8. Penolakan

1617 Kata
Sarif mengantar Putri sesuai alamat tujuan namun hanya sampai di depan gedung rumah sakit. Agak sedikit terkejut ternyata tempat yang hendak Putri datangi adalah rumah sakit. Putri meminta Sarif untuk menurunkannya di sana. Putri tidak ingin sampai membuat Sarif terlambat mengikuti latihan club. Jika itu terjadi dan Sarif kena teguran, Putri akan merasa sangat bersalah. Gadis itu turun dari motor, mengembalikan pelindung kepala pada Sarif dan berkata. “Terima kasih untuk tumpangannya. Kamu belum terlambat untuk latihan ‘kan?” Putri melihat waktu pada jam tangannya. Perjalanan mereka memakan waktu hampir 20 menit. “Jangan dipikirkan, aku senang melakukannya.” Senyuman tipis Sarif tampak menawan. Putri merasa mendapat serangan tidak terduga dari kata-kata Sarif, hatinya sesaat lalu berdegup kencang. Apa Sarif memang seorang yang selalu bersikap terus-terang, manis dan lembut seperti ini. “Aku harap siapa pun itu bisa lekas sehat dan cepat keluar dari rumah sakit.” Meski Sarif tidak tahu situasi apa yang tengah Putri hadapi. Sarif berharap semua akan baik-baik saja dan apa pun masalahnya bisa segera berakhir. Putri menatap Sarif lekat dengan pandangan mata tak biasa. “Tidak seharusnya aku menerima bantuanmu.” Putri menyadari dirinya bersikap lengah dan memiliki banyak celah saat berhadapan dengan Sarif. Dan di momen ini ia tersadar bahwa hatinya sudah terisi oleh Sarif. “Apa aku melakukan kesalahan?” tanya Sarif gusar. Baru pertama Putri menatapnya seperti itu, ada getar rasa berbeda Sarif rasakan. Putri menggeleng lemah dengan tatapan mata jatuh ke bawah. “Tidak, bukan kamu. Hanya saja setelah apa yang kulakukan...” Ucap Putri lirih. Putri tersentuh Sarif mengantar Putri tanpa banyak bertanya. Membantunya, memperlakukan Putri dengan baik. Namun berikutnya rasa itu berubah jadi beban dan rasa bersalah yang membuatnya tak nyaman. Setelah apa yang Putri lakukan pada Sarif selama ini. Mengabaikan surat dan menolak cintanya, tidak mungkin kini Putri katakan pada Sarif bahwa ia mulai menyukainya. Mengakui hatinya memiliki perasaan pada Sarif. “Ada apa? Katakan saja.” Sarif menunggu Putri menyelesaikan kata-katanya. Sesaat keheningan hadir di antara keduanya. Putri kembali mengangkat wajah, memberanikan diri menatap Sarif pada kedua matanya. “Tidak sekarang, aku harus masuk ke dalam. Akan kukatakan di lain waktu.” Kata-kata Putri dan ekspresi wajahnya menyisakan misteri bagi Sarif. Apa yang membuat Putri ragu dan mengurungkan niat untuk bicara padanya. Sarif tidak ingin mendesak Putri seperti terakhir kali mereka bicara. Apalagi Sarif tahu saat ini Putri dalam situasi sulit, mungkin permasalahan keluarga. Jika kali ini Putri inginkan Sarif untuk dirinya menunggu, maka Sarif akan lakukan seperti yang Putri minta. “Aku harus pergi sekarang.” Kata Putri mengakhiri. Sarif mengangguk, menahan hasrat diri meski ingin bersama Putri lebih lama. “Kalau begitu sampai bertemu di sekolah.” Sarif merelakan Putri pergi. “Sekali lagi terima kasih. Hati-hati saat kembali ke sekolah.” Pesan Putri saat berjalan masuk ke dalam gedung rumah sakit. Sarif tersenyum getir seraya melambaikan tangan perpisahan. Apakah ini suratan takdir untuk seseorang yang menjalani cinta tak berbalas, selalu menatap sosok belakang orang yang dicintainya berlalu pergi semakin menjauh. Terasa getir, sepi, hampa, seolah separuh dalam dirinya ikut pergi bersama kepergian dia yang tercinta. Setiap kali momen ini terjadi rasanya sangat menyakitkan hampir tidak tertahankan bagi Sarif. Begitu mudah bagi Putri meninggalkan Sarif, namun begitu sulit bagi Sarif beranjak dari tempat di mana Putri meninggalkannya. Putri pergi tanpa keraguan meninggalkan Sarif. Ini bukan saatnya untuk Putri terlarut dalam emosi perasaan hatinya pada Sarif. Putri tidak bisa meninggalkan Liona, melupakannya lantas berbahagia berdua dengan Sarif. Hal terpenting dan utama bagi Putri saat ini adalah keluarga juga karirnya. Sarif kembali ke sekolah bersiap untuk memulai latihan club. Anggota club lainnya sudah mulai melakukan pemanasan di lapangan. Saat Sarif datang bergabung bersama tim, pelatih menegurnya dengan tegas karena datang terlambat dan tanpa memberi kabar sebelumnya. Sarif berada di posisi yang jelas bersalah dalam hal ini, menerima semua omelan pelatih. Juga menuntaskan hukuman lari keliling lapangan dalam diam. Dimas mendatangi Sarif untuk bertanya beberapa hal yang ingin ia cari tahu lewat keterangan Sarif. Mereka berdua melakukan perenggangan badan bersama. “Seharusnya kamu memberi kabar jika memang akan terlambat, agar aku bisa sampaikan pada Coach.” Dimas memberi saran. “Aku sama sekali tidak terpikir ke sana.” Melihat Putri yang panik, pikiran jernih Sarif seketika buyar. “Kamu akrab dengan Putri?” Dimas menelisik wajah Sarif dengan seksama. “Sama sekali tidak. Aku hanya beberapa kali bicara dengannya.” Sarif bisa mengerti bila Dimas penasaran karena sekarang ia tahu alasan dibalik itu. Pasti masih ada kaitannya karena Putri adik dari mantan kekasihnya bernama Liona itu. “Lantas kenapa kalian bersama?” Menurut Dimas itu sangatlah aneh. Sarif sampai memilih terlambat latihan club untuk pergi bersama Putri, Dimas pikir ada hubungan tak biasa di antara mereka. “Aku tidak bisa melihatnya kesulitan. Aku tidak bisa membiarkannya sendiri.” Terus-terang Sarif berkata yang sesungguhnya. “Kenapa begitu?” Dimas merasa perilaku Sarif itu lebih aneh lagi. “Aku menyukainya... Aku sudah menyatakan cintaku pada Putri dan ditolak.” Sejak bicara Sarif tak sekali pun membalas tatapan Dimas. Dimas kehabisan kata untuk menunjukkan reaksi yang tepat. Di satu sisi ia gembira mendengar dua orang kenalannya memiliki kisah dan hubungan spesial namun di sisi lain kabar tentang pernyataan cinta yang ditolak bukan sesuatu yang patut dirayakan. Satu hal yang Dimas pahami dengan pasti adalah bahwa dirinya sudah terlampau jauh tertinggal tentang kisah antara Sarif dan Putri ini. “Walau sudah ditolak tapi di antara kalian masih bisa bersikap biasa, itu hal yang patut disyukuri. Bersabarlah... Jika kamu yakin maka perjuangkan.” Dimas menepuk bahu Sarif memberi semangat. Sejenak Dimas ragu untuk bertanya, namun ia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. “Apa kamu mengantar Putri ke rumah sakit?” “Benar, meski aku tidak tahu siapa yang dirawat di sana.” Persiapan Sarif selesai, saatnya ia dan Dimas kembali kelapangan bergabung dengan rekan tim lainnya. Dimas terdiam cukup lama sebelum melanjutkan bicara. “Aku berharap yang terbaik untuk hubunganmu dan Putri.” Dimas dapat mengerti apa yang tengah dilalui Sarif saat ini, ia pernah berada di posisi yang sama. Bila bicara terkait hubungan antara pria dan wanita, tidak ada seorang pun mengetahui apa yang akan terjadi esok. *** Sarif berencana menemui Putri pagi ini. Ia tidak bisa menunggu lebih lama untuk bicara, atau menunggu untuk Putri datang menemuinya lebih dulu. Pembicaraan terakhir kali bersama Putri selalu mengusik hatinya. Setelah memutuskan untuk menunggu, sekarang sarif berpikir penantiannya membuang waktu. Jika tidak Sarif temui rasanya Putri akan sepenuhnya melupakan tentang dirinya. Pagi ini saat menunggu kedatangan Putri, Sarif melihatnya datang bersama seseorang. Terlihat suasana hati Putri sedang gembira dari ekspresi wajahnya. Saat dalam perjalanan menuju kelas, Sarif memberanikan diri memberi Putri sapaan pagi lebih dulu dan mengajaknya bicara berdua. Perlahan Sarif mendekat dan begitu jarak di antara mereka tak seberapa jauh tersisa, Sarif menyapa. “Pagi..” Putri menoleh dan ketika mendapati wajah siapa yang memberi sapaan pagi padanya, raut wajah seketika berubah menjadi serius. “Pagi.” Balas Putri, sekedar bersikap ramah. “Bisakah kita bicara sebentar saja?” Pinta Sarif. Putri tampak ragu sebelum memberi jawaban. Sarif menunggu cukup lama mendengar Putri membalas dengan melontarkan pertanyaan balik. “Untuk apa?” “Untuk pembicaraan kita yang tertunda terakhir kali saat aku mengantarmu. Aku harus mendengar apa yang ingin kamu sampaikan padaku di hari itu.” Langsung Sarif sampaikan kepentingannya. Langkah Putri berhenti, membuat Sarif juga ikut berhenti. Putri harus katakan secara jelas pada Sarif, harus menekan rasa, mengesampingkan kata hatinya. “Maaf bila saat itu aku seakan memberimu harapan dan membuatmu salah paham dengan sikapku.” Sarif bergeming, mengapa kini Putri bicara seolah semua yang Sarif tangkap dan artikan di hari itu hanyalah sebuah kesalahpahaman. Sarif tidak ingin percaya jika saat ini Putri memilih untuk menghindarinya. Putri tidak mungkin sampai tega berbuat seperti itu lagi padanya. Ini sudah kesekian kalinya Putri menarik-ulur hubungan mereka yang tak pernah berkembang atau mencapai apa pun. “Sungguh hanya itu?” Sarif merasa sangat kecewa. “Benarkah hanya salah paham! Bila kamu yakin itu hanya salah paham, bisakah kamu menatapku dan mengatakannya sekali lagi? Bahwa aku hanya salah paham pada sikapmu terhadapku.” “Untuk apa aku melakukannya, aku tidak perlu membuktikan apa pun padamu. Aku menolak.” Putri tertunduk semakin dalam. Sementara itu suasana sekolah semakin ramai, bila Sarif dan Putri terus seperti ini, mereka akan menarik perhatian teman-teman juga siswa lain. Di benak Sarif yang ada dalam pandangan matanya saat ini hanya Putri. Ia tidak ambil perduli pada sorot mata atau anggapan orang lain. “Aku bukan meminta bukti, aku hanya ingin memastikannya bahwa kamu tidak memiliki rasa ketertarikan padaku sedikit pun dan apa yang kurasa di hari itu adalah kesalahanku.” Putri tidak akan mampu untuk melakukannya, Putri bukanlah pembohong yang baik. Ia tidak berpengalaman dan memiliki cukup ilmu untuk menipu seseorang. Putri berniat beranjak pergi dari sana, namun Sarif menahannya. Sarif tidak bisa membiarkan Putri pergi begitu saja seperti terakhir kali. “Maafkan aku..” Putri melepaskan diri dari genggaman tangan Sarif, berlalu pergi dengan cepat menuju kelas. Beruntung pembicaraan mereka berakhir sebelum banyak siswa menyadari atau menaruh perhatian pada keduanya. Sarif tidak memiliki pilihan atau pun hak untuk mengejar Putri. Di waktu ini kondisi kelas pasti sudah ramai dengan anak-anak lain. Sekali lagi Sarif menerima penolakan dari Putri. Perasaan Sarif terlukai karena sikap Putri yang mengindarinya. Penolakan ini, Sarif teringat hari-hari di mana ia menunggu Putri dalam penantian. Namun Putri tampak selalu menghindarinya dalam setiap kesempatan. Apakah selama ini Putri sudah menentukan pilihannya. Sarif kini tidak yakin apakah harus meneruskan perjuangannya atau mungkin lebih baik untuknya berhenti saja. Jika sekeras itu Putri berusaha menghindarinya selama ini maka itu berarti memang harus seperti ini jalannya. Apa pun itu yang pasti kini bila memang Sarif harus berhenti, ia dan Putri tidak bisa kembali bersama meski hanya sebagai teman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN