Bram meninggalkan Adjie yang berdiri dengan wajah pucat, mematung mendengar perkataan kakak iparnya itu. Bram membuat bahasa tubuh mengawasi Adjie, jari telunjuk dan tengah dia tunjukkan ke Adjie, setelah sebelumnya dia letakkan di depan matanya. Bibirnya berkata tanpa suara, I'll be watching you!
Adjie menyesal datang ke pesta itu. Kakinya lemas. Wajahnya pucat. Didekatinya perlahan Kelana yang masih tampak asyik mengobrol. Dipeluknya pinggang Kelana, seakan ingin memberitahu Danang dan Bram bahwa Kelana adalah miliknya.
"Sayang, pulang yuk. Aku gak enak badan." Bisiknya di dekat telinga Kelana. Kelana menoleh dan kaget melihat wajah Adjie yang pucat.
"Mas sakit? Kok pucat gini?" Segera Kelana menyentuh dahi Adjie, termometer alami, mengecek suhu tubuh suaminya. "Tapi gak demam kok. Mau duduk dulu? Aku ambilkan makan ya?"
"Pulang aja, sayang. Kita makan di rumah gak papa kan? Aku agak pusing."
Sementara Bram dan Danang, sekilas tersenyum misterius ke arah Adjie. Dwi sempat melihat senyum itu, dan tahu bahwa Adjie dalam masalah. Pastilah Adjie membuat kesalahan, hingga Bram turun tangan.
"Kamu bikin salah apa, Jie? Mas Bram dan Danang sampai senyum misterius gitu?" Bisik Dwi saat Adjie menunggu Kelana yang sedang pamitan pada papa dan mamanya Danang. Terlihat sekali betapa mamanya Danang sangat menyayangi Kelana. Beberapa kali Kelana dipeluk dan dicium. Dan Kelana terlihat nyaman dengan hal itu. Sungguh berbeda jika dengan ibunya. Kelana tampak gelisah, tak nyaman berdekatan dengan ibunya. Kenapa ibu tak bisa sedekat itu pada Kelana?
"Aku gak ngapa-ngapain kok. Bener deh."
"Kalau kamu gak bikin salah, tampang Mas Bram gak akan seperti itu. Mas Bram memang misterius tapi dia tak akan asal bertindak, Djie. Jika dia akan melakukan sesuatu, pastilah sudah ada dasar alasan yang sungguh kuat. Dan aku yakin, Mas Bram tahu sesuatu tentang kamu yang aku tak tahu. Kalau kamu tak mau beritahu aku, aku tak akan bisa menolongmu. Jadi berhati-hatilah! Saranku, jangan pernah sakiti Kelana. Jangan main api. Jangan pernah membuat masalah dengan kami, Tiga Lelaki Rekso. Karena bagi kami, mama dan Kelana adalah Ratu." Tepuk Dwi ke pundak sahabat sekaligus iparnya itu. Dia akan membaur dengan tamu lainnya. Dia bertugas menggantikan papanya. Karena Bram tak pernah mau berbasa-basi, bahkan untuk kepentingan bisnis keluarga sekalipun. Dia pulang pun, pasti karena permintaan Danang atau Winda.
~~~
Kelana tampak serius mendengarkan Pak Udin. Mimik wajahnya tampak kecewa, sedih. Dia tak menyangka, ibu mertuanya tega padanya. Untunglah Adjie tak menuruti keinginan ibunya itu.
Mendesah, Kelana berjalan lunglai ke kamar. Adjie hanya berdiam di kamar dari sepulang pesta sejak semalam.
"Mas..., boleh aku minta sesuatu? Selama ini aku tak pernah minta apapun, tapi kali ini, aku mau meminta hal yang penting."
"Apa itu?" Perhatian Adjie sekarang sepenuhnya pada Kelana.
"Aku tak mau, Mbak Jelita menginjakkan kaki lagi di rumah ini." Adjie kaget mendengarnya.
"Kenapa? Alasannya apa?"
"Pokoknya tak boleh lagi dia menginjakkan kaki di rumah ini! Titik!"
"Katakan dulu alasannya, Kelana! Dia datang bersama ibu, sekarang juga sedang bersama ibu. Maksudmu aku harus mengusirnya saat mengantar ibu ke sini?" Emosi Adjie mulai tersulut.
"Karena dia tak tahu diri! Kalian dulu pernah pacaran bahkan sampai hampir menikah. Dan sekarang, tanpa rasa malu, datang ke rumah ini, ke rumah mantannya yang sudah menikah dengan orang lain. Coba, apa maksudnya?" Kelana juga sudah mulai emosi.
"Jelita mengantar ibu, Lana! Dan kami gak ngapa-ngapain kan? Kenapa kamu jadi emosi begini sih? Gak masuk akal tahu!"
"Oooh begitu! Jadi kalau begitu, aku juga boleh mengundang Mas Danang dan ibunya untuk menginap di sini? Di rumah ini? Ibu Mas Danang pernah melamarku loh."
"Maksudmu apa? Menantangku? Jangan pernah berani lakukan itu! Aku akan bunuh Danang atau lelaki manapun itu!" Dan ini adalah pertengkaran hebat mereka yang pertama selama pernikahan.
"Tidak, Mas, kamu tahu aku tak akan pernah berani menentangmu atau menantangmu, sebagai seorang istri. Tapi tolong hargai aku sebagai seorang perempuan, aku hanya minta Mas memahami perasaanku. Selama ini aku tak pernah dianggap sebagai menantu oleh ibu. Selama ini, pernahkan ibu membanggakan aku sebagai menantunya? Tak pernah! Yang ada aku selalu dicemooh, dihina. Walau aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk menarik hati ibu padaku, tapi aku selalu kalah, selalu dibandingkan dengan Jelita, yang bukan siapa-siapanya kalian! Ibu tega berbuat itu padaku, tanpa aku tahu apa salahku." Kelana terisak. Runtuh sudah pertahanannya.
"Mertua mana yang tega membawa perempuan lain ke rumah anaknya, walau ada istri sah di rumah itu?" Lanjut Kelana lagi, suaranya semakin memelan. Air mata sudah mengalir deras. Adjie masih terdiam, ternyata selama ini Kelana memendam emosi pada ibunya.
"Jika Mas Adjie masih menghormati pernikahan ini, masih mau mempertahankan pernikahan ini, Mas tahu pasti apa yang harus Mas lakukan!" Akhirnya Kelana mengancam Adjie. Dia segera keluar dari kamarnya, dan menuju kamar tamu samping. Ada tiga kamar plus satu kamar ART di rumah itu.
Kelana sudah memutuskan malam ini akan tidur di kamar tamu saja. Meninggalkan suami adalah dosa, Kelana tahu itu, tapi khusus malam ini, dia ingin melampiaskan emosinya. Dia pasti akan meminta maaf pada Adjie, tapi besok pagi, saat kondisi hatinya sudah tenang. Biarlah dia dan Adjie sama-sama merenungi yang terbaik yang harus mereka lakukan. Dia sendiri juga heran kenapa akhir-akhir ini jadi semakin cengeng, semakin tak bisa menahan emosinya yang cepat sekali naik turun.
Jika perempuan lain pada umumnya berharap bahwa suaminya yang akan merayu terlebih dulu, malam ini Kelana tidak berharap seperti itu. Dia hanya berharap ada mama di sisinya. Memberinya kekuatan dan nasehat sebagai seorang ibu yang bijaksana.
Lelah menangis, akhirnya Kelana tertidur. Tanpa dia tahu, Adjie sudah duduk di pinggir kasur. Memandangi wajah ayu istrinya dengan sedih. Mengacak rambutnya kasar.
"Maaf, aku membuatmu menangis lagi. Aku hanya tak tahu apa yang seharusnya aku lakukan, Lana. Maaf." Dikecupnya kening Kelana. Dan dibopongnya Kelana perlahan agar tak membangunkannya. Dia menuju kamar utama, kamar mereka.
"Kamu ngambeknya membuatku takut, sayang. Langsung aja tidur di kamar tamu. Kan kasurnya kecil, sempit buat kita berdua." Adjie masih berbisik.
"Kok perasaan kamu tambah berat ya? Apa karena sudah lama aku gak berolahraga jadi kerasa banget ya? Tapi pipimu memang tambah montok. Yang sehat ya, sayang. I love you!”
~~~
Lusa di sore hari, Kelana tertegun melihat ada ibu mertuanya dan Jelita di rumah. Padahal, Adjie sudah berjanji padanya akan melarang Jelita untuk menginjakkan kaki di rumah itu. Tapi kenapa masih saja dia berada di rumahnya.
Kelana masih mencoba sopan, berbasa-basi pada ibu mertua dan Jelita. Sunnah Rasul SAW adalah harus memuliakan tamu. Jadi sebisa mungkin sebagai tuan rumah yang baik, Kelana berusaha menyenangkan ibu mertua dan tamunya itu.
"Biar saya saja mbak yang masak. Mbak Jelita kan tamu, mosok tamu malahan ikut repot masak. Nanti saya dibilang bukan tuan rumah yang baik loh. Monggo Mbak Jelita duduk saja, santai, sambil nonton tivi." Kelana menegur Jelita, yang sedang berada di dapurnya memasak sesuatu. Dia paling tidak suka ada orang lain di dapurnya. Dia master chef di rumah itu, dengan memasak dia bisa melampiaskan emosinya, bisa mengeksplorasi resep makanan dan bisa membahagiakan suaminya yang memang doyan makan berat.
Jelita hanya melirik Kelana, diacuhkannya saja Kelana. Tanggung banget, dia ingin memasak nasi goreng untuk Adjie. Jadi dia meneruskan saja kegiatan mengulek bumbu nasi goreng. Toh Bu Lastri malah yang memintanya untuk membuat nasgor itu.
"Maaf, mungkin Mbak Jelita tidak dengar apa yang saya bilang tadi. Tapi tolong biar saya saja yang berada di dapur ini. Biar saya saja yang masak. Toh kewajiban saya yang melayani Mas Adjie bukan Mbak Jelita. Dan yang terpenting, ini dapur di rumah saya! Sebagai tamu, tolong Anda hormati saya. Saya tidak mau ada orang asing di dapur ini!" Kelana langsung emosi karena perempuan cantik di depannya tak mau mendengar kata-katanya. Secara fisik, badan mereka hampir sama tinggi, beda 1-2cm lebih tinggi dia. Hanya bedanya sekarang Kelana tampak lebih berisi. Dia merasa lebih unggul secara fisik apalagi dia punya background kempo, walau sudah lama tak dilatihnya.
Jelita meradang mendengar itu. Dia merasa direndahkan. Di saat hatinya sedang kesal karena Adjie menolak rencana pernikahan siri mereka, sekarang malah ditambah sindiran dari Kelana.
"Dari tadi enggak kamu, enggak pembantu kamu selalu menyinggung kata tamu. Kalau saya tamu, memang kenapa? Kalau saya orang asing memang kenapa? Saya kan menemani Bu Lastri ke mari. Jangan mentang-mentang karena kamu orang kaya, lalu kamu bisa seenaknya merendahkan saya!"
"Saya memang orang kaya, tapi saya tidak merendahkan Anda atau orang lain siapapun itu! Hanya saja Anda yang tidak tahu diri, sebagai seorang perempuan." Padahal dalam hati Kelana beristighfar karena sudah menyombongkan diri, kekayaannya, lebih tepatnya kekayaan keluarganya.
"Kamu yang tidak tahu diri, tidak tahu malu. Kamu gak tahu kan alasan sebenarnya kenapa Adjie menikahimu?" Jelita mulai berteriak kesal. Mbok Marni sudah memasang sikap waspada. Dan keributan ini mengundang kedatangan Bu Lastri dari kamar.
"Ono opo tho iki? Ribut banget! Ra iso istirahat aku!" (Ada apa sih ini? Ribut sekali. Aku jadi tidak bisa istirahat.)
"Biar Kelana tahu alasan yang sebenarnya kenapa Adjie menikahi dia, bu, dan membatalkan pernikahan kami. Biar dia tahu, siapa yang tidak tahu diri, siapa yang tidak tahu malu!" Jelita berkata dengan nada tinggi. Sementara Kelana hanya menunggu dengan waspada. Tangannya bersedekap. Tak peduli sopan santun saat ini walau ada ibu mertuanya.
"Silakan, saya juga ingin tahu alasannya." Sudah terlanjur ingin tahu, jadi Kelana menerima tantangan itu, walau dia harus mempersiapkan hatinya untuk mendengar alasan kenapa Adjie mau menikahinya dan rela meninggalkan Jelita serta pernikahan mereka sebentar lagi.
"Adjie mau menikahimu karena dia butuh modal untuk menyelamatkan perusahaan keluarga. Untuk menyelamatkan karyawan-karyawan perusahaan. Dan kakakmu, Dwi, bersedia mengucurkan dana segar asalkan Adjie mau menikahimu! Karena tahu bahwa kamulah yang selama ini memendam suka pada Adjie! Jadi bukan karena Adjie mencintaimu! Tapi karena uangmu! Jadi siapa yang tidak tahu diri di sini?" Jelita menerangkan panjang lebar, tanpa jeda, dengan berapi-api. Harapannya dia akan melihat Kelana terkejut, kaget dan emosi. Tapi nyatanya?
Kaget? Ya, pasti Kelana kaget mendengar alasan sebenarnya kenapa Adjie akhirnya mau menikahinya. Tapi dengan didikan Keluarga Rekso yang berdarah biru, tentu saja dia bisa meredam emosi bahkan membalikkan pada lawan.
"Betul begitu, ibu?" Tanyanya kaku pada ibu mertuanya yang berdiri dekat Jelita. Bu Lastri mengangguk.
"Kalau begitu, bukankah seharusnya ibu senang karena Mas Adjie mau berkorban demi perusahaan dan martabat keluarga? Mas Adjie rela membatalkan pernikahannya dan memilih menikahi saya agar perusahaan bisa tetap survive kan? Agar para karyawan tetap bisa bekerja? Agar ibu dan Gendis juga tetap bisa menikmati fasilitas yang biasa kalian nikmati, kan? Lalu di mana salahnya?" Jawabnya santai, padahal sungguh di dalam hatinya remuk. Dia akan meminta penjelasan dari Dwi dan Adjie, pastinya. Tentu saja setelah masalah ini selesai.
"Tentu salah! Karena kamu merebut Adjie dariku! Karena kamu, papaku sampai kumat sakit jantungnya dan sekarang terkena stroke. Karena kamu, mama dan papaku harus menanggung malu bahkan kami sampai harus pindah! Semua karena kamu!" Jelita menjerit, tak rela karena keluarganya menjadi berantakan karena kegagalan pernikahannya.
"Bukan saya yang harus disalahkan. Kalau saja Mas Adjie sungguh mencintai Anda, pasti Mas Adjie akan menolak ide Kak Dwi. Dana yang Rekso Corp. kucurkan ke perusahaan ibu, tak seberapa besarnya kok. Hanya beberapa puluh miliar saja. Tak akan berpengaruh bagi kami. Tapi toh nyatanya, Mas Adjie memilih untuk meninggalkan Anda! Bukan salah saya kan? Jadi, siapa yang murahan di sini?"
Tapi kemudian terdengar suara Plaaakk...!
Semua yang ada di ruangan itu terkejut. Jelita menampar Kelana! Tampak sangat emosi, nafasnya memburu, dadanya naik turun.
"Kamu menamparku? How dare you! Kamu memang perempuan tidak tahu diri, tidak tahu malu!"
"Kelana! Jaga ucapanmu!" Bu Lastri berteriak.
"Apa yang dikatakan Jelita tadi benar adanya. Gara-gara kamu, saya bahkan harus menanggung malu, digunjingkan orang-orang karena pernikahan yang batal, padahal semua sudah dibayar lunas! Bahkan tak berani keluar rumah sampai beberapa bulan! Tak berani menampakkan wajah di depan orang-orang! Malu!"
"Dan ibu menimpakan semua kesalahan itu pada saya? Apa salah saya bu? Kenapa ibu sangat membenci saya?"
"Saya tidak benci kamu. Saya hanya tak suka padamu!"
"Lalu, mengapa dulu ibu merestui pernikahan kami?"
"Karena Adjie sudah kalian beli, jauh sebelum kalian menikah. Saya sudah punya pilihan lain, yang juga dicintai Adjie, tapi dia akhirnya terpaksa harus memilihmu, demi kami, keluarganya, perusahaan dan karyawan kami! Dia menikahimu karena terpaksa, bukan karena cinta."
"Dulu Adjie mencintai Jelita. Jelita adalah kebahagiaan Adjie. Hampir dua tahun kalian menikah, tapi masih tak ada anak. Mungkin Adjie memang tak cocok buatmu. Saatnya Adjie berhak bahagia."
"Jadi menurut ibu, Mas Adjie tidak bahagia menikah dengan saya? Kalau soal anak, itu adalah kehendak-Nya. Toh kami tetap berusaha."
"Kamu mandul! Kamu yang tak mampu memberikan anak kepada Adjie." Desis Jelita. Kelana menjadi murka, dan....
PLAAK!!!
"Jangan pernah ucapkan kalimat itu lagi!" Desisnya.
Kelana menampar Jelita! Tepat pada saat itu, tanpa mereka sadari Adjie sudah ada di rumah dan berteriak kaget melihat Kelana menampar Jelita.
"Lana! Apa-apaan kamu? Kenapa kamu menampar Jelita?"
Dan dimulailah drama itu. Tentu saja Jelita langsung berlinang air mata, playing victim. Merasakan sakit di pipinya yang ditampar Kelana. Walaupun tidak keras tapi dia tak terlatih secara fisik. Beda dengan Kelana, dia tadi menamparnya cukup keras dan bertenaga. Tapi Kelana biasa berlatih kempo, bela diri, melatih fisiknya. Jadi tamparan Jelita tak begitu menyakitinya.
Kelana tampak terkejut dengan bentakan Adjie. Luka akibat tamparan Jelita tadi tak seberapa dibanding sakit hatinya karena dibentak suami. Apalagi saat Adjie kemudian malahan berjalan menuju Jelita dan sekilas melihat pipi putih mulus itu yang menjadi kemerahan akibat tamparan Kelana.
"Minta maaf kamu pada Jelita! Sekarang!" Bentak Adjie pada istrinya yang sudah ada kolam air mata. Tapi Adjie tak peduli. Yang dilihatnya tadi adalah Kelana menampar Jelita. Dia tak melihat saat Jelita menampar Kelana. Suasana hatinya sedang sangat tak baik karena pertemuan tak sengaja dengan Danang tadi. Dan emosinya semakin meluap karena melihat Kelana yang menampar Jelita.
"Minta maaf!"
"Aku tak mau! Mas Adjie belum tahu apa alasannya kan kenapa aku menampar Jelita?"
"Karena kamu tak suka padaku!" Jawab Jelita sengit, merasa mendapat dukungan dari Adjie. Kelana semakin tersulut emosinya melihat Jelita yang sengaja memeluk pinggang Adjie, seolah minta perlindungan, seakan takut akan disakiti lagi oleh Kelana.
"Karena kamu perempuan tak tahu diri, tidak punya malu! Karena kamu perempuan murahan!" Balas Kelana.
Dan Adjie yang emosinya sudah mencapai ubun-ubun, tiba-tiba saja tanpa sadar tangannya menampar pipi Kelana.
PLAAKK!!
Tepat di pipi kiri yang tadi ditampar Jelita. Hingga badan Kelana yang tak menyangka akan ditampar oleh suaminya, menjadi goyah dan terjatuh. Keningnya sempat terkena ujung meja yang terbuat dari marmer, bahkan tanpa Kelana sadari, ada luka di kening itu. Luka fisik yang tidak terasa dibanding luka hatinya.
"Aduuuh..." Kelana mengaduh perlahan. Dia sakit! Sungguh rasa sakit fisik karena ditampar dua kali, tak seberapa dibanding rasa sakit hatinya! Matanya melihat ke arah Adjie penuh kebencian!
Ya Tuhan…, begini rasanya sakit hati karena tak dipercaya suami, bahkan dia malah membela perempuan lain, bukan aku, istrinya, istri sahnya. Mas Adjie bahkan tega menamparku tanpa mau mendengar penjelasanku terlebih dulu.