Theo menatap cubicle Lea dari kejauhan. Sudah seminggu ini setiap jam makan siang, Lea langsung menghilang dari tempat duduknya, pergi entah kemana. Menurut Annie, perempuan itu tengah dekat dengan Rendy sang pengirim bunga rahasia selama ini. Akhirnya mereka bertemu dan mulai dekat.
Sebagai atasan tentu saja Theo tak bisa berbuat apa-apa, sebagai sepupu mantan suaminya, ia merasa lega karena ternyata Lea bisa move on dari Max.
Hari ini hari Senin, sebagai awal minggu hampir seluruh pekerjaan terasa padat dilakukan di hari hari ini. Apalagi di minggu ini ada long weekend, sehingga seluruh pekerjaan harus selesai di hari Rabu agar tak ada yang tersisa. Begitu pula Theo, ia sampai terlambat makan siang karena harus memeriksa laporan keuangan dari beberapa project.
Untuk menghilangkan rasa penatnya, Theo memutuskan untuk makan siang di restoran yang berada di lobby kantor. Perkantoran dimana tempatnya bekerja merupakan komplek perkantoran besar sehingga banyak sekali resto dan cafe yang berada disana.
Theo memilih untuk duduk dipojok dan menikmati acara makan siangnya yang terlambat itu sendirian. Ia bisa makan lebih tenang sambil mengurai pikirannya yang penuh dengan masalah pekerjaan.
“Dek Theo,” sapaan seseorang membuat Theo menoleh dan segera bergegas berdiri sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Apakabar mas Zul, makan siang disini juga pak? Mari gabung,” ajak Theo sopan menyambut ramah. Zul adalah salah satu direktur di PT. Terang Bulan dimana PT itu berada satu lantai dengan kantor dimana Theo bekerja. Walau bidang pekerjaan mereka berbeda, tetapi Theo memang menjalin hubungan dengan banyak direktur-direktur lingkungan perkantoran tersebut, untuk membangun networking.
“Loh, dek Theo sendirian tho? Gak apa-apa saya ikut gabung disini?” tanya pria usianya sudah di pertengahan 40 an itu dengan suaranya yang lembut.
“Ayo gabung mas, kapan lagi kita bisa bertemu dan ngobrol dengan santai seperti ini,” ajak Theo antusias lalu segera memanggil pelayan agar membantu melayani Zul. Kedua pria itu akhirnya berbicara ngalor-ngidul seputar bisnis dan pekerjaan mereka sampai akhirnya Zul menanyakan sesuatu pada Theo.
“Ohya, dikantor kamu banyak karyawan baru sepertinya, saya kalau naik lift suka lihat wajah-wajah baru,” ucap Zul sambil asik menghabiskan sisa makanan di piringnya.
“Ada beberapa … kenapa mas?”
“Termasuk yang perempuan rambut panjang itu … siapa namanya? Lea ya?” Pertanyaan Zul membuat Theo hampir tersedak tetapi ia segera menyembunyikan reaksi kagetnya.
“Kalau Lea sih sudah hampir setahun mas, tidak terlalu baru lagi. Kenapa mas? Saya kaget loh, mas bisa hafal nama karyawan di kantor saya,” pancing Theo santai sambil menuangkan air putih dari botol ke gelasnya sendiri.
“Apa pekerjaannya bagus? Anaknya baik?” tanya Zul seolah penasaran tetapi mencoba bersikap tenang. Theo terdiam sesaat, ia tak menyangka Zul kini benar-benar ingin tahu soal Lea.
“Alhamdulillah, so far pekerjaannya baik, jika masih ada kekurangan disana sini karena ia kurang pengalaman saja. Untuk sikap masih cukup baik dan sopan. Ada apa mas?” desak Theo mencari tahu walau ia juga bersikap setenang mungkin.
Zul hanya diam, dari raut wajahnya seolah ingin memberitahu Theo sesuatu tetapi tampak sungkan.
“Naksir yo mas? Wong kita sama-sama duda,” goda Theo mencairkan suasana. Ditanya begitu Zul tampak tersipu malu membuat Theo menatap pria yang ada di hadapannya ini.
Di usia yang sudah pertengahan 40-an, Zul terlihat sangat awet muda. Apalagi perawakannya yang tidak terlalu tinggi dan bertubuh proporsional membuatnya masih bisa bersaing dengan usia yang 30-an. Wajahnya tidak tampan tapi tidak juga jelek. Ia cukup menarik dan memiliki kulit dan penampilan yang bersih. Walau tampak sederhana, tetapi barang yang ia gunakan hampir semuanya branded yang menunjukan posisi tinggi di usianya.
“Mungkin saya harus menceritakan hal ini sama dek Theo, biar tak terjadi salah paham. Saya pikir juga Lea pasti perempuan baik dan tak bermaksud begitu.” Mendengar ucapan Zul yang tak biasa membuat Theo segera membersihkan mulutnya dengan lap dan duduk menyimak.
“Ada apa mas? Tampaknya ada sesuatu yang serius.”
“Sebenarnya saya malu menceritakan ini, tetapi ketika melihat dek Theo disini, saya jadi penasaran dan mau terus terang.” Zul segera mengambil gelas minumannya dan meneguknya sesaat sebelum memulai bercerita.
“Saya memang menaruh hati sama Lea. Ketika melihat dia pertama kali membuat saya jadi teringat pada almarhum istri saya saat muda dulu. Gayanya, keceriaannya … walau tak secantik Lea, tetapi melihat gadis itu rasa rindu saya seperti terlampiaskan. Kami pernah satu lift beberapa kali, ia cukup ramah dan sopan. Saya jadi suka, apalagi saat mendengar kalau ia juga janda dan saat ini belum punya pasangan lagi. Saya tertarik padanya. Beberapa waktu lalu, saya pulang dari jepang dan membawakan oleh-oleh untuk Lea, karena kami sempat berbincang dan dia nyeletuk untuk dibawakan oleh-oleh. Saya tahu celetukannya bercanda, tapi kenapa tidak saya iyakan saja, biar itu menjadi pintu pembuka kearah yang lebih serius daripada sapaan di lift saja.”
Theo menelan ludahnya perlahan, ia merasa perasaannya tak enak, karena ada raut kecewa di wajah Zul ketika pria itu menghentikan ceritanya dan kembali meneguk minumannya.
“Lalu mas?”
“Saya menitipkan bunga dan oleh-oleh untuk Lea dan menuliskan pesan di dalamnya. Sudah dua kali saya mengirimkan bunga dan hadiah lainnya dengan pesan di dalamnya, dan Lea selalu membalas dengan perkataan manis. Terakhir saya di dalam pesan itu saya mengajaknya bertemu dan ia mengiyakan. Saya mengirimkan pesan lagi bahwa saya menunggunya di salah satu restoran di area ini saat pulang kerja dan kata sang kurir Lea mengatakan ia. Kami tidak saling bertukar no handphone karena saya lebih menikmati komunikasi kami sementara via tulisan. Seperti kembali ke jaman remaja! Hahahah … Akhirnya saya menunggu Lea di restoran, tetapi Lea tak kunjung datang. Kemarin kami tak sengaja bertemu lagi di lift, ia tetap menyapa saya dengan baik dan sopan tapi kok sikapnya seolah tidak ada apa-apa. Terus terang saya jadi bertanya-tanya apakah ia memang polos, atau pura-pura seolah tidak merasa bersalah dan tidak ada apa-apa.”
Theo hanya menolehkan wajahnya ke arah jendela sesaat, ia merasa tak enak hati jadinya pada Zul walau bukan ia yang melakukan.
“Dek Zul tahu tulisan tangan Lea tidak? Saya selalu membawa secarik kertas yang ia tulis. Awalnya saya membawanya karena saya merasa senang, perasaan saya berbalas tetapi sejak kemarin saya jadi penasaran dan alhamdulilah bisa bertemu dek Theo. Saya bercerita pada dek Theo begini karena kita berteman cukup lama dan cukup akrab dari pada yang orang-orang lihat.”
