11. Akhir Sepihak

1607 Kata
Saat Putri mengirim pesan singkat padanya, Sarif membaca dengan lirikan mata sekilas pesan yang muncul di layar ponsel. Sarif dengan sengaja mengabaikan pesan itu. Sarif juga sengaja mengulur waktu untuk pergi dari ruangan. Dan sesuai perhitungan Sarif, Putri datang padanya. Saat Putri mengatakan ingin bicara berdua, Sarif bisa menduga arah pembicaraan itu. Sesungguhnya Sarif tidak pernah lepas dari hari di mana ia dan Putri bicara di cafe beberapa waktu lalu ketika bertemu bersama teman dari tim properti. Sarif sangat yakin dengan firasatnya, baik di hari itu, hari ini atau pun hari saat Sarif mengantar Putri ke rumah sakit. Bahwa Putri juga memiliki rasa yang sama untuk dirinya. Namun Sarif tidak bisa mengerti mengapa Putri menyangkal keras hal itu. “Mungkin kau sudah melupakannya dan mungkin perasaanmu juga sudah berubah. Tetapi aku ingin tetap menyampaikan padamu...” Saat ini ketika Putri berdiri di hadapannya dengan keteguhan hati, Sarif tidak kuasa menahan keinginan untuk bersikap dingin dan berbuat jahat. Sarif ingin melihat bagaimana Putri bereaksi pada keadaan tidak terduga. Sarif ingin sedikitnya membuat Putri mengerti juga merasakan bagaimana perasaan yang selama ini harus ia lalui dari ketidakpastian yang Putri tanamkan. Maka dari itu Sarif mengatakan kebohongan yang kiranya bisa melukai Putri. “Maaf.. Aku sudah punya pacar.” Putri tidak pandai berbohong, semua terbaca jelas di wajahnya apa yang ia rasakan, Sarif sejak lama menyadari itu. Karena ekpresi wajah yang tidak bisa berbohong itu Sarif selalu memperhatikannya, tidak dapat berpaling darinya. Karena pesona wajah yang tidak dapat berbohong itu juga Sarif merasa yakin bahwa Putri juga menyukainya. Putri tidak pernah menyangkal dengan lisannya meski dalam keadaan tersudut berulang kali oleh Sarif, gadis itu tidak pernah bisa berkata dengan jelas bahwa ia tidak menyukai Sarif. Putri selalu memilih tetap diam karena ia tidak bisa berbohong. “Aku mengerti..” Ucap Putri sangat pelan, setelah mimik wajah terkejut hilang berganti penerimaan. Gadis di hadapannya berdiri membisu, dengan kepala tetunduk dalam tampak terluka. Meski tahu akan melukai hati Putri dengan kebohongannya, tetapi Sarif tetap melakukan itu. Bukan ingin memberi Putri pelajaran atau pembalasan, Sarif hanya ingin Putri turut mengalami rasa kehilangan dan putus asa yang berulang kali Sarif lalui karena perilaku juga sikap Putri padanya. Tapi kini setelah melihat wajah Putri yang bersedih, Sarif tidak menduga hatinya akan merasa lebih pedih. Terlebih lagi yang telah menyakiti Putri adalah karena lisannya sendiri. Senjata Sarif berubah menjadi bumerang. “Maafkan aku.. Aku salah. Aku berbohong padamu dengan berkata aku sudah memiliki pacar.” Sarif menjelaskan secepatnya. Tak tahan lagi ingin mendekap menghibur Putri. Dengan tergesa pemuda itu membuat pengakuan. “Sejujurnya aku sudah tahu apa yang akan kau sampaikan. Aku sudah tahu semua Putri, apa yang kamu miliki dan rasakan padaku.” Putri menatap Sarif dengan ekspresi tanya tak percaya, Sarif perlu menjelaskan dirinya lebih jauh agar meluruskan masalah yang ia buat sendiri. “Meski aku tidak tahu alasan mengapa kamu memilih untuk menjauh atau menghindar dariku, mengapa kamu menyembunyikan perasaanmu padaku.” Sarif terus bicara saat melihat tidak ada reaksi perubahan di wajah Putri. "Dan ternyata saat ini aku tetap ingin mendengarnya langsung darimu Putri, mendengar pengakuan isi hatimu.” Mendengar apa yang baru saja Sarif katakan, air mata Putri mengalir bercucuran. Saking terkejutnya Putri tidak dapat mengontol perasaan, ia mencoba memahami situasi yang terjadi. “Tunggu, a-aku.. Maksudmu..” Mata Putri bergetar mencari kepastian. “Bagian mana yang benar dan mana yang bohong? Aku tidak mengerti.” “Maafkan aku...” Sarif menyesal. Putri menggeleng menyangkal. “Mengapa kamu lakukan ini padaku..” ketika menyadari apa yang terjadi tubuhnya menjadi lemah kehilangan tenaga saat akhirnya tampak jelas situasi apa yang Sarif kondisikan. Tidak menduga apa yang baru saja Sarif lakukan terhadapnya. Tega berbohong untuk sengaja memberi Putri pelajaran, balas dendam atau apa pun itu istilah yang tepat untuk menyebut situasi ini. “Maafkan aku.. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku bersalah..” Sarif mendekat pada Putri menghapus air matanya. Menenangkan Putri yang masih terguncang. “Kamu marah padaku?” Putri mendorong Sarif menjauh. “Saat kamu mengatakan sudah memiliki orang lain. Aku langsung menerima itu sebagai kenyataan dan merasa bahwa diriku pantas menerima hukuman ini. Selama ini aku sudah sangat jahat padamu.” Suara isak tangis bercampur dalam penjelasan Putri. “Karena itu meski hatiku sangat terluka, aku berusaha tetap tegar bertahan. Hari ini aku harus menyampaikan semua isi hatiku padamu apa pun yang terjadi. Aku ingin kamu tahu apa yang kurasakan dan kulalui selama ini.” “Aku tahu itu, aku mengerti.. Maafkan aku..” Sarif menangkap bahu Putri, menatap Putri dengan ekspresi penyesalan. Namun Putri belum sepenuhnya bisa menenangkan diri, juga belum selesai menyampaikan semua kata yang terpendam dalam hatinya selama ini. “Aku bukan ingin mencari alasan atau pembenaran atas sikapku padamu. Aku ingin menceritakan semua situasiku padamu.” “Aku akan dengarkan Putri, sejak lama aku juga ingin mengetahuinya. Tetapi aku berpikir membuatmu terdesak hanya menambah jarak di antara kita semakin jauh.” Seperti terakhir kali yang Sarif lakukan pada Putri. Entah berapa kali sudah hubungan mereka terjebak pada situasi yang sama, maju untuk melangkah lebih dekat tapi hasilnya malah terdorong semakin menjauh. Suasana hening beberapa saat. Sarif merasa tak berguna berada di sisi Putri yang menangis karena ulahnya. Tidak tahu harus menghibur dengan cara apa agar Putri berhenti, hanya dapat menunggu seperti orang bodoh hingga Putri merasa tenang kembali. Sementara itu rasanya kelas pasti sudah dimulai melihat betapa sepinya area sekitar, tidak ada seorang pun terlihat sejak tadi hanya ada mereka berdua. Tapi bukan jam pelajaran kelas yaang Sarif cemaskan saat ini melainkan gadis yang berada di sampingnya. Begitu juga Putri yang sama sekali tidak menyadari berapa lama sudah waktu berlalu hingga ia melewatkan pertemuan kelas. Sarif dan Putri duduk berdampingan mengambil tempat untuk bicara. Putri memulai kembali pengakuan hatinya setelah merasa cukup tenang. “Aku minta maaf tidak bisa menjadi pacarmu. Sudah sejak lama aku memiliki impian. Saat ini aku tidak memiliki hak untuk menjalin hubungan.” “Mengapa begitu?” Sarif tidak pernah mengira Putri punya pemikiran dalam seperti itu. Apa yang dimaksudkannya dengan hak, apakah menjalin hubungan itu perlu dinilai berhak atau tidak berhak. Siapa yang menentukan standar seperti itu. Putri megawali kisah dari bagaimana kondisi keluarga, bagaimana ia dibesarkan oleh orang tua yang berpisah, sisi kompleks dalam dirinya dan segala hal yang baru Sarif ketahui untuk pertama kali. Rentetan kejadian sulit yang terjadi dalam keluarga saat ia dan Sarif mulai saling mengenal hingga sampai pada hubungan mereka semakin dekat, begitu juga dengan alasan mengapa Putri selalu menjauh. Apa yang terpenting bagi Putri saat ini dan cita-cita yang ingin dikejarnya di masa depan. Semua rasa penasaran dan pertanyaan yang bersarang di benak Sarif dengan sendirinya terjawab saat mendengar curahan isi hati Putri. “Aku tidak memiliki kepercayaan diri untuk melakukan keduanya dengan baik, pendidikan dan hubungan spesial.” Semakin banyak bercerita semakin Putri merasa nyaman membuka dirinya pada Sarif dan ia sudah sampai di akhir kisahnya. Putri memandang wajah Sarif dengan sorot mata yang belum pernah terlihat begitu penuh arti. “Apa aku terlalu egois bila memintamu memahami situasiku. Aku ingin memintamu untuk menungguku dan selama itu kita tetap menjadi teman?” Sarif tidak langsung menjawab pertanyaan Putri. Menjadi teman, apakah status itu yang Sarif inginkan dari hubungan ini. Dalam jeda menunggu jawaban Sarif, Putri penuh harap Sarif dapat memahaminya. Namun semakin waktu berlalu harapan itu juga semakin menipis. Banyaknya waktu yang Sarif butuhkan untuk memberi Putri jawaban adalah sama artinya dengan ketidaksepakatan Sarif tentang ide Putri ini. “Aku tidak tahu, aku tidak yakin bisa melihatmu hanya sebagai teman.” Sarif tidak ingin hanya berkata manis di depan Putri, ketika hatinya berkata sebaliknya. “Sejak mengenalmu awalnya aku hanya ingin akrab denganmu, meski hanya sebagai teman sudah cukup bagiku.” Sebab Putri sudah membuka dirinya secara jujur di hadapan Sarif, karena itu ia juga ingin menjawab Putri dengan kejujuran yang sama. “Tetapi semakin besar perasaanku padamu semakin banyak yang kuinginkan lebih dari sebelumnya. Aku menyadari diriku semakin tamak menginginkan lebih darimu..” Putri terdiam, kata-kata Sarif membuatnya merasa takut dan kepercayaan dirinya seketika runtuh. Ya, Putri memiliki firasat, saat menatap wajah Sarif.  Bayang akhir dari pembicaraan ini dapat Putri ramalkan, ia tidak siap menerima-mendengar kelanjutan kata-kata Sarif. Sarif tersenyum getir menatap Putri yang juga sejak tadi mengamati raut wajahnya. “Bahkan sampai detik ini hal itu tidak berubah, aku masih sangat menyukaimu. Dan sejujurnya hatiku merasa sakit, kecewa mendengar kamu hanya ingin aku menjadi teman.” Sarif cukup lama terdiam sebelum melanjutkan. “Tapi aku bisa memahami bila kamu ingin mengejar hal yang terpenting. Karena aku pun begitu, aku juga memiliki impian sepertimu.” Putri tak kuasa bergerak, mengendalikan tubuhnya meski ingin meraih-mencegah Sarif pergi. Pemuda itu berdiri di depan Putri. “Karena kamu sudah menentukan pilihanmu. Anggap saja kamu telah menolakku. Itu akan lebih mudah untuk kita berdua.” Sarif pergi meninggalkan Putri, mengakhiri kata-katanya dengan seutas senyuman pahit dan eskpresi wajah menderita. Pergi dengan langkah tanpa keraguan apalagi untuk berbalik menatap Putri. Kali ini Putri yang menatap sosok belakang Sarif yang menjauh pergi. Punggung itu terkesan tampak tak gentar pada keputusan yang telah diambilnya tanpa mendengar dari sisi Putri lebih dulu. Mengakhiri pembicaraan begitu sepihak. Sementara Putri masih pada tempatnya, membatu menatap kosong ke arah Sarif berlalu. Sesaat kemudian air mata kembali jatuh, Putri cukup lama berada di sana seorang diri tanpa kembali ke kelasnya. Bagaimana bisa ia kembali ke kelas dengan emosi hati yang seperti ini, jika ia lakukan itu hanya akan menjadi pertanyaan dan pusat perhatian teman-temannya nanti. Inilah alasan mengaapa Putri menghindari hubungan asmara dan jatuh cinta karena bisa membuat pola hidup kesehariannya yang tertata jadi berantakan seketika. Putri ingin memutar waktu menghapus rasa, kembali kepada kehidupan monotonnya di mana belum ada kehadiran Sarif di masa itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN