BAB 1 - Nikholas Arya Narendra

1346 Kata
Hal itulah yang menyebabkan Niko harus mengikuti mata kuliah dari dosen killer itu selama tiga kali berturut-turut. Bayangkan, tiga semester waktunya hilang hanya untuk memuaskan hasrat perfectionism si ibu dosen yang tidak pernah mau tahu betapa repotnya anak muda jaman sekarang. Jatuh bangun, ia harus selalu menjadi seorang terduga bersalah dalam setiap kesempatan bertemu sang ratu agung. Winda Komala benar-benar telah mengangkat dirinya sebagai yang memiliki kekuasaan absolut dalam meluluskan atau tidaknya seseorang dalam mata kuliahnya. Dan bagi salah seorang mahasiswa, ada satu kebiasaan paling menyebalkan dari satu orang tersebut ... Begitu masuk kelas, mata Bu Winda langsung mencari-cari batang hidung Niko yang mancung. Baru setelah menemukannya, ia segera mengucapkan salam kepada semua mahasiswa. Bahkan, absensi yang selalu diputar ke seluruh kelas untuk ditandatangani mahasiswa juga terlihat begitu istimewa. Nama NIKHOLAS ARYA NARENDRA adalah satu-satunya yang tertulis dalam semua huruf kapital. Tak cukup sampai di situ, sebuah stabillo merah juga disematkan diatas namanya sebagai tanda pencarian cepat. ‘Betapa tanpa akhlaknya jika seorang dosen memberi nilai E untuk mahasiswanya. Emang dianggep bodoh banget, atau bolos 100%, atau nggak ikut ujian? Emang nggak ada rasa banget tuh, si ibu.’ Demikian batin seorang anak muda berperawakan tinggi berisi, yang tampak setengah bosan melihat sang pengajar ngomong teori segala macam dengan gaya sok proletarnya. Memang bukan karena Niko yang demikian bodoh atau nggak nyambung dalam mata kuliah ini. Tapi, yang namanya ‘ndilalah’ itu adalah suatu pertanda akan sebuah hal ‘kebetulan’ tentang arti: ada saja yang membuat lelaki muda berwajah bandel itu menjadi tak pernah lulus mata kuliah Bu Winda.   ---   Yang pertama, ia beberapa kali bolos karena saat itu lagi sayang-sayangnya kepada gadis bernama Nora yang baru aja jadian dan selalu minta ditemani saat ia mengikuti kelas. Otomatis saja, jadwal bentrok mengharuskan Niko memilih antara Bu Winda dan si Nora. Akhirnya, ia mendapat nilai A+ dari Nora dan lulus otomatis tanpa perlu mengulang lagi kisah cinta mereka. Nilai mata kuliah Pengantar Ilmu Sosial : E! Yang kedua kali, saat itu ia lagi gila-gilanya main game online. Sehingga sampai di dalam kelaspun, mainan itu tetap ia bawa dan menghasilkan mencetak kembali huruf ‘E’ setelah ia terciduk melakukan prosesi kemenangan tanpa menyadari jika Bu Winda sedang marah-marah nggak jelas, karena (mungkin) malam sebelumnya tak mendapat ‘jatah’ dari sang suami. ‘Kali ketiga ini, aku harus lulus. Bagaimanapun sulitnya cara yang harus ditempuh, aku harus menyelesaikan kuliah dengan cepat sebelum Papa, Mama dan Opa menjadi marah. Tentu saja aku tidak sudi kalau benar-benar akan dijodohkan dengan anak Tante Mira yang manis seperti boneka Barbie tapi demikian binal tak kentara.’ Niko kembali termenung memikirkan ancaman-ancaman yang mulai datang dari orang-orang yang begitu ia sayangi, saat tiba-tiba ... ---   Tok! Tok! Tok! What the Emejing! Siapa bocah bernyali begitu besar yang berani menyela Ibu tiri galak yang tengah menyaru jadi dosen itu, saat beliau sudah memasuki setengah jam lebih mengajar? “Masuk!” Sepatah kata yang lantang, keras dan penuh kebencian keluar dari bibir Ibu Winda yang tipis menggemaskan. Seorang gadis memasuki ruang kelas dengan kepala tegak, namun jauh dari kesan sombong. Lumayan angkuh dan penuh harga diri, mungkin sedikit judes jika dilihat dari bentuk bibirnya yang terkatup rapat. Tetapi, sikap pemilik tubuh tinggi langsing berkulit putih itu tak akan serta merta menjadikan orang menuduh dirinya sebagai pribadi tinggi hati. Sekali lagi tidak! Karena, orang berhati baik dan berakal sehat pasti akan langsung melihatnya sebagai sebuah figur yang memiliki rasa percaya diri tinggi. “Kamu siapa? Ada keperluan apa?” tanya ibu dosen dengan judes. “Maafkan saya, Ibu. Nama saya Andrea Gita Arshavina, NIM 070469/1204/Sp1. Mohon ijin untuk terlambat mengikuti perkuliahan karena harus mendapatkan ijin untuk meninggalkan pekerjaan dari atasan di sela kegiatan saya yang kebetulan sangat sibuk.”  “Ohh ... kamu sudah bekerja?” “Iya, Bu. Benar sekali.” “Kenapa harus repot kemari? Toh tujuan kamu kuliah juga untuk mendapatkan ijazah yang akan dipakai untuk mencari pekerjaan. Sekarang kamu sudah memiliki pekerjaan. Tanpa perlu ijazah tambahan, cita-cita kamu telah tercapai saat ini,” Kata ibu Winda dengan garang untuk menjatuhkan mental sang mahasiswa yang terlambat itu. Seketika terdengar gemuruh suara tawa dari kelas. Hanya sedetik, semuanya menjadi senyap saat lirikan maut sang ibu menyapu penjuru ruangan. “Mohon maaf, Ibu. Tujuan saya kuliah bukan hanya untuk mencari ijazah saja. Peningkatan kualitas pengetahuan agar menjadi generasi intelektual sangat saya pertimbangkan dalam membuat keputusan memasuki bangku perguruan tinggi.” “Hebat! Saya salut dengan idealisme kamu. Baiklah, kamu boleh duduk untuk mengikuti kuliah saya. Tapi tahukah kamu sudah berapa lama terlambat memasuki kelas saya?” “Maaf, Ibu. Tiga puluh menit lebih sedikit.” “Baik. Yang lebih sedikit itu akan ibu maafkan. Tapi, sebelum kamu duduk, Ibu akan memberikan sebuah tugas untukmu. Siap?” dengan wajah dipenuhi amarah, Bu Winda melontarkan kata-kata itu kepada sang mahasisiwi. Gita mengangguk dengan tenang saat menerima perintah tersebut. Dan seketika, sang dosen menjadi sedikit terprovokasi saat tak menemukan adanya raut wajah takut atau bahkan menyesal dari mahasiswi di depannya itu. Kemudian, ia melanjutkan kembali, “Baik ... tolong jabarkan dengan jelas pertanyaan yang akan saya ajukan. Biar adil, topik tersebut berhubungan dengan setengah jam tenggorokan kering dari waktu saya menerangkan teori serta penjabarannya kepada para mahisiswa bebal yang hanya mendengar tanpa mengerti isinya! Kamu sanggup?” “Akan saya coba, Bu,” jawab gadis cantik berhidung lancip itu dengan perlahan. “Kita mulai! Tolong sebutkan bunyi teori konflik dari Karl Marx! Hadap ke depan mengarah peserta kuliah yang maha bodoh! sampaikan dengan jelas teori tersebut.” ---   Kelas menjadi semakin hening. Beberapa mahasiswa membolak balik catatan untuk membaca kembali apa yang telah mereka dengar tadi. Lalu mayoritas peserta didik menjadi pucat saat melihat teori yang sedemikian panjang serta memusingkan. Hanya doa yang mampu terucap, agar sasaran pertanyaan tersebut tidak merembet sampai pada audience yang tak berdosa. Gadis itu menunduk dan menggeser tubuhnya untuk menghadap pada rekan-rekan sekelas. Satu, dua ... tiga detik kemudian ia menatap lurus ke depan. Dari bibir yang begitu seksi di mata buaya Niko, meluncurlah kata-kata jernih, merdu dan lantang, “Menurut Karl Marx, Teori Konflik terjadi dengan dilatarbelakangi sejarah mayarakat manusia yang memperjuangkan kelas, dimana akhirnya melahirkan kelompok Borjuis dan Proletar. Kelompok masyarakat yang merasa dirinya menjadi Proletar atau masyarakat biasa, kala itu dengan sadar telah melakukan pemberontakan terhadap kaum borjuis ...” Beberapa menit, gadis berwajah datar yang bernama Gita itu menjelaskan dengan gamblang tentang latar belakang terjadinya teori konflik dan instrumen lain yang terhubung dengan teori tersebut. Semua mata memandang nanar saat wajah putih cantik tanpa ekspresi itu kembali berbalik menghadap Dosen dan menganggukkan kepala pada sosok yang terlihat kaget, karena belum sepenuhnya bisa menutup bibirnya yang terbuka. “Sudah berapa kali kamu ikut mata kuliah saya? Kamu mahasiswa semester berapa?” tanya Bu Winda setelah mampu mengatasi kekagetannya. “Saya semester tiga, Bu. Baru kali ini mengikuti matakuliah Ibu.” “Bagus! Ternyata kamu sudah lebih dahulu belajar sebelum mengikuti perkuliahan. Itulah yang ibu maksud sebagai mahasiswa berdedikasi dan bertangungjawab! Sekarang, bisa kamu jelaskan implementasi dari teori tersebut untuk jaman masa kini dalam sistem bernegara kita?” Suara sang master killer terlihat melunak. Sepertinya, baru kali ini hati Bu Winda meleleh takjub terhadap mahasiswanya. “Negara, tentu saja memiliki kepentingan tertentu. Hal itulah yang dimanfaatkan oleh kaum borjuis, dalam hal ini sebagai pemilik modal yang akan selalu meminta legitimasi, kemudahan, fasilitas dan lalin-lain yang tentu saja akan semakin ...” Gamblang, jelas dan lugas, gadis yang terlihat masih seperti kaum putih abu-abu itu ternyata memiliki pandangan tajam untuk segera mengimplementasikan teori dari seseorang yang tak ada hubungannya sebagai pahlawan di negeri kita ini. “Terima kasih, kamu boleh duduk untuk mengikuti kuliah saya. Oh ya ... selesai kelas, kamu temui saya di ruang dosen.” “Baik, Bu. Terima kasih.” Dengan langkah tegak seperti tadi, Gita melangkah untuk berbaur bersama teman-temannya.  Saat ia mencari kursi kosong, ternyata hanya menemukan satu yang berada di belakang. Di sebelah kursi tersebut, duduk seorang cowok yang lebih pantas menjadi asisten dosen. Tampaknya dia angkatan tua yang belum kepengin lulus karena saking banyaknya uang untuk dihamburkan di masa kuliahnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN