Lima Belas

1671 Kata
Pelangi meminta Dea mengantarkannya ke rumah Bayu. Kabarnya pria itu kecelakaan setelah pulang kerja semalam, sehingga tak masuk kerja. Pelangi sangat mengkhawatirkannya, karena Bayu biasanya adalah orang yang sangat rajin dan ulet, jika hanya sakit ringan, tak mungkin dia sampai tak masuk kerja. Terlebih sebentar lagi ujian sidang skripsinya. Pelangi khawatir jika kecelakaan yang dialami Bayu sangat parah dan membuatnya tak bisa mengikuti sidang yang sangat penting dalam hidupnya. Dea yang menyetir mobil Pelangi malam ini, tepat setelah jam kerja usai, berbekal share lokasi yang dikirim oleh Bayu, mereka pun menyusuri jalan kecil yang mungkin sangat jarang dilalui mobil tersebut. Pelangi kesulitan mendapatkan alamat Bayu sehingga dia berkata ingin mengirim barang, dan bayu memberikan peta lokasinya. Pria itu memang orang yang tak enakkan dan tak mau merepotkan siapapun. “Pe, kayaknya mobilnya cuma bisa sampai sini deh,” ujar Dea, menepikan mobilnya pada jalanan yang seukuran dengan mobilnya. Memasuki daerah perkampungan yang bisa dibilang agak kumuh, banyak warga memperhatikan mobil yang mereka pikir sangat bagus itu berhenti di depan mereka. Memang sangat jarang sekali mobil yang memasuki daerah mereka. Rumah-rumah berdempetan satu dengan yang lain, nyaris tanpa halaman. Anak-anak masih berkeliaran, dan para bapak-bapak berada di pos yang mungkin pos ronda yang mirip seperti rumah panggung berukuran mini, beralaskan karpet usang, dengan atap dari jerami. Pelangi saling menatap dengan Dea dan memutuskan untuk turun dari mobil yang mereka tumpangi. Menuju ke arah kumpulan bapak-bapak yang asik bersenda gurau sambil menghisap batang rokok. Para bapak itu melihat ke arah Dea dan Pelangi yang menghampiri mereka. “Permisi, Pak.” Pelangi menunduk hormat pada bapak-bapak dihadapan mereka. “Iya, mbak. Ada yang bisa saya bantu?” ujar seorang pria yang berada di tempat duduk paling depan. “Apa benar rumah Bayu disekitar sini ya Pak?” tanya Pelangi lagi. “Oh Bayu, rumahnya disana, masuk ke gang kecil, sekitar dua puluh meter belok ke kanan, rumahnya yang paling pojok,” ucap bapak itu sambil menunjuk gang kecil yang mungkin hanya bisa dilewati dengan motor saja. “Oh disana, baik pak. Terima kasih ya,” ujar Pelangi. “Mobilnya taruh disitu saja nggak apa-apa, aman kok.” Bapak tersebut membalas senyum Pelangi dengan ramah. “Oiya Pak, sekali lagi terima kasih.” Pelangi dan Dea pun berpamitan pada orang – orang itu dan berjalan menuju arah yang ditunjuk bapak tadi. Pelangi berjalan lebih dahulu diikuti Dea, mungkin ini pengalaman pertama bagi mereka masuk ke perumahan yang gangnya sangat kecil dan cukup panjang, tak terbayang jika mereka naik motor berpapasan dengan motor lain, apakah bisa dua motor bertemu? Pasti salah satu ada yang mengalah dengan mundur. Lorong memanjang itu cukup gelap meskipun ada lampu yang berpijar di beberapa sisinya. Namun tetap saja pencahayaannya sangat kurang. Setelah keluar lorong kecil tersebut, mereka pun berbelok ke arah kanan. Banyak orang yang berada di luar rumah mereka dan mengalihkan perhatian ke Pelangi dan Dea yang bagi mereka sangat asing tersebut. Terlebih pakaian kerja Pelangi dan Dea sangat kontras dengan pemukiman didominasi oleh kalangan bawah. Entahlah? Karena Pelangi dan Dea hanya bisa memberikan senyum dan menunduk hormat untuk menyapa para warga yang dilewati mereka. Sesekali kata permisi keluar dari mulut Dea atau Pelangi. Setelah berjalan agak jauh, mereka pun sampai di depan rumah yang hampir serupa dengan rumah lainnya. Dinding semi permanen, bagian bawah dari tembok namun bagian atasnya masih berupa kayu atau triplek. Atapnya dari asbes yang tampak sudah usang. Lantainya tidak diberi keramik melainkan hanya cor-an atau semen yang di plester licin. Pelangi melihat ke arah anak-anak yang tampak asik bercanda di depan rumah itu. “Dek, ini rumah Bayu bukan?” tanya Dea. “Iya, kakak cantik ini temannya mas Bayu ya?” ujar salah seorang anak kecil sambil menyeka hidungnya yang berair. “Kamu adiknya?” tanya Pelangi. Namun lelaki kecil itu menggeleng. “Bukan, adiknya Mas Bayu didalam,” ujar anak itu sambil tertawa memperlihatkan giginya yang ompong. Lalu anak kecil itu berlari ke dalam rumah Bayu dan tampak meneriakkan namanya. Tak berapa lama, anak kecil itu keluar, diikuti Bayu yang wajahnya tampak lebam dan beberapa plester menempel di keningnya. “Lho Mbak Pelangi, mbak Dea?” sapa Bayu, cukup kaget dibuatnya. Penampilan Bayu sangat berbeda dibanding ketika dikantor, hari ini dia memakai kaos putih tipis yang ada robekan di bagian lehernya. Celana pendek diatas lutut berwarna hitam dengan corak yang memudar. Di lutut bayu terlihat ada perban yang masih menempel. Dan juga luka di beberapa bagiannya. “Duduk mbak,” ajak Bayu mempersilakan Pelangi dan Dea untuk duduk di kursi panjang di terasnya. Kursi yang terbuat dari kayu, sepertinya kursi itu harusnya merupakan sofa namun busanya tak ada lagi. “Saya ambilkan minum dulu ya, Mbak.” “Nggak perlu repot-repot Bayu,” ujar Pelangi dan Dea sopan. “Nggak apa-apa, Mbak.” Bayu berjalan tertatih masuk ke dalam rumah dan tak berapa lama keluar lagi, untuk duduk di kursi tunggal samping kursi yang diduduki Pelangi. “Bagaimana kejadiannya sehingga bisa kecelakaan seperti ini?” tanya Pelangi bersimpati. “Biasa namanya di jalan kalau nggak ditabrak ya nabrak,” ujar Bayu sambil tertawa membuat Pelangi dan Dea menggeleng kepala melihatnya. Hingga seorang ibu keluar sambil membawakan teh manis untuk kedua tamu anaknya. Pelangi dan Dea menyalami wanita yang merupakan ibu dari Bayu itu dengan sopan. “Anak kecil yang bawa motor, Bayu terpaksa banting stang nabrak pohon, jadinya seperti itu,” ujar sang ibu menjelaskan. Masih berdiri disamping Bayu karena tak ada lagi kursi kosong. “Lalu keluarga anaknya tanggung jawab kan?” tanya Pelangi. “Yah boro-boro Non, langsung kabur, nggak tahu sekarang dimana? Motor Bayu juga hancur sudah, luka-luka semua ditanggung sendiri,” ujar sang ibu menatap Bayu sedih. “Sudah Bu. Nggak apa-apa,” ucap Bayu. “Kamu tuh selalu begitu, terlalu sabar, tapi kan kamu yang menderita jadinya nak,” tutur sang ibu sedih, Bayu hanya tersenyum tak enak pada Pelangi dan Dea. “Terus luka kamu sudah diobati?” tanya Pelangi. Bayu pun mengangguk, hingga adik Bayu memanggil sang ibu masuk. Dan wanita itu berpamitan pada Dea dan Pelangi untuk menemui adik Bayu di dalam. “Tapi untuk kerja, sepertinya lusa saya baru bisa masuk, Mbak. Sekalian motor saya juga selesai diperbaiki lusa.” Bayu tersenyum getir membayangkan harus mengeluarkan uang yang tak sedikit karena kerusakan motornya. Dea dan Pelangi saling tatap dan seolah memberikan kode tertentu. “Bayu, numpang ke toilet boleh?” tanya Pelangi. “Tapi toilet saya kotor, Mbak. Maaf,” ujar Bayu tak enak hati. “Ish, nggak apa-apa lagi, santai aja?” Pelangi pun berdiri dan mengekor Bayu sampai ke dalam rumahnya. Keadaan rumah Bayu tak jauh beda dengan terasnya. Di ruang tamu justru terhampar beberapa kasur yang sepertinya ruang itu juga beralih fungsi menjadi kamar tidur. Ada televisi dua puluh satu inci yang berada di meja usang. “Maaf ya Mbak, rumahnya jelek,” ujar Bayu. Pelangi tersenyum menanggapinya. “Nggak apa-apa kok,” ujarnya. Melewati satu kamar dengan pintu kamar yang hanya ditutupi oleh gorden usang. Pelangi sampai ke dapur dimana tampak ibu Bayu sedang memasak mie instan. Pelangi pun meminta Bayu meninggalkannya