Menajamkan Ingatan

1117 Kata
Satu minggu telah berlalu. Keadaan Violetta kini sudah berangsur membaik. Alat alat medis yang sebelumnya terpasang di beberapa tubuhnya, kini satu persatu sudah terlepas dan hanya menyisakan satu infus yang tertusuk di punggung tangannya. Setiap harinya, keluarga tak pernah luput memberikan potongan tiap potongan dari ingatannya yang hilang. Mereka tak lelah untuk meyakinkan Violetta jika dirinya memiliki banyak kasih sayang dari orang orang yang kini tak dia kenali. Dirgantara salah satunya. Laki laki itu turut menyumbang lebih dari setengah kebahagiaan yang telah Violetta rasakan sebelum kecelakaan naas itu menimpanya. Laki laki yang lebih sering di sapa 'abang' oleh Violetta itu, juga memberikan banyak pengaruh positif pada perempuan muda itu. Saat ini, Violetta baru saja menyelesaikan terapi pertamanya yang di lakukan di sebuah ruangan khusus. Entah berhasil atau tidak, sejauh ini dia belum mendapat sedikit pun tentang masa lalunya yang hilang. Violetta juga mengaku hanya mengingat keluarganya dan momen momen penting sampai dirinya duduk di bangku sekolah menengah pertama. Setelah itu, dia kesulitan untuk mengingat apa pun yang terjadi. Itu lah sebabnya, dia sempat ragu saat mengenali adiknya yang sudah tumbuh tinggi dan dewasa, walau pun sikapnya masih tetap sama seperti waktu kecil. "Kak Lelet, aku bawa ini untuk kamu." Baskara mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselnya. "Buku pelajaran kamu?" tanya Violetta dengan sudut alis terangkat. Baskara mendengkus kesal. Dia merasa seperti bocah ingusan yang baru saja pulang sekolah dengan sepatu di tangannya. Seperti yang dia lakukan saat masih duduk di bangku sekolah dasar. "Aku ini anak kuliahan sekarang. Jadi, stop sebut seperti itu," protesnya dengan bola mata yang memutar. Violetta terkekeh pelan. Dia juga tidak menyadari perkataannya. Sering kali Violetta menanyakan nilai hasil pelajaran Baskara di sekolah. Entahlah, sepertinya memorinya lebih banyak mengingat masa masa kecil mereka. "Iya iya, maaf," katanya. Mata Baskara membulat sempurna. Tangannya juga berhenti bergerak. "Ma, Pa... Dengar nggak apa yang baru aja Kak Lelet bilang?" Menoleh pada kedua orang tuanya yang tengah duduk di sofa bed. "Apa?" tanya Damian setelah meletakkan cangkir berisi teh hangat miliknya. "Dia minta maaf sama aku. Wohoooo... Kejadian langka banget ini kan?" selorohnya seraya tertawa pelan. Dan sukses membuat dahi Violetta berkerut. "Memangnya kenapa?" "Kamu itu, paling anti minta maaf sama aku, Kak. Kamu bilang, meski pun kamu salah, kamu tetap benar," sahut Baskara. Beberapa detik kemudian dia mendengus kesal. "Ya, kamu kan netizen yang maha benar." Kedua orang tua itu hanya menggelengkan kepalanya. Baskara dan Violetta memang sering bertengkar. Tapi, meski pun begitu keduanya juga saling mendukung satu sama lain dan saling melindungi. "Memang iya begitu?" tanya Violetta tak yakin. Seingatnya, saat masih kecil justru dialah orang yang paling sering mengatakan permintaan maaf pada adiknya itu. Kepala Baskara mengangguk. "Ah sudahlah... Nggak usah bahas itu. Lagi pula, tanpa kamu minta maaf pun aku sudah maafin." Lalu bergerak mengeluarkan kembali isi di dalam tasnya. "Album foto?" Violetta mengerutkan dahinya melihat setidaknya ada tiga album berukuran besar dan kecil yang ada di tangan Baskara. Violetta beringsut duduk, namun sedikit kesulitan, hingga akhirnya Baskara menekan tombol di sisi ranjang untuk menaikkan kepala ranjang dan membuat posisi Violetta menjadi lebih nyaman dan leluasa untuk melihat barang bawaannya itu. Pilihan pertama Violetta jatuh pada album foto yang besar. Selain tertarik dengan ukurannya, juga warna sampul album tersebut membuatnya penasaran dengan isi di dalamnya. Mata Violetta bergerak ke kiri kanan dan atas bawah setelah berhasil membuka halaman pertama album tersebut. Bibirnya menipis kala melihat gambar dirinya yang masih kecil terpampang jelas di sana. Di temani kedua orang tuanya, Violetta terlihat tersenyum manis di dalam momen masa lampau. "Coba lihat ini." Baskara menunjuk ke sisi lain album tersebut. "Kamu gendut banget. Kayak penyanyi mama bolo bolo." Mempraktekkan nyanyian yang pernah tenar pada masanya. "Sok tahu kamu. Memangnya kamu tahu siapa nama penyanyinya?" tanya Violetta. "Ya nggak tahu lah. Kan bukan generasiku itu." "Ya sama, itu juga bukan generasiku. Aku lebih muda beberapa tahun darinya." "Ck... terserah kamu aja." Baskara tak pernah menang jika berdebat dengan kakaknya itu. "Ini kamu ingat nggak kita lagi dimana?" tanya Baskara lagi. Mata Violetta memicing. Menatap lekat gambar yang di tunjuk oleh adik kesayangannya itu. "Ini... Disneyland?" gumannya tak yakin. "Yap... Benar. Disneyland Shanghai. Waktu ulang tahun kamu ke dua belas tahun." Menganggukkan kepalanya. "Bocil banget kita berdua." Terkekeh geli melihat wajahnya sendiri. "Kamu kan memang bocil. Suka rebut jajanan aku lagi. Dan balikin sampahnya doang. Memang adik nggak ada akhlak," gerutu Violetta sembari menggerakkan kakinya hingga mengenai pinggang Baskara. Keduanya masih sibuk dengan gambar gambar di dalam foto itu. Secara tidak langsung, melalui foto foto itu Baskara membantu Violetta menajamkan ingatannya. Kedua orang tua Violetta pun akhirnya ikut mengenang momen momen bahagia yang terpancar dari gambar gambar itu. Sesekali keluarga kecil itu tertawa lepas hanya karena kekonyolan Baskara saat menceritakan beberapa kejadian masa lalu antara dirinya dan Violetta. Ya, setajam itu ingatan Baskara. Demi membantu mengembalikan ingatan sang kakak, dia rela menjadi apa pun, seperti yang pernah Violetta lakukan padanya dulu. Satu album telah rampung mereka telusuri. Sekarang, giliran album kecil yang Violetta pilih untuk melihat isi di dalamnya. Mungkin, Violetta akan kesulitan untuk mengingat. Karena album itu berisi foto foto saat dia mulai beranjak remaja. Benar saja, baru beberapa detik dia melihat isi di dalamnya, dahi Violetta sudah berkerut. Menurutnya, ada banyak sekali orang asing di sekelilingnya dalam gambar tersebut. "Ini siapa, Ma? Kenapa banyak sekali foto fotonya dengan aku?" Belum sempat Noni menjawab pertanyaan putri sulungnya itu, Baskara terlebih dahulu berdehem seraya melakukan gerakan menyisir rambut. "Dia pacarku," katanya percaya diri. "Ha? Pacar kamu?" Dari ekspresinya, sepertinya Violetta terlihat terkejut dan tak yakin dengan ucapan adiknya itu. "Iya, pacar masa depan ku." Menunduk malu. "Mau kamu jadi berondong?" tanya Damian seraya memukul pundak Baskara. "Mana mau Ayesha sama bad boy kayak kamu. Sukanya buat onar," seloroh Damian. Baskara menghela napas kasar. Selalu saja begitu. Sang ayah, sepertinya memang tak akan pernah mengizinkannya untuk mengejar perempuan yang ada di dalam foto bersama kakaknya itu. "Salahin siapa? Kata Mami Dhira, Papa juga bad boy dulu. Malah Papa PHP-in Mama di malam sebelum pernikahan Mami dan Papi. Iya kan?" Mata Damian melotot, tapi tidak dengan Noni. Dia hanya tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. "Mami kamu bilang apa aja?" tanya Damian penasaran. "Ya gitu deh." Baskara menggedikkan bahunya bersamaan dengan alisnya yang ikut terangkat. 'Dhira. Dasar adik nggak benar. Bisa bisanya kamu cerita ke anak anak soal malam itu. Astaga...' gerutu Damian dalam hati. "Sudah sudah... Jawab pertanyaan aku dong," protes Violetta setelah mendengar perdebatan antara ayah dan anak itu. "Itu Ayesha, sahabat baik kamu dari kecil. Kamu ingat?" Noni menjelaskan. Di lihat selama apa pun, Violetta tak berhasil mengingat sedikit pun mengenai persahabatannya bersama perempuan bernama Ayesha itu. "Sahabat?" tanya Violetta dan langsung di jawab dengan anggukan kepala oleh Noni. "Tapi kenapa dia nggak pernah datang selama akau di sini?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN