10. Panitia Akhir tahun

1666 Kata
Tiba hari pertemuan tim Putri dan Sarif berkumpul. Putri datang lebih cepat dari waktu yang dijanjikan, kebetulan hari ini Putri memang sangat senggang dan merasa bosan berada di rumah. Ia memutuskan untuk datang lebih cepat ingin menikmati waktu sendiri di luar. Tetapi di mana tempat dan waktu yang dijanjikan bertemu, ternyata Sarif juga datang lebih awal dari pada anggota lain. Putri tidak tahu akan seperti ini kejadiannya, menghabiskan waktu berdua saja dengan Sarif sementara menunggu kedatangan teman-teman lain. Mereka berdua duduk bersama dalam suasana canggung, khususnya Putri merasa sedikit tidak nyaman bersama Sarif hanya berdua saja. Hadir ketegangan putri rasakan, membuatnya tak sanggup menatap Sarif, selalu mengalihkan pandangan ke arah lain atau mencari hal sekitar yang bisa menarik perhatian. Keheningan berakhir saat Sarif mulai bicara lebih dulu. “Aku mendengar dari Lia kamu kesulitan karena suratku. Bukan maksudku membuatmu begitu, maafkan aku..” Sarif membuka pembicaraan. Sepupuhnya itu menegur keras saat bertemu, memintanya tidak membuat keadaan menjadi sulit untuk Putri. Dan Sarif tidak mengira Putri akan begitu terganggu karena suratnya. Putri bergeming, mendengar apa yang Sarif sampaikan membuatnya marah. Lia menceritakan kegelisahannya pada Sarif, mengapa Lia tega melakukan itu pada Putri. Padahal Putri mempercayai Lia dengan menceritakan isi hatinya karena Putri berpikir Lia akan bersikap netral memegang perkataannya. Itu yang pernah Lia katakan pada Putri. Lantas mengapa Lia harus menceritakan apa yang terjadi dengan Putri pada Sarif. Bagaimana Putri mesti bersikap di depan Sarif sekarang. Sarif membaca raut wajah Putri yang terlihat kesal saat mendengar apa yang baru saja dikatakannya. “Jangan salahkan Lia, dia hanya tidak ingin melihatmu kesulitan. Dia marah padaku karena bersikap konyol.” Putri menatap Sarif dengan sorot mata tajam. “Apa maksudmu dengan bersikap konyol?” Putri tidak mengerti mengapa Sarif berpikir dirinya seperti itu. Sarif tidak menghindar, ia selalu sepenuh hati juga perhatian tiap kali bicara empat mata pada siapa pun itu. Apalagi bila orang itu adalah Putri. “Mengirim surat padamu, seharusnya aku pikirkan posisimu sebelum melakukannya.” “Kalau begitu mengapa kamu mengirimkannya, lebih lagi hanya lembar kosong. Itu yang membuatku bingung.” Akhirnya mereka benar-benar masuk kepembahasan hubungan pribadi. Lebih tepatnya Putri terbawa suasana bicara dengan Sarif. Emosi yang selama ini terpendam karena tidak bisa mengerti sikap dan tindakan Sarif. “Karena tidak ada lagi yang bisa aku sampaikan padamu. Aku mengawalinya dengan memberimu surat dan ingin kuakhiri dengan surat juga.” Mungkin cara berpikir Sarif sulit dimengerti dan sedikit unik dari pemuda lainnya. Sehingga setiap perkataannya bisa memicu kesalahpahaman lawan bicara. “Apa itu salam perpisahanmu untukku?” Putri tidak mempercayai apa yang baru saja ia dengar. “Aku tidak tahu kamu ternyata sudah menetapkan hati untuk mengakhiri.” Putri mulai merasa emosional. “Dan aku...” tiba-tiba emosi sedih menguasainya. Putri merasa dirinya akan menangis. “Sementara aku merasa bingung dan kesulitan harus bersikap bagaimana. Hanya aku seorang diri bersikap seperti ini...” Nada suara Putri tidak bisa menutupi kesedihan yang dapat Sarif dengar, ia rasakan. Namun Sarif semakin dibuat bingung oleh sikap Putri sekarang. Sarif menautkan keningnya, mimik wajahnya terlihat sangat serius bercampur marah. “Kenapa kamu sekarang berkata seperti itu? Kamu yang selalu membuatku bingung Putri, dengan sikapmu yang tiap kali berubah-ubah.” Sarif sungguh tidak mengerti, mengapa Putri sekarang merasa sedih dengan keputusannya mengakhiri semua. Saat Sarif mengejarnya, Putri akan lari menghindar. Lalu kini saat Sarif menghormati keputusan itu dan siap merelakan, Putri seolah bersikap memiliki perasaan yang sama padanya. “Apa kamu juga menyukaiku? Apa kamu memiliki rasa yang sama seperti perasaan yang kurasakan padamu? Katakan Putri.” Desak Sarif. Pembicaraan mereka semakin dalam dan serius. Ada hal yang tidak Sarif mengerti, yang tidak pernah Putri bicarakan padanya hingga membuat hubungan mereka selalu berada di situasi yang sama. Putri tidak bisa menerima perasaan Sarif meski memiliki rasa yang sama terhadapnya, namun juga tidak bisa sepenuhnya mengakhiri secara tegas antara dirinya dan Sarif. Itu semua karena keadaan yang selalu membuat mereka terikat, terlibat pada satu sama lain. Sarif bertaruh segalanya agar Putri memperjelas hubungan di antara mereka. Ia tidak ingin berada dalam ambang ketidakpastian lagi. Tetapi tantangannya tidak mendapat jawaban dari Putri. Seperti biasa Putri tetap membungkam mulutnya, menutup rapat. “Oh, kalian sudah berada di sini?” Pembicaraan Ssarif dan Putri harus berakhir dengan terpaksa, anggota tim yang lain mulai berdatangan ketika mendekati waktu yang dijanjikan. “Kalian datang bersama?” Tanya seorang senior. Wajah serius Sarif ketika bicara dengan Putri berubah ramah mengumbar senyuman paksa. “Tidak Kak, aku juga baru saja sampai.” Sementara Putri lekas berdiri, pamit menggunakan kamar kecil. Ia harus menata ulang hatinya, tidak ingin tampak dengan suasana hati buruk yang jelas tercermin di wajahnya. “Aku segera kembali.” Putri bergegas menuju toilet. Mereka yang merasakan atmosfir aneh di antara kedua orang tersebut jadi saling tatap, merasa menjadi penggangu yang datang di saat tak tepat. Padahal mereka memang sudah janji bertemu di waktu tersebut. “Kalian berdua tidak apa-apa?” Tanya yang lain cemas melihat Putri pergi seperti itu. “Tidak ada apa-apa..” Karena Sarif berkata demikian dengan sikap agak serius dan wajah berat maka yang lain sungkan mencari tahu lebih jauh. Sejak bertemu dan mengenal Sarif, Putri tahu bahwa Sarif orang yang berdiri kokoh pada pendiriannya. Sarif tidak pernah memperlakukan Putri dengan setengah hati. Dan selalu tahu dengan pasti apa yang diinginkan. Sangat berbeda dengan Putri yang sering kali terbawa suasana. Jika terus berlanjut seperti ini hubungan Putri dan Sarif seperti uangkapan tarik-ulur yang sering kali Putri dengar dari kisah percintaan orang-orang. Apakah itu berarti di antara Putri dan Sarif sudah terjalin kisah yang disebut sebagai percintaan. Dan kisah itu sesungguhnya sudah lama dimulai tanpa Putri menyadari. Lalu apakah itu artinya Putri bersikap egois, salah dan jahat bila membiarkan Sarif mendapat perlakuan seperti ini darinya. *** Sudah cukup bagi Putri menghindari Sarif, selama menjalankan tugas bersama sebagai panitia. Putri tidak ingin menghabiskan sisa waktu berada di SMA dalam dua tahun ke depan untuk menjauhi Sarif. Putri memutuskan untuk bicara jujur pada Sarif. Percakapan pribadi mereka terakhir kali saat berada di cafe, tempat di mana tim penyedia properti berkumpul. Putri masih mengingat sangat jelas kata terakhir yang Sarif ucapkan padanya. Putri ingin memberi jawaban pertanyaan itu saat ini. Setelah pertemuan evaluasi kinerja kepanitiaan kemarin selesai nanti. Putri akan meminta Sarif meluangkan waktu untuk bicara berdua dengannya. Banyak hal ingin Putri sampaikan yang selama ini ia pendam. Semua rasa bersalah, kegelisahan, penderitaan, sanjungan, gejolak bahagia serta ucapan terima kasih akan Putri sampaikan semua pada Sarif di hari ini. “Kakak kelas menyampaikan pada OSIS rasa terima kasih mendalam untuk kalian semua. Karena berkat kalian yang telah mempersiapkan acara kelulusan dengan sangat luar biasa, terutama memberi kenangan tak terlupakan bagi mereka.” Ketua OSIS tak pernah sungkan mengumbar pujian dan apresiasi pada tim bila memang anggotanya layak mendapatkan hal itu. “Aku akan bacakan beberapa pesan dan kesan dari Kakak kelas 3 tentang acara kelulusan kemarin. Aku harapkan ini bisa menjadi motivasi dan kebanggan bagi kalian yang telah mendedikasikan waktu, usaha dan tenaga demi kesuksesan acara ini.” Selama pertemuan berlangsung Putri tidak henti merasa gugup dan berulang kali mencuri pandang pada Sarif. Apa yang akan Putri lakukan dan sampaikan kepada Sarif sama saja sebagai pernyataan cinta. Pertemuan memasuki bagian penutup. “Bersamaan dengan berakhirnya pertemuan kita ini, secara resmi saya membubarkan susunan kepanitiaan.” Ketua OSIS sebagai pemimpin rapat menyampaikan kata-kata terakhir. “Kami memohon maaf selaku OSIS dan saya pribadi kepada teman-teman apa bila memiliki kekurangan juga melakukan kesalahan selama ini. Terima kasih..” Sebelum semua orang pergi meninggalkan ruangan satu demi satu, Putri cepat-cepat mengirim pesan singkat pada Sarif. Tetapi Putri menyadari Sarif tidak menaruh perhatian pada ponselnya. Pesan Putri tidak langsung dibaca olehnya. Hanya tersisa satu cara di waktu yang singkat ini, atau kesempatan akan hilang. Putri harus bergerak cepat, mengerahkan seluruh keberanian untuk menghadang Sarif dan mencegahnya pergi. Tetapi Sarif selalu terlihat berkelompok, selalu ada orang lain di sampingnya. Seharusnya Putri hanya tinggal memanggil nama Sarif dengan wajar seperti orang lain. Tetapi ia belum pernah melakukan itu, Putri menyadari belum pernah memanggil nama itu sekali pun. Meski mereka sudah sering kali bersama mau pun bicara. Putri datang mendekat pada Sarif, ditariknya ujung lengan seragam Sarif. Sarif berbalik melihat kebelakang, Putri tidak menatapnya secara langsung. Sarif hanya bisa melihat bagian atas kepala Putri, tidak dengan wajahnya. “Bisa luangkan waktumu untuk bicara denganku sebentar saja?” Pinta Putri dengan suara sangat pelan namun Sarif masih dapat mendengar dengan jelas. Sarif meminta teman-temannya untuk pergi lebih dulu tanpa dirinya. Sarif dan Putri harus berpindah tempat untuk mencari ruang yang lebih privasi. Di sudut taman, di mana tak banyak orang datang ke sana, mereka berdua bicara. Butuh cukup waktu untuk Putri mengumpulkan keberanian dan mengatur perasaannya ketika mencoba bicara dengan Sarif. Sarif menunggu tetap diam sambil memandang Putri dengan tatapan intens. “Apa aku harus menunggu lebih lama lagi?” Sarif berkata dingin, tidak sedetik pun melepas pandangan matanya menatap Putri. Sementara Putri masih belum dapat menatap Sarif lurus dengan berani. Tenggorokan terasa kering dan lidahnya kelu, tapi Putri sudah bertekad untuk menyatakannya pada Sarif hari ini. “Yang ingin aku katakan padamu adalah jawaban untuk pertanyaanmu padaku yang tidak sempat aku katakan padamu saat itu.” “Pertanyaan apa?” Masih dengan nada bicara terkesan dingin dan acuh. Putri dapat mengerti bila Sarif telah melupakan pembicaraan mereka itu karena memang sudah terjadi cukup lama. “Mungkin kau sudah melupakannya dan mungkin perasaanmu juga sudah berubah. Tetapi aku ingin tetap menyampaikan padamu...” Belum sempat Putri melanjutkan kata-katanya. Saat hampir bersamaan Sarif membuka mulutnya lebih cepat, membuat gadis itu bungkam. “Maaf.. Aku sudah punya pacar.” Putri terguncang mendengar perkataan Sarif. Seketika Putri merasakan sakit yang teramat menusuk hatinya. Putri akan tetap menyampaikan apa yang ingin ia katakan pada Sarif seluruhnya sampai selesai. Apa pun situasi dan keadaan Sarif saat ini. Putri tidak boleh mulai menangis sekarang. Putri harus bertahan dan tetap tegar, Sarif tidak bersalah. Sejak awal keinginan Putri untuk mengutarakan isi hatinya bukan untuk mengajak Sarif memiliki hubungan khusus dengannya. Putri baik-baik saja, ia tidak boleh kecewa atau pun merasa dikhianati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN