Part 9 Tiga Lelaki Rekso

1839 Kata
Jangan pernah menyakiti Kelana, jika tidak mau berurusan dengan kami, tiga lelaki Rekso! --- "Masih lama, sayang? Aku sudah beres loh." Tanya Adjie pada Kelana yang masih sibuk dengan segala persiapannya. "Bentar lagi, tinggal pakai aksesoris aja kok." Jawab Kelana sambil asyik memilih kalung yang akan dipakainya, tanpa dia menyadari bahwa Adjie sudah ada di belakangnya. "Sini aku pasangkan kalungnya." Adjie mendekati Kelana dari belakang, berusaha memasangkan kalung di leher jenjang istrinya yang tampak menggoda. "Kamu harum banget, sayang." Dan Adjie pun malah menciumi leher belakang Kelana selesai memasang kalung. Dipeluknya pinggang Kelana erat, hidung dan bibirnya mulai mengeksplorasi leher Kelana, berusaha membuat Kelana menikmati apa yang dia lakukan. "Maaasss... sssh... Duuh jaaangaan sekarang aah. Naaan...nantiii kitaaa telat." Adjie segera membalik badan Kelana. Nafasnya sudah memburu. Kelana pun mulai mendesah, menikmati cumbuan suaminya. "Quicky ya sayang... pleaseee..." Dan tanpa menunggu persetujuan jawaban Kelana, Adjie segera menarik badan istrinya ke sofa, untuk duduk di atas badanya. Nafas keduanya memburu. Adjie sudah tahu peraturan Kelana agar tidak merusak make up jika dia sudah berdandan. Jadi dia hanya sesekali menggigit bibir penuh istrinya. Setelah selesai, dengan nafas masih memburu, keduanya mengatur nafas. "Massss!!! Udah jam berapa ini?" Kelana bertanya dengan panik, masih dengan nafas terengah. Dia tak pernah mau menolak keinginan Adjie, karena toh dia juga menikmatinya. "Istirahat dulu sebentar, sayang. Lima menit. Jangan bergerak dulu ya. Tetap di posisi ini." Kata Adjie lembut, sambil menyatukan keningnya ke kening Kelana. Kemudian menciumnya lama. Sekelebat, dia teringat perdebatannya dengan sang ibu saat perjalanan ke Ciwidey kemarin. Dia tak mau menuruti permintaan ibunya kali ini. Sungguh, baru kali ini dia menolak keinginan ibunya. Tidak saat hatinya sudah dipenuhi Kelana. Kelana pemilik hatinya saat ini yang dulu sempat ditahtai oleh Jelita. Saat akhirnya tiba di pesta keluarga Rukmeni, mereka telat. Acara sudah dimulai. Tidak banyak yang diundang, hanya orang-orang tertentu saja. Adjie tampak tak nyaman dengan pesta kaum jet set. Pembicaraan tak jauh dari pamer mobil baru atau liburan ke mana. Atau parahnya sedang proses tender apa, usaha baru apa. Dia bukanlah berasal dari keluarga super kaya. Usaha yang sekarang pun hanya melanjutkan dari ayahnya, tentu saja setelah dibantu suntikan modal Rekso Corp. dia baru bisa mengembangkan bisnis yang dipercayakan papa mertua padanya. Keluarga Rekso-lah yang membuatnya masuk menjadi kaum elit, masuk ke golongan The Haves. Adjie menggenggam erat tangan Kelana, yang malam ini sungguh anggun dan mempesona. Memakai gaun panjang warna hitam berpotongan sopan, berdandan minimalis dengan rambut yang jadi agak acak-acakan setelah tadi sebelumnya sempat ia ciumi, malah membuat Kelana tampak sempurna. Entah kenapa dia merasa was-was malam ini. Padahal semua baik-baik saja. Kelana tampak merespon panggilan atau anggukan beberapa relasi yang dikenalnya, sedangkan Adjie hanya tersenyum simpul saja. Beberapa kali Kelana berbisik memberi tahu siapa saja yang menyapa mereka dan apa hubungan bisnisnya dengan Rekso Corp. Adjie sih tampak tak peduli, yang dia pedulikan adalah Kelana tetap berada di dekatnya. Perasaannya sungguh tak enak malam ini. Perasaan takut, seperti akan kehilangan Kelana. "Mbak...." Kelana berlari kecil ke arah perempuan yang dia panggil mbak. Sontak Adjie mengikuti dengan berjalan cepat. Ada dua perempuan cantik yang tersenyum sumringah pada Kelana. Satunya Winda, kakak iparnya, satunya lagi... dia tak kenal. "Halooo sayang..., kok telat datangnya?" Tanya Winda dan perempuan satu lagi menjawab bareng. Mereka merentangkan kedua tangan dan memeluk Kelana. "Hehe... iyaa tadi ada keperluan dulu sebentar, tapi jadi kejebak macet deh. Eeh Mbak Restu, kenalan dulu sama suami Kelana. Ini Mas Adjie. Mbak Restu kan gak datang pas kami menikah. Jahaaatt iih...!" Adjie menyalami perempuan cantik itu yang sekira berumur lima tahun lebih tua darinya. "Laah gimana mau datang, Lana... Aku kan lagi mau melahirkan di Mataram. Lagian kamu nikah kok yo mendadak toh. Bikin patah hati seseorang sampai sekarang tuh!" Adjie terdiam beberapa detik mencoba mencerna kalimat Restu. Sepertinya wajahnya mirip seseorang tapi dia sungguh tak bisa mengingat siapa. "Hahaha... Mbak Restu gitu iih. Eeh Kalau ada Mbak Winda sama Mbak Restu, berarti...." Kelana tak melanjutkan kalimatnya karena Winda dan Restu mengangguk sambil tersenyum. "Aaah mana?? Mana Mas Bram dan Mas Danang? Mau nagih oleh-oleh. Pulang kok gak pakai bilang dulu." "Halooo adik Mas yang paliiing cantik..." Suara berat menyapa Kelana. Dan Kelana jadi seperti anak kecil melihat siapa yang menyapa. "Mas Braaaam!!! Jahaaattt! Pulang gak bilang! Mana oleh-oleh buat Lana?" "Laah laah wong Mas-nya datang dari jauh kirain kangen kok malah nanya oleh-oleh. Salim dulu sini!" Kelana memeluk Bram, manja, setelah sebelumnya mencium punggung tangan kakak tertuanya itu. Sedangkan Adjie mematung saja. Pantas saja perasaannya tak enak. Bahkan sampai saat ini dia masih belum merasa nyaman berada di dekat kakak iparnya itu. Bram, iparnya, menurutnya sangat misterius. Auranya gelap, menakutkan bagi orang yang baru pertama kali kenal. Dan dia tak mau memegang salah satu usaha yang dimiliki oleh Rekso Corp. Entah apa sebabnya. Dwi pernah cerita, karena Bram memang tak pernah tertarik pada dunia bisnis. Kabarnya dia jadi anggota pasukan elit dan sekarang sedang pelatihan di Inggris. Salah satu negara dengan pasukan elit terbaik di dunia. "Mas..." Lidah Adjie kaku, saat menyapa kakak iparnya itu. Bram hanya melihat dengan tatapan dingin ke arahnya, tanpa mau repot membalas uluran tangan Adjie, hingga Bram ditegur istrinya. "Mas Bram, itu Adjie ngajak salaman. Jangan pura-pura tidak lihat deh!" Dan ternyata setangguh apapun seorang Bram, dia langsung mematuhi apa kata istri tercintanya yang sedang hamil beberapa bulan. Dibalasnya uluran tangan Adjie, digenggam sangat kencang hingga membuat Adjie meringis. "Mas Bram..., udah iiih kasihan Mas Adjie. Lagian sampai sekarang kok belum sreg sih kalau Kelana sama Mas Adjie?" Tanya Kelana pelan dengan nada sedih. Segera Bram melepaskan tangannya, mengusap rambut adik kecilnya dengan sayang. "Maaf..." Kata Bram dengan enteng, tanpa niatan sama sekali sepertinya, kepada Adjie, yang hanya dibalas dengan anggukan saja. "Aku ke sana dulu ya, sayang, mau ambil minum. Kamu mau apa?" Kata Adjie pada Kelana, dia akan menyingkir sebentar untuk mengatur emosinya karena Bram. Kelana mengangguk, "Air putih saja, Mas. Makasih." Dan setelah Adjie menyingkir, Kelana heboh bertanya pada kakak tertuanya itu. Bram hanya dapat ijin dua hari, jadi Kelana memanfaatkan waktu tersisa bersama kakak tertuanya itu. "Dek, udah ketemu Danang? Dicariin dari tadi loh." "Belum. Aku baru sampai kok." Jawab Kelana sambil menggeleng. "Halooo gadis kecil..." Suara laki-laki dibelakang Kelana mengagetkannya. Hanya ada satu orang yang selalu memanggilnya adik cantik, yaitu Bram, kakaknya. Dan hanya satu orang yang selalu memanggilnya gadis kecil, Danang, sahabat kakaknya. "Eeeh Mas Danang... apa kabar?" Kelana menyapa lelaki super tampan di depannya. Danang ganteng, pakai banget. Badan tinggi, proporsional, kulit sawo matang, pintar, kaya, mapan, single, kategori husband materials. Tipe lelaki yang akan selalu membuat perempuan melihat ke arahnya. Bahkan Kelana mengakui, Danang lebih ganteng, tepatnya lebih segalanya daripada Adjie. Tapi dia kan cintanya ke Adjie. Dan kalau hati sudah berbicara – terutama hati seorang makhluk berjenis kelamin perempuan – pasti akan mampu mengalahkan logika. "Baik, Lana. Kamu sudah gak kecil lagi ya? Cantik banget sekarang. Sudah berapa tahun kita gak ketemu?" Jawab Danang sambil melihat ke arah gadis yang bermetamorfosis menjadi gadis cantik dan sungguh menarik. Dia teringat Kelana kecil saat masih tinggi kurus. Masih belum bisa merawat diri. Tampil seadanya. Lihatlah sekarang, Kelana sungguh ayu. Membuatnya sulit menelan ludah. Semakin sakit hatinya mengingat Kelana tak pernah menganggap cintanya. Selamanya dia hanya akan menjadi seorang kakak bagi Kelana. "Dua tahun, Mas! Lama juga ya." "Iya dua tahun ya, Nang. Kamu memendam patah hati. Sampai sekarang aja masih loh, Lana. Tuh, masih aja gak punya gandengan. Kalah sama truk. Truk aja gandengan, mosok kamu enggak, Nang?" Celetuk Restu, kakak Danang. Dan mereka hanyut dalam obrolan. Tanpa menyadari ada sepasang mata yang melihat Kelana penuh cemburu dari kejauhan. "Ngelamun aja, bro! Kenapa?" Tepukan di pundak menyadarkan Adjie. Dwi! "Masih takut aja sama Mas Bram? Laah apalagi sekarang ada Danang. Tambah keder ya kamu?" "Danang itu siapa sih? Aku kok pernah dengar namanya, tapi lupa." Tanya Adjie, tapi matanya lekat melihat Kelana dan Danang yang tampak berinteraksi secara alami. Dia kesal! Cemburu lebih tepatnya. "Danang tuh yang dulu pernah mau dijodohkan mama ke Kelana. Anak sahabat mama. Dan dia sahabat kurap, eh karib Mas Bram. Kenapa?" "Aku heran, kenapa Kelana lebih memilihku dibanding Danang. Dia, ganteng banget. Kalau saja aku perempuan pasti aku akan berusaha mendapatkan dia deh. Sempurna banget jadi laki." "Djie..., kamu masih normal kan?" Dwi bertanya dengan takut-takut. Sontak Adjie menengok ke arah Dwi dan melotot kesal ke iparnya itu. "Normallah! Tanya aja ama Kelana noh, betapa perkasanya aku. Kamu yang justru belum terbukti. Jangan-jangan kamu yang pipisnya gak lurus!" Jawab Adjie, kesal kuadrat. Dia tahu, kalau sahabat sekaligus iparnya ini masih resmi tersegel, bujang ting-ting, ibarat kata, walau sering jalan bareng cewek cantik. Bisa disunat habis sama sang mama kalau sampai Dwi berani macam-macam sebelum menikah. "Hahaha... duh ngambek. Ngapain kamu di sini? Yuk, ke sono sebelum Kelana disambar Danang! Mau kamu?" Kata Dwi sambil ngeloyor pergi ke arah di mana saudara-saudaranya berkumpul. Dia belum bertemu kakak tertuanya. Adjie mengikuti dari belakang dengan membawa segelas air. "Naah, Mas Danang kenalan dulu sama suami Kelana ya. Waktu Kelana menikah, Mas Danang dan Mbak Restu gak ada yang datang iih. Sebel deh. Ini Mas Adjie, suami Kelana. Mas, ini Mas Danang, adiknya Mbak Restu yang tadi. Dulu juga sering main ke rumah pas masih sekolah, tapi kayanya gak ketemu Mas Adjie ya?" Danang menyalami tangan Adjie, kencang. Memindai lelaki di depannya, yang berhasil mencuri hati Kelana, pujaan hatinya. Sambil tersenyum, berkata, "Hai... Saya Danang." Dan melanjutkan lirih yang hanya bisa didengar Adjie, "Kalau kamu menyakiti Kelana, dengan senang hati saya akan menggantikanmu." Adjie membalas salam itu dan juga berbisik, "Tak akan! She's mine!" Danang menepuk pundak lelaki di depannya, yang lebih pendek darinya. Danang sepantaran dengan Bram, baik umur maupun tinggi badan. Di atas rata-rata. Dia heran mengapa Kelana lebih memilih Adjie dibanding dia. Tapi cinta kan masalah perasaan, tak bisa diukur dengan logika. Yang Adjie tak tahu, Danang tahu latar belakang Adjie. Bahkan sampai hubungannya dengan Jelita pun, Danang tahu. "Maaf, saya ingin ngobrol dengan Kelana sebentar, boleh?" Tanya Danang sopan ke Adjie. Bagaimanapun juga Adjie adalah suami Kelana. Dengan berat hati, Adjie mengangguk. "Bentar ya, Mas. Ten minutes." Ijin Kelana pada suaminya. Danang mengajak Kelana sedikit menjauh, tapi masih bisa terlihat oleh Adjie. Dia tak mau Adjie berpikir yang bukan-bukan pada Kelana. Saat masih melihat ke arah Kelana dan Danang, ada sebuah suara berat yang selalu membuatnya merasa takut karena aura mengintimadasi yang teramat sangat, berkata pelan dengan suara rendah namun berhasil membuatnya kaget. "Lihat! Mereka cocok banget kan ya? Anyway, aku dan Danang tahu kalau kamu kemarin ke Ciwidey bersama ibumu dan mantan pacarmu. Juga rencana ibumu dan pamannya Jelita. Kamu tahu, Mang Ujang bekerja di kebun teh milik siapa? Bukan, bukan punya papa, bukan punya Rekso, tapi punya Rukmeni Corp. Perusahaan Eyang putrinya Danang." Bram menyeringai penuh kepuasaan saat melihat wajah pucat lelaki di depannya. Tentu saja Adjie jadi pucat, lah yang berkata seperti itu adalah lelaki yang paling diseganinya, melebihi papa mertuanya malah. "Bukankah mama pernah berpesan, jangan pernah main-main dengan Keluarga Rekso. Apalagi sampai menyakiti Kelana. Karena kalau iya, kamu akan berhadapan dengan kami, tiga lelaki Rekso, yang akan selalu melindungi Kelana."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN