir kalau project rahasia ini adalah milik perusahaan mantan calon menantuku,” ucap ayahnya Liodra: Gabriel. “Hallo, Tuan Gabriel. Senang anda bisa bergabung dengan kami.” Sebisa mungkin, Bara mencoba biasa saja. “Mantan calon menantu?” tanya si wanita tua. “Ya, dulu Bara dan Liodra ini hampir menjalin hubungan. Namun, bukan jodoh sepertinya, karena sekarang Bara akan menikah. Bukan begitu, Nak?” “Iya, Tuan.” “Tidak perlu kaku seperti itu, saya dan istri tidak masalah sama sekali. Liodra menjadi sosok mandiri seperti sekarang berkat dirimu. Meskipun harus berakhir dengan pahit.” “Sekali lagi saya minta maaf,” ucap Graha. “Papa gak usah minta maaf, dari awal Bara emang gak janjikan apa apa buat Liodra,” ucapnya menatap sang wanita yang lebih muda beberapa tahun darinya. “Bisa kita focus saja pada kerjasama ini?” Liodra dipaksakan ikut terlibat dalam kerjasama dimana Bara akan membangun hotel yang memberikan ciri khas yang unik dengan memberikan ruang bagi para designer tenama. Bukan hanya menarik perhatian pengunjung, tapi juga para pecinta mode. Liodra senang di sini, dia akan dekat dan sering berinteraksi dengan Bara nantinya. “Saya ke kamar mandi dulu,” ucap Bara. “Saya juga.” Liodra menyusul. Sudah dia duga, setelah dari kamar mandi, Bara mencari ruang terbuka untuk menarik napas. “Mas jangan khawatir, aku bisa gaet yang lainnya buat bikin project bereng kita,” ucapnya dengan suara yang lembut dan berdiri di samping Bara. Dia tersenyum. “Nanti aku masih punya kartu AS kok, jadi gak akan ngecewain.” Bara terdiam sejenak sebelum mengatakan, “Maaf, aku gak ada niatan buat nyakitin kamu, aku emang gak ngerasa kita cocok sebagai pasangan.” “Aku paham kok, Mas. Aku baik baik aja.” “Kamu wanita yang baik, pintar dan cantik. Carilah seseorang yang tepat buat kamu.” “Tapi…. Aku gak bisa lupain kejadian 20 tahun yang lalu diantara kita, Mas.” Matanya menatap Bara berkaca-kaca. Memegang pundak Liodra. “Kamu tau jelas itu sebuah kesalahan dan kebohongan yang aku buat, Liodra. Tolong berhenti, karena sekarang jantungku benar benar berdebar kencang untuk seseorang.” “Dan itu bukan aku kan?” tersenyum getir dan menyeka air matanya. “Aku bakalan lupain kamu, tapi aku butuh waktu.” Kemudian pergi meninggalkan Bara di sana. Pria itu mengusap wajah kasar. Yang dirinya inginkan hanya bahagia bersama dengan wanita yang memberikan debaran itu padanya. **** “Ran, habis ini kita langsung ke mall ya, kita beli skincare.” “Iya, Bu.” “Mama, panggil Mama.” “Iya, Ma.” Tiranti masih sedikit kaku, terbiasa menghormati sosok ini, kini diwajibkan untuk akrab. Mereka baru saja mencoba berbagai gaun yang sudah dipesan costume oleh Ibu Ziya, bersama dengan perhiasan dan juga Tiaranya. Saat itu, Tiranti merasa menjadi seorang putri. “Wah, kok rame sih? padahal Mama udah booking jadwal loh,” ucap Ibu Ziya ketika berada di depan pintu masuk. Seorang pelayan bergegas keluar. “Nyonya Ziya, silahkan masuk. Saya sudah menyiapkan ruangan untuk anda.” “Ah, kalian udah punya ruangan baru ya sekarang? Pantesan aja di sini rame, padahal saya booking satu ruangan.” “Iya, Nyonya, kami membuat ruang khusus untuk VVIP kami. Dengan semua produk yang sudah disiapkan.” Tiranti terkejut dengan ruangan yang berkilauan. Dia sering diajak ke tempat mewah oleh Eyang Dira, dan ternyata itu bukan apa apa. Bahkan di sana juga ada seorang dokter yang akan mengecek kondisi kulit Tiranti dan dicocokan dengan produk skincare, “Silahkan duduk, Nona.” “Gak papa, Ran. Duduk aja, ikutin apa kata mereka.” Tiranti tidak banyak bicara, dia hanya diam mengikuti arahan. Ibu Ziya yang banyak berkomunikasi tentang produk hingga dia akhirnya Tiranti mengantongi lima papper bag skincare wajah dan tubuh. “Nanti langsung diantar ke alamat Ibu saya ya.” “Baik, Nyonya.” “Ayo, Ran, kita beli baju buat sehari-hari. Baju kamu lusuh semua.” Ketika keluar dari ruang VVIP, Ibu Ziya bertemu dengan teman lamanya. “Jeng Ziya!” “Eh, Jeng Merlin! Ya allah, lama banget gak ketemu, gimana kabarnya?” Keduanya saling memeluk, memekik dan memuji satu sama lain. “Saya denger Mas Bara mau nikah ya, sama siapa? Kok gak ada kabar kabar sih.” “Lusa baru disebar undangannya. Kebetulan, ini dia calonnya.” Merangkul Tiranti. “Tiranti, Nyonya.” “Ih, cantik banget deh, pantesan Mas Bara kecantol sama kamu,” ucapnya mencubit pipi Tiranti gemas. “Kuliah di Oxford atau Harvard? Oh iya, orangtuanya bisnis apa? Kalau di bidang kain, bisa join sama Ibu ya. liat kamu, Ibu yakin deh kalau kamu keturunan arab, pasti bisa dong diajak kerjasama. Oh iya, sekarang kerjanya apa? Dokter ya? keliatan bersih rapi gini.” Ibu Ziya tersenyum miris. “Dia baru lulus SMA, Jeng. Anak yatim piatu yang diasuh sama Eyang Dira dan kerja di sana.” “Oh ya ampun! Mas Bara nikah sama pelayannya Eyang?” membekap mulutnya sendiri. “Gak bermaksud apa apa, Cuma…. Kaget aja. hehehe.” “Gak papa.” suara Ibu Ziya terdengar sedih. “Duluan ya, Jeng, saya ada janji soalnya. Permisi.” Merasa tidak enak dan meninggalkan mereka. Tiranti melirik sang mertua yang masih menatap kepergian temannya dengan sedih. “Mama mau ke kamar mandi dulu. kamu tunggu ya di sini.” “Iya, Ma.” Ibu Ziya pergi ke kamar mandi untuk menenangkan hatinya. Dia terdiam sejenak di sana. “Gak papa, yang penting Bara nikah sama perempuan baik baik.” Meskipun dalam hatinya dia menjerit karena Tiranti bukanlah apa apa, sangat memalukan untuknya. “Jangan kayak gitu, pikirkan Bara saja.” *** Tiranti tidak bodoh untuk menyadari semua perubahan Ibu Ziya, dia terlihat kecewa dengan dirinya yang bukan siapa siapa. Tiranti tidak bisa menyalahkan siapapun. Sepanjang hari itu, Tiranti hanya mengikuti apa yang dikatakan sang calon mertua. “Ini sama ini juga ya, nanti dipake kalau buat acara resmi. Jangan sampai salah kostum.” “Iya, Ma.” “Nantinya kamu juga tinggal di apartemen sama Bara, urus dia baik baik ya, Ran. Kamu jadi kuliah?” “Insyaallah, Ma, mau jadi.” “Harus sih, dapetin nilai yang gede juga. Kalau bisa, lulusnya cumlaude. Nanti Mama kirimin buku buku buat kamu. mau jurusan apa?” “Sastra, Ma.” “Kok Sastra sih? yang spesifik, ke bisnis atau ke seni, jadi designe juga bisa. masa sastra, Ran?” “Tertariknya sama itu, Ma.” “Ck, sastra mau jadi apa nantinya,” ucap Ibu Ziya terlihat kecewa. Tidak ada yang bisa dikatakan oleh Tiranti, dia hanya diam dan ikut pulang bersama Ibu Ziya. Dalam mobil pun, Ibu Ziya focus pada ponselnya. Drrtttt…. Ponsel Tiranti bergetar. “Eyang titip beli odading yang di depan katanya, Ma.” “Mama ada janji sama temen, mana di sana suka ngantri lagi.” “Gak papa, Mama turunin aja Tiranti di depan. Nanti pulangnya bisa jalan, kan deket dari rumah.” “Gak papa?” “Gak papa, Ma.” “Ini keinginan kamu sendiri ya, bukan Mama yang turunin kamu,” ucap Ibu Ziya kemudian menurunkan Tiranti di tempat tersebut. Sudah memesan, tapi harus menunggu antrian. Tiranti duduk di bangku bersama pelanggan lain. “Tiranti,” panggil seseorang. “Loh, Seno? Jajan juga?” “Iya nih, baru aja pesen. Kamu dari tadi?” “Lumayan, masih dua antrian lagi. Duduk sini.” bergeser untuk memberikan ruang. Jantung Tiranti berdetak gugup ketika Seno duduk di sampingnya. Pria itu berdehem, “Aku mau ajak kamu jalan jalan. Kan udah gak UN, boleh gak? Nanti aku yang minta izin. Cuma jalan jalan berdua tapi.” Tiranti mengigit bibir bawahnya, dia ingin melakukan itu bersama Seno. Hanya saja, sekarang dia harus menjaga dirinya apalagi akan menikah dengan Bara. Akan jadi fitnah jika berduaan bersama Seno. “Ran? Bisa gak? Aku mau ngomong sama kamu pas jalan nanti.” “Kayaknya gak bisa deh,” ucap Tiranti. “Kenapa emangnya?” “Aku…. Aku mau nikah.” “Hah? Sama siapa?” “Sama… cucunya Eyang Dira, jadi aku harus membatasi diri meskipun sama temen. Maaf ya.” Tiranti menggigit bibir bawahnya. “Tolong jangan kasih tau ini ke siapapun dulu ya.” “Ran, kamu bohong kan? Emang kamu kenal dia? Kalian pacaran atau gimana? Jangan jangan kamu digimana-gimanain sama dia ya?” “Gak gitu, Seno. Dia pria yang baik dan akan nikah sama aku.” Saat namanya dipanggil, Tiranti langsung berdiri. “Maaf ya, aku duluan. Tolong ingat permintaan aku.” Melangkah pergi dari sana dengan hati yang kecewa, bahkan air mata sudah mengenang di pelupuk mata Tiranti. “Ran!” Seno mengejar dari belakang. “Aku anterin kamu ya, sambil jalan. Anggap aja ini hadiah atas keinginan aku sejak lama buat jalan bareng kamu. gak papa kan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN