Tiga Belas

1541 Kata
Dea memperhatikan proposal penawaran kerjasama dari beberapa brand yang meminta di promosikan oleh tim marketing. Ezra datang dan duduk di sampingnya. Ruangan kerja milik tim marketing memang berbeda dengan yang lainnya. Sebuah meja berbentuk lingkaran yang cukup besar dengan empat sekat untuk memisahkan karyawan satu dan yang lainnya. Ada meja meeting berbentuk persegi panjang berisikan sekitar sepuluh kursi. Juga meja head section yang berada di ruangan yang sama. Dinding yang banyak ditempeli lukisan abstrak, kata motivasi dan juga lampu gantung yang menawan. Dea berada di mejanya, dan menoleh pada Ezra yang memperhatikannya lekat. “Kenapa?” tanya Dea sambil menutup proposal penawaran tersebut. “Bawa mobil tadi?” “Nggak,” jawab Dea sambil kembali membuka berkas tersebut dan membacanya lagi secara seksama. “Terus tadi berangkat bagaimana? Motornya turun mesin kan?” tanya Ezra lagi. “Diantar supir, lagi malas bawa mobil.” “Oh.” “Kenapa sih?” tanya Dea yang mengangkat wajah dari berkas yang sedari tadi dipekurinya, menatap Ezra yang hanya tersenyum lebar memamerkan deretan giginya. “Traktir makan malam ini, masih inget janjinya kan?” “Iya inget, hmm boleh deh, lagi nggak ada keperluan apa-apa juga hari ini,” ucap Dea. “Naik motor aku aja ya,” ucap Ezra yang disetujui oleh Dea. Aneh mengapa pria itu tampak canggung terhadapnya padahal biasanya juga bersikap santai. Dea kembali melanjutkan mempelajari berkas tersebut sementara Ezra pergi entah kemana? *** Seperti janjinya, malam ini Dea dan Ezra naik motor bersama, karena Dea tak membawa celana ganti sehingga dia tetap mengenakan roknya dan duduk dengan menyamping diatas motor Vespa milik Ezra. Vespa terbaru berwarna putih yang terlihat sangat bagus dan menarik. Dea tahu Ezra menabung cukup lama untuk membeli motor ini secara cash. Sebelumnya Ezra selalu memakai Vespa tuanya yang dimiliki sejak sekolah menengah awal bersamanya. Vespa kesayangan yang seringkali mogok karena memang perawatan Vespa cukup menyulitkan bagi dirinya yang baru mengenal motor. Meskipun begitu, Ezra tetap mencintai motor tua itu dan tak mau menukar motornya meski sudah ditawari oleh orang tuanya. Keluarga Ezra memang berasal dari keluarga sederhana, ayahnya seorang karyawan biasa yang bekerja di bengkel motor resmi sebagai kepala bagian setelah mengabdi lebih dari dua puluh tahun lamanya. Ibunya seorang guru yang masih proses sertifikasi karena belum lolos dalam seleksi penerimaan Pegawai Negri Sipil. Ezra adalah anak tunggal yang sangat disayangi oleh orang tuanya, meskipun anak tunggal tak menjadikan lelaki berkumis tipis itu menjadi manja justru sebagai anak tunggal, dia sangat mandiri di rumah. Dea memegang pinggang Ezra saat motor itu melaju membelah jalan, memakai helm yang biasa disebut helm bogo  berwarna coklat muda. Sementara helm yang sama dipakai Ezra hanya warna yang berbeda yaitu hitam. “Mau makan dimana?” tanya Dea. Membiarkan angin malam membelai rambutnya yang dibiarkan terurai. “Angkringan mau?” tanya Ezra. “Boleh,” ucap Dea. Mereka pun melewati jalanan tikus untuk memotong jalan utama yang macet, lalu sampailah di deretan ruko yang menjual aneka makanan. Ezra memarkirkan motor di depan angkringan yang cukup ramai dengan pemandangan jalanan kota. Ada pohon besar yang berdiri kokoh berbentuk barisan dengan jarak antara satu dan yang lain sekitar dua puluh meter. Tak ada kursi disini karena semua pengunjung duduk lesehan dengan karpet parasut sebagai alas duduknya. Juga meja-meja panjang yang berukuran tak terlalu besar dan hanya muat menampung sekitar empat orang untuk satu meja nya. Ezra memesan dua nasi uduk, dengan tempe orek juga sate yang terdiri dari sate telur dan sate ati ayam. Membawa dua porsi terpisah oseng daun pepaya dan urab. Sementara Dea menunggu di tempat duduk tepat dibawah pohon. Lampu-lampu taman yang berdiri diatas tiang lampu dan berwarna temaram membuat suasana malam itu terasa sangat menenangkan, terlebih di jalan tersebut tak terlalu ramai kendaraan. Ezra membawa sendiri makan malam mereka dan menatanya di meja. Duduk di hadapan Dea seolah melayaninya. “Kamu sering kesini?” tanya Dea. Ezra mengangguk. “Sejak kerja, hampir setiap minggu makan disini, tempatnya tenang, nggak banyak pengamen dan yang pasti makanannya enak.” “Kok nggak pernah ajak,” rungut Dea. “Sejak deket dengan ketiga temen kamu itu, kita kan jadi jarang keluar bareng,” kekeh Ezra. Dea mengingat lagi dan benar dia merasa memang semakin jauh dengan Ezra yang dahulu selalu ada bersamanya. Dea sebenarnya tak pandai memilih sahabat terlebih dia hanya bisa berteman dekat dengan orang yang membuatnya nyaman, sehingga selama ini dia hanya dekat dengan Ezra yang selalu bisa memahaminya, dan barulah di kantor itu dia mengenal Shakila, Pelangi dan Allura yang entah mengapa membuatnya sangat nyaman? “Maaf,” cicit Dea. Ezra hanya tertawa dan menatap Dea lekat. “Nggak perlu minta maaf, aku justru senang karena kamu terlihat jauh lebih ceria bersama mereka,” ucap Ezra. Dea mengangguk menyetujui ucapannya. Itulah hal yang dia suka dalam bersahabat dengan lelaki terutama Ezra, mereka selalu mengutamakan logika dibanding perasaan yang terkadang membuatnya muak. Seorang anak kecil berusia sekitar delapan tahun membawakan dua gelas es teh manis. Dea mengucapkan terima kasih pada anak lelaki berpotongan rambut belah pinggir dengan poni di keningnya. Senyumnya lebar melihat Ezra. Wajahnya sangat manis namun tubuhnya agak kurus. Ezra membuat gerakan tubuh untuk mengucapkan terima kasih. Dea mengernyitkan kening melihat Ezra, hal yang tak pernah dilihat sebelumnya. Lalu anak kecil itu mengucapkan sesuatu dengan gerakan tubuh juga, mereka tampak berbicara dengan bahasa tubuh dan tertawa lebar. Anak kecil itu menunjuk Dea dan entah berbicara apa sehingga wajah sang anak tersipu dan menutup mulutnya. Membuat Dea tak enak hati, apakah mereka membicarakan Dea dan menertawakannya. Lalu anak kecil itu berlari menuju sang ibu yang merupakan penjual makanan angkringan yang  Ezra pesan. “Ngomongin aku ya?” cebik Dea. “Pede!” sengit Ezra. “Sejak kapan kamu bisa bahasa tubuh?” tanya Dea penasaran. “Sejak kenal Damas,” ucapnya. “Namanya Damas?” “Ya, usianya delapan tahun, tuna rungu sejak bayi, ayahnya meninggal ketika dia dalam kandungan, meskipun begitu Damas termasuk anak yang pintar dan ceria,” ucap Ezra. “Oiya,” Dea melihat ke arah wanita muda yang tampak berbincang dengan Damas menggunakan bahasa tubuh juga, mereka tampak dekat. “Itu ibunya, sejak suaminya meninggal, dia belum menikah lagi, usianya hanya beda tiga tahun diatas kita,” jelas Ezra. “Cantik, pantas kamu kesini terus rupanya karena ibunya toh,” ledek Dea. Ezra hanya menggeleng sambil tertawa. Ezra melihat ponselnya yang berdering, ada panggilan masuk dari sebuah nama yang asing bagi Dea. Namun Ezra tak menerimanya dan justru mengubah profilnya jadi silent. “Siapa?” “Cewek baru, kenal di aplikasi DOLL,” ucap Ezra sambil memakan makanannya. “Kamu pakai Doll juga?” “Lho kamu juga?” tanya Ezra balik dan mereka pun tertawa. DOLL atau singkatan dari Dating Online Love Line. Adalah aplikasi dating yang dibuat oleh Angkasa adik Pelangi dan dibiayai oleh Biru, ayah mereka. Seperti sebelumnya Dea sudah berjanji akan menggunakan aplikasi itu dan mereviewnya karena permintaan Angkasa. Namun sudah seminggu lebih menggunakan aplikasi itu dia tetap tak nampak tertarik dan jarang sekali membukanya. “Disana banyak p****************g, yang  hanya ingin chat m***m aja,” ujar Dea. “Nggak juga sih, ada beberapa yang serius ingin mencari istri,” timpal Ezra. “Kok aku dapetnya yang m***m terus ya, ish males. Untung ada fitur blokir,” kekeh Dea. “Ya tapi kan nggak semua, jika pembicaraan sudah mengarah ke arah m***m, kamu bilang aja nggak nyaman.” “Terus kenapa nggak angkat cewek itu? Bukannya fitur Doll nggak bisa kirim deretan angka untuk nomor ponsel ya? Niat banget kalau diketik satu satu?” “Alamat IG kan bisa, terus dia kirim pesan deh, sepertinya serius tapi aku kurang sreg, rasanya ada yang dia sembunyikan.” “Belum ketemu kan? Ketemu aja dulu.” “Rencananya begitu tapi nanti aja lah, belum ada waktu.” Dea melirik ibu Damas dan tersenyum padanya yang memperhatikan mereka berdua lekat. “Belum ada waktu atau karena lagi nunggu wanita itu,” ucap Dea sambil mengedikkan dagu ke arah ibu Damas. Ezra hanya tertawa menanggapinya, seandainya Dea tahu apa yang ada di hatinya? Namun dia tak mau merusak persahabatan dengan perasaan bodohnya. Biarlah mungkin selamanya dia akan menyimpan rasa itu sampai bertemu wanita lain yang bisa membobol pertahanannya untuk menjadi istrinya. Atau sampai Dea membalas perasaan yang disembunyikannya meskipun kemungkinan kedua jauh lebih tak mungkin, karena Ezra tahu sejak dulu sampai sekarang, Dea seperti tak tertarik dengan pria manapun, hingga pernah dia bertanya apakah orientasi seksual Dea menyimpang? Namun Dea justru menarik rambutnya hingga rontok, membuat Ezra kapok dan tak menanyakan lagi. “Kenapa senyum-senyum? Wah beneran lagi kasmaran!” ledek Dea. “Inget pas kamu narik rambut aku sampai rontok,” kekeh Ezra. “Mau ditarik lagi?!” cebik Dea kesal, bagaimana bisa Ezra menanyakan hal yang diluar nalarnya. Dia masih normal masih suka laki-laki meskipun entah mengapa Dea masih tak tertarik untuk menjalin hubungan spesial dengan lelaki manapun. Baginya sampai saat ini tak ada pria yang bisa membuatnya benar-benar jatuh cinta sehingga ingin memilikinya. “Sampai sekarang belum ada satupun cowok yang bikin kamu berhasrat?” “Hasrat! What the-“ “Hust jangan kasar!” “Iya sorry, lagian ngomongnya hasrat memangnya apa?” rungut Dea. “Hasrat untuk menikahi oneng! Pikiran kamu tuh terkontaminasi sejak download Doll kayaknya,” tukas Ezra. “Oh, itu. Belum sih.” Dea tersenyum lebar karena telah salah paham. “Sama sekali?” Dea pun menggeleng, sampai saat ini tak ada pria yang ingin dinikahinya, entah standarnya terlalu tinggi atau memang dia yang belum membuka hatinya untuk siapapun? “Kalau sama aku bagaimana?” tanya Ezra, membuat Dea tertawa keras. “Iya pas malam pertama, orang-orang buat anak. Kita berdua buat keributan di kamar!” celoteh Dea sambil tertawa. “Nggak usah ribut, kita main monopoli aja berdua,” imbuh Ezra. “Hahaha abis itu main kartu sama ludo.” Dan mereka pun tertawa keras tak mengindahkan perhatian dari seorang wanita yang menatap moment itu dengan mata berkabut. ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN