BAB 3 - Anugerah Yang Dianggap Musibah

1473 Kata
Gadis gunung es hanya sekitar lima menit saja berada di dalam ruangan Bu Winda. Masih dengan ekspresi yang flat, dia meninggalkan ruang tunggu tanpa menengok sedikitpun pada senior yang tengah mengantri untuk menjadi pesakitan selanjutnya. “Masuk.” Suara khas yang melebihi judesnya perawat di praktek dokter terdengar memberi perintah untuk pasien selanjutnya. “Selamat Siang, Ibu.” “Selamat Siang ... Hmm ... Nikholas Arya Narendra. Nama yang sangat familiar bagi Ibu. Setelah beberapa kali mencoretmu dari daftar absen dan mengoreksi semua analisa tentang studi kasusmu, mendadak Ibu jadi merasa akrab dengan namamu.” “He-he ... iya, Bu. Saya kan pengagum Bu Winda. Kalau tidak, nggak bakalan saya ngulang sampai dua kali.” “Niko, kamu mengulang kuliah Ibu karena selalu mendapatkan nila E, jangan ucapkan rayuan gombal ala mahasiswi baru itu untuk Ibu, nggak mempan! Baik, kita singkat waktu pertemuan ini. Kamu pengin lulus, enggak?” “Wah, ya pasti pengin, Bu. Orangtua dan kakek saya pasti akan bangga kalau saya bisa lulus.” Bualan pemuda yang licin terlatih itu mulai meluncur dari bibir. “Sudah, sudah ... nggak usah bawa-bawa kakekmu disini. Ini, catat nomor ponsel saya. Segera lakukan kontak setiap kali kamu ingat untuk tidak ingin mendapatkan nilai E lagi! Kita adakan konsultasi dan kuis via chatting terkait matakuliah. Paham?” “Maksud Ibu?” “Kita lakukan pertukaran agar nomormu tercatat dalam ponsel saya. Lalu sewaktu-waktu, kapanpun itu ... saya akan mengirimkan kuis secara berkala melalui pesan tertulis. Dan saat itu juga, sesibuk apapun kamu ... jawaban harus langsung  saya terima! Paham?” “Baik, Bu.” “Hmm ... mana nomor ponsel kamu?” Mereka berdua langsung melakukan pertukaran nomor, setelah itu Niko diperkenankan keluar ruangan. Dengan wajah yang masih sedikit cemas, pemuda itu melangkah keluar menuju area parkir dan langsung mendekati sebuah mobil Jeep Jepang keluaran terbaru di sebuah kapling area yang bertuliskan ‘DEKAN’. Bukan tanpa alasan jika bocah bandel itu memarkir kendaraannya di situ. Semua dilakukan semata-mata sebagai pembalasan atas cibiran beberapa dosen yang sering memanggil dia dengan sebutan ‘Pak Dekan’. Dan semua itu bukanlah salah Bapak Ibu dosen juga kalau akhirnya biasa memanggil dia dengan sebutan seperti itu. Karena, Niko sendiri sudah dianggap lebih senior dari pimpinan fakultas yang baru menjabat beberapa tahun. Sementara mahasiswa mereka itu, malah sudah hampir lima tahun berada di kampus itu tetapi belum kepingin lulus juga. Lalu, yang menjadikan mahasiswa abadi itu berani semau-maunya sendiri, adalah kenyataan jika sang Dekan sendiri bahkan belum pernah memerintahan sekuriti penjaga untuk menegur Niko yang selalu menginvasi tempat VIP-nya. Apalagi semua sekuriti sudah begitu ‘Ce-Es’ dengan si pemuda bengal yang terkenal suka bagi-bagi berbungkus rokok secara royal itu. Otomatis, semua menutup mata saat melihat mobil sang pimpinan yang kurang bersinar harus parkir dengan minder dipojokan yang terkena panas.  --- Dalam tatapan mata sekuriti yang tak berani berkomentar apapun mengenai pelanggaran parking area, Niko meninggalkan tempat untuk menuju pintu gerbang keluar kampus. Lima menit berjalan, ia akan segera berbaur dengan keramaian lalu lintas saat menangkap sosok tubuh yang tengah berdiri kepanasan di pinggir jalan. Gita, gadis jutek tanpa senyum yang begitu percaya diri karena memiliki otak semi genius itu terlihat seperti tengah menunggu angkutan umum. Spontan, Niko memutar mobilnya dan langsung berhenti di depan gadis tersebut. “Yuk, bareng ...” senyum sejuta dollar ala Don Juan terlempar dari bibir Niko. Tapi ia kecele. Apalagi kagum, gadis itu bahkan seperti tidak melihat mobil mewah yang berhenti tepat menghalangi pandangannnya ke depan. “Hei ... Gita ...” Masih tanpa malu, si lelaki borju memanggil nama gadis manis berwajah dingin. Namun yang terjadi kemudian, sang gadis malah melambaikan tangannya ke atas. Lalu ia segera berlari dengan memutari belakang mobil Niko, dan langsung meloncat naik untuk bergelantungan di pintu belakang bis kota yang penuh sesak. Geram bukan kepalang. Pengin ketawa, tapi yang keluar malah jadi seperti nangis! Pengin nangis juga, ternyata ia geli. Baru kali ini seorang Nikholas Arya Narendra yang merupakan cucu dari seorang tuan tanah perkebunan kopi dan coklat, benar-benar tidak dilirik oleh seorang gadis. Dan untuk lebih menjadi kenyataan pahit lagi, gadis yang mengabaikan mobil berkilau limited editions itu hanyalah seorang pengguna bis kota yang selalu penuh dengan para pencopet! Niko memainkan gas dan rem dengan kasar seperti layaknya sang raja jalanan dalam kota, Bis kota! Sampai suatu tempat yang ia kenal dengan baik, kendaraan yang ia ikuti berhenti secara mendadak. Tanpa mau berhenti sepenuhnya, bis tersebut menurunkan seorang penumpang dengan sikap seolah-olah melemparkan sesuatu yang tak berharga dan segera tancap gas kembali. ---   Gadis cantik dengan kulit putih dan rambut hitam tebal berkilau yang tadi sempat duduk berdekatan dengan dirinya, kini telah menjadi demikian kumal. Keringat serta debu dan entah apalagi yang menimpa dirinya saat berdiri bergelantungan di pintu, ternyata begitu merubah kondisi seseorang yang tadinya masih terlihat bersih dan cantik. Walau tak mengurangi kecantikan bersahajanya, namun hati Niko merasa sangat kasihan melihat perjuangan sang gadis yang demikian keras untuk menempuh perjalanan agar bisa mengikuti kuliah. Meski begitu, si cantik yang bernama Gita tersebut tetap saja bisa mengukir prestasi akademik yang demikian baik. Sedangkan Niko? Dan surprise hari ini tentang si gadis yang telah membuatnya penasaran setengah mati, ternyata tidak berhenti sampai di situ. Niko melihatnya melangkah untuk memasuki sebuah area perkantoran, lalu menuju pos sekuriti dimana seorang petugas jaga segera menandatangani sesuatu yang dibawa oleh gadis tersebut. Yang membuat Niko lebih terperangah dari dalam mobil yang masih terparkir di depan gedung tersebut, ia melihat Gita menuju mesin finger print, lalu menempelkan jarinya di sana. Bukan tanpa alasan jika ia heran. Karena, di depan gedung megah itu terdapat sebuah tulisan besar yang berbunyi : KOFFIE en CHOCOA VAN JAVA, perusahaan milik kakeknya! Dan Andrea Gita Arshavina bekerja di situ! *** Keesokan hari, giliran Niko yang datang ke kantor sang kakek. Bukan untuk menemui sang gadis angkuh, tetapi untuk memenuhi undangan paksa dari keluarganya. Diluar kebiasaan Raden Haryo Bagus Narendra; lelaki tua kakek Niko yang tapi masih memiliki semangat dan energi yang tinggi itu, telah menyempatkan diri menyambangi kantor pusat kerajaan bisnisnya yang berada di tengah kota. Dan hari ini ia memanggil cucu kesayangan sekaligus keturunan laki-laki satu-satunya itu untuk membicarakan suatu hal penting. Sempat terjadi sedikit perdebatan di meja resepsionis saat Niko memperkenalkan diri sebagai keluarga dari pemilik perusahaan. Namun, semua menjadi jelas ketika salah seorang yang ada di situ mencoba menghubungi sekretaris Direktur untuk mengkonfirmasi. Tanpa banyak cerita, Niko naik menuju lantai dua dengan diantar salah satu gadis cantik yang mengenakan rok ketat sehingga mencetak pinggul seksinya dengan jelas tanpa tedeng aling-aling. Lalu sebuah kejutan tak terduga segera menyambut Niko di belakang pintu kamar kerja kakeknya. Opa, Mama, Kak Nichole dan dua orang wanita asing telah berkumpul di ruangan luas tersebut untuk menunggu dirinya. “Selamat Pagi Opa, Mama, Kak Niky ... kapan pulang? Kok ada di sini? “ gerakan reflek garuk kepala Niko menunjukkan kegrogian alami, satu hal yang jarang ia rasakan walau berhadapan dengan gadis secantik apapun. “Hmm ... Duduk, Niko,” kata sang Opa dengan berwibawa setelah upacara cium tangan dan cium pipi selesai. Niko duduk dengan diapit oleh Mama tercintanya dan sang kakak yang cantik jelita. Kakeknya duduk di meja kerja, sementara dua orang wanita duduk berdampingan di sisi meja. “Ehm. Kita mulai saja karena tamu yang ditunggu sudah datang. Niko!” “Ya, Opa ...” suaranya tak percaya diri, seperti dulu saat ia ketahuan mencuri pinjam senapan kakeknya yang dinilai sangat membahayakan. “Hari ini kita berkumpul untuk membahas urusan pekerjaan. Perkenalkan, ibu yang ini adalah seorang Notaris berserta sekretarisnya. Maksud Opa memanggil kamu, adalah untuk menyerahkan semua saham kepada anak keturunan Opa disini, yaitu Mama, Kak Nichole dan kamu.” Kemudian sang Kakek menjabarkan tentang tehnis pembagian saham yang meliputi keseluruhan aset perkebunan maha luas beserta pabrik dan mesin perusahaan dalam pemasarannya. Intinya, sang kakek akan mengundurkan diri sebagai pimpinan perusahaan, dan menyerahkan sepenuhnya kepada anak dan cucu. “Jadi, 40% saham akan Opa serahkan kepada Nikholas, sedangkan Opa sendiri bersama Mama dan Nichole akan mendapatkan masing-masing sebesar 20%. Sehingga, yang berhak menduduki jabatan sebagai Presiden Direktur atau bahasa keren sekarang CEO, adalah Nikholas Arya Narendra.” Demikian pungkas tutur kata sang kakek. “Tapi, Opa ... Niko masih kuliah ...” jurus pertama alasan bocah bengal dilancarkan. “Kalau nunggu kamu lulus, kakek pasti sudah meninggal sebelum bisa menyerahkan estafet perusahaan dan mendampingi pimpinan baru,” Balas Opanya telak. “Opa ... ada pilihan lain agar Niko tidak usah menjadi pimpinan perusahaan?” “Bisa. Jika kamu bersedia menikah dengan Tiara. Karena pernikahan kalian akan otomatis memberikan hak legal untuk gadis itu memimpin di sini.” Jurus pamungkas telah dari sang kakek. Dan Niko hanya bisa mematung shock ketika mendengar hal tersebut. Ia sungguh tidak ikhlas jika harus menyerahkan perusahaan yang dibangun dengan keringat serta air mata para leluhur kepada gadis bar-bar tanpa akhlak yang selalu berlagak manis itu! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN