Keesokan harinya Putri masuk sekolah dengan mata masih sembab selepas tangisan kemarin. Orang yang melihat itu mungkin akan salah paham Putri sedang berkabung, kehilangan seseorang yang amat berharga untuk selamanya. Ketika bersiap berangkat ke sekolah Putri merasa cemas saat melihat dirinya di cermin. Bila Sarif melihat keadaan wajah Putri yang seperti ini, bisa timbul salah paham lain atau mungkin justru membuat Sarif cemas. Dipikirkan ke sana rasanya Putri bertingkah seperti pencari perhatian. Karena itu Putri menghindari orang sejak tiba di sekolah, langsung bertolak ke kelas dengan pandangan tertunduk.
Dengan lirih Putri memanggil temannya. “Egi, bisakah kamu memberitahu guru di pelajaran pertama-kedua bahwa aku merasa tidak enak badan dan pergi ke UKS? Aku akan berada di sana sampai pelajaran siang.” pintanya.
Egi panik melihat wajah Putri yang pucat, tampak lemah tak sehat. “Wajahmu kenapa Put? Kamu sakit? Kenapa masih datang ke sekolah?”
“Tidak...” Putri menggeleng lemah. “Sore ini kita ada test tertulis. Aku tidak bisa melewatkannya.” Putri sudah berjanji akan menjalani sekolah dengan sungguh-sungguh sebab alasan itu yang membuatnya mendorong Sarif menjauh. “Bisa kamu lakukan permintaanku?” Dengan kondisi mata yang sembab Putri kesulitan melihat Egi dengan jelas. Matanya terasa panas, begitu juga bagian kepala yang terasa berat-berputar dan tubuh lemas tak bertenaga.
“Kamu yakin tidak apa-apa? Bodoh! Kenapa memaksakan diri seperti ini?” Ujar Egi cemas bercampur gemas.
“Aku akan baik-baik saja setelah beristirahat, karena itu tolong bantu aku yah..” Putri merasa begitu tidak berdaya. Bahkan omelan Egi berdengung di telinganya, membuat kepala terasa semakin pusing.
“Akan kulakukan, jangan cemaskan itu! Akan kuantar kamu ke sana.” Egi menjabat sebagai ketua kelas, ia sangat paham apa yang harus dilakukan untuk situasi ini.
“Terima kasih..” Putri merasa lega.
Putri berencana untuk sembunyi di unit kesehatan sementara mengopres lagi matanya dengan kain basah dan air dingin. Putri merasa lebih aman lagi kalau seseorang mengantarnya sampai ke sana. Karena Putri bisa memegang seseorang itu sebagai penuntun arah dan menundukkan wajah sepanjang perjalan. Putri bisa menghindari tatapan orang-orang dan tidak perlu bertemu muka dengan siapa pun.
“Apa sesuatu telah terjadi? Semua baik-baik saja bukan?” Egi masih cemas dengan keadaan Putri yang tidak biasa. Juga tiba-tiba terlintas kejadian kemarin dalam benaknya.
“Semua baik-baik saja, aku hanya terlalu terbawa perasaan kemarin dan berakhir dengan banyak menangis.” Pengakuan lugu Putri begitu khas dirinya. Dan benar apa yang menjadi dugaan Egi bahwa telah terjadi sesuatu.
“Tapi suhu badanmu terasa panas, mungkin kamu juga terserang demam. Kita harus mengecek suhu badanmu nanti.” Egi mempergegas langkah kakinya membantu Putri. Ingin ia menyampaikan hal lain tapi merasa bukan saat yang tepat mengatakan itu pada temannya dalam kondisi seperti ini.
“Baiklah..” Putri memang merasa kehilangan kekuatan fisiknya saat bangun tidur.
“Apa ini masih ada hubungannya dengan Sarif? Sejujurnya aku melihat kalian bicara berdua.” Akhirnya kata-kata itu terucap juga dari Egi setelah mencoba untuk diam.
Apa putri memang semudah itu terbaca oleh orang lain. Keputusan yang tepat Putri memilih untuk berada di unit kesehatan. Karena di jam pelajaran kedua kelas Putri dan kelas Sarif akan melakukan kelas gabungan di pelajaran olahraga.
“Aku bukan bermaskud menyudutkanmu untuk bercerita. Aku hanya tidak ingin kamu menderita seorang diri.” Melihat Putri yang tetap diam, Egi tidak ingin menambah beban hati temannya itu. “Kamu bisa percaya padaku, aku akan mengantarmu sampai ke UKS dengan selamat.” Ucap Egi sangat bertekad. Mendengar ucapan Egi, Putri bersyukur masih bisa tersenyum di saat keadaan hatinya sangat-sangat rapuh. Kebaikan kecil dan sederhana membuat suasana hatinya merasa lebih baik. Putri harus bertahan dengan sisa-sisa harapan yang semakin samar. Ini bukanlah akhir dari segalanya. Putri tidak boleh menyesali jalan yang sudah dipilihnya atas kehendak sendiri.
***
Di saat jam pelajaran olahraga hampir dimulai, Sarif mencari sosok Putri tetapi tidak menemukannya di antara anak kelas 1-4. Sarif berpikir semalaman setelah peristiwa kemarin, pembicaraannya dan perpisahaan dengan Putri. Sarif tidak bisa lepas memikirkan permintaaan Putri padanya. Permintaan untuk Sarif menunggunya dan selama masa penantian itu mereka hanya akan menjadi teman. Menghabiskan waktu semalaman untuk berpikir, hati kecil Sarif melarangnya untuk melepaskan Putri begitu saja. Tidak seharusnya ia mengakhiri pembicaraan kemarin dengan dorongan emosional. Semestinya yang harus dilakukan saat itu, Sarif dan Putri bisa mencari jalan keluar bersama. Sarif harus segera bicara kembali dengan Putri, kalau perlu Sarif akan meminta kesempatan kedua.
“Apa Putri tidak masuk hari ini?” Tanya Sarif pada Lia. Pandangan matanya tak henti mencari sosok Putri di antara teman-teman.
Lia tetap sibuk melakukan perenggangan. Baik di sana atau pun di kelas ia juga belum melihat Putri. “Aku memang belum melihatnya. Tapi dari kabar yang disampaikan ketua kelas pada guru, aku dengar Putri kurang sehat dan saat ini berada di UKS.”
“Oke, thanks..” Sarif dengan cepat berlalu pergi di tengah jam pelajaran olahraga, tak membuang waktu.
“Hei! Sarif, tunggu..” Percuma meski Lia mencegahnya untuk tidak pergi, sepupunya itu tidak akan mendengar dan perduli pada larangannya. Mungkin Lia sudah salah bicara, memberitahu di mana Putri berada padahal ia sudah mendengar sekilas dari Egi cerita Putri dan Sarif tentang apa yang terjadi kemarin. “Hahh, sudahlah.. Apa yang terjadi pasti terjadi, dan mereka yang ditakdirkan bersama pasti akan bersama meski mencoba untuk berpisah.”
“Bicara apa kau! Jangan sok dramatis begitu.” Kata Egi yang juga menatap kepergian Sarif.
“Aku hanya inginkan yang terbaik untuk mereka berdua.”
“Benar..” ucap Egi sepakat tanpa bantahan atau pun tambahan kata. Entah apakah Sarif dan Putri bertemu saat ini adalah waktu yang tepat, Egi tidak berada diposisi diri sebagai penilai. Juga tidak ingin menyalahkan Lia yang membocorkan keberadaan Putri pada Sarif. Sebagai teman, yangd apat mereka lakukan sebagai bentuk dukungan adalah berharap akhir yang terbaik.
Dengan setengah berlari, Sarif menuju ruang unit kesehatan. Tanpa ragu atau pun menunggu ia membuka pintu setelah sebelumnya mengetuk dua kali. Tidak ada siapa pun di sana, kecuali satu ranjang yang terisi ditempati oleh Putri. Sarif melangkah masuk kedalam dan menutup pintu perlahan. Putri tampak terkejut melihat seseorang yang saat ini paling ingin dihindari sampai bersembunyi di tempat ini berdiri di hadapannya. Sarif masih berdiri di depan pintu, ia menjaga pandangan tidak menatap Putri langsung.
“Maafkan aku mendatangimu seperti ini, hanya saja aku tidak ingin mengulur waktu untuk mengatakannya padamu.” Sebelum bergerak Sarif meminta persetujuan Putri terlebih dulu. “Bolehkah aku lebih mendekat padamu?” Entah mengapa Sarif merasa harus bersikap lebih hati-hati dan sopan di sekitar Putri saat ini. Mungkin karena sebagian akal sehat Sarif menyadari mereka hanya berdua di ruangan itu.
Putri mengganti posisi setengah berbaringnya menjadi duduk tegap di sisi ranjang. Putri memberikan persetujuannya dengan anggukan kepala. Setiap langkah yang Sarif ambil untuk datang mendekat ke arahnya membuat hati Putri berdegup semakin kencang. Putri sudah melupakan bentuk wajah layu, pucat dan juga matanya yang masih sembab.
Sarif mengambil langkah mantap mendatangi Putri. Pada jarak sekitar dua meter tersisa selisih di antara mereka, Sarif menghentikan langkahnya. Seraya berkata dengan pandangan mata tidak lepas menatap Putri. “Akan kulakukan! Menunggu dan menjadi temanmu aku akan melakukannya.”
Putri merasa seperti sedang bermimpi, karena Sarif menyetujui ide gilanya. Baru kemarin Sarif menolak dan berlalu pergi meninggalkan Putri. Saat itu Sarif terlihat jelas sangat tidak menyukai gagasannya, dan Putri berusaha mencoba menerima-menghormati keputusan Sarif.
“Bagaimana pun aku tidak bisa menyerah, setelah berpikir semalaman aku ingin mengikuti kata hatiku. Aku sangat menyukaimu dan maaf untuk sikapku kemarin.” Wajah Sarif tertunduk dalam ketika kata maaf terucap, menunjukkan betapa besar penyesalannya atas kejadian kemarin yang pergi begitu saja dengan sikap dingin. “Karena itu.. Biarkan aku mendengar untuk sekali saja. Apa kamu menyukaiku?” Lontar Sarif menatap Putri dengan sangat serius. Ia ingin mendapat kepastian.
Kata-kata yang Putri tangisi kemarin di hadapan Liona. Kata-kata yang tidak dapat disampaikan pada Sarif. Inikah kesempatan kedua yang datang padanya. Putri tidak merasakan keraguan, ia dapat mengutarakannya saat ini. “Aku juga suka padamu, memiliki perasaan yang sama untukmu. Aku menyukaimu Sarif..”
Akhirnya kata-kata yang sangat ingin Sarif dengar dari lisan Putri selama ini menyapu kabut tebal di benak Sarif. Kini logika dan kata hatinya bisa bekerja sejalan dalam satu arah. “Aku tidak mengira akan merasa segembira ini mendengar kamu menyebut namaku. Kamu tidak tahu berapa lama aku menunggu.” Binar mata dan wajah Sarif membuat Putri terkesima.
“Maafkan aku..” Sepintas Putri merasa kejanggalan dalam reaksi Sarif. Sesuatu membuatnya tergelitik untuk bertanya. “Kamu merasa senang aku menyebut namamu? Bukan karena mendengar pengakuanku?” Putri sedikit kecewa. Padahal susah payah setelah menempuh jalan berputar akhirnya ia bisa mengutarakan rasa yang selama ini tertahan pada Sarif.
“Sudah kukatakan padamu, aku tahu bagaimana perasaanmu padaku. Aku hanya ingin mendengarmu mengatakannya meski sekali untuk kepuasan egoku.”
Sulit Putri percaya, saat ini sikap Sarif sedikit menjengkelkan. Putri teringat Dimas pernah mengatakan karakter seorang striker memang dipenuhi kepercayaan diri dan sering mendominasi. Begitu yang Putri rasakan saat ini, dengan mudah dipengaruhi-didominasi oleh Sarif. Tak kuasa menolak pesona pemuda yang telah menerobos masuk mengisi hari-harinya.
Sarif beranjak mengambil tempat lebih nyaman, duduk di ranjang seberang putri menghadap. “Jadi, katakan sekarang. Apa yang kamu maksudkan dengan perkataan kemarin?”
Putri sudah tak segugup saat tadi Sarif datang, juga perasaan mengganjal di hatinya sudah sepenuhnya menghilang. Saat ini Putri tahu juga mengerti bahwa dirinya dan Sarif bisa mencapai satu tujuan yang sama selama mereka menjaga komunikasi, saling jujur, terbuka satu sama lain. Suasana di antara mereka tak lagi terasa serumit, seberat dulu setelah satu sama lain telah memastikan perasaan masing-masing.
“Aku ingin kita membuat perjanjian. Antara kau dan aku.” Ucap Putri mantap menyampaikan usulan gilanya. Tidak ada orang di luar sana yang akan berpikir serumit mereka untuk menjalin hubungan ini.
“Perjanjian?” terdengar seram, tapi Sarif tetap dengan setia mendengarkan penjelasan Putri hingga selesai.