Theo mengangguk setuju, hubungannya dengan Zul sudah tak hanya rekan kerja tetapi sudah merupakan pertemanan, karena dulu mereka sering main golf dan hang out bersama. Kini mereka jarang pergi karena kesibukan masing-masing.
Zul segera mengeluarkan secarik kertas dari dalam dompetnya. Theo tertegun karena melihat sikap Zul yang benar-benar menaruh hati pada Lea dengan menyimpan tulisan perempuan itu. Perlahan Theo membaca tulisan di secarik kertas yang diberikan Zul, dan ia mengenali tulisan tangan di dalamnya. Memang tulisan tangan Lea. Kehidupannya yang hampir 24 jam bersama Lea membuatnya mengenal tulisan tangan perempuan itu.
“Aku sebenarnya gak begitu tahu tulisan tangan Lea, mas. Jaman sekarang kita kalau chat via handphone jadi aku jarang lihat tulisannya. Tapi biar aku cari tahu mas, kenapa dia begitu,” ucap Theo berbohong.
“Akh, tidak usah! Saya tak ingin dia jadi malu …”
“Sudah, nanti aku kabari …” Theo pun segera meyakinkan Zul dan mencoba mengalihkan perhatian pria itu dengan membicarakan hal yang lain.
Hari itu sepertinya, Theo memang harus ikut campur dengan urusan percintaan Lea. Ketika ia kembali, ia melihat Lea yang tengah berbincang dengan Rendy tak jauh dari Lift. Perempuan itu tak sadar Theo berada tak jauh dari tempatnya dan sekilas mendengar sepulang kerja nanti mereka akan kembali bertemu.
Tersadar ada Theo, Lea segera bergegas kembali ke dalam kantor dan duduk di cubicle nya. Walau sekilas, Leo bisa melihat bahwa perempuan itu tampaknya sedang jatuh cinta, ia tampak cantik karena berdandan dan wajahnya terlihat sangat ceria.
Sedangkan Theo dengan wajah masam segera menyuruh salah satu office boy untuk memanggil Epoy kembali.
“Sumpah pak, itu dari mas Rendy, bukan pak Zul … walau mereka satu kantor, pan Pak Zul mah bos… gak berani saya pak ngobrol sama pak Zul!”
“Trus, apa kamu kasih surat dari Lea ke Rendy?” tanya Theo lagi.
“Iya pak, setiap saya nganter bunga mbak Lea langsung nulis balasannya dan langsung saya kasih ke mas Rendy.”
Theo hanya diam dan seolah menemukan siapa biang kerok dari semua ini. Rendy. Pria itu tampaknya sengaja memanfaatkan hadiah-hadiah dari Zul sang boss malah untuk membuat Lea dekat dengannya, bukan Zul. Apalagi saat Theo teringat saat Lea pulang malam setelah menerima buket bunga yang kedua kalinya, ia memang menemui pengagum rahasianya tetapi ternyata pria itu bukan Zul, pasti Rendi.
Waktu kerja pun berlalu, Lea tampak bergegas membereskan tasnya seolah ingin buru-buru pergi.
“Mau kemana sih? Buru-buru amat?” goda Annie sambil mencolek pinggang Lea.
“Hehehehe, mas Rendy nunggu dibawah mbak … rencananya malam ini kita mau nonton,” bisik Lea sambil tersipu.
“Ingat, ini masih hari senin, jangan sampai besok telat masuk kantor,” pesan Annie sebelum ia melengos pergi dan mengirimkan pesan pada Theo. Tentu saja Theo menceritakan kisah cinta segitiga amburadul ini pada Annie.
“Aku mau minta tolong sama kamu untuk cari tahu mau kemana Lea malam ini, menurutku Rendy bukan orang baik karena aku tak yakin Lea bisa semanipulatif itu.”
Annie pun setuju, walau sudah janda tetapi Lea masih muda dan terlihat tak berpengalaman untuk urusan laki-laki.
Bersambung