saja dan menemani Dea di depan. Sampai di dapur, Pelangi mendekat ke arah ibu Bayu. “Bu, ada yang mau aku sampaikan, tapi aku harap ibu tak bilang ke Bayu tentang ini,” ujar Pelangi. Ibu Bayu langsung mematikan kompor dan menatap serius pada Bayu. Dia sangat khawatir Pelangi menyampaikan hal buruk seperti pemecatan Bayu karena anaknya itu yang tak bekerja hari ini. Terlebih Bayu masih menjadi tulang punggung keluarga, adiknya belum bisa terlalu diandalkan meskipun beberapa diantaranya sudah masuk dunia kerja. “Ada apa ya, Non? Bayu buat salah ya? Tolong jangan pecat dia, Non. Saya yang akan menegurnya,” ucap sang ibu memelas. Pelangi memegang tangan ibu Bayu yang ringkih dan tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. “Tidak, Bu. Tidak seperti itu. Justru saya mau memberikan uang untuk perbaikan motor Bayu dan pengobatannya, namun saya ingin ibu merahasiakan ini. Karena jika Bayu tahu, dia pasti menolaknya.” “Ya ampun. Non,” ujar ibu Bayu dengan mata berkaca-kaca. Pelangi mengeluarkan amplop berwarna cokelat dan berukuran cukup tebal itu, menyerahkan ke tangan ibu Bayu. “Non, ini ikhlas untuk Bayu?” “Iya Bu, semoga cukup ya, ibu juga bisa pakai untuk keperluan keluarga ibu jika uangnya berlebih, tapi saya mohon sekali lagi untuk tak memberitahukan pada Bayu ya Bu?” “Iya Non. Terima kasih banyak ya, memang Bayu sedang pusing karena dia habis bayar semester akhir, uang tabungannya habis dan dia belum ada dana untuk menebus motor di bengkel. Non baik sekali, seperti malaikat yang diturunkan Tuhan untuk kami,” ucap ibu Bayu tak kuasa meneteskan air mata. “Sama-sama Bu, di kantor juga Bayu sangat membantu saya. Saya ke depan dulu ya, Bu.” Pelangi mengedipkan matanya dan berjalan ke depan untuk menemui Dea dan Bayu kembali. Tak berapa lama, mereka berpamitan pada Bayu dan ibunya, kembali melewati lorong kecil dengan diantar Bayu yang tak enak membiarkan dua wanita cantik itu berjalan di tempat yang gelap. Dea dan Pelangi melambaikan tangan pada Bayu dan melajukan mobilnya menuju rumah Dea karena Pelangi harus mengantarnya sebelum pulang kerumahnya. “Sudah dikasih ke ibunya?” tanya Dea. “Iya sudah, aku juga minta dirahasiakan dari Bayu,” jawab Pelangi sambil meletakkan tasnya di kursi belakang, lalu merapikan rambutnya dengan mengikat rambut itu. “Baik banget sama Bayu, hati-hati ntar cinlok,” kekeh Dea mengatakan cinta lokasi dengan menyingkatnya jadi cinlok. Pelangi hanya terdiam sambil menatap jalanan di depannya. “Kok diem? Jangan bilang? Astaga Pelangi?” sentak Dea, membuat Pelangi terlonjak kaget, terlebih Dea mengerem mobilnya mendadak. “Kenapa sih De?” tanya Pelangi. “Kamu nggak beneran suka dia kan?” “Kalau suka memangnya kenapa? Dia baik, rajin, cekatan dan hmm banyak lagi hal yang positif lainnya,” ujar Pelangi meminta Dea melajukan lagi mobilnya karena hari yang semakin malam dan besok pagi mereka sudah harus berada di kantor lagi. “Tapi dia kan ... ,” ucap Dea tak sampai hati meneruskan perkataannya. “Office Boy? Lalu kenapa? Sama saja kan mau Office boy atau CEO sekalipun? Sama-sama manusia,” kekeh Pelangi. “It’s oke for you but not for him. Ini akan menyakiti kalian nantinya,” ucap Dea sambil menghela napas kasar. “Aku tahu, karena itu ... aku diam.” Pelangi menunduk dan menautkan jemarinya, hingga Dea ikut memegang tangan Pelangi dan menepuknya pelan seolah menguatkannya. Mereka tahu jika perasaan itu diteruskan, masalah terberat bukan di Pelangi karena semua pun tahu Pelangi berasal dari keluarga yang berpikiran sangat terbuka. Yang mereka khawatirkan adalah Bayu, apakah dia bisa memandang hal itu dari sudut yang berbeda? Atau sama seperti yang lain? ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN