7

672 Kata
Tanpa membuang-buang waktu Lexi menuju ke apartemen Brenda. Ia akan memperingatkan Brenda walau sebenarnya membutuhkan bantuan temannya tersebut. Ia pun akan mendesak Brenda agar menyediakan uang yang dibutuhkannya. Sudah hilang semua harga dirinya berapapun yang akan atas keperawanannya tak dipermasalahkannya. Setibanya Lexi di apartemen Brenda. Ia segera menekan tombol bel yang berada di samping pintu. Tak lama terlihatlah sosok yang dicarinya dan tersenyum menatapnya. "Masuk Lexi," ucap Brenda dengan santai. Lexi pun masuk ke dalam apartemen Brenda. Baru pertama kalinya ia masuk ke dalam apartemen temannya tersebut, walau sudah mengenal selama 2 tahun. "Maaf jika apartemen ku sederhana," ucap Brenda lagi. "Ini ga sederhana Brenda. Apartemenmu bagus sekali," puji Lexi tulus. "Terima kasih. Apartemen ini ku beli dengan perjuangan dan hasil kerja keras ku sendiri." Brenda merasa bangga dengan apa yang telah dicapainya. Senyum masam berpendar di mata Brenda. Walau ia bangga dengan apa yang telah dimilikinya, tapi ia juga malu. Semua yang didapatkannya hasil dari menjual diri pada pria-pria yang membutuhkan kehangatan. Tanpa basa-basi lagi Lexi berkata, "Brenda, kamu ngapain ke rumah sakit?" "Ooh... tentang rumah sakit. Aku ke sana mau menjenguk Tante Sila." Brenda berkata dengan santai sambil mengambil sebatang rokok. "Dari mana kamu tau Mama ku berada di rumah sakit Columbus?" Sambil mengembuskan asap rokok ke arah Lexi, Brenda tersenyum, "kamu terlalu meremehkan kemampuan ku, Lexi." Melirik Lexi dengan pandangan intimidasi. "Aku ga sepolos pemikiranmu." Lexi tidak takut dengan tatapan intimidasi dari Brenda. "Jangan pernah kamu berpikir untuk berbuat sesuatu pada Laura. Aku tidak membiarkan kamu berbuat hal tersebut." Masih saja kamu sombong, walau keadaanmu susah Alexia. Brenda berkata dalam hatinya. "Hahaha, kamu mengancam ku nih ceritanya. Kamu jangan terlalu sombong dan angkuh lagi seperti dulu, Lexi. Kamu sekarang bukan siapa-siapa. Uang untuk makan saja kamu pas-pasan, apa yang mau kamu sombongkan, huh." Brenda mengangkat dagunya dengan sombong. Mata Lexi menutup, menarik napasnya, dan menghelanya dengan perlahan. Ia sekarang harus menahan emosinya. Brenda sekarang orang yang bisa membantunya untuk mendapatkan uang secara cepat. "Brenda bagaimana dengan penawaran ku kemarin. Apakah bisa mendapatkan 500 juta untuk biaya operasi Mamaku," ucap Lexi dengan suara lembut. Semburat senyuman licik terlukis di wajah Brenda. Ia sudah dapat membaca apa yang akan Lexi lakukan. Tak mungkin dalam keadaan sekarang gadis itu berani melawannya. "Terlalu mahal untuk harga sebuah keperawanan Lexi. Apa yang bisa kamu banggakan hanya bermodal wajah cantik, berpendidikan, dan dari anak mantan orang kaya. Walau sekarang sudah ga seperti dulu lagi." "Seharusnya kamu bisa mencarikan aku uang itu, Brenda. Aku membutuhkannya." "Memangnya aku memiliki mesin pencetak uang. Semua butuh proses." "Brenda, tolong aku. Aku membutuhkannya." "Aku tau kamu sangat membutuhkan uang, tapi harga 500 juta itu ga murah, Lexi. Kalau hanya 100-200 juta mungkin bisa, tapi 500 juta. Menurutku mustahil, kecuali..." "Kecuali apa Brenda?" Tak ada jawaban dari Brenda. Teman Lexi hanya diam saja sambil menatap wajah Lexi dengan seksama. "Aku yakin kamu ga mau dan ga akan setuju." "Apapun itu aku akan setuju Brenda." "Apa kamu yakin?" "Sangat yakin." "Nanti saja aku memberitahukan mu." "Kenapa ga sekarang aja." "Terserah. Mau ikutin perkataanku atau tidak semua tergantu keputusanmu." "Baiklah. Apapun yang kamu inginkan aku setuju." "Nah, begitu dong. Kalau kamu nurut kan enak." Dengan menghela napas berat Lexi akhirnya mengikuti apapun keinginan Brenda. Ia tak punya pilihan lain. "Aku pergi dulu Brenda. Mau gantian jaga Mama," ucap Lexi pasrah. "Ooh iya jangan pergi dulu. Tunggu sebentar." Brenda beranjak dari sofa tempat duduknya menuju kamar untuk mengambil uang. Brenda keluar kamar dengan santai sambil memberikan beberapa lembar dollar pada Lexi. Ia yakin temannya tersebut sangat membutuhkan uang untuk biaya sehari-hari. "Ini untukmu. Semoga nanti kerjasama kita bisa berjalan dengan seharusnya." Brenda menatap Lexi dengan kasihan. Lexi sangat benci tatapan mata kasihan dari Brenda. Walau ia sangat memerlukan uang, tapi tidak perlu dikasihani. "Terima kasih." "Sama-sama Lexi." Lexi pergi dari apartemen Brenda dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa terhina, terbuang, dan rendahan. Ia pun teringat dulu pernah memberikan uang pada Brenda karena kasihan dan bisa melakukan apapun pada Brenda. Akan tetapi sekarang semuanya berbalik padanya. Segala perbuatannya yang terdahulu seakan menjadi balasan atas semua perbuatannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN