BAB 2 - Andrea Gita Arshavina

1092 Kata
Gita mengangguk tanpa senyum kepada satu-satunya laki-laki yang berani menatapnya. Kebetulan saja, tempat yang ia tuju memang berada persis di pinggir lorong jalan antara dua baris kursi. Dan kebetulan lagi, laki-laki berwajah terlalu tua untuk ukuran mahasiswa semester awal seperti dirinya itulah yang duduk tepat  di sebelah kursi kosong. Gadis itu menempatkan dirinya dan langsung serius menyimak penjelasan dari dosen. “... Jadi, yang terjadi pada saat ini dengan mengambil implementasi teori Karl Marx ...” Gita terus memperhatikan setiap kata yang terucap dari depan kelas. “Hai, namaku Niko.” Mahasiswa berpotongan anak orang kaya disebelahnya mulai ikut berbicara. Gita pura-pura tak mendengar. “Oleh karena itu ...” Bu Winda masih bersemangat menguraikan sebuah studi kasus. “Niko, Nikholas Arya Narendra,” kali ini sebuah tangan terulur di depan Gita, sedikit agak ke bawah pada sandaran tangan kursi yang ia pergunakan untuk menulis. Gadis itu sekarang pura-pura tak mendengarkan. “Nikholas Arya Narendra, NIM 030406/ ... Semester sembilan, senior kamu.” Ngotot, tangan yang ada di atas papan landasan menulis itu bergerak-gerak genit. Tiba-tiba, sebuah suara lantang terdengar dari arah depan, “Nikholas Arya Narendra, simpan rayuanmu untuk para mahasiswi genit saja! Wanita terhormat dan pintar di sampingmu tak akan begitu bodoh untuk menerima begitu saja rayuan seorang petualang kampus yang sudah sangat termasyur!” Pedas, keras, namun ada sedikit pengakuan tentang sisi-sisi playboy yang membuat ego Niko tidak menjadi turun gengsi. Spontan, suara gemuruh tertawa kembali menggema di situ. Siapa tak kenal Niko? Mahasiswa senior yang selalu bergonta-ganti pacar bagaikan b**********n majalah itu, hampir setiap bulan pasti akan mendapatkan yang baru sesuai dengan jadwal terbit.  ‘Hmm ... tampaknya si ibu sudah mendengar banyak cerita romantis tentang kisah asmara para gadis di kampus ini’  Niko membatin untuk menetralisir rasa malunya. --- Si mahasiswa senior mengedarkan pandangan berwajah tanpa ekspresinya ke sekeliling ruangan, menatap wajah-wajah yunior yang kini mendadak serius setelah tadi mentertawakannya. Sebetulnya, Niko bukan sedang tersinggung dijadikan bahan guyonan oleh sabda sang maha dosen, tapi ia hanya sekedar membuang sebal pada perasaan sedikit terabaikan karena semangat gigih yang tak dianggap oleh gadis gunung es di sebelahnya. Bukannya menjadi kapok setelah diberi julukan oleh Bu Winda sebagai seorang petualang, Niko masih saja pantang mundur mencoba berkenalan dengan gadis yang semakin lama menjadi kian bertambah menggemaskan itu. Ia mengambil secarik kertas dari sobekan block note, lalu mencoret-coret dan diletakkan di sebelah tangan halus yang tengah menulis. Isinya:   Hai ... namaku Nikholas Arya Narendra, kamu boleh panggil aku dengan sebutan Niko. Aku seniormu, lho ... nggak baik, yunior bersikap kurang respect pada senior yang baik hati. Gadis itu tak menunjukkan tanda emosi wajah apapun, sementara Niko memandanginya setelah kertas tersebut tergeletak dengan sempurna tepat menghadap pada si cantik yang pasti akan dapat membaca tanpa menggeser satu inchi-pun. Dengan mencoba mengumpulkan semua memorinya yang tidak begitu bagus, Niko terus mencoba mengingat-ingat tentang wajah sedingin es yang bernama Gita itu. Namun, tak sepotong gambarpun ia temukan dalam otak yang selalu dipenuhi model gadis-gadis yang pasti lebih glamour daripada hanya sekedar penampilan sangat biasa dalam diri wanita terhormat yang kini sedang duduk di sebelahnya dengan sikap super cuek. Teramat sangat tersinggung berat! Bagaimana tidak? Lelaki yang selalu dapat menaklukkan gadis manapun dengan wajah tampan nan polos seperti dirinya itu, kok ya bisa dicuekin dengan begitu parahnya. Kertas yang ia kirim sebagai salam perkenalan, tetap diam tak bergerak. Hanya sesekali saja angin yang berhembus dari kipas besar di langit-langit menggoyangkannya; dan itu malah semakin membuat hatinya nelangsa! Tak kekurangan akal, lelaki itu kini mulai bertingkah. Dengan gaya pengamat politik yang sedang mendengarkan paparan dari salah seorang kandidat bakal calon kepala daerah di depan sana, ia menyandarkan tubuhnya dengan berlagak nyaman. Lalu, tangan kirinya terulur kesamping untuk ia tumpangkan di sandaran kursi si jutek yang bernama Gita. Dan, betapa hatinya bersorak ketika ia merasa telah berhasil mengusik gadis disebelahnya itu. Gita memajukan tubuh yang merasa risih saat sebuah lengan kurang ajar dengan santainya menyentuh punggung tanpa permisi. Lalu, Niko melihat respon itu. Reaksi yang ia harapkan sejak pertama ia berbaik hati mengulurkan persahabatan. Gita meraih kertas yang yang tergeletak dihadapannya semenjak tadi, lalu terlihat menulis sesuatu di bawah pesan Niko. Setelah selesai, ia mengembalikan kertas yang kini terlipat dengan cara meletakkan di sandaran tangan sebelah kiri kursi Niko. Girang, si pemuda bandel langsung membukanya. Dan isi tulisan itu kontan saja membuatnya ingin menangis, MAS TOLONG JANGAN AMBIL DOMPET SAYA, UANG DI DALAMNYA HANYA CUKUP BAYAR ONGKOS BIS KOTA INI PP KE KAMPUS. PLEASE, KASIHANI SAYA KALAU NANTI TIDAK BISA PULANG KARENA DOMPET MELAYANG. Hati yang semenjak tadi merasa tersia-sia, kini menjadi semakin nelangsa lagi. Bayangkan, ia dituduh sebagai copet! Dan gadis itu menulis dengan gaya seolah-olah mereka sedang berada di atas bis kota!  --- Akhirnya, dengan kesal Niko meyisipkan kertas tersebut ke dalam buku catatannya. Kemudian, ia mencoba untuk fokus pada Bu Winda yang kini terlihat jika pesonanya agak memudar setelah gadis ini memasuki kelas. Belum juga ia menangkap sedikitpun apa yang sedang berusaha dijelaskan dari depan, mendadak bell tanda kuliah berakhir berbunyi nyaring. Berbeda dari biasa saat menerima perkuliahan dari seorang dosen biasa, kali ini semua mahasiswa berlagak memiliki adab baik dengan tetap menyimak meskipun jam kelas telah usai. Lalu beberapa hembusan napas lega terdengar dari kiri, kanan, depan dan belakang Niko saat melihat Ibu dosen sang master killer membenahi buku-buku di atas mejanya. Namun kelegaan itu hanya berlangsung sesaat. Semua wajah menegang saat melihat Bu Winda berdiri sambil menghadap ke mahasiswa dan berkata, “Jangan lupa minggu depan kita adakan kuis. Gita, ibu tunggu di kantor. Niko juga! Kita harus bicara serius tentang kesertaan ketiga kamu dalam mata kuliah ini!” ‘Hwadeehh ... gadis itu! Dia telah berbuat dengan begitu dzalim karena bisa menghapal dan menjabarkan  dengan baik semua tentang teori konflik, bahkan tanpa mengikuti kuliah sebelumnya. Sedangkan aku? Dalam Pengulangan kuliah ketigapun, rasanya belum mampu menjabarkan setengahnya. Baiklah, hati-hati jika suatu saat kamu menjadi jauh cinta karena pesonaku.’ Dendam asmara, mendadak bergejolak dalam hati Niko yang selalu begitu mudah jatuh hati! --- Demikianlah  sekilas tentang Nikholas Arya Narendra. Begitu terkenalnya ia yang sangat bandel karena tak pernah bosan dengan hobby mengejar gadis cantik manapun yang ia anggap menarik dan membuatnya jatuh cinta. Namun anehnya, cinta akan menguap entah kemana saat ia telah mendapatkan buruannya! Alasannya, ‘Wah ... aku terjebak!’ demikian dia mengakui kepada teman-temannya bahwa dirinya telah bernasib sebagai korban. Semua hanya tertawa melihat wajah polos itu mengeluh tentang patah hati dan betapa sakitnya dikhianati. Karena, bahkan sandal yang ia pakai sehari-hari telah sangat paham bagaimana gerak-gerik sang tuan saat telah menetapkan sebuah mangsa sebagai target berikutnya. *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN