Nasehat Mama Dan Papa

1062 Kata
Sebelum berangkat menuju bandara, Daffa dan Eksas duduk di hadapan Mama Asma dan Papa Ali. Pesawat mereka akan berangkat 3 jam lagi. Jujur saja, Daffa sedikit bingung karena Papa menyuruhnya untuk duduk di ruang keluarga seperti sekarang. Mereka seperti akan disidang. Mana Daffa melihat wajah Eksas sedikit pucat. Papanya juga entah kenapa berwajah datar seperti itu. Padahal Daffa juga berwajah datar seperti Papanya. Kalau tidak kenal, maka orang-orang akan menganggap Daffa sebagai orang sombong dan juga dingin. Seharusnya Daffa bertanya kepada Mama Asma, kenapa mau menikah dengan Papanya ini? Memang ganteng sih, tapi kan tetap saja minim ekspresi. Papa mengulurkan sebuah kartu dari bank ternama berwarna gold. Berhubung tas dan ponsel Daffa hilang, maka Papa membekukan kartu milik sang anak. Bahkan karena masih kesal dengan Daffa, Papa belum membelikan ponsel baru. "Wih... ini berapa isinya, Pa?" Daffa mengambil kartu berwarna gold tersebut. Dia penasaran berapa nominal uang didalamnya. Mata Papa Ali langsung menajam. Dia menyuruh Daffa untuk meletakkan kembali. Tentu saja Daffa kebingungan, kalau diulurkan berarti memang untuknya. Tapi kenapa malah dilarang untuk mengambilnya? Entahlah, Papanya sedikit sulit untuk ditebak. "Uang didalam sini adalah uang belanja kalian berdua selama sebulan. Papa akan rutin mengirim uang setiap bulannya." Eksas hanya diam saja. Dia tidak berani membuka mulut. Daffa mengangguk saja. Jelas saja Papanya harus membiayai mereka berdua. Daffa memang terkesan seperti orang yang tidak bertanggung jawab. Setelah menikahi anak orang, dia malah melimpahkan tanggung jawab nafkah kepada orang tuanya. "Berapa uang jajan kami, Pa?" Daffa sedikit bersemangat. Papa memijat pangkal hidung. Entah kenapa anaknya jadi seperti ini. Padahal Papa Ali dan Mama Asma berusaha membesarkan dan mendidiknya dengan baik. "Dua puluh juta." Pupil mata Eksas melotot. Dua puluh juta baginya bukan nominal yang sedikit. Selama kuliah, pengeluaran Eksas terbatas yaitu 400 ribu saja. Sedangkan sang mertua malah memberi mereka uang dengan nominal yang besar setiap bulannya. Daffa tidak bisa protes. Biasanya uang jajannya selama sebulan diluar kosan adalah tujuh juta. Itu pun terkadang, Daffa meminta kembali kepada Mamanya jika ingin membeli sesuatu yang harganya mahal. "Gunakan dengan bijak," pinta Papa dengan penuh harap. Dia tidak ingin Daffa hidup dengan boros. Kalau sang menantu, Papa tidak perlu khawatir. "Oke, Pa." Daffa tersenyum senang. Uang jajannya bertambah banyak. Kalau dibagi 2, maka masing-masing mereka akan dapat sepuluh juta. Papa menyuruh Eksas mengambil kartu tersebut. Dengan tangan yang sedikit basah karena keringat, Eksas mengambilnya. "Eksas yang akan memegang uang bulanan kalian." Daffa dan Eksas sama-sama terkejut. "Kok gitu?" protes Daffa. "Jangan membantah! Kalau kamu tidak melakukan apa yang Papa katakan, maka jangan harap uang jajan dari Papa dan Mama." Daffa langsung terdiam. "Eksas..." Pertama kalinya Papa memanggil nama Eksas. Tentu saja jantung Eksas langsung berdetak cepat. "I-iya, Pa." "Uang ini Papa percayakan sama kamu. Gunakan untuk sesuatu yang diperlukan. Jangan memberikan uang jika Daffa memintanya untuk membeli barang-barang yang tidak penting." Daffa sedikit cemberut karena Papa tengah menyindir dirinya yang suka beli barang-barang kesukaan walaupun pada kenyataannya tidak penting. Eksas tidak bisa menolak permintaan Papa. Apalagi keluarga ini sudah banyak membantu Eksas. Dibanding lari dari kenyataan dan membuat keadaan memburuk, maka ia akan menjalankan sebagaimana mestinya. "Baik, Pa. Saya tidak akan mengecewakan Papa dan Mama." "Bagus." Papa sedikit lega dan sepertinya Eksas cukup bisa diandalkan. "Meskipun kalian sudah menikah, kalian tidak akan tinggal satu rumah," lanjut Papa lagi. Wajah Eksas tiba-tiba memerah. Sejak menikah mereka memang tidak pernah berada disatu kamar yang sama. "Iya, Pa." Daffa dan Eksas menjawab secara bersamaan. Untuk sekarang mereka memang belum ingin tidur dikamar yang sama. Lebih baik saling kenal dan dekat secara perlahan-lahan saja. "Kalian akan serumah jika Daffa sudah punya pekerjaan. Tidak peduli apapun pekerjaan, asal dia bisa bertanggung jawab secara penuh maka kalian bisa tinggal serumah." "Meskipun tidak tinggal bersama, kalian tidak boleh mengkhianati satu sama lain." Mama Asma mengingatkan apalagi mereka masih muda. Jangan sampai tindakan mereka mengotori ikatan pernikahan yang suci. "Iya, Ma." "Kalian hanya tidak tinggal bersama. Kalau ingin kemana-mana berdua, silahkan saja. Malah itu sangat bagus untuk saling mengenal satu sama lain." Mama Asma ingin perasaan mereka muncul secara perlahan-lahan. Daffa mengangguk, begitupun dengan Eksas. Papa Ali mengingatkan Daffa agar menjalankan kuliah dengan baik. Apalagi Daffa akan masuk semester enam. Jangan sampai karena asik bermain, dia tidak kunjung menyelesaikan kuliah selama bertahun-tahun. "Ya sudah, sekarang kita ke bandara." Papa sudah selesai mengatakan apa yang ia ingin katakan, begitupun dengan Mama. "Tunggu, Pa..." "Kenapa?" "Ponsel aku gimana?" Daffa sudah bersabar tidak menggunakan ponsel selama beberapa hari. Bahkan dia tidak tahu informasi apa saja di grup kelas atau grup kampusnya. Ponsel adalah alat yang sangat penting di zaman sekarang. "Sudah Papa beli." "Serius?" Mata Daffa berbinar-binar. Benar saja, Mama langsung memberikan kotak ponsel kepadanya. Versi yang sama seperti ponselnya yang hilang. Meskipun sudah ada versi terbaru yang keluar, Papa tidak akan mau membelikan yang versi terbaru. Tau sendiri Papa Daffa seperti apa. Eksas hanya geleng-geleng kepala. Ternyata sifat kekanak-kanakan masih ada pada diri Daffa. Penampilannya saja seperti orang yang sudah dewasa, tapi pada kenyataannya tidak. Daffa begitu bergantung dengan orang tuanya. Dia melakukan apa yang dia suka padahal kedua orang tuanya sangat khawatir. Mau bagaimana lagi. Daffa kini sudah menjadi suaminya. Eksas juga tidak berniat untuk mencari suami yang lain. Dia akan fokus menyelesaikan perkuliahan dan bekerja. Eksas membawa satu koper, begitupun dengan Daffa. Mereka berangkat menuju bandara. Eksas menyimpan baik-baik kartu bank yang diberikan oleh Papa mertuanya. Sebenarnya Eksas merasa berat hati menerimanya, apalagi ia juga harus mengontrol pengeluaran Daffa. Bagaimana Eksas akan melakukannya? Dia harap Daffa tidak membencinya karena masalah ini. Mobil sudah sampai di bandara. Daffa mengambil koper milik dirinya dan juga Eksas. Sedangkan tas ransel yang berisi laptop dan barang-barang lain milik Daffa dibawa oleh Eksas. "Baik-baik disana, belajar yang benar dan jangan main-main lagi." Pesan Mama Asma sambil memeluk Daffa. "Iya, Ma." Mama beralih ke Eksas. Tersenyum penuh kelembutan. Tidak banyak yang Mama katakan karena Eksas tidak akan bermain-main dalam menuntut ilmu seperti Daffa. Mama Asma hanya menyuruh Eksas untuk banyak minum vitamin serta menjaga kesehatan. "Kalau kamu buat masalah lagi, Papa nggak akan segan-segan kirim kamu ke luar negeri." Papa mengancam Daffa. Sebenarnya saat lulus SMA, Papa ingin mengirim Daffa keluar negeri. Hidup disana tentu lebih susah karena Daffa harus menyesuaikan diri. Tapi Mama Asma tidak setuju. Di Luar negeri kehidupan lebih bebas dan Daffa akan mudah terpengaruh dengan lingkungan. Ancaman Papa Ali hanya perkataan saja. "Iya, Pa. Aku bakal jadi anak yang baik." Papa Ali meragukan perkataan anaknya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN