“Sedang apa?” tanya Liona begitu membuka pintu, menerobos masuk ke dalam kamar Putri tanpa peringatan sore itu. Ia berencana menemui Ibu di toko, karena itu sebelum pergi Liona menengok keadaan adiknya yang sejak pulang sekolah mengurung diri di kamar.
“K-Kakak! Kenapa tidak ketuk pintu dulu!” Putri berteriak marah. Gelagatnya mencurigakan, berusaha menyembunyikan sesuatu dari Liona.
Entah apa yang dilakukannya di dalam kamar seorang diri sejak tadi. Meski berusaha menyembunyikan sekali pun, Liona dapat melihat jelas dari wajah terkejut dan panik Putri juga tatapan matanya yang coba menghindari sorot mata Liona. Apalagi kalau bukan persoalan hubungan asmaranya dengan seseorang di sekolah. Sudah dipastikan Putri menyukai Sarif, terdapat banyak bukti dan Liona bisa memaparkan bukti-bukti itu. Salah satunya apa yang terjadi sesaat tadi. Sering kali ketika Putri berada di dalam kamarnya lalu Liona datang, ia tertangkap basah mendapatinya tengah membaca surat dari sarif. Walau Putri langsung menyembunyikan surat itu agar tidak terlihat oleh Liona. Dikuatkan dengan reaksi Putri yang berlebihan terhadap Sarif juga adalah salah satu bukti tiap kali topik pembicaraan terkait hubungan mereka muncul. Lalu yang terpenting sampai membuat Liona merasa iri pada sarif adalah bukti cinta Putri pada pemuda itu.
“Aku akan pergi ke toko. Aku datang untuk memberitahumu, kenapa harus sampai semarah itu?” Balas Liona terlanjur tersinggung kena bentak adiknya.
“I-itu, karena Kakak masuk tiba-tiba dan aku sedang ingin sendiri.” Putri menyesal terlanjur berteriak marah tadi.
Liona berkacak pinggang, hilang kesabaran membiarkan Putri seperti ini setelah berhari-hari. Suasana hati selalu berubah-ubah dan kian memburuk tiap harinya. “Sebenarnya kau ini kenapa? Belakangan sikapmu aneh sekali.”
Putri membuang wajah. “Tidak, aku tidak apa-apa.” Tidak pernah ia membuka diri, bercerita pada Liona tentang apa saja yang terjadi di sekolah sejak masuk ke sekolah yang sama.
Liona tetap berdiri, diam memperhatikan Putri dengan seksama. Di sudut kamar bingkai lukisan yang hampir selesai selalu menarik perhatian Liona saat berada di kamar Putri. Bagaimana tidak, lukisan itu terpajang tampak mencolok bertengger di penyanggah.
“Kau tidak menyelesaikan lukisanmu?” tanya Liona. Tiba-tiba mengalihkan pembicaraan, lupa tujuan ia datang ke kamar Putri untuk apa.
Putri membuat sebuah lukisan, yang kini tersimpan di kamarnya. Sebuah lukisan pemandangan dengan fokus objek adalah sebuah pohon besar. Liona mengenal pohon itu, pohon besar di belakang sekolah. Liona yakin karena pemandangan sekitar lukisan tampak serupa dengan tanah lapang yang berada di belakang sekolah mereka. Hanya saja pada lukisan Putri ada sesosok pemuda di bawah bayang pohon itu. Tentu tidak dapat dipastikan siapa sosok pemuda itu karena objek hanya berbentuk lukisan landscape. Tetapi keyakinan Liona dapat mengatakan sosok itu adalah gambaran diri Sarif, karena hanya Sarif yang tengah dekat dengan Putri dan memiliki perasaan khusus padanya.
“Aku berubah pikiran.” tutur Putri datar dengan wajah dingin.
“Maksudmu?” tanya Liona tak mengerti.
Apa kalau seorang seniman berubah pikiran pada karyanya maka pekerjaan selama ini akan dihancurkan atau dibuang, ditinggalkan dan dibiarkan terbengkalai. Dirinya bukan seorang seniman, juga tidak terlahir dengan bakat itu sehingga Liona tidak mengerti atau pun memahami tentang perkataan orang yang mengatakan bahwa seorang seniman lebih peka atau sensitif pada perasaan dan perubahan suasana hati. Tapi Liona lihat tidak seperti itu yang terjadi pada lukisan Putri. Untuk seorang yang berubah pikiran lukisan itu cukup mendapat perhatian layak, dijaga dengan baik.
“Tidak, bukan apa-apa Kak.” Putri jelaskan pun Liona tidak akan mengerti, pikirnya.
Pantaslah Putri belakangan ini jadi sering pulang-pergi ke toko buku. Mungkin untuk membeli perlengkapan melukisnya yang baru. Juga saat liburan Putri sering kali keluar rumah, katanya sedang ingin melukis pemandangan. Anggapan Liona saat itu Putri sedang dibanjiri banyak inspirasi. Tidak aneh, cinta memang dapat mendatangkan inspirasi kuat. Maka jadilah lukisan itu, meski Liona tidak tahu ada cerita apa dengan pohon besar di belakang sekolah, tapi lukisan itu bukti kongrit bagi Liona. Bukti dari gambaran perasaan hati Putri yang sebenarnya. Sejak dulu jika ada sesuatu yang mengganggu hatinya, Putri lebih suka menyalurkan isi hati pada perbuatan atau sikap. Sementara Liona lebih memendam seorang diri dalam hati, menguburnya dalam-dalam. Itu kedua perbedaan di antara Putri dan Liona sebagai pribadi yang berbeda.
“Kenapa tidak kamu coba ceritakan pada Kakak?” Liona merasa sudah saatnya Putri mengakui isi hatinya. Untuk apa susah payah menyembunyikan lebih lama lagi karena Liona bisa melihat semua dengan jelas. Liona tidak mengerti mengapa Putri begitu ingin merahasiakan hal ini.
“Cerita apa?” Putri terdengar kesal, kakaknya seolah datang untuk mengorek masalah dan mengajak berdebat. Atau Putri terlalu sensitif hingga semua hal membuatnya merasa buruk.
“Tentang Sarif. Kenapa kamu berusaha merahasiakannya?”
“Bukan karena aku ingin merahasiakannya Kak.” Jawab Putri ketika Liona membahas sikapnya tentang persoalan ini.
“Lantas mengapa?” Liona sungguh ingin mengetahui alasan Putri.
Putri seketika berubah murung yang sebelumnya tampak marah. Liona tidak pernah menyadari dan telah salah mengartikan bahwa mengangkat pembicaraan tentang persoalan ini bukannya Putri tidak suka, melainkan karena ia akan merasa sedih layaknya orang yang nampak putus cinta. “Aku dan Sarif sudah sepakat memutuskan untuk tidak bersama. Saat ini aku hanya akan fokus belajar.”
“Mengapa begitu?!” Liona semakin tidak mengerti jalan pemikiran Putri. “Jika kalian saling suka mengapa tidak bersama?”
“Karena kami berdua memiliki impikan! Yang terbaik untukku dan untuknya saat ini adalah fokus mengejar masa depan.” Putri menghindari kontak mata, ia berusaha dengan keras untuk meredam perasaanya saat ini.
“Sungguh Sarif berkata itu padamu?”
“Sejujurnya tidak, aku yang memintanya untuk mengerti posisiku saat ini. Dan ia berkata bisa memahamiku lalu mundur dengan suka rela.” Bila teringat lagi pembicaraannya dengan Sarif, Putri tak kuasa memendam rasa.
“Kenapa kamu lakukan itu Putri?” Liona tidak percaya dengan apa yang telah Putri katakan sampai membuatnya merasa kesal. Berpikir sebodoh itukah adiknya, melakukan hal yang tak perlu.
“Kakak tidak akan bisa mengerti posisiku saat ini!” Putri mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk.
Pembicaraan ini menjadi perselisihan pendapat antara Putri dan Liona. Masing-masing dari mereka saling terbawa emosi pribadi. Saat ini di rumah hanya ada Liona dan Putri, tidak ada orang lain untuk melerai atau menengahi pembicaraan mereka yang mungkin akan berakhir dengan pertengkaran lainnya. Ya biasanya terjadi seperti itu pada perselisihan saudara, akan melebar-luas hingga ke hal lain yang telah lalu.
“Aku ingin fokus pada seni. Hal terpenting untukku saat ini adalah menguasai pelajaran sekolah, lulus dengan nilai tinggi dan diterima di kampus yang kuinginkan!” Putri tahu bahwa salah bila melampiaskan kekecewaan pada ketidakmampuan dirinya pada Liona, namun lisannya tidak bisa berhenti terbawa hati yang emosional. “Bukan hanya Kakak yang memiliki keinginan untuk membuktikan pada Ibu, pada Ayah. Aku juga ingin membuat mereka merasa bangga terhadapku.”
Liona sungguh mengerti apa yang Putri katakan tetapi apa yang Putri lakukan dan ia yakini bukan selalu jawaban yang benar. Sejujurnya dalam hal ini tidak ada jawaban benar atau salah. Hanya saja Liona telah memalui masa itu, masa ketika ia menyerah dan melepaskan segalanya. “Tetapi jika kamu memang menyukainya, mengapa kamu melepaskannya. Tidakkah kamu mengambil pelajaran pada apa yang aku dan Dimas alami?” Benar, situasi Putri dan Sarif sekarang ini tak jauh berbeda dengan apa yang pernah terjadi padanya dan Dimas.
“Tapi Kakak dan Kak Dimas, pada akhirnya kalian baik-baik saja dan tetap bersama saat ini. Bukan begitu!” Putri ingin percaya ia juga dapat melalui ini. Meski tidak bersama Sarif, ia bisa bertahan dan mencapai tujuan yang ia inginkan.
“Bukankah kamu sendiri yang mengatakan tidak perlu untuk mengorbankan hal lain untuk mendapatkan sesuatu. Kamu tidak perlu berkorban melepas Sarif.” Itu adalah perkataan yang pernah Putri ucapkan pada Liona saat merasa terpuruk.
“Karena itu... Karena itu Kak―” Putri tidak dapat mengendalikan rasa emosionalnya saat ini, Liona bisa melihat adiknya begitu menderita. “Aku ingin mencapai mimpiku dulu, saat itu terjadi... Ketika itu bila aku dan dia memang masih merasakan hal yang sama...”
“Itu konyol! Kamu tidak tahu bahwa waktu bisa merubah hati seseorang.” Seperti Liona yang kini menyesali semua, andai kemampuan memutar waktu untuk kembali ke masa lalu itu sungguh ada. Ia ingin memperbaiki semuanya yang telah terjadi di masa lalu, menghapus kejadian buruk, melakukan yang terbaik demi Ibu demi Dimas dan terutama demi dirinya sendiri.
“Kakak benar.” Putri sepakat dengan perkataan Liona. “Maka dari itu, jika perasaannya tidak berubah terhadapku bukankah itu bearti hatinya sungguh-sungguh.. Karena waktu telah membuktikannya?”
Seperti apa yang telah Sarif tuliskan dalam suratnya untuk Putri. Ia mengambil keputusan ini karena percaya pada kata-kata itu. Putri memilih untuk mempercayai Sarif dan mempercayai kata hatinya. “Saat itu aku tidak akan merasa ragu lagi, karena aku juga akan membuktikan padanya bahwa perasaanku..”
Putri tidak kuasa menahan tangis karena sekejap itu juga ia menyadari pengakuan hatinya ini tidak seharusnya ia ungkapkan pada Liona. Seharusnya Putri utarakan pada seseorang yang lebih tepat untuk mendengarnya, pada Sarif. Seharusnya ia katakan kepada Sarif di waktu yang lalu. Air mata Putri adalah bentuk penyesalannya pada apa yang telah ia lakukan terhadap Sarif di waktu yang lain, saat mereka berdua bicara. Bila Putri tidak kuasa menahan gejolak perasaan hatinya ini, seharusnya ia sejak awal menyadari bahwa begitu juga yang Sarif alami saat ini. Melalui perasaan putus asa, kepedihan, penderitaan serta kehampaan yang mengisi relung hati mereka. Putri tidak bisa menarik lagi kata-kata atau pun keputusan yang telah diambilnya.
“Pasti ini jalan yang berat untuk kalian berdua, apa tidak ada jalan kembali?” Liona tidak kuasa untuk menghakimi Putri lebih jauh lagi. Dengan semua derai air mata yang Putri curahkan.
“Tidak Kak, kali ini sudah sangat terlambat.” Putri tidak ingin membuat Sarif kembali goyah untuk kesekian kali. Dengan kesan seolah Putri mempermainkannya. Putri hanya mampu berharap, air mata ini tidak membawanya pada penyesalan di masa depan dan bukan pertanda dari akhir yang buruk untuk dirinya dan untuk Sarif.