Part 8 Kamu Memata-matai Kami?

2630 Kata
Saya percaya pada Mas Adjie, jadi buat apa memata-matai? ~ Kelana to Bu Lastri ~ ~~~ "Saya sudah minta ijin pada Mas Adjie kok bu. Dan Mas Adjie mengijinkan. Kalau Mas Adjie tidak memberi ijin, saya tidak akan melakukan apa pun itu, termasuk rapat di luar jam kantor." "Haah... karepmu. Dikandani wong tuwo kok malah gawe alesan macem-macem!" (= Sesukamulah. Dinasehati orang tua kok malah bikin banyak alasan!" Kelana beristighfar dalam hati. Tangan kirinya terkepal. Dia butuh pelampiasan emosinya. Inginnya dia memiting seseorang, tapi kan tak mungkin dilakukannya. Bisa kualat dia. Dan jika dia belum bertobat serta minta maaf, tapi mendadak malaikat Isroil datang, dia bisa dilempar ke neraka j*****m karena durhaka pada mertua. Kembali berkali-kali Kelana beristighfar. Menarik nafas panjang sebelum berkata dengan suara bergetar, "Iya ibu, nuwun sewu, lain kali tidak lagi. Monggo ibu dan Mbak Lita istirahat, saya mau mandi dan sholat Isya dulu." Dan tepat saat Kelana hendak masuk kamar, Adjie mengucap salam. "Assalamualaikum..." Adjie tersenyum senang melihat Kelana ternyata sudah di rumah. "Hai... sayang... sudah pulang dari tadi?" Tanyanya lembut pada Kelana, bersamaan Kelana mencium punggung tangannya dan dia mencium pucuk kepala Kelana. Dilihatnya istrinya hanya mengangguk saja, sambil tersenyum kecut. Sepintas Adjie melihat kolam air mata di mata indah Kelana yang tampak memerah, siap untuk tumpah. Aduuuh... ibu... Ada apa lagi ini? "Sudah ketemu ibu?" Lanjutnya masih sambil tetap erat memeluk pinggang Kelana. Sementara ada sepasang mata cantik yang melihat pemandangan itu dengan sedih. Berharap yang ada di pelukan Adjie adalah dirinya. Kelana kembali hanya mengangguk saja. "Kenapa? Apakah Ibu berkata sesuatu yang menyakitkan?" Tanya Adjie hati-hati. Posisinya terjepit di antara ibu dan istrinya. Bagai buah simalakama. Membela yang ini salah, membela yang itu salah. "Enggak kok..." Bohong Kelana, tak mau menjelekkan ibu mertuanya. "Ini kenapa matanya merah?" Masih dengan suara yang lembut Adjie bertanya. Diusapnya kedua mata bulat perempuan ayu di depannya yang sekarang baru dia tersadar, badan istrinya tampak lebih segar, lebih berisi, jadi lebih montok. Dan dia suka itu, asalkan baju yang dikenakan Kelana tetap yang sopan, tidak menarik mata laki-laki yang kadang nakal melihatnya. "Capek Mas, ngantuk, tadi macet banget. Aku mandi dulu ya mas, sekalian mau sholat Isya." Segera setelah Kelana masuk kamar, Adjie mendekati ibunya yang tampak asyik menikmati acara televisi. Terlihat Jelita yang tampak gelisah, duduk tak nyaman gegara melihat adegan mesra antara Adjie dan Kelana. "Ibu tidak istirahat? Sudah malam, besok kan harus berangkat pagi ke Ciwidey." "Duduk sini dulu sebentar. Ibu mau bicara. Di mana Kelana?" Kata ibunya sambil menepuk ruang kosong di sofa, tepat di sebelahnya. Meminta Adjie duduk di situ. "Kelana di kamar bu, mandi dan sholat Isya. Ada apa bu?" "Mumpung Kelana lagi di kamar, ibu mau membahas yang kemarin-kemarin sudah kita bicarakan di telepon. Sekalian juga kan kamu akan mengantar kami besok. Jadi kita bisa persiapan pas bertemu pamannya Lita. Bagaimana menurutmu?" Adjie menghela nafas panjang, melihat sekilas ke arah Jelita yang duduk manis di depannya, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan ibunya. "Maaf bu, Adjie tidak bisa. Tidak selama masih bersama Kelana. Adjie menghormati pernikahan kami. Adjie sudah berjanji pada Papa dan Mama Kelana untuk menjaga Kelana, untuk tidak menyakitinya." "Tapi kalau mereka tidak tahu kan tidak apa-apa, Djie." Ibunya masih tetap memaksa Adjie untuk menerima usulnya, entah apapun itu. "Ibu..., saat akad, Adjie sudah berjanji di hadapan penghulu, para saksi dan juga Tuhan. Mungkin para saksi dan penghulu tidak melihat, tapi Tuhan kan selalu beserta kita bu. Tahu apa yang kita perbuat, walau masih hanya berupa niatan. Dan Adjie tidak mau mengkhianati janji itu. Tolong ibu dan Lita menghormati keputusan Adjie." Kata Adjie sambil mengelus punggung tangan ibunya tapi sambil melihat ke depan, ke arah perempuan yang dulu pernah sangat dicintainya. Berharap mereka akan mengerti keputusannya. Dia tidak mau meninggalkan Kelana, walau sang ibu memintanya untuk menikahi Jelita secara siri. Ibunya menghela nafas panjang, melihat ke arah anak lelaki satu-satunya, "Pikirkan dulu baik-baik malam ini, Djie. Besok kita bisa bicarakan lagi di perjalanan. Ibu sudah tua, umurmu juga semakin bertambah. Sampai kapan mau menunggu untuk dapat anak? Salah satu tujuan pernikahan kan untuk mendapatkan keturunan. Ingat itu." Adjie tak mau memperpanjang debat dengan ibunya. Terpaksa dia hanya tersenyum saja agar ibunya berhenti membujuknya untuk melaksanakan rencana ibunya menikahi Jelita secara siri. "Sudah malam bu, ibu dan Lita istirahatlah. Adjie juga mau ke kamar dulu." Dikecupnya pucuk kepala perempuan setengah baya itu penuh kasih. Dan segera dia berjalan menuju kamarnya, ke istrinya. Kelana. Dilihatnya Kelana yang sedang mengucek matanya, padahal dia masih mengenakan mukena, baru selesai sholat. Tampak bahunya naik turun. Hanya ada isakan tertahan, tapi Adjie tahu bahwa Kelana menahan emosi. Ditariknya badan Kelana ke pelukannya. Dielusnya punggung istrinya penuh kasih. "Maafkan ibu ya... Aku tak tahu apa yang ibu katakan padamu. Tapi aku tahu pasti itu menyakitimu. Karena kamu sampai menangis saat sholat." Bisiknya lembut. Ya... Adjie sangat menjaga emosi Kelana yang akhir-akhir jadi labil. Jadwal kontrol ke obgyn masih tiga minggu lagi. Dia ingin tahu apakah itu akibat obat yang dikonsumsi Kelana atau ada sebab lain? Kelana mengangguk , kesal tapi takut durhaka. Kembali ia hanya dapat beristighfar dalam hati. "Mas besok ikut mengantar ke Ciwidey?" Tanya Kelana manja, sambil mengerjapkan matanya yang masih basah. "Iya, gak papa ya? Aku sudah pernah minta ijin kan? Minggu lalu kalau tidak salah sudah bilang ke kamu." "Iya, boleh. Tapi Mas Adjie langsung pulang kan? Ingat loh hari Sabtu ada undangan khusus dari Bapak Ibu Rukmeni. Kita harus mewakili papa mama karena masih umroh." Ingat Kelana pada Adjie. "Iya. Insya Allah aku langsung pulang. Ibu kalau mau menginap di Ciwidey mah biar saja ya.’ "Diantar Pak Udin ya mas, pakai dulu saja mobilku. Kalau ke Ciwidey lebih enakan pakai SUV, 4WD. Di sana sering mendadak hujan, jadi biar lebih aman pakai mobilku saja. Mobil Mas Adjie agak kurang nyaman kalau dipakai ke jalan berliku. Kita tukar pakai mobil." "Kamu gak papa nyetir sendirian berangkat dan pulang kantor kalau Pak Udin mengantar ke Ciwidey?" Tanya Adjie ragu. Kelana kan juga belum lama selesai operasi. Jakarta sungguh tidak bersahabat untuk para penyetir mobil. "Iya gak papa, lagian Pak Udin sudah terbiasa ke Ciwidey. Kan dulu sering anterin kami ke kebun teh papa yang ada di sana. Lagipula biar Mas gak kecapaian." Adjie mengangguk. "Terima kasih sayang, kamu baik banget." "Kenapa ibu mengajak Mas tapi tidak mengajakku ke acara pamannya Mbak Lita?" Tanya Kelana penasaran. "Kamu mau ikut aja besok? Gak papa yuk ikut aja, sekalian kita refreshing." Rayu Adjie. "Enggak ah Mas, bisa-bisa ibu tambah gak suka sama aku." Jawab Kelana sedih. Adjie menarik leher Kelana dan mencium bibir istrinya yang tampak sungguh menggoda. Dia tak ingin Kelana larut dalam kesedihan. Salah satu caranya, menikmati malam ini berdua. Dilumatnya bibir penuh itu membuat Kelana mendesah, seketika melupakan apa yang baru saja dilaluinya. Adjie memperlakukan Kelana bak seorang ratu. Dipenuhinya semua keinginan Kelana malam itu asalkan tak ada air mata mengalir lagi di pipi istrinya yang semakin montok. Dan malam itu, bahkan sebelum tengah malam, mereka sudah terengah-engah. Menciptakan gempa skala kecil di kasur mereka. Adjie memeluk tubuh polos Kelana yang lelap tertidur. Sesuatu yang hangat terasa memenuhi hatinya. Sepertinya kamu sudah berhasil menyusup hatiku, Lana, perlahan namun pasti menggantikan yang lama. I think I love you. "Sayang kamu, istriku ..." Bisik Adjie mesra di telinga istrinya. "Eummhh..." Kelana menggeliat karena sudah ada di alam mimpi. Setelah puas memandangi wajah damai istrinya yang sudah tertidur, Adjie bangun karena perutnya terasa lapar akibat dari aktivitasnya bersama Kelana yang sampai dua ronde. Ditutupinya badan Kelana dengan selimut sampai bahunya yang polos. Perlahan dia bangun, memakai kaos dan celana panjang dan segera keluar kamar mencari makanan atau minuman hangat. Kemarin dia minta Kelana untuk membeli minuman serbuk coklat kesukaannya. Sepertinya dia akan menikmati minum itu saja. Dia tak mau minum kopi karena harus tidur cepat agar besok bisa berangkat menemani ibunya pagi-pagi. Adjie membuka pintu samping dan keluar rumah, dia ingin menikmati minum s**u coklat di taman samping. Sambil melihat bintang-bintang yang tampak berpendar indah malam ini. Mungkin bisa membantunya mencari solusi permintaan ibunya tanpa perlu menyakiti hati sang ibu. Tanpa sadar, ada seseorang yang duduk di sebelahnya. Reflek Adjie menoleh dan melihat Jelita yang duduk di sampingnya. Dia segera mengalihkan pandangannya ke arah depan. Dia tak mau Kelana salah paham karenanya. Walaupun sudah tidak ada hubungan lagi di antara mereka, tapi Adjie tak memungkiri pesona Jelita mungkin masih bisa membiusnya. Jelita masih saja cantik dan menarik. Pintar merawat diri. "Belum tidur, Di??" Tanya Lita lembut, berusaha memecah kebisuan karena Adjie memutuskan untuk diam saja. Aah suara itu pun tetap saja terdengar merdu di telinga. Adjie mengangkat mug yang berisi coklat panas. "Kamu sendiri belum? Besok kan harus berangkat pagi-pagi." "Bagaimana mungkin aku bisa tidur, jika ada kamu di sini? Sangat dekat denganku, tapi terasa begitu jauh." "Lita...., sudahlah. Jangan memulai kenangan lama." Aku tak mau jatuh lagi. Aku sudah punya Kelana. "Apakah keputusanmu sudah bulat? Tentang kita? Besok kan kita akan bertemu Mang Ujang. Hanya beliau pamanku yang tersisa yang bisa menjadi wali. Aku dan ibu sudah bicara dengan Mang Ujang walau hanya via telepon dulu, Di. Dan Mang Ujang setuju. Siap menjadi waliku." Adjie menoleh ke sebelahnya. Terlihat wajah cantik itu menatapnya sendu. Tampak kerinduan yang amat sangat di mata itu. Dia merasa bersalah. Sungguh dia merasa bersalah. Karena kesalahannya dulu hingga Jelita menjadi korban. Karena ketidaktegasannya sekarang, masih saja Jelita merasa memilikinya. "Aku tak bisa, Lita, maaf." Hanya itu yang bisa Adjie katakan. "Kenapa? Karena apa tak bisa, Di?" "Karena...." Adjie tak tahu harus berkata apa. Kalimatnya terhenti saat Jelita menyentuh tangannya, kemudian menggenggam tangannya. Adjie menoleh ke arah Jelita. Terlihat mata indah itu penuh permohonan. "Aku tahu sekarang, penyebab kamu lebih memilih Kelana daripada aku, padahal waktu pernikahan kita dulu hanya tinggal menghitung hari." Ucap Jelita dengan suara pelan. "Karena Kelana jauh lebih kaya daripada aku kan, Di? Karena keluarganya mampu memberi dana segar untuk keberlangsungan usaha kalian. Bukan karena kamu mencintainya kan? Aku tahu hatimu masih untukku." "Lita... aku..." "Kamu setuju menikah dengan Kelana karena kamu butuh dana untuk menyelamatkan usaha kalian kan? Menyelamatkan nasib karyawan kalian. Dan karena Dwi, sahabatmu, maka Rekso Corp. mau berinvestasi kan? Dengan syarat kamu mau menikahi Kelana, karena dia suka padamu dari kecil? Sangkal aku jika aku salah, Di. Semua itu benar kan?" Adjie menarik nafas panjang, menghembuskannya keras dan wajahnya mendunga. Dia tidak bisa menyangkal karena semua itu benar. "Kamu tidak menyangkal karena aku benar kan, Di? Sekarang saatnya kamu meraih kebahagiaanmu sendiri, Di. Aku masih mencintaimu. Dan aku akan menerimamu, apa adanya. Termasuk bahkan menjadi istri kedua.” Tanpa mereka tahu, ada seseorang yang memperhatikan mereka dari dalam kamar dengan mata memerah dan menahan emosi. Tak bisa terdengar jelas percakapan antara suami dan tamu yang kurang ajar itu. Tapi Kelana masih melihat dengan jelas saat Jelita menggenggam tangan Adjie dan suaminya itu sempat terkejut, beberapa saat. Tapi Kelana bisa bernafas sedikit lega, walau sedikiiit, saat suaminya memutuskan berdiri dan meninggalkan Jelita. Tampak wajah Jelita yang kesal karena diacuhkan oleh Adjie. Kelana berpura kembali tidur, ke posisi semula. Dilepaskannya bathrobe yang tadi sempat dipakainya agar Adjie tak curiga. Dia merasakan kasurnya bergerak saat Adjie naik, meringkuk di sebelahnya. Kelana hanya menunggu apa yang akan dilakukan suaminya. Biasanya, Adjie akan merengkuh tubuhnya dari belakang dan memeluknya erat. Saat ini, dia harap-harap cemas, berdoa agar Adjie tetap melakukan kebiasaannya itu. Tapi sampai hitungan ke sepuluh, tak terjadi apa-apa. Yaaah... mungkin Mas Adjie sedang bimbang. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan tadi. Sepertinya sangat serius. Semoga semua baik-baik saja. Apa pun pembicaraan mereka, semoga hubungan pernikahan kami baik-baik saja. Tepat saat Kelana menyelesaikan doanya, Adjie merengkuh tubuhnya dari belakang, ditarik mendekatinya. Kemudian Adjie pasti akan menciumi leher belakangnya, salah satu daerah sensitif. "Eummm... Mas..." Kelana berpura terbangun. Dia membalik badannya. Selimut yang dipakainya secara asal tadi sedikit melorot, memperlihatkan sedikit dari gunung kembarnya yang tampak semakin berisi. Adjie tersenyum m***m melihat hal itu. "Sekali lagi sebelum lanjut tidur ya, sayang?" Dan tanpa menunggu persetujuan Kelana, Adjie segera menciumi tubuh yang semakin montok di depannya. Berusaha membangkitkan gairah istrinya itu. Entah kenapa dia sungguh menginginkan Kelana malam ini. Dan sebagai seorang istri yang baik, Kelana pasti akan memenuhi keinginan suaminya. Berdua mereka bergumul, menciptakan gempa skala kecil di atas kasur mereka. Hingga akhirnya gempa itu berhenti saat keduanya mencapai puncak dengan nafas terengah. Adjie menatap Kelana mesra. Diciumnya kening istrinya lama. "Aku sayang kamu, Kelana, istriku. Tidurlah. Sudah larut." Ditariknya selimut hingga menutupi tubuh keduanya. Apa pun pembicaraan antara dirinya dan Jelita, Adjie hanya berharap Kelana tak tahu. Biarlah itu menjadi rahasia mereka berdua. Subuh pagi hari, Kelana sudah selesai menyiapkan sarapan untuk ibu mertua dan tamunya. Dia tak mau kena omelan lagi, diomong yang macam-macam oleh mertuanya dan diperbandingkan dengan perempuan lain. Dia akan membuktikan pada ibu mertuanya bahwa dia sungguh berbakti pada Adjie, suaminya. Pagi ini dia sudah memasak nasi uduk, telor dadar iris, ayam kampung goreng, kerupuk dan sambal telur. Dia tahu itu salah satu menu favorit ibu mertuanya. Sedangkan untuk Adjie, dia sudah menyiapkan jus buah naga ditambah air perasan jeruk baby. Untuk bekal di jalan dia sudah menyiapkan aneka buah potong untuk kudapan sehat mereka bertiga. Coba.., apa lagi yang kurang darinya? Jelita berdiri kaku di tempatnya melihat kemesraan yang ditunjukkan Adjie ke Kelana. Adjie sedang memeluk Kelana dari belakang. Rambut keduanya basah. Subuh-subuh begini, dengan rambut basah, pastilah semalam Adjie dan Kelana melakukan apa yang sudah menjadi halal bagi mereka. "Ehem... " Bu Lastri berdehem agak keras, agar kedua insan itu segera menghentikan aktivitas peluk memeluk di dapur. "Dapur kuwi nggone wong masak, nek arep peluk-pelukan neng kamar! Ra sopan kuwi!" (Dapur itu tempat masak, kalau mau bermesraan sana di kamar. Gak sopan tahu!) Kelana dan Adjie nyengir bersamaan. Segera Adjie melepaskan pelukannya dan menuju ibunya. Mencium punggung tangan ibunya sambil tersenyum malu. "Ibu dan Mbak Lita, monggo sarapan dulu. Saya sudah masak lengkap. Buat cemilan di mobil juga sudah saya siapkan." Kata Kelana dengan nada hormat pada ibu mertuanya. Penuh sopan santun, berusaha menghargai ibu mertuanya ini. "Kamu gak sarapan sekalian, Djie?" "Adjie tadi sudah sarapan bu, sepulang subuhan langsung sarapan. Lapar banget. Sehabis sarapan kita langsung berangkat ya bu? Biar terhindar macet. Pak Udin juga sudah siap." "Pak Udin kuwi sopo?" (Pak Udin itu siapa?) "Pak Udin itu supirnya Kelana bu. Kita berangkat pakai mobil Kelana. Dan Pak Udin yang menyetir. Adjie gak sanggup nyetir sendiri pergi pulang. Apalagi Pak Udin sudah terbiasa ke Ciwidey kok, jadi sudah hafal area sana. Adjie buta daerah situ, bu. Jadi bisa lebih cepat sampai dan pasti lebih aman. Lagipula Adjie harus langsung kembali ke Jakarta." "Loh kamu gak ikut menginap, Djie?" Ada dua pasang telinga yang langsung dalam mode waspada. Kelana dan Jelita. Semua menunggu jawaban Adjie. "Tidak bu, nuwun sewu Adjie langsung pulang. Besok ada undangan dari rekanan penting kantor. Karena papa mama lagi umroh, jadi Adjie dan Kelana mewakili." Raut muka Bu Lastri dan Jelita tampak kecewa. Sedangkan Kelana tersenyum kecil, bahagia mendengar jawaban Adjie. Saat Adjie berada di kamar, mendadak dengan nada suara tajam, Bu Lastri berkata pada menantunya. "Kamu suruh orang untuk memata-matai kami ya? Pakai diantar supir segala. Gak percaya kamu sama kami?" Astagfirullah.... Istighfar Lana... istighfar... ingat beliau orang tua, sama kedudukannya seperti mama. Jangan membantah, tetap jawab dengan santai. Ingat surga, ingat dosa kalau membantah. Sambil tersenyum Kelana menjawab, "Buat apa saya memata-matai bu? Insya Allah saya percaya pada Mas Adjie kok. Diantar Pak Udin, semata untuk keselamatan dan kenyamanan semua. Pak Udin sudah biasa ke Ciwidey pas kami kecil, karena papa punya banyak perkebunan teh di sana. Dan banyak kenalan pula sedangkan Mas Adjie kan belum tahu seluk beluk jalan yang berliku ke Ciwidey bu.” Aku tak perlu bilang kalau papa punya banyak anak buah di sana kan? Tapi memang salah satu alasan diantar Pak Udin agar aku tahu ada keperluan apa hingga Mas Adjie dipaksa untuk ikut. Maaf ibu, Kelana tak sepenuhnya jujur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN