6

665 Kata
Perasaan Lexi menjadi gamang. Ia bingung apa yang harus dilakukan, pilihannya begitu sulit. Sekarang ia tidak bisa berpikir semua pilihan tidak ada yang mudah. Tanpa terasa bulir-bulir air mata menetes di pipinya. Apa yang harus dilakukannya? Apakah ia sendiri tega membiarkan Mamanya kesakitan seumur hidupnya sampai ajal menjemputnya atau mengambil resiko operasi yang juga akan membuatnya menyesal. "Lexi," panggil Dokter Albert dengan suara lembut. Wajah Laxi yang sembap menoleh ke arah Dokter Albert. Dokter Albert terlihat begitu memperhatikannya. "Sebaiknya kamu pikirkan apa yang terbaik untuk Bu Sila. Kalau saran dari saya sebagai dokter seperti itu, Lexi," ucap Dokter Albert. "Iya Dok. Saya permisi dulu, Dok." Lexi pergi meninggalkan ruangan Dokter Albert. Dengan langkah kaki yang tidak bersemangat Lexi menuju ke arah Laura. Laura tersenyum melihat Kakaknya, ia pun menghampiri Lexi dengan bersemangat. "Kak gimana kata dokter? Kapan Mama bisa dioperasi?" Laura bertanya dengan penasaran. Lexi menatap Laura dengan tidak tega. "Sebentar lagi Mama akan operasi." "Syukurlah... aku ga tega melihat keadaan Mama. Saat tersadar pasti Mama tersenyum dengan kesakitan. Kalau bisa secepatnya Mama dioperasi yaa Kak, nanti kalau Mama sudah sembuh kita bisa bersama lagi. Aku ingin banget kita makan bersama kayak dulu lagi, bisa..." Di saat Laura sibuk dengan perkataannya dan semua keinginnnya, pikiran Lexi melayang entah ke mana. Ia sibuk memikirkan cari uang dan bagaimana bisa mengakhiri rasa sakit Mamanya serta kekurangan uang untuk membiayai rumah sakit, biaya hidup selanjutnya. Semua tidak mudah. Bagaimana ia harus mencari kerja, ia saja tidak memiliki pengalaman kerja bahkan kuliah saja ia tidak lulus, entah apa kerjaan apa yang harus dilakukannya. "Kak... Kak Lexi kok diam aja? Kakak ga mendengarkan perkataanku yaa." Laura menatap Lexi dengan sedih. "Eh, maafkan Kakak, Lau. Kakak lagi banyak pikiran. Maaf yaa." Senyum kecil menghiasi wajah Laura. Tak bisa ia pungkiri kalau memikirkan keadaan Lexi. Ia tahu Lexi pasti sangat sedih, kecewa dengan keadaan. Sekarang hanya Lexi lah harapan keluarganya. "Kamu sudah makan? Ini uang buat kamu beli makan," ujar Lexi sambil memberikan selembar uang pada Laura. "Aku sudah makan Kak dan aku juga ada roti. Tadi teman Kakak yang Kak Brenda datang ke sini." "Brenda? Brenda datang ke rumah sakit? Ngapain dia ke sini." Lexi terkejut mendengar apa yang Laura katakan. "Katanya sih mau cari Kakak, tapi Kakak belum datang ke rumah sakit trus aku ditraktir deh aku." Lexi menatap Laura. Ia khawatir kalau Brenda akan berbuat hal yang tidak baik pada adiknya. Kalau pun harus menjadi seorang wanita panggilan cukup dirinya bukan adiknya. Laura harus memiliki masa depan yang lebih baik daripada dirinya. "Kalau Brenda ke sini lagi, kamu harus menjauhinya. Ga boleh dekat-dekat Brenda." "Tapi kenapa Kak? Kak Brenda baik banget, malah kasih aku semangat. Kami banyak ngobrol sambil makan. Kak Brenda juga kasih nomor ponselnya dan bilang kalau butuh sesuatu segera menghubungi dia." "Laura dengarin perkataan Kakak. Kamu tidak boleh dekat-dekat dengan Brenda. Dia berbahaya untuk kamu." "Kakak ini kok sama teman sendiri berbicara yang tidak baik sih. Kak Brenda itu baik banget Kak, jangan suka berpikiran negatif dengan orang lain, Kak." "Jangan yaa Laura. Please... jangan dekat-dekat Brenda." "Apa alasannya Kak sampai aku ga boleh dekat-dekat dengan Kak Brenda?" "Laura!" Lexi membentak Laura, "kalau Kakak bilang jangan dekat-dekat Brenda, kamu harus mematuhinya dan tanpa alasan apapun." Mata Laura berkaca-kaca. Ia terkejut Lexi membentaknya. Tak pernah ia melihat Lexi seperti itu padanya. "Kamu dengarkan perkataan Kakak!" "I-iya Kak." Dengan kesal Lexi akan beranjak meninggalkan Laura. Ia harus bertemu Brenda untuk bertanya apa maksud wanita itu menemui adiknya sekaligus untuk memperingatkan Brenda. "Kak mau ke mana?" panggil Laura. "Kakak ada urusan." "Urusan apa Kak?" "Jangan banyak tanya. Kamu cukup jaga Mama dan ga perlu tau apa urusan Kakak." Setelah pergi dari rumah sakit. Lexi menghubungi Brenda. "Halo Lexi," sapa Brenda. "Kamu di mana Brenda?" tanya Lexi. "Aku di apartemen ku. Ada apa Lexi?" "Berikan alamatmu, aku mau ke sana." "Ok." Lexi langsung memutuskan komunikasinya dengan Brenda. Setelah Brenda memberikan alamat apartemennya, ia pun bergegas ke apartemen temannya tersebut. "Aku ga akan membiarkan kamu mengganggu adikku, Brenda." Lexi berkata geram.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN