7. Kesempatan Dalam Kesempitan

1647 Kata
Selepas Putri dan Sarif selesai menjalankan tugas bersama, dalam perjalanan pulang. “Sejujurnya ada yang ingin kutanyakan padamu, sejak hari pertama kita mengerjakan tugas berdua.” Pandangan Putri jatuh menatap aspal jalan. Ia kumpulkan keberanian karena merasa belum tentu kesempatan akan datang seperti ini, bicara berdua dengan Sarif dikemudian hari. Sarif kembali pada kesadaran dirinya, tidak ingin melambungkan harap dan melampaui batas. Putri tengah menunggu kepastian persetujuannya untuk diperbolehkan bertanya. “Apa itu?” Sarif berusaha menenangkan diri. “Dalam surat, kamu mengatakan hanya waktu yang kamu miliki. Apa maksudmu?” Kembali Putri bertanya hal yang mengganggu pikirannya dalam satu kesempatan. “Apa kamu melihatku menangis?” “Ah itu..” Sarif tidak menduga arah pertanyaan Putri, sama sekali di luar konteks ekspetasinya. “Ya, di depan Dimas. Saat itu pertama kali aku melihatmu.” Kembali keheningan hadir untuk sesaat. Ternyata apa yang Lia katakan benar hari itu yang Sarif maksudkan. Padahal Putri sepenuh hati berharap dugaan itu salah. “Andai sejak awal aku tahu kamu mengenal Kak Dimas.” Sesal Sarif dengan suara lirih. “Apa itu akan merubah yang terjadi? Merubah sesuatu di antara kita?” Andai pertemuan mereka terjadi lebih normal, lebih biasa seperti perkenalan pada umumnya tanpa surat-surat itu. Apakah sesuatu akan berbeda sekarang, pikir Sarif. Tapi ia salah melihat sisi pandang kejadian ini sejak awal, sepenuhnya bertolak belakang dengan keresahan yang Putri miliki. Bukan surat-surat itu yang membuat Putri merasa tidak nyaman, melainkan kesan pertama yang Sarif rekam, Sarif miliki tentang Putri. “Kamu melihatku menangis, aku tidak menginginkan itu.” Bukan hanya keadaan Dimas yang kacau hari itu, tapi juga dirinya. Karena menyaksikan sulitnya perpisahaan hubungan Dimas dan kakaknya, Putri turut merasakan luka mereka hinggga menangis. “Kenapa kamu harus melihatku saat itu? Dalam keadaan itu..” Sarif kembali meragukan kesaksian Putri, sesuatu terasa janggal. Meski ada sedikit keraguan tapi ini kesempatan Sarif untuk penyatakan perasaan langsung pada Putri. Juga kesempatan Sarif untuk memastikan perasaan Putri yang sesungguhnya. Apa yang Putri rasakan mengenai dirinya. Momen yang tepat seperti ini tidak akan Sarif temui lagi. “Aku bukannya sengaja saat itu. Saat aku melihatmu, air matamu mengusik pikiranku. Aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa ia menangis, apa yang membuatnya menangis.” Putri kembali hanya terdiam mendengar semua ungkapan isi hati Sarif. “Entah mengapa pertanyaan itu selalu berputar dan aku terobsesi untuk mencari jawaban. Tapi tidak dapat kutanyakan sekali pun padamu secara langsung untuk mendapat jawaban. Hal itu membuatku semakin penasaran padamu.” Rangkaian luapan perasaan Sarif terasa seperti hafalan di luar kepala. Mungkin karena semua kata-kata itu sendiri terus berulang di benak Sarif saat mencari alasan mengapa harus Putri orang yang mengisi hatinya. “Akhirnya aku putuskan untuk menulis surat. Aku juga merasa aneh pada diriku yang bersikap seperti itu, dan saat tersadar aku telah jatuh cinta.”  “Aku hanya bertanya satu hal tapi kenapa kamu mengatakan begitu banyak.” Entah apa yang Putri katakan saat ini, tidak dalam nalar normal yang biasa bila menghadapi Sarif. Putri tersipu malu mendengar pernyataan Sarif dari lisannya secara langsung. Putri bisa merasa kakinya telah mengambil langkah, melanggar garis aman batasan itu. Rasanya senang meski sangat malu, tak sanggup melihat wajah Sarif. Seakan kata-kata itulah yang selama ini ingin Putri dengar langsung, ia kejar dan cari. Tapi detik kemudian Putri sadar ini tidak benar, tidak boleh seperti ini. Maka apa yang terucap dari Putri pada Sarif kemudian adalah upayanya untuk menarik kesadaran diri. Putri kembali masuk dalam wilayah kekuasaan atas pengendalian dirinya. “Aku tidak ingin hubungan di antara kita menjadi canggung. Jadi yang ingin aku katakan adalah—” “Apa saat ini kamu sedang mencoba menghindar Putri?” Sarif melancarkan serangan. “Jangan kamu putuskan seorang diri untuk menarik garis pembatas di antara kita.” Tegas Sarif. Sebenarnya Sarif tidak ingin melakukan cara ini yang rasanya memaksa. Tapi melihat reaksi Putri yang seperti itu, Sarif putuskan untuk bertaruh. Mungkin ini saatnya untuk Sarif mencari tahu perasaan Putri padanya tanpa pantang mundur. “Kenapa aku harus menghindar?” Putri berkata kesal karena merasa posisinya terdesak. Sementara perjalanan mereka sejenak terhenti. “Ya itu juga yang aku tanyakan, kenapa? Kenapa kamu tidak ingin berbicara tentang kita? Tentang hubungan kita!” Sarif terbawa emosional. “Apa yang kamu maksud dengan kita? Bukan itu semua adalah masa lalu bagimu?” Sekali lagi tanpa sadar Putri bertanya hal yang dirisaukan hatinya. “Masa lalu? Kenapa kamu berpikir begitu?” Sarif tampak kecewa. Putri terdiam, Sarif tidak melepas tatapannya pada Putri, menunggu penjelasan. Tatapan mata Putri bergetar, ia tahu dirinya saat ini pasti tampak menyedihkan karena mengungkit masalah kecil. “Karena saat aku bicara tentang surat yang kamu tinggalkan dan ingin mengembalikannya, kamu bersikap dingin. Kamu tidak menginginkan surat itu kembali.” Sarif tak mengira bahwa kata-katanya ketika itu membuat Putri kecewa, sungguh itu hanya kesalahpahaman Putri menangkap arti ucapannya. “Saat itu aku katakan padamu untuk menyimpannya. Karena aku membuat surat itu memang untukmu dan sekarang surat itu berada di tangan orang yang tepat. Aku ingin agar kamu menyimpannya.” Entah harus dengan cara apa Sarif membuat Putri percaya dan yakin pada perasaannya. Sarif sungguh ingin membuat gadis itu mengerti tentang kesungguhannya. Mengapa mereka jadi bicara penuh emosi seperti ini. Putri terjebak dalam kebiasaan buruknya yang suka terbawa suasana. Tapi Sarif merasa ini lebih baik, kemajuan hubungan seperti inilah yang ia harapkan. Menarik Putri dari zona aman untuk mengungkap isi hatinya, tidak berniat membiarkan lepas dan lari lagi. “Meski sudah jelas kukatakan dalam suratku. Aku ingin kamu tahu bahwa waktu yang mencatat dan menjadi bukti perasaanku padamu. Kamu ragu dengan perkataanku, itu mengapa kamu mempertanyakannya?” “Jangan katakan itu...” Ucap Putri lirih. “Kenapa? Kamu tidak ingin mendengarnya karena itulah isi hatimu? Sama seperti apa yang kumiliki, kurasakan padamu Putri? Kamu tidak yakin bisa menolak kata hatimu sendiri!” Sarif mendesak. “Aku tidak bisa membalas perasaanmu, jangan lakukan itu.” Wajah Putri semakin tertunduk dalam, setiap kali perkataan Sarif tepat mengenai sasaran. “Akan kulakukan. Aku akan tetap melakukannya! Kamu berhak menolakku tapi adalah hakku untuk tetap menyukaimu.” Sarif berharap kata hatinya tersampaikan pada Putri. Bisa membuat gadis itu berubah pikiran dan menerima Sarif tanpa menghindar lagi. Tapi kenyataannya perjalanan kisah cinta ini sungguh tidaklah mudah. “Jangan lakukan itu atau aku akan lebih menjauh darimu!” Putri berjalan pergi meninggalkan Sarif. Disaat pembicaraan mereka sebenarnya belum selesai secara baik-baik. Sarif berbisik pada dirinya. Meneguhkan hati, melafaskan satu ikrar. “Akan tetap kulakukan, aku akan melakukannya meski kau menjauh bahkan bersembunyi.” Semangatnya bergelora. Apa yang Sarif dapat hari ini dengan kejadian yang baru saja berlangsung membawa secercah harapan. Pembicaraannya dengan Putri, surat dalam botol yang kini berada di tangan Putri, penolakan tegas yang ia terima. Semua itu menjadi alasan kuat untuk Sarif melangkah maju dan menjadi bukti bahwa perjalanannya sampai saat ini tidaklah sia-sia. Mendatangkan hasil meski itu sebuah penolakan. Ada hal lain yang Sarif rasakan pada penolakan Putri yang disertai ancaman itu. Mengapa Putri mengancam akan menjauhinya. Walau Sarif tidak yakin tapi sedikitnya ia merasa Putri punya perasaan yang sama. Bukan merasa, tapi lebih tepat dikatakan Sarif berharap Putri memiliki perasaan yang sama padanya. Apa pun itu saat ini tidak penting lagi. Sarif tidak perlu lagi memastikan perasaan Putri padanya. Sarif sendiri yang akan buat dan pastikan Putri datang kepadanya. Akan Sarif lakukan sejak dari saat ini. Oleh sebab itu perjuangan Sarif masih belum berakhir, melainkan baru saja dimulai. *** Putri segera berkemas saat sekolah usai. Ia ingin secepat mungkin ke rumah sakit, Ibu memberinya kabar tidak bisa datang karena pekerjaan. Putri tidak ingin Liona merasa sendiri yang saat ini tengah dirawat di rumah sakit. Putri sampai izin tidak ikut kegiatan club hari ini. Dalam kondisi bergegas ingin segera pergi, Putri setengah berlari menuju ambang pintu. Saat itu Sarif datang dari arah kelas sebelah. Tepat di sana keduanya berada di kolidor, Putri dan Sarif bertabrakan. “Oh maaf! Aku terburu-buru.” Putri menyadari siapa orang yang ditabraknya, dengan segera menjaga jarak dan menundukkan pandangan. “Kamu akan pulang? Bagaimana dengan kegiatan club?” Tanya Sarif. “Izin. Aku harus segera pergi ke suatu tempat!” Putri beranjak pergi namun Sarif sontak menahannya, menghalangi jalan Putri secara refleks. “Apa semua baik-baik saja?” Tanya Sarif melihat Putri cemas bercampur panik. “Itu..” Putri terheran pada dirinya, mengapa ia perlu menjelaskan situasinya pada Sarif. Sarif memahami posisi Putri, mungkin memang sulit jika menceritakan masalah pribadi pada orang yang bahkan tidak akrab dengannya. Tapi Sarif tidak bisa membiarkan Putri. Ia ingin membantu Putri saat dalam kesulitan. “Aku antar ke mana pun itu kalau kamu buru-buru.” “Tidak terima kasih. Kamu juga ada latihan siang bukan?” Sarif terkejut karena Putri tahu jadwal latihannya. Itu membuat suasana hati Sarif seketika berubah, menjadi lebih ceria juga senang. “Masih ada cukup waktu sebelum latihan. Aku antar kamu ke sana, ayo..” Ajak Sarif memandu jalan untuk Putri. Gadis itu mengikuti Sarif tanpa bisa melakukan penolakan lagi. Jika bersikeras menolak Putri takut akan melukai perasaan Sarif sementara ia sangat tahu bagaimana perasaan Sarif padanya. Saat Sarif dan Putri meninggalkan sekolah, tanpa sengaja Dimas melihat mereka berdua. Dimas bertanya-tanya pergi ke mana Sarif saat ada jadwal latihan siang, dan lebih mengejutkan lagi sejak kapan dia jadi sedekat itu dengan Putri. “Pergi ke mana anak itu tanpa ijin dulu?” Oceh rekan satu tim yang juga melihat Sarif berjalan keluar sekolah. “Aku cemas, apa mungkin telah tejadi sesuatu.” Gumam Dimas. “Dia pergi bersama seorang gadis, kamu mengenalnya?” tanyanya lagi. “Ya, seseorang yang aku kenal.” Jawab Dimas. Dimas sudah mendengar dari pihak sekolah kabar ketidakhadiran Liona beberapa hari ini di sekolah karena alasan kesehatan. Dimas juga tahu bahwa Liona sedang menjalani rawat inap di rumah sakit. Meski Dimas ingin datang berkunjung tetapi ia menggugurkan niatnya berulang kali. Dimas berpikir dirinya tidak memiliki hak untuk datang mengunjungi Liona. Terutama kata rumah sakit kini mengingatkan Dimas pada perpisahaan itu sendiri.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN