Tiba tiba saja, perhatian mereka semua teralihkan, setelah melihat pergerakan jari jari tangan Violetta di iringi dengan suara kecil yang masih bisa terdengar.
"Ma..." panggil Violetta perlahan membuka matanya.
Reaksi pertama yang mereka semua tunjukan di sana adalah, menghela napas lega karena kesadaran Violetta. Terutama Dirga, laki laki yang berstatus sebagai tunangan Violetta itu pun mendekati sang pujaan hati dengan matanya yang berkaca kaca.
"Iya, Sayang. Mama di sini, nak. Syukurlah kamu sudah sadar." Noni menyentuh pundak putri tercintanya dengan penuh kasih sayang dan kelembutan.
Mata sendu Violetta mengedar, melihat satu persatu orang orang yang sedang berkerumun di hadapannya, mengabsen satu persatu wajah wajah yang asing di ingatannya.
Dahi Violetta berkerut, jari telunjuk tangan kanannya terangkat lalu berkata, "Kalian siapa?" Menunjuk bergantian pada Dirga dan Gilang.
Sontak saja semua orang tercengang dengan pertanyaan yang baru saja di layangkan oleh Violetta. Terlebih Dirga, dia langsung menggelengkan kepalanya samar, lalu membungkukkan sedikit tubuhnya agar lebih mendekat pada sang tunangan.
"Letta, Sayang... Maaf nggak kasih tahu kamu kalau aku sudah pulang lebih awal." Menyentuh tangan Violetta. Tatapannya terlihat penuh harap.
"Kamu siapa?" tanya Violetta kembali sembari menarik tangannya pelan. Ada rasa takut di benak Violetta.
"Dia tunanganmu, sahabat kita, Letta. Dan aku, Gilang, sahabat kecilmu." Gilang ikut memberikan keterangan. Dia sangat khawatir jika perempuan yang masih terlihat lemah itu benar benar melupakannya.
Violetta semakin tidak mengerti. Matanya kembali melirik satu persatu para orang tua yang ada di sana. Semuanya mengangguk, membenarkan perkataan Gilang. Dan saat tatapannya jatuh pada satu laki laki muda lainnya, dia kembali mengerutkan dahinya.
"Jangan bilang kalau kamu juga lupa sama aku, Kak?" katanya terdengar lirih. "Come on, Kak. Nggak lucu. Jangan bercanda terus sama aku. Masa kamu lupa sama cowok terganteng kedua di rumah kita?" Suara Baskara sudah mulai terdengar lirih. Tak sanggup melihat keadaan kakaknya saat itu.
Sambil menggeleng lemah, Violetta tersenyum tipis. "Kamu santan Kara kesayanganku."
"Kamu ingat aku?" Baskara menyeka sudut matanya. "Jadi, kamu cuma bercanda kan?" tanya Baskara lagi.
Kembali Violetta menggelengkan kepalanya. "Ma, Pa, siapa mereka?" Menatap bergantian Noni dan Damian.
Baru saja merasa lega dengan kesadaran Violetta kembali, sekarang mereka harus kembali di khawatirkan dengan sebagian ingatan Violetta yang sepertinya menghilang.
"Sayang, Letta. Ini Mami nak, Mami Dhira, Maminya Dirga sama Jasmin. Ingat kan?" Air mata Dhira tak bisa terbendung lagi. Tak sangka jika dia harus di hadapkan dengan situasi seperti ini.
Tak ada lagi yang bisa Violetta lakukan selain menggelengkan kepalanya. Dia benar benar tidak ingat selain kedua orang tua dan adik semata wayangnya.
"Ini ... Kacau. Aku panggil Dokter dulu," kata Tama lalu meninggalkan ruangan.
Bukan hanya Dhira, tapi juga Elindra dan Jimmy ikut mencoba memberikan sebagian kecil dari potongan potongan memori yang Violetta lupakan. Berharap jika keajaiban Tuhan bisa mengembalikan kembali ingatan Violetta.
Sayangnya, tidak ada satu pun yang mampu membangkitkan sedikit saja memori Violetta tentang masa lalunya bersama orang orang terdekatnya kecuali keluarga intinya.
Tama kembali terlihat bersama satu Dokter dan satu perawat yang menemani. Semua yang ada di sisi Violetta memberikan ruang pada Dokter perempuan yang mengenakan hijab itu untuk memeriksa kondisi Violetta.
"Kamu ingat apa yang terjadi menimpa kamu?" tanya Dokter itu setelah melakukan cek fisik pada beberapa bagian tubuh Violetta.
Dengan mantap Violetta menggelengkan kepalanya.
"Mobil, jalan, kecelakaan ... misalnya?" tanya Dokter itu lagi, namun tetap mendapat gelengan kepala dari Violetta.
"Kamu tahu siapa nama kamu?"
Violetta menganggukkan kepalanya. "Violetta Putri Admaja," sahutnya pelan.
Cukup, sampai di sana Dokter sudah bisa menyimpulkan hasil sementara, sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan dugaannya.
"Dok, apa yang terjadi sama anak saya," tanya Noni di penuhi rasa penasaran.
Dokter itu menghela napas sejenak. "Saya dan tim akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut, salah satunya CT Scan. Tapi, sebelumnya saya ingin berbicara dengan kedua orang tuanya. Bisa ikut ke ruangan saya sebentar?"
Noni mengangguk cepat. Dia langsung melirik suaminya yang berada di sisi lain ranjang tempat Violetta berbaring. "Iya, bisa Dok. Kami akan ke sana," sahutnya tak menolak.
Di dalam ruang kerja dokter.
"Dokter, apa putri saya mengalami amnesia?" Damian tak ingin mengulur waktu, dia harus segera mengetahui kondisi sang putri tercinta.
Dengan berat hati, Dokter yang menggunakan name tag bertuliskan Linda itu menganggukkan kepalanya. "Benar, putri bapak mengalami Amnesia retrograde, yang mengakibatkan hilangnya beberapa bagian ingatan di memori otaknya."
Pada kondisi ini, penderita tidak bisa mengingat informasi atau kejadian di masa lalu. Gangguan ini bisa dimulai dengan kehilangan ingatan yang baru terbentuk, kemudian berlanjut dengan kehilangan ingatan yang lebih lama, seperti ingatan masa kecil.
"Resiko apa yang akan terjadi pada putriku, Dok?" Noni ikut ambil bagian untuk bertanya.
Dokter Linda lagi lagi menghela napas. Selalu ada rasa serba salah di benaknya jika di hadapkan pada situasi seperti ini.
"Penurunan kualitas hidup akan terjadi pada pasien."
Noni tertunduk, air matanya luruh mendengar vonis dari dokter itu pada putri sulungnya. Hancur hatinya, sebagai seorang ibu, Noni tak pernah ingin anak anaknya mengalami penyakit dan mendapat musibah seperti ini.
Berbeda dengan Noni, Damian masih terlihat tegar, atau lebih tepatnya berpura pura tegar hanya untuk menutupi semua ketakutannya.
"Apa masih bisa di sembuhkan, Dok? Maksud saya ... ada kemungkinan ingatannya seratus persen kembali?"
"Kemungkinan akan selalu ada. Tapi, butuh waktu lama untuk penyembuhan itu. Butuh proses dan dukungan orang orang di sekitarnya untuk membantu mengembalikan ingatannya secara perlahan. Tapi, jika pasien menolak dan mendapati efek yang membuatnya merasa tidak nyaman, maka akan sulit untuk mengembalikan ingatannya."
Dokter Linda tak ingin berbohong atau memberikan harapan palsu pada kedua orang tua Violetta. Sudah kewajibannya menyampaikan hal terburuk sekali pun mengenai pasien pasiennya.
Tubuh Noni berguncang hebat, suara isakan tangisnya mulai terdengar jelas, kedua tangannya menutupi wajahnya yang basah.
"Ma, sabar..." kata Damian menguatkan.
Sejak dulu, Noni jarang sekali terlihat lemah dan rapuh di hadapan suaminya. Bahkan, Noni cenderung lebih kuat dan sabar dari pada Damian. Namun, untuk hari ini, semuanya berbeda. Noni menunjukkan sisi terlemahnya sebagai seorang perempuan. Seolah tak cukup dengan luka berat yang di menimpa putrinya, kini dia harus menerima kenyataan dengan amnesia yang di derita Violetta. Yang entah sampai kapan bisa kembali pulih.
***
"Ini... Lihatlah, Sayang. Kamu ingat ini?" Dirga menunjukkan cincin yang melingkar di jari manisnya. "Cincin ini, cincin pertunangan kita yang kamu pilih untukku."
Violetta menatap lekat pada jari jari tangan Dirga yang panjang. Awalnya dia ingin meyakini apa yang di katakan oleh Dirga adalah bagian dari masa lalunya yang hilang. Namun, saat tak kunjung mendapatkan ingatan sedikit pun mengenai laki laki berparas tampan di hadapannya, Violetta yakin jika dirinya memang tak mengenal dan memiliki hubungan apa pun dengan Dirga.
"Tolong jangan ganggu aku," kata Violetta sedikit ketakutan.
Saat ini hanya ada dirinya dan Dirga di dalam kamar perawatannya. Sebelum kedua orang tuanya pergi dari sana, Violetta beberapa kali meminta agar ditemani dan tak meninggalkannya hanya berdua saja.
Sekarang, Violetta benar benar merasa terintimidasi dengan kalimat kalimat yang di keluarkan dari mulut Dirga. Walau pun tak ada umpatan atau kata kata kasar, tetap saja Violetta merasa tidak nyaman.
"Sayang, ku mohon... Ini aku, Dirgantara, calon suamimu, laki laki yang kamu cintai dan mencintai kamu," lirih Dirgantara. "Jangan begini, ku mohon." Menundukkan kepalanya tepat di samping kepala Violetta.