PROLOG
"Kapan lu mau nikah?"
Ketika Bara baru saja datang, dia sudah diberikan pertanyaan itu oleh teman temannya. "Gue gak mau kayak kalian, tiap malem ninggalin anak istri buat ke klab. nikah bukan buat permainan."
Bara, nama pria tersebut. umurnya sudah 32 tahun, tapi dia masih senang dengan kebebasan dan bersenang senang dengan temannya. seorang CEO real estate ternama. Alasannya datang ke klab selalu sama.
"Lu ngaajak ke sini pasti ditanyain lagi kapan nikah sama nyokap ya?" tanya Jesper: teman Bara.
"Lu tau itu."
"Lagian ada enaknya juga punya bini, Bar." temannya yang lain menambahkan. "Meskipun kita awalnya dijodohin, tapi lumayan dapet service tiap malam. dilayanin, pokoknya punya pelayan pribadi deh."
"Gue nikah bukan buat gitu. cewek harus diperlakukan spesial."
"Tapi lu gak nemu cewek yang bisa lu pelakukan spesial kan? sama gue juga. yaudah yang ada aja."
daripada mendengarkan ocehan itu, Bara memilih untuk meneguk alkoho. ngomong ngomong mereka berada di sebuah ruangan VVIP salah satu klab malam. dari lantai tiga, mereka bisa melihat ke bawah sana dimana banyak orang yang sedang menari meliuk-liukan badannya. "Mau join ke bawah gak?" tanya Jesper.
"Panggil aja ke sini ceweknya."
"Lu gimana, Bar?"
"Gue cuma mau minum," ucap Bara mengabaikan kedua temannya.
mereka memanggil seorang wanita penghibur dengan bayaran termahal dan yang paling diratukan di tempat ini. masing masing dari mereka mendapatkan satu wanita. Bara tidak peduli, dia mengabaikan wanita yang duduk di sampingnya. "Tuan..."
"Jangan sentuh, atau gue potong kepala lu," ucapnya dengan dingin.
berbeda dengan kedua temannya yang sudah b******u. Bahkan Jesper sudah keluar untuk mencari kamar yang lebih baik untuk digunakan bersenang senang.
"Bar, gue juga mau pindah ke kamer."
"Terserah," ucap Bara hanya ingin melupakan otaknya yang dipaksa menikah oleh sang Mama.
"Tuan.... kita gimana?"
"Minggir. duduk di ujung sana. jangan sentuh," ucapnya dengan tajam. ketika wanita itu hanya memberi tatapan memohon, Bara segera melemparkan uang tunai padanya. "Pergi."
"Iya." wanita bayaran itu mengambilnya dengan ceria dan melangkah menjauh untuk duduk di ujung ruangan layaknya anak yang sedang dihukum.
Bara itu tidak tersentuh oleh sembarangan wanita.
****
“Eunghhhh….” Pria itu terbangun ketika merasakan sinar matahari masuk menyelinap ke matanya. Tunggu, dia baru sadar berada di rumah orangtuanya. “Shiit!”
Dia semalam mabuk dan pulang ke mansion, pasti Mamanya memarahinya habis habisan.
Buru buru mandi, memakai jas dan keluar mengendap-endap berharap tidak ada yang mengetahui kepergiannya sampai…. “Mamaaaa! Abang Bara udah bangun!”
“Diandra!”
“Hahahaha!” adik perempuannya itu melangkah pergi ke kamar. Sementara Bara melihat Mama Ziya yang melangkah menaiki tangga. Matanya terfokus pada bibir sang Mama yang marah marah, “Kamu harus sadar umur, udah tua gini masih aja mabuk mabukan, main sama temen temen kamu yang udah pada punya anak. Emang gak malu? Mana Diandra bentar lagi mau nikah. Kamu mau disalip sama dia? Ayok ikut Mama.”
“Ih, mau kemana, Ma?” tanya Bara, dia panic bukan main saat sang Mama menyeretnya membawa ke lantai bawah. Terlihat ada wanita asing sedang memasak di sana. tunggu, Bara mengenalinya. Dia pernah melihat wanita ini 5 tahun yang lalu.
“Liodra, ini Bara.”
Wanita itu menoleh. “Mas Bara? Gimana kabarnya?”
“Baik.” Mereka berjabat tangan.
“Liodra ini sekarang udah jadi designer terkenal loh. Dia baru aja pulang dari London, udah jadi sukses pokoknya. Dulu kan kamu punya wanita idaman designer.”
Manik Bara membulat. “Kan itumah ngomong spontan aja. Bara gak kepengen tuh punya istri designer.”
BUK! Bara dipukul punggungnya. “Maaf ya, Liodra. Bara emang suka kayak gitu.”
“Gak papa, Tante. Masih denial kayak dulu ya, Mas?”
Oh lihatlah wanita ini bertingkah sok imut. Bara sangat tidak menyukainya, dia tidak tertarik dengan wanita yang sifatnya seperti ini. berpura pura imut.
“Nanti malem kamu ke sini ya, Mama undang Liodra buat makan malam. Oke?”
“Nanti malem Bara si- aww.” Menatap sang Mama yang mencubit pinggangnya.
“Iya, nanti ke sini oke?”
Untungnya, telinga Bara lebih dulu mendengar suara mobil di depan. Itu pasti sang sekretaris. “Ma, Bara berangkat dulu. ada rapat penting.”
“Gak boleh, Liodra baru pulang dari London langsung ke sini loh. Dia mau ketemu sama kamu.”
“Ini rapat sama pihak bandara, Mama mau proyek mega itu jadi gagal?”
Untungnya ancaman itu berhasil. “Yaudah sana. tapi awas kalau nanti malem gak ke sini,” bisiknya pada sang anak.
“Hati hati ya, Mas Bara.”
“Iya, makasih,” ucap Bara bergegas pergi dari sana. tidak, dia tidak mau dijodohkan apalagi dengan wanita yang tidak dia sukai. Karena dia tiak merasakan debaran yang sebelumnya pernah Bara rasakan. Dia juga takut dikecewakan lagi.
***
"Nanti malam ada jadwal rapat tidak?"
"Tidak ada, Tuan."
"Bisa tidak orang orang yang akan bertemu dengan saya di hari besok jadi ditarik ke
malam ini?"
Sang sekretaris mengerutkan keningnya. "Eum, saya akan coba, Tuan."
"Iya, bilang pada mereka kalau kemungkinan kerjasama akan lebih besar kalau mereka
mau bertemu dengan saya malam ini."
Hanya ini satu satunya cara Bara bisa kabur dari perjodohan yang berulang kali sudah
Bara hindari. Dia menatap sang sekretaris menunggu jawaban.
Manik Bara langsung terlihat antuasias, membuka pintu dengan segera.
"Bagaimana?" Setidaknya jika ada rapat, Bara akan memiliki alasan untuk meninggalkan perjodohan.
"Mereka sudah punya jadwal tersendiri, Tuan. Jadi malam ini, anda free."
Sekretarisnya bahkan bertanya tanya mengapa sang majikan begitu tertekan.
"Anda mau dijodohkan lagi, Tuan?"
Bara terdiam, dia baru ingat memiliki Eyang di Bandung. Sudah lama Bara tidak ke rumahnya mengingat Eyang yang selalu datang ke Jakarta. Jadi, sebelumnya Bara menelpon Eyang dulu. “Hallo, Eyang?”
“Cucu sayangnya Eyang, kenapa nelpon, Nak?”
“Eyang sehat?”
“Gak terlalu, Eyang baru pulang dari klinik. Tapi gak papa kok. Bara mau ke sini?”
“Iya, Eyang. Bara mau ke sana. eyang mau dibawain apa?”
“Gak usah, ke sini aja dateng ya. eyang juga kangen banget sama Bara. Udah lama gak ke sini ya.”
Behasil, Bara akan datang ke rumah Eyangnya dengan alasan menjenguk sang Eyang. Dia memang sudah jarang pergi ke Bandung semenjak suami sang Eyang meninggal 10 tahun yang lalu. Kadang kalau menemui sang Eyang, Bara datang ke rumah sakit atau Eyang yang datang ke Jakarta.
Terlalu disibukan dengan dunia kerja, Bara jadi mengingat masa masa kecilnya. Apalagi dia sekolah di luar Negara, jadi jarang sekali ke rumah Eyang di Bandung.
Sesuai rencana, pulang kantor Bara langsung pergi ke rumah sang Eyang. Dia mengabari
Mamanya saat dalam perjalanan lewat pesan, yang kemudian langsung menonaktifkan
ponsel supaya tidak mendapat amukannya.
Dari Jakarta ke Bandung, Bara sampai di rumah Eyang Dira saat matahari sudah
tenggelam. Sengaja pergi bersama dengan sekretarisnya juga yang bernama Gio. “Bukannya di Bandung juga ada mitra kita ya?”
“Iya, Tuan.”
“Nah, nanti jadwalkan bertemu dengan dia.”
“Baik, Tuan.”
Bara memilih mendedikasikan hidupnya dengan bekerja daripada bersama dengan wanita. Mereka hanya menyusahkan dan tidak memberikan debaran yang menyenangkan untuknya.
"Wahhh, berapa taun gak ke sini ya?" Gumam Bara.
Dengan keberadaanya di sini, Bara harap mendapatkan ketenangan. Dulu Bara pernah bertemu dengan Liodra ketika umurnya 27 tahun, dia juga menolak perempuan itu. Setelah lima tahun, Bara pikir dirinya akan bisa lepas, tapi dia masih mengejarnya.
Bara menarik napasnya, merasakan hawa sejuk Lembang. Ketika satu langkah Bara ambil dengan harapan kehidupannya akan baik baik saja.
BRUK!
"Tuan!"
Seseorang jatuh menindihnya tepat di tubuh Bara dan membuatnya terkapar seketika.
"Aduh maaf, Tuan. Saya kepeleset dan gak sengaja jatuh menimpa Tuan," Ucap
perempuan yang jatuh di atas tubuh Bara, segera beranjak dan melihat keadaan pria
yang sudah terlentang dengan mata terbuka. "Tuan?"
Bara pusing bukan main, penglihatan Bara tidak jelas. Tapi dia masih bisa melihat
seorang perempuan yang menindihnya. "Kamu kunti apa bidadari?" Gumamnya
menatap perempuan yang jatuh dari atas pohon, terasa menyebalkan untuknya, tapi juga cantik di saat bersamaan.