“Demikian poin-poin pokok yang perlu anda ketahui mengingat betapa pentingnya kesepakatan ini. Walaupun ini merupakan satu keluarga, namun semua hal yang telah saya sebutkan diatas adalah menyangkut urusan yang berhubungan dengan aset senilai trilyunan rupiah. Jadi sebelum menandatangani berkas-berkas legal yang nantinya akan dicatatkan dalam lembaran negara, saya meminta agar semua pihak telah benar-benar mengerti dan paham.”
Demikian notaris setengah baya berbibir seksi dalam pantauan Niko itu berbicara kepada semua orang di dalam ruang kerja Kakek sang pemuda. Yenny Rahmawati, SH. M.KN. Dan entah apalagi gelarnya itu menutup pidatonya.
“Bagaimana? Apakah sudah paham benar?” tanya Ibu Notaris saat melihat empat kepala mengangguk-angguk tanda setuju.
Lalu, iapun melanjutkan bicaranya, “baiklah, saya kira kita bisa mulai dari sekarang untuk proses penandatanganan perubahan nilai kepemilikan saham. Silakan, dimulai dari saudara Nikholas Arya Narendra.”
---
Setengah jam berikutnya, semua berkas telah di tandatangani. Sang Notaris segera memohon diri sambil menjanjikan untuk mengirimkan copy kesepakatan tersebut pada esok harinya.
“Saya permisi dulu, sekali lagi terima kasih atas kerjasama yang telah berlangsung dengan baik selama ini antara pihak perusahaan dan firma kami. Saudara Niko, saya ucapkan selamat untuk kepemilikan saham terbesar dan menjadi CEO di perusahaan ini. Semoga kita akan terus dapat menjalin kerjasama dengan baik.”
Setelah bicara demikian, Notaris berusia empat puluhan yang masih sangat seksi itu menyalami semua orang. Khusus dengan Niko, ia lebih lama menggenggam tangan sambil melakukan sedikit remasan lembut dan melempar senyum yang teramat mengundang sambil berbicara,
“Saya tunggu aksi CEO baru dalam melakukan terobosan, semoga perusahaan ini tetap setia bekerjasama dengan kami,” sambil berucap, sang notaris cantik melempar kerling penuh arti.
“Siap laksanakan, Ibu,” Jawab pemuda itu ngasal.
“Jangan Ibu, Mbak saja. Saya masih muda. Belum juga tiga puluh tahun,” jawab Yenny, noraris tersebut dengan genit sambil tertawa merdu.
***
“Oke, cucu Opa ... kamu siap beraksi?” tanya Haryo Bagus Narendra pada Niko setelah hanya mereka berempat saja yang tinggal di dalam ruangan itu.
“Siap beraksi apa, Opa?” tanya Niko dengan kurang antusias.
Spontan, sebuah tangan lentik menyundul kepalanya dengan perlahan tapi gemas, Nichole! Dan dari sebelah kanan, jari-jari sang Mama dengan sayang menjewer telinga Niko. Semuanya tertawa melihat kekonyolan adik, anak dan cucu kesayangan yang sangat bandel tapi selalu saja mengundang sayang dari semua orang yang bertemu dengannya.
“Ya kerja, dong ...” kakaknya tertawa dengan suaranya yang besar dan bulat.
“Kerja apa, Kak?” Niko bertanya blo’on.
“Tanya Opa, beliau yang akan membimbingmu sampai paham dan mengerti seluk beluk perusahaan kita. Belajar, Nak ... dan beranilah untuk mengawali walau hanya dengan satu langkah kecil,” Ratih Nirmala memberi nasehat. Tak mungkin dapat disembunyikan dari siapapun jika sang Mama terlihat begitu menyayangi Niko.
“Iya, Nik. Saatnya kamu belajar menjadi dewasa dan memiliki tanggungjawab. Tanyakan pada Opa setiap hal yang ingin kamu ketahui. Sebelum itu, kamu harus membaca buku-buku ini untuk mendasari pengetahuan tentang segala sesesuatu yang berhubungan dengan perkebunan, pabrik serta pemasaran.” Sambil berkata seperti itu, Haryo bagus menunjuk pada setumpuk buku yang terlihat usang di atas meja.
“Pelajari dan tanyakan apa yang belum kau pahami. Setelah kamu cukup mengerti, Opa tunggu aksimu sebagai generasi milenial untuk melakukan terobosan dalam memajukan perusahaan. Opa sudah terlalu tua untuk mengikuti perkembangan jaman.”
“Niko usahakan, Opa. Tapi ... buku-buku sebanyak ini? Terus kuliah Niko, pekerjaan Niko? Kapan juga bisa main?”
“Nikoo ... ih, ini anak,” sang Mama dengan gemas mencubit lengan si anak. Sementara Nicky yang ada di sisi satunya hanya tertawa terkikik.
“Ada waktunya untuk bekerja, kuliah dan bermain. Kamu harus mulai belajar agar mampu mengatur dan membagi semua itu. Dan jangan kuatir, pekerjaan kamu akan dibantu oleh banyak sekali tangan-tangan terampil dan terpercaya. Sebut saja Mbak Nuning. Kamu kenal, kan, Sekretaris pribadi Opa yang menjalankan kantor ini?”
“Iya, opa ... Niko kenal. Tapi itu kan sekretaris Opa. Sekpri CEO nya siapa?”
“Ha-ha-ha ... hebat si cucu buyut Kakek Narendra ini. Belum juga belajar, sudah main minta sekretaris pribadi. Kamu Kan bisa minta bantuan sama Nuning.”
“Ya udah kalau emang nggak di kasih. Mbak Nuning kan sekretaris Opa, bukan bawahanku. Biar dia aja yang kerja. Niko tinggal datang, absen, duduk, main telepon, nge game, ijin kuliah, terus pulang ...” semakin menjadi si bontot itu.
“Oke, oke ... kamu boleh pilih sesuka hati seseorang untuk sekretaris pribadimu. Sebentar, Opa panggil si Nuning.”
Narendra senior menekan interkom dan memanggil orang kepercayaan nomor satunya di kantor ini.
“Selamat siang ... Bapak, Bu Ratih, Mbak Nichole, Mas Niko ...” sapa wajah ayu yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun dengan menyebut semua yang hadir di situ.
Wanita cantik tersebut memang sudah lama menjadi sekretaris kesayangan Haryo Bagus, sehingga sering juga harus mengurusi kepentingan keluarga atasannya tersebut. Raden Haryo Bagus Narendra memang sangat mempercayai wanita yang satu ini.
Karena selain sudah lama menjadi satu-satunya sekretaris pribadi, Nuning juga seorang yang sangat jujur, ulet, rajin dan mampu memegang rahasia. Makanya tidak heran jika wanita tersebutlah yang diserahi tugas menjaga gawang sebagai wakil dari direktur Utama saat Haryo Bagus tidak berada di situ.
“Nuning, sini,” Kata Narendra senior dengan lembut.
“Baik, Pak.”
“Perkenalkan ... CEO kamu yang baru, Nikholas Arya Narendra. Mulai saat ini, dialah yang menjadi direktur utama.”
“Oh, selamat Pak Niko,” Kata Nuning ramah pada atasan barunya.
“Mbak Nuning, emang aku udah tua banget? Kenapa dipanggil dengan sebutan ‘bapak’?” si anak nakal memprotes.
“Loh, Mas Niko kan atasan aku sekarang.”
“Nah ... pangil aja kayak gitu. Lebih enak di kuping,” jawab Niko lagi.
“Sudah, sudah ... kalau di depan orang lain, panggil dia dengan sebutan ’bapak’. Kalau bersama orang sendiri, kita biasa aja. Oke? Clear? Baiklah. Nuning, siapa saja orang di sini yang pantas menjadi sekretaris pribadi Niko?“ Kakek Niko menengahi sambil bertanya.
“Oh, banyak, Pak ... ada Nuke, Maya ...”
“Husshh ... biar Niko cari sendiri saja. Tadi, kata Opa aku bebas milih.” Spontan, si anak manja memotong bicara sang skretaris senior.
“Ishh, Nikoo ... nggak boleh gitu sama Opa.” Ratih Nirmala menegur anak kesayangannya.
“Ha-ha ... Ratih, biarkan dia bicara ... kamu mau pilih yang bagaimana, Nik?”
“Ya pilih yang bisa bantu kegiatan Niko sehari-hari,” Jawab anak bandel tersebut dengan tegas.
“Oke, kamu udah tahu orangnya siapa?”
“Sebentar, Niko lagi mikir ...”
“Terserah, yang penting dia paham seluk beluk usaha kita.”
“Lah ... katanya terserah Niko?”
“Betul, terserah kamu. Tapi ingat, jangan ngasal. Opa nggak mau perusahaan ini membayar seseorang yang tidak memiliki kegunaan sedikitpun untuk diberikan bagi kemajuan kita.”
“Hmm ... terus, kriteria dari Opa yang bagaimana?”
“Dia harus karyawan perusahaan ini. Terserah kamu mau pilih yang mana.”
***