Minta Maaf Kepada Mama

1126 Kata
Daffa punya perjanjian dengan Papa Ali. Meskipun perjanjian itu tidak tertulis, tapi Daffa tetap harus menjalankan apa yang Papa inginkan. Papa belum mengatakan sampai sekarang apa yang harus Daffa lakukan. Padahal besok pagi, Daffa dan Eksas harus kembali ke kota dimana kampus mereka berada. Selama beberapa hari, kedua orang tua Daffa mengetahui sedikit tentang Eksas. Mama Asma sangat menerima kehadiran Eksas didalam keluarga mereka. Bahkan Mama Asma membawa Eksas untuk membeli beberapa helai pakaian. Jika dulu perhatian mengarah ke Daffa, kini tidak lagi. Mama Asma lebih memperhatikan sang istri. Tapi tunggu, kenapa Daffa jadi cemburu begini? Padahal dia sudah besar dan tidak ingin dimanja lagi. Ketukan pintu terdengar. Daffa yang sedang bermain games di laptop langsung merespon ketukan tersebut. "Siapa?" tanyanya. "Mama." Daffa menyuruh mama Asma masuk ke dalam kamar. Sejak adegan melarikan diri yang Daffa lakukan, ia belum berbicara panjang lebar dengan sang mama seperti biasanya. Sepertinya Daffa masih malu menghadapi Mama Asma. Apalagi Daffa malah menambah beban pikiran Mama dengan menikah padahal dia belum punya pekerjaan dan masih berkuliah. Mama membuka pintu. Dia langsung meletakkan gelas yang berisi s**u di atas meja. "Sepertinya berat badan anak Mama berkurang," ujar Mama Asma yang sudah duduk di atas ranjang Daffa. "Nggak kok." Daffa tidak terlalu memperhatikan, tapi baginya tidak ada yang berbeda. "Apa Daffa mau mengobrol sebentar dengan Mama?" Mama tidak ingin memaksa jika Daffa masih belum bisa menerima kenyataan tentang hubungan mereka sebenarnya. Hal ini juga yang menyebabkan Mama memberikan waktu luang kepada Daffa dan lebih fokus kepada Eksas. Bagaimanapun, selama ini kehidupan Eksas tidak baik-baik saja. Bahkan Mama tidak sengaja melihat beberapa bekas luka bakar di tubuh Eksas. Tangan Daffa yang sibuk bergerak di atas keyboard langsung terhenti. Dia tidak peduli lagi dengan karakter yang mati pada gamenya. "Apa Mama masih marah?" Daffa tidak berani menatap Mama Asma. Mama Asma tertawa kecil. "Marah kenapa?" "Pasti Mama kesal karena membesarkan anak yang nakal seperti aku." Daffa sedikit menunduk. "Mama tidak pernah berpikir seperti itu. Sampai kapanpun kamu adalah anak Mama dan Papa, sama seperti Defina." "Tapi aku bukan anak Mama." Perasaan Daffa terluka saat mengatakannya. "Kamu anak Mama, Daffa. Meskipun tidak lahir dari rahim Mama sendiri, kamu tetap anak Mama." Mata Daffa berkaca-kaca. "Mama minta maaf. Mama tidak bermaksud ingin menyembunyikan fakta ini, tapi Mama tidak ingin kamu sedih seperti ini. Walaupun Mama bisa memilih, Mama ingin kamu lahir dari rahim Mama sendiri. Tapi Mama tidak bisa memilih, Nak." Air mata Daffa tidak bisa ditahan lagi. Dia langsung bangkit dari kursi dan memeluk sang Mama. Daffa meminta maaf, dia benar-benar minta maaf seperti anak kecil. Meskipun Mama Asma bukan ibu kandungnya, tapi bagi Daffa tidak ada yang akan berubah. Mama Asma adalah Mamanya. "Jangan kabur lagi, Mama nggak sanggup kehilangan kamu." "Iya, Ma. Aku minta maaf. Aku tidak akan kabur lagi." Mama Asma tersenyum dengan penuh kelegaan. Akhirnya sang anak bisa sedikit berdamai dengan keadaan. Mama Asma sudah membesarkan Daffa sejak umur dua tahun. Dia bisa saja menikah dengan laki-laki lain, tapi hatinya mengarah ke Papa Daffa. Tentu saja penjualan mereka berdua tidak mudah. Apalagi Papa Daffa memang memulai bisnis dari bawah sekali. Mereka tidak langsung hidup seperti sekarang. Dulu mereka sangat kekurangan dan Asma berusaha memberi support kepada sang suami dengan sekuat tenaga. Dia bahkan bekerja sambil membawa Daffa. Apapun akan dilakukan demi keluarga kecil mereka. Maka tidak heran jika Papa Daffa sangat mencintai dan menghargai Mama Asma. "Duh duh, cengeng banget anak Mama satu ini." Mama Asma mengusap air mata yang mengalir di pipi Daffa. "Mama," rengek Daffa. Dia merasa malu sendiri. Apalagi kalau ada yang melihat terutama adik dan Papanya. Mama tertawa mendengar rengekan sang anak. Umur saja yang bertambah tapi terkadang tingkahnya masih sama seperti waktu kecil dulu. "Kamu udah nikah lo..." Mama mengingatkan. "Gimana kalau Eksas lihat suaminya cengeng gini?" "Biarin." "Itu Eksas," goda Mama. Daffa langsung menutupi wajahnya dengan bantal. Cukup sekali Eksas melihatnya menangis karena ketakutan, selanjutnya tidak ada lagi. "Kok ditutup?" "Malu," ucap Daffa dengan suara pelan. Entah sudah berapa kali Mama Asma tertawa. Tingkah anaknya ini sangat lucu sekali. "Mama bercanda, Nak. Eksas tidak ada." Perlahan-lahan Daffa menyingkirkan bantal dan mengintip. Benar saja, Eksas tidak ada. "Kok Mama gitu sih?" Wajah Daffa cemberut. Ia kira Eksas memang ada, ternyata tidak. "Tadi katanya nggak apa-apa kalau Eksas lihat." Mama menyindir Daffa yang tadinya tidak terlalu peduli kalau Eksas melihatnya menangis. "Kapan aku bilang begitu?" Daffa pura-pura lupa. "Baiklah. Tidak ada." Mama tidak ingin menggoda sang anak lagi. "Oh ya, apa Mama tidak marah karena Daffa berbuat hal buruk?" Daffa bertanya dengan hati-hati. Padahal Mama berpesan berulang kali, jangan merusak perempuan manapun. Memang sih, pada kenyataannya Daffa tidak melakukan hal itu. Dia terpaksa berbohong agar Mama dan Papa mengikuti keinginannya untuk menikahi Eksas. "Berbuat buruk apa?" Mama mengerutkan kening. "Aku sudah berbuat tindakan asusila. Aku mempermalukan Mama dan Papa." Daffa merasa sangat bersalah. Mama mengusap pucuk kepala Daffa. "Apa Daffa kira Mama tidak tau?" Daffa menggaruk leher yang tidak gatal. "Mama tau, Nak. Kamu tidak melakukannya," lanjut Mama Asma lagi. Hal ini membuat Daffa sangat terkejut. Kenapa Mama Asma begitu percaya bahwa dia tidak melakukannya. "Kenapa Mama bisa tau?" "Tentu saja Mama tau. Jika kamu berbohong, maka alis kamu akan sedikit naik. " "Ha?" "Apa kamu tidak sadar kebiasaan itu?" Daffa menggeleng. Dia tidak pernah tahu apa ada kebiasaan tertentu jika dia tengah berbohong atau tidak. "Sejak kecil, Mama perhatikan kalau kamu menjawab pertanyaan Mama dengan berbohong maka alis kamu akan sedikit naik." Daffa langsung memegang alisnya. Apa benar begitu? Pantas saja Mamanya tidak marah saat Daffa mengakui sesuatu yang tidak ia lakukan. "Berhubung kamu sudah menikah, Mama harap kamu bisa menghargai Eksas." Mama Asma tidak ingin sang anak bertindak sesuka hati tanpa memikirkan orang lain terutama sosok yang sudah menjadi istrinya sendiri. "Iya, Ma." Daffa asal menjawab saja. Dia juga tidak tahu bagaimana cara menghargai Eksas. Sedangkan untuk bicara saja mereka bisa dihitung berapa kali. "Jangan membuatnya repot." "Iya, Ma." Mama memberikan beberapa nasehat kepada Daffa. Seperti biasa Daffa hanya mendengar tapi nasehat itu tidak tersimpan di dalam kepalanya. Contohnya saja seperti dia tidak boleh meninggalkan kewajiban shalat, jangan begadang dan jangan banyak makan mie instan. "Oh ya, Ma... Apa Papa masih tidak mengizinkan aku membawa motor ke kos?" Mama menggeleng. Dia tahu sang anak sangat menyukai motornya, tapi karena Daffa ketahuan ikut balap liar maka Papa Ali mengambil motor Daffa secara paksa. Daffa menghela nafas berat. "Sampai kapan, Ma?" "Mama tidak tau, Nak." "Aku jadi susah kemana-mana kalau nggak ada motor." Hal ini memang benar walau sebenarnya masih ada motor temannya yaitu Aldi dan Zeef. "Beli motor matic saja ya? Biar nanti Mama bilang sama Papa." Daffa menggeleng. Dia menginginkan motor gede miliknya bukan motor matic. "Nanti Mama coba untuk bujuk Papa," ucap Mama agar sang anak tidak terlalu sedih. Daffa tersenyum sambil mengucapkan terima kasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN