Empat Belas

1253 Kata
Allura menonton televisi di ruang televisi rumahnya, bersama Ghibran sang ayah yang duduk di sampingnya, sementara Khaylila sang ibu menyiapkan gorengan sebagai cemilan untuk ayah dan anak yang tampak sibuk mengomentari acara pertandingan adu kecepatan di televisi. Dimana peserta harus melewati berbagai rintangan yang telah disusun penyelenggara. “Ayah, menurut ayah berhasil nggak peserta yang itu?” tunjuk Allura pada peserta yang tampak sedang bersiap. Pria berperawakan tinggi besar di layar kaca itu menggerakkan otot tangan dan kakinya sebagai pemanasan sebelum memulai melewati rintangan. “Berhasil lah, badannya kan besar begitu, tenaganya pasti kuat,” ujar sang ayah yang menumpuk satu kaki diatas kaki lainnya, bersandar di sandaran sofa dan memandang televisi tiga puluh dua inci layar datar dihadapannya. “Ih belum tentu, pernah dengar don’t judge a book by by, hmm by a picture, nggak?” tanya Allura mengarang. Hingga sang ayah tertawa. “Don’t judge a book by the cover,” ralat sang ibu yang menyodorkan sepiring pisang goreng kepada sang suami, dan duduk disisi Allura mengapit anak gadisnya. “Nah iya maksud aku cover, salah sedikit nggak apa-apa kali, Bun,” Allura mengambil satu pisang goreng dan langsung menyuapnya, namun segera membuka mulut dan mengipas mulutnya yang kepanasan. Sang ayah hanya tertawa melihat anak gadisnya yang tetap tak pernah berubah seperti anak kecil. “Damar belum pulang?” tanya Khaylila. Wanita cantik itu masih tampak awet muda meskipun beberapa helai rambutnya mulai memutih dan keriput di bawah matanya mulai terlihat. “Tadi katanya mau kerumah calon istrinya, ngebahas acara pernikahan nanti,” ujar Allura, mengambil ponselnya yang tadi tergeletak di sisinya. “Yah! Jatuh!” ujar sang ayah kesal, jagoannya justru jatuh di saat melewati rintangan terakhir. “Kan aku bilang apa?” ucap Allura sambil tertawa, lalu matanya membelalak ketika melihat notifikasi pesan masuk dari Davin. Allura pun membalasnya dengan segera, menunggu panggilan video masuk ke ponselnya. Dering ponsel terdengar cukup keras hingga kedua orang tuanya segera menoleh ke arahnya yang sudah tersenyum dan menyeret keatas tombol hijau untuk menerima panggilan itu. Tampak wajah Davin yang memangku Syilla di layar ponsel itu, sementara wajah Allura diapit oleh kedua orang tuanya yang penasaran dengan siapa sang anak tercinta melakukan video call karena namanya sangat asing di penglihatan kedua orang tuanya. Davin tersenyum canggung saat melihat wajah ayah dan ibu Allura yang memperhatikannya dengan seksama. Tak tahukah Allura, Davin rasanya ingin segera mengakhiri panggilan saat itu juga karena malu. “Hallo Syilla,” sapa Allura dengan suara cemprengnya yang khas. Khaylila menengok pada Allura dan menggeleng, lalu ikut melambai pada gadis kecil yang diyakini berada dipangkuan ayahnya yang tersenyum canggung menatap layar ponselnya. “Tante sama siapa?” tanya Syilla. Allura menoleh ke kedua orang tuanya. “Ini ayah tante namanya ayah Ghibran, yang ini ibu Tante namanya bunda Khaylila,” ucap Allura memperkenalkan kedua orang tuanya. “Malam tante, Om,” sapa Davin tak enak. Kedua orang tua Allura menjawab selamat malam juga lalu saling lirik dan memutuskan untuk pindah ke kamar dan tak mau mengganggu sang putri. “Ih mau kemana? Aku ditinggal sendirian?” rengek Allura sambil mengerucutkan bibirnya. “Mau cari tikus!” jawab sang ayah membuat Allura refleks menaikkan kakinya ke atas dan bergidik ngeri. Sementara di seberang sana Davin sudah terkekeh bersama Syilla. Sungguh kedua orang tua Allura saja peka terhadap apa yang terjadi, namun mengapa Allura justru tampak tak peka sama sekali. “Syilla kok belum tidur?” tanya Allura kemudian. “Belum tante, tante tidur jam berapa?” tanya Syilla yang masih di pangkuan Davin. Davin sesekali melirik ke layar ponselnya namun tampak lebih sering memperhatikan layar televisi di hadapannya. Sepertinya ucapan Pelangi yang berkata bahwa Allura tak akan terganggu dengan panggilannya itu benar, karena Allura tampak ceria saat melakukan panggilan video ini. “Jam sepuluh, Syilla jam berapa?” “Sebentar lagi tante, oiya tante mau temani aku lagi nggak?” tanya Syilla. “Kemana?” “Shopping,” ucap Syilla dengan suara cadelnya. “Wah tante suka shopping, kapan?” “Hari sabtu, baju aku sudah kekecilan semua kata papa mau ajak aku belanja pas libur kerja, tante ikut yaa,” ajak Syilla yang disetujui Allura, mereka masih tampak asik berbincang, hingga Damar masuk sambil bersiul dan langsung duduk merangkul adik tercintanya dan memperhatikan layar ponsel Allura yang menampilkan wajah anak balita yang cantik dan sedang dipangku oleh pria dewasa yang mungkin merupakan ayahnya. “Ya ampun lucu banget anaknya, cantik nggak kayak kamu de jelek!” ledek Damar membuat Allura mendengus sebal dan menjauhkan tangan Damar dari rangkulannya. Davin yang mendengar suara pria di ponselnya segera melihat panggilan videonya, dan memperhatikan interaksi pria itu yang sudah mencubit pipi Allura. “Sakit! Kakak!!! Ishhhh,” cebik Allura. Damar menarik lagi pipi adiknya lalu mengacak rambut Allura dan meninggalkan wanita itu yang sibuk merapikan rambutnya sambil menggelembungkan pipinya. “Siapa?” tanya Davin. “Kakak aku, Pak. Tapi tingkahnya seperti kecoak, nyebelin!” ujar Allura. Davin hanya tertawa. Tak banyak adik kakak yang tampak akrab seperti itu yang entah mengapa membuat hati Davin merasakan sesuatu yang menenangkannya. Pantas saja Allura mempunyai sifat yang hangat, mungkin karena keluarganya memperlakukannya dengan penuh kasih sayang, sehingga Allura selalu mengeluarkan energi positif bagi orang di sekitarnya. Allura pada akhirnya harus membiarkan Syilla memutuskan panggilannya karena sepertinya gadis kecil itu mulai mengantuk, Allura memperhatikan durasi panggilan di ponselnya yang ternyata mereka melakukan video call cukup lama, sekitar empat puluh lima menit. Allura berbaring di sofa sambil mengganti channel televisi menjadi siaran berita malam, padahal dia tak mengerti namun matanya belum mengantuk dan sebaiknya dia menonton siaran yang bisa memancing kantuknya seperti berita misalnya. Hingga sang ibu keluar dari kamar dan duduk di samping Allura, dan dengan sopannya Allura menjulurkan kakinya di paha sang ibu yang tak protes, justru memijat kaki sang putri dengan lembut. “Pegel ya Nyonya?” ledek ibunya. “Apa sih, Bun!” “Tadi siapa?” tanya Khaylila dengan penuh rasa ingin tahu. “Syilla.” “Yang lagi pangku Syilla siapa?” “Ayahnya lah.” “Ya, bunda tahu itu ayahnya, tapi namanya siapa?” Khaylila mulai geram dibuat oleh sang anak. “Oh, itu pak Davin, bosnya Pelangi.” “Duda?” “Ya. Istrinya meninggal tiga tahunan lalu gitu sih katanya,” ucap Allura, matanya mulai mengantuk karena melihat acara berita. “Kamu suka sama Davin? Cari tahu dulu tentangnya sebanyak-banyaknya sebelum memulai hubungan. Tak mudah menikahi pria yang telah mempunyai anak, kamu harus menyayangi anaknya dengan tulus, tak membedakannya nanti dan- lhooo kok pules!” cebik ibunya sebal. Allura tampak terlelap tidur. Dipikir sang ibu mendongengkannya kali ya? Khaylila menggeser duduknya dan meletakkan kaki Allura di sofa. Lalu Damar keluar dari kamar mandi dengan menyugar rambutnya yang basah habis mandi. “Pindahin nih, Kak!” perintah sang ibu. “Ish sudah segede ini juga!” cebik Damar namun tetap menghampiri sang adik dan mengangkatnya dalam gendongan. Sementara ibunya membuka pintu kamar Allura dan merapikan bantal sebelum Allura di letakkan di ranjangnya. Damar memperhatikan adiknya lekat, tidurnya masih seperti bayi. Khaylila merapikan selimut Allura dan menyalakan lampu tidurnya. “Nanti kalau sudah nikah, kakak nggak akan direpotin Allura lagi, puas-puasin manjain adek,” ucap ibunya. Damar tersenyum sambil mengusap kening Allura. “Sudah setua ini masih manja, Damar harap dia dapat suami yang dewasa dan bisa memanjakannya, Bun.” “Ya, bisa menerima apa adanya juga, kamu tahu kan adek kamu kayak gimana? Sudah yuk keluar nanti dia kebangun, kasian sepertinya kerjanya capek hari ini sampai ketiduran di sofa,” ajak sang ibu sambil memegang tangan putra pertamanya. Melihat sang putra yang sebentar lagi akan menikah dan tak akan tinggal dirumah itu, karena Damar sudah mengambil perumahan yang agak jauh dari tempat tinggal mereka saat ini. Dan jika nanti Allura juga menikah, hanya dia tinggal berdua dengan sang suami yang pasti akan kesepian. Namun sudah sewajarnya kan sebagai orang tua, ada masanya ketika anak menikah dan meninggalkan mereka, menjalani kehidupan baru bersama keluarga barunya, dan mereka tak akan berhak ikut campur lagi terkecuali dimintai pendapat oleh sang anak. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN