9. Memasuki Babak Akhir

1608 Kata
Pengumuman panggilan suara untuk anggota panitia perayaan HUT sekolah mengudara di seantreo penjuru gedung. Anggota panitia diminta untuk berkumpul di ruang OSIS. Pertemuan ini dihadiri siswa kelas satu, kelas dua, anggota OSIS dan juga guru pengawas panitia pelaksana. Putri dan Sarif turut hadir dalam pertemuan. “Terima kasih untuk kesediaannya meluangkan waktu di jam istirahat kalian.” Ketua OSIS membuka jalannya pertemuan. Topik pertemuan itu untuk membicarakan persiapan upacara kelulusan siswa kelas tiga yang akan digelar dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Di mana itu artinya Liona dan Dimas yang merupakan siswa kelas 3 hanya memiliki waktu tinggal beberapa bulan ke depan sebelum lulus dari sekolah. Sarif dan Putri menghadiri pertemuan itu dengan perasaan bercampur aduk, karena mereka harus berpisah dengan orang-orang terdekat meski hanya sebatas tempat sekolah. Setelah ketua OSIS menyampaikan patah-kata pembuka. Selanjutnya dipersilahkan yang bicara menyampaikan poin utama adalah guru selaku penangung jawab, penasehat juga pengawas kegiatan HUT sekolah kemarin dan juga akan menjabat posisi yang sama dalam kegiatan mendatang. “OSIS meminta untuk tidak merombak susunan panitia HUT sekolah dan melanjutkan tim yang ada menjadi panitia persiapan upacara kelulusan agar menghemat waktu. Karena itu kalian semua dipanggil dan dikumpulkan di sini.” Alasan lain susunan ini terpilih karena pada waktu terakhir dianggap mampu membawa kesuksesan acara yang diamanatkan pada mereka. Maka guru pengawas serta panitia pelaksana menyetujui usulan OSIS. Pada kesempatan kali ini pun Sarif dan Putri berada di tim yang sama, mereka bertugas sebagai penanggung jawab penyedia properti. Tiap tim terdiri dari lima sampai delapan orang, tergantung dari beban tugas dan tanggung jawab. Tim Sarif dan Putri beranggotakan tujuh orang. Tim ini akan banyak membutuhkan tenaga otot dan juga pergerakan fisik saat mendekati pelaksanaan acara. Tugas pertama tim penanggung jawab penyedia properti adalah membuat daftar barang dan alat yang dibutuhkan saat acara. “Aku rasa kita harus membuat janji bertemu di akhir pekan, karena masing-masing dari kita sudah cukup sibuk dengan kegiatan club seusai sekolah. Apa kalian sepakat bila kita atur pertemuan di luar sekolah?” ucap seorang dalam tim. “Aku ikut rencana Kakak saja.” Kata Putri. “Bagaimana yang lain?” tanyanya. Anggota yang lain menganggukkan kepala dan tersisa tinggal seorang yang belum menyatakan pendapat. “Aku harus melihat jadwal latihanku dulu.” Sarif angkat bicara. “Baiklah, kalau begitu kita bisa bicarakan lagi ini di grup chat. Aku akan buat sekarang.” Katanya mengakhiri diskusi singkat kelompok properti. Diputuskan mereka sepakat bertemu untuk mendiskusikan pembahasan ini pada akhir pekan di area sekitar, tidak jauh dari sekolah. “Bila tidak ada keberatan atau pun pertanyaan lebih lanjut dari teman-teman sekalian. Saya akhiri pertemuan pertama kita sampai di sini.” Ketua OSIS menutup rapat. “Saya harapkan kerjasama semua untuk kesuksesan bersama kita kali ini juga. Sekian, sampai bertemu di pertemuan berikutnya.” Semua orang meninggalkan ruang rapat dan kembali pada kesibukan masing-masing. Dalam perjalanan menuju kelas Putri banyak merenungi. Putri tidak habis pikir mengapa situasi selalu membawanya kembali bersama dengan Sarif. Berapa kali sudah Putri harus melalui suasana canggung saat berada di sekitar Sarif. Terutama Putri merasa berat untuk bersikap biasa di depan yang lain, karena Putri tidak pandai berbohong. Putri takut anggota lain akan merasakan perlakuan berbeda dirinya pada Sarif. Sementara Sarif sendiri terlihat seperti biasa dan bersikap sangat santai, membuat Putri merasa jengkel. Alasan Putri merasa jengkel juga sebagian karena ia teringat dengan surat terakhir yang diterimanya dari Sarif. Beberapa waktu lalu Dimas datang ke rumah untuk bertemu kakaknya. Bersamaan dengan kunjungan Dimas, ia membawa serta surat titipan dari Sarif yang minta disampaikan pada Putri. Dimas berkata tidak bisa menolak permintaan tolong Sarif, “Aku juga pernah berada di posisi Sarif, mengerti apa yang ia rasakan. Jadi maafkan aku Putri harus melakukan ini. Tapi bukan berarti aku memihaknya atau menyalahkanmu, ini pertama dan terakhir. Maafkan aku..” Terang Dimas ketika menyerahkan surat milik Sarif. Ia berjanji tidak akan terlibat lagi pada persoalan antara Sarif dan Putri untuk kedepannya. Putri tidak mempersalahkan pilihan Dimas yang memutuskan membantu Sarif, mungkin karena Sarif sudah sangat putus asa dan kehabisan cara untuk membuat Putri bersedia melihat ke arahnya. Sejak saat terakhir mereka bicara, Putri benar-benar sepenuhnya menghindar, menjaga jarak dari Sarif. Karena itu hanya berkirim surat cara Sarif bicara pada Putri. Setelah semua pesan atau panggilan dari Sarif Putri abaikan. Putri tidak pernah menduga Sarif akan mengirimnya surat lagi setelah Putri menghindar dengan sangat kejam di pagi itu. Namun hal yang membuat Putri lebih tidak terduga adalah Putri menerima surat lembaran kosong. Sampai saat ini Putri tidak mengerti arti surat yang Sarif berikan. Lembaran kosong tanpa apa pun tercatat di kertas surat. Apakah Sarif sengaja ingin mengejeknya. Untuk apa Sarif memberikan surat kosong pada Putri. Bila dipikirkan berulang kali pun Putri tidak mengerti maksud dan tujuan Sarif melakukan itu. Haruskah Putri mengembalikan surat dan berkata tidak bisa menerimanya ataukah Putri tanyakan langsung alasannya pada Sarif. Putri merasa gundah harus bersikap seperti apa. “Percuma saja kamu bertanya padaku, aku tidak memiliki jawaban yang kau cari.” Kata Lia saat Putri datang padanya menceritakan kecemasan itu. Terdengar kejam dan dingin memang, tapi Lia sudah memutuskan lepas tangan dari hubungan keduanya. “Mengapa tidak kamu tanyakan langsung kepada orangnya?” Lia merasa Putri membuat situasi menjadi sulit untuk diri sendiri. Putri tetap diam, bila ia bisa pasti sudah dilakukannya seperti apa yang Lia katakan. “Maafkan aku karena tidak bisa membantumu..” Lia menepuk pundak Putri memberi semangat. Saat seperti ini Lia merasa berat hati melihat Putri yang kesulitan. Meski ingin bersikap tetap netral tapi kenyataannya Lia lebih banyak melihat, bertemu, bersama Putri dari pada Sarif sepupunya sendiri. Itu membuat hati Lia lebih lemah dan condong memihak kepada Putri, mungkin juga karena ia sesama wanita cenderung menggunakan perasaan dari pada logika. Tapi untuk mengerti permasalahan hati dan perasaan dilema asmara, perjalanan Lia masih teramat jauh untuk hal itu. *** Malam itu di meja makan Putri bersama Liona hanya berdua saja di rumah, Ibu akan pulang terlambat malam ini. Berada di rumah hanya berdua seperti ini menjadi keseharian biasa sejak pekerjaan baru Ibu mulai semakin sibuk. “Aku juga mendengar panggilan di sekolah hari ini, apa mereka mengumpulkan kalian untuk persiapan seleksi OSIS?” Tanya Liona pada Putri di tengah waktu makan malam mereka. Putri terperangah. “Seleksi Pemilihan Ketua OSIS? Kakak ini bicara apa!” Nada bicara Putri terdengar sedikit jengkel. “Ketua OSIS kita sudah berganti sejak beberapa waktu lalu.” Terang Putri yang membuat Liona terkejut bukan main. “Apa? Sejak kapan?” Liona sama sekali tidak tahu tentang ini. Ya tidak salah, sebagai siswa kelas 3 yang tengah dalam persiapan menghadapi ujian akhir Liona terlalu abai pada perubahan sekitar yang terjadi di sekolah. Persoalan hubungannya dengan Dimas saja sudah menyita perhatian. “Ah! Benar... Saat itu Kakak absen dari sekolah.” Putri baru teringat. Ya, itu terjadi saat Liona dirawat dan tidak hadir ke sekolah untuk beberapa waktu. Tapi itu sudah cukup lama, dan selama itu Liona sama sekali tidak menyadari. Liona merasa buruk, karena serendah itukah keperdulian Liona pada lingkungan sekitarnya selama ini. Jalan untuk merubah dirinya Liona rasakan semakin panjang dari sebelumnya. “Lalu kalian dipanggil untuk apa?” Liona masih belum mendapat jawaban. “Panggilan tadi untuk panitia persiapan kelulusan siswa kelas tiga. Aku akan menjadi panitia kelulusan Kakak nanti. Dan itu membuatku merasa sedih juga sepi.” Mendengar ucapan Putri membuat Liona tersadar sisa waktunya di masa SMA memasuki babak akhir. Hanya tinggal tersisa dua babak besar lagi siswa kelas tiga berdiri sebagai tokoh utama, panggung ujian dan panggung kelulusan. Dengan kata lain itu bearti hanya tersisa sedikit waktu kebersamaan Liona dan Dimas di masa SMA mereka. Jika menengok kebelakang banyak peristiwa juga kenangan bahagia yang terjadi. Tapi Liona merasa begitu cepat waktu berlalu. “Begitu yaa.. Sekolah sudah membentuk panitia akhir tahun. Ternyata tidak banyak waktu lagi tersisa..” Liona jadi turut merasa sedih. “Panitia akhir tahun?” Tanya Putri bingung Liona menyebut istilah asing. “Ya, kami menyebutnya panitia akhir tahun karena nama kepanitiaan yang kamu sebutkan terlalu panjang.” Jelas Liona agar Putri mengerti. “Apa Kakak sudah menentukan pilihan akan masuk universitas mana dan mengambil bidang apa?” Putri atau pun Ibu sama sekali belum mendengar rencana masa depan Liona. “Dengan kepintaran Kakak, ketekunan belajar tinggi, Kakak pasti bisa menjadi apa pun. Aku percaya itu.”   “Aku harap begitu, tapi tetap saja aku tidak percaya diri dan merasa tidak tenang sebelum semua menjadi pasti.” Putri bisa mengerti itu. “Jadi Kakak sudah memiliki impian yang ingin Kakak kejar. Bukan begitu?” Pancing Putri agar kakaknya mulai bercerita. “Yaa, itu benar. Kakak belum lama ini menemukannya.” “Apa itu?” Putri bertanya tidak sabar. “Itu.. Akan kukatakan padamu saat kepercayaan diriku naik menjadi 80 persen.” Bukan Liona bermaksud menggoda Putri, tapi memang Liona belum percaya diri untuk mengungkapkan jalan karir yang dipilihnya. “Apa? Kenapa begitu? Aku ingin dengar sekarang..” Rengek Putri. “Tidak, jangan sekarang. Aku akan beritahu kamu juga Ibu di saat yang bersamaan. Ini hanya masalah waktu Putri, beri aku kesempatan mempersiapkan diri.” Liona terlihat sangat serius meminta pengertian Putri. “Memang berapa persen yang Kakak punya saat ini?” Putri tidak bisa menyembunyikan raut wajah simpatiknya pada Liona. Liona tersenyum melihat ekspresi Putri yang mencemaskannya. “Hanya 25 persen mungkin. Aku masih harus belajar lebih banyak lagi juga mencari informasi tentang hal itu. Dan aku ingin terlihat meyakinkan, penuh percaya diri saat mengatakannya di depan Ibu.” Putri dapat memahami keinginan Kakaknya. Liona tidak pernah memiliki impian atau keinginan khusus. Putri tahu itu, Kakaknya pandai belajar karena merasa hanya itu yang dirinya kuasai dengan baik. Kini Liona menemukan jalan yang ingin diarunginya, Putri tentu harus memenuhi permintaan Liona itu.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN