Sang penggemar rahasia

1234 Kata
Theo segera membuka rekaman cctv dari laptopnya. Pagi tadi suasana di dalam kantornya kembali heboh karena untuk kedua kalinya, di meja Lea ada seseorang yang meletakan bunga dan kotak hadiah. Tampaknya sang penggemar rahasia memang serius mendekati Lea. Kali ini Theo tak ikutan nimbrung bersama karyawan yang lain, tetapi rasa penasarannya membuatnya ingin menyelidiki siapa yang meletakan bunga itu diam-diam. Sambil menikmati makan siang, ia mencoba mencari tahu dari rekaman cctv. Dari cctv terlihat bahwa salah satu cleaning service meletakan bunga itu di meja Lea. Theo segera mengangkat intercom kantor dan memanggil salah satu OB untuk masuk ke dalam ruangannya. “Pak, pagi ini siapa cleaning service yang membersihkan ruangan?” tanya Theo santai sambil tetap sibuk mengerjakan pekerjaannya saat Yitno kepala OB datang menemui. “Oh, sebentar ya, saya cek dulu pak… pagi ini yang tugas si Epoy. Ada apa ya pak?” tanya Yitno sedikit gugup, karena tak biasanya Theo memanggil dan menanyakan seseorang secara spesifik. “Boleh tolong dipanggilkan pak? Saya lagi ada perlu,” pinta Theo santai dan membuat Yitno segera menghubungi orang yang dimaksud. Tak lama Epoy pun datang dan mengetuk pintu ruangan kerja Theo perlahan. “Bapak manggil Epoy, yak? Ada apa yak?” tanya Epoy tampak gugup dibalik logat betawinya yang kental dan wajah penuh senyum. “Pak Yitno boleh pergi, saya ada yang ingin ditanyakan pada Epoy,” usir Theo halus pada Yitno yang tampak penasaran mengapa Theo memanggil Epoy secara khusus. Yitno yang sudah diusir langsung bergerak mundur dan meninggalkan ruangan Theo. Epoy terlihat sangat gugup ketika ditinggal berdua saja dengan Theo yang terkenal galak. “Gak usah takut gitu poy mukanya … saya gak akan gigit,” celetuk Theo menyadari kegugupan Epoy. “Iya pak, takut Epoy dipanggil bapak gini … ada apa yak pak?” “Nggak, saya mau nanya … yang suruh kamu simpan bunga di meja Lea siapa?” Ditanya seperti itu Epoy jadi tersenyum malu-malu, ia merasa kepergok. “Maap ya pak … bukannya mau bikin heboh nih … tapi emang mbak Lea itu pan cakep banget yak, pas ketahuan udah janda banyak banget pak yang ketahuan demen.” “Iya … jadi yang demen siapa?” “Banyak pak … ada pak ipul, pak Zul, mas Rendy, pak Philips juga demen pak…” “Maksud saya, siapa yang kirim bunga buat Lea?” “Ohh… mas Rendy pak … manager kantor sebelah. PT. Terang bulan!” “Ohhh… trus dia bilang apa sama kamu?” “Kagak bilang banyak sik pak… cuma bilang, tolong titip simpen di meja mbak Lea, tapi jangan bilang dari siapa, gak enak katanya… gituu doang sik pak … sambil kasih salam tempel ma puluh rebu.” “Ohhh….” “Tapi sik, yang tadi dia nitip surat juga buat mbak Lea, katanya ngajak ketemuan gituu…” Mendengar ucapan Epoy, mata Theo membulat. “Ketemuan?” “Iyak, kalau emang mbak Lea mau mah … pasti sekarang lagi ketemuan yak… soalnya sih katanya mau ngajakin makan siang,” ucap Epoy santai. Theo segera membuka cctv dari laptopnya tanpa Epoy sadari untuk mencari Lea dari cctv nya. Tetapi memang Lea sudah tidak ada di tempat duduknya. “Ya sudah, terimakasih buat infonya. Jangan bilang apapun pada Rendy kalau saya menanyakan hal ini sama kamu. Saya tanya karena untuk berjaga-jaga saja supaya jangan sampai ada orang yang bermaksud jahat.” Mendengar ucapan Theo, Epoy pun hanya mengangguk dan segera pamit. Setelah Epoy keluar dari ruangan, Theo segera menghubungi Lea, tapi tak diangkat. Dengan sedikit kesal ia mencoba menghubungi Egi, salah satu teman terdekat Lea di kantor. “Kamu lagi sama Lea gak?” tanya Theo cepat ketika mendengar suara Egi mengangkat handphonenya. “Nggak pak, saya lagi makan di pantry, kalau Lea katanya mau makan siang diluar.” “Sama siapa? Dimana?” “Hmm, gak tahu pak … gak bilang, agak dandan sih, tapi saya gak tahu dia kemana. Memangnya kenapa? Ada kerjaan yang perlu saya bantu pak?” “Oh, gak ada. Ini hanya ada beberapa pernyataan dari MOM yang Lea buat. Ya sudah kalau begitu, terimakasih.” Theo segera mematikan handphonenya dan merasa sedikit gelisah. Seharusnya ia tak perlu peduli dengan siapa Lea pergi atau bertemu. Tapi entah mengapa perasaannya jadi tergelitik. Theo hanya bisa mengepal tangannya sesaat ketika ia berjuang dan berhasil untuk meyakinkan dirinya sendiri untuk tak mencari tahu. Ia mencoba menyibukan diri dengan kembali tenggelam dalam pekerjaan. Tepat pukul 2 siang, Theo baru tersadar dan segera melihat kembali ke dalam cctv untuk mencari Lea. Ternyata perempuan itu masih tak berada ditempat dan membuat Theo segera berdiri dan berjalan dengan tongkatnya menuju cubicle dimana Lea bekerja. “Mana Lea?” tanya Theo pada rekan kerja Lea yang tengah asik bekerja. “Sudah berangkat meeting pak,” jawab Juwana mewakili yang lain. “Masa dari jam makan siang gak kembali?!” “Oh, setelah makan siang sih dia sudah kembali pak, dan langsung pergi lagi dengan mbak Annie. Kenapa pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Juwana lagi. “Akh, tidak! Tidak ada apa-apa!” jawab Theo ketus lalu kembali berjalan menuju ruangannya. Kegelisahan Theo kembali muncul ketika ia sampai dirumah tetapi Lea belum juga pulang. “Ini sudah jam 9 malam, tapi dia belum pulang?!” tanya Theo gusar ketika mendengar dari bu Minah tentang Lea yang belum kembali. “Di telepon aja mas, mbak Leanya dari pada uring-uringan gitu,” ucap bu Minah santai sambil mengelap piring. “Ck!” decak Theo dan segera memasuki kamar tidurnya. Di dalam kamarnya bisa terlihat di halaman belakang bahwa rumah belakang itu lampunya masih padam menandakan tak ada orang di dalam. Leo baru saja hendak merebahkan tubuhnya ketika ia melihat lampu kamar Lea tiba-tiba menyala. Ia sengaja tak menutup tirai jendela kamarnya agar bisa tahu kapan Lea pulang. Melihat lampu kamar Lea menyala, Theo segera menyambar handphonenya dan mencoba menghubungi Lea. “Ya Pak … Mas…” ucap Lea saat mengangkat handphonenya. “Darimana kamu? Jam segini baru pulang?” tanya Leo datar. “Mau tahuu ajaa…” “Ck… aku tuh nanya karena khawatir …” “Tadi sore selesai meeting aku ke Mall pak… eh, mas…” “Ngapain?” “Makan.” “Sama siapa?” “Ya sama teman…” “Teman siapa? Teman yang mana?” “Apaan sih bapak … kok jadi kepo?!” “Mas… ini jam 10.30 malam … aku sudah bukan lagi atasanmu … panggil aku mas…” “Oh, kalau gitu aku gak perlu cerita dengan siapa aku pergi dan ketemu siapa… toh jam segini mas bukan atasanku lagi. Udah yaaa…. Aku ngantuk banget! Bye mas … “ “Lea, tunggu!” Klik. Terdengar suara sambungan telepon terputus dan membuat Theo menatap kesal ke arah handphonenya. Ia hanya bisa membaringkan tubuhnya dengan perasaan gusar karena penasaran. Perlahan ia kembali menatap kearah jendela besar yang hanya ditutup tirai tipis sehingga ia bisa melihat lampu kamar Lea yang awalnya terang dan tak lama kemudian tampak padam tandanya perempuan itu sudah beranjak tidur. Theo menertawakan dirinya sendiri yang tiba-tiba tampak seperti karyawannya di kantor yang selalu urusan orang lain. Seperti dirinya yang tiba-tiba ingin tahu apa saja yang Lea lakukan. Di dalam hati Theo pun berjanji mulai besok ia tak akan peduli dengan apapun yang Lea lakukan, bagaimana pun perempuan itu adalah karyawannya di kantor. Terlalu banyak ingin tahu akan membuat dirinya menjadi tak profesional dalam bekerja. Toh, ia dan Lea tak memiliki hubungan apa-apa. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN