Gay Around Me

6949 Kata
Kelab malam biasanya menjadi tempat yang paling dihindari oleh Kim Nara. Apalagi, kalau ia sedang sendirian. Nara tentunya tidak ingin hal buruk menimpanya dengan mengambil risiko pergi ke kelab sendirian, 'kan? Pasalnya, kelab malam adalah tempat yang sangat strategis untuk berbuat tindak kejahatan. Maka dari itu, Nara tidak pernah mau pergi ke tempat maksiat tersebut kalau tidak ditemani oleh Nana atau Shinbi. Lantas, mengapa malam ini Nara pergi ke kelab malam sendirian untuk mabuk di sana? Jawabannya adalah karena Lee Taeyong. Taeyong ketahuan selingkuh di belakangnya dengan Jennie. Jelas Nara begitu terluka dan sakit hati. Taeyong adalah cinta pertamanya. Ia sangat mencintai pemuda berwajah setampan dewa itu. Alih-alih merasa menyesal dan meminta maaf padanya, Taeyong justru dengan santainya memutuskan hubungan mereka. Bagaimana Nara tidak semakin terluka, bukan? "Dasar berengsek, kau Lee Taeyong! Kau pikir kau siapa, hah?! Bisa-bisanya kau memilih gadis binal seperti Jennie. Apa hebatnya dia dibanding diriku? Apa?!" Nara terus-menerus mengomel tak jelas sambil terus meneguk bir di genggamannya. Entah, sudah berapa gelas yang ia tandaskan. Yang jelas, ia sudah kehilangan sebagian kesadarannya. Bahkan, ia juga sampai tidak mendengarkan nasihat yang dilontarkan oleh bartender di depannya. Seorang pria muda duduk di sampingnya. Pria itu langsung memesan bir yang sama seperti bir yang dipesan oleh Nara. Wajahnya juga tak kalah kusut dari Nara. Sepertinya, ia juga sedang kesal. "Kau berengsek!" Pria itu menoleh cepat pada Nara setelah sebuah makian terdengar dari mulut gadis yang tampak tertidur di sampingnya itu. Awalnya, pria itu hendak marah. Tapi, begitu sadar kalau Nara sedang mabuk berat dan tentunya tidak dalam kondisi sepenuhnya sadar, ia pun menahan emosinya. Pria itu mengalihkan pandangannya. "Lee Taeyong, kau benar-benar berengsek! Kenapa kau harus selingkuh dengan Jennie, hah?! Karena dia seksi? Karena tubuhnya bak model? Dasar bodoh! Untuk apa punya hubungan dengan gadis seksi tapi murahan seperti dirinya, hah?! Punya otak saja tidak, tapi kau pacari juga?! Dasar bodoh!" Makian dan racauan Nara membuat pria yang duduk di sampingnya tertarik untuk memperhatikannya. Mungkin saja racauan tersebut seperti hiburan tersendiri baginya. Apalagi, Nara tampaknya benar-benar tidak sadar dengan tingkah lakunya. Tiba-tiba, Nara mengangkat kepalanya yang sejak tadi tergeletak di atas meja bar. Ia celingukan sebentar lalu meletakkan tangan kirinya di atas meja untuk menyangga kepalanya yang sedikit pening. Saat ia menelengkan kepalanya ke samping, ia dibuat takjub oleh wajah tampan seorang pria yang sedang memperhatikannya penuh minat. Nara mengerjap pelan. Kemudian, tak lama setelah itu ia pun tersenyum. Nara tidak lagi menyangga kepalanya, ia justru duduk tegak sambil tersenyum manis pada pria itu. "Hai, Tampan! Sedang memperhatikanku, ya?" Pria itu mengernyit heran melihat kelakuan Nara. Sungguh, sikapnya begitu aneh. Beberapa saat yang lalu, gadis itu mengomel tak jelas. Sekarang, gadis itu justru menggodanya. Kenapa ia jadi genit begitu? Tanpa perlu memusingkan hal itu, pria itu pun mengalihkan pandangannya dari Nara. Nara yang masih bertahan dengan senyum manisnya beringsut mendekati pria itu. Dengan lancangnya mengalungkan lengan mesra ke bahu pria itu. Jelas saja pria itu terkejut bukan main karena ulah Nara. "Hey, Nona, apa yang—" "Tampan, menurutmu aku cantik tidak?" Nara bertanya dengan nada yang begitu polos sambil mengedip-ngedipkan matanya genit. Pria itu terpekur mendengar pertanyaan Nara. Ia yang tadinya hendak menyingkirkan lengan Nara yang bersandar di bahunya justru mengamati wajah Nara dengan seksama. Dari dekat, ia bisa menilai kalau wajah Nara memang sangat cantik. Wajahnya begitu mulus tanpa noda jerawat sedikit pun. Mata gadis itu juga tergolong lebih besar daripada ukuran orang Korea biasanya. Kulitnya seputih kulitnya sendiri. Benar-benar gadis yang sangat cantik. "Kau cantik," pria itu menjawab. Senyum lebar terkembang di wajah Nara. Ia menjauh dari pria itu dan kembali duduk tegak. "Pria setampan dewa seperti dirimu saja bilang aku cantik. Itu artinya aku memang benar-benar cantik, 'kan? Lalu, kenapa Taeyong membuangku? Apa karena aku kurang seksi?" Nara menatap serius pria itu. "Hey, coba lihat aku! Menurutmu, aku seksi tidak?" Pria itu menghembuskan napas sebal. Namun, berbanding terbalik dengan sikapnya, pria itu memperhatikan Nara dari ujung kepala hingga kaki. Oke, untuk yang satu ini pria itu sepertinya sedikit bimbang. Nara tidak seksi. Tubuhnya memang proporsional dan juga tinggi, tapi dadanya tidak terlalu besar. Nah, pria itu bingung harus berkata apa. "Kau tidak seksi, Nona. Tapi, kau punya tubuh yang bagus dan proporsional," pria itu kembali menjawab dengan nada datarnya. Ia mengalihkan pandangannya dari Nara dan kembali meneguk birnya. Namun, tak lama ia kembali menoleh pada Nara. Pria itu mencebik. "Baru beberapa detik berpaling, dia malah tidur?" Pria itu menggelengkan kepalanya tak percaya. Beberapa saat kemudian, ia kembali memperhatikan Nara dengan seksama. Seringai kecil muncul di sudut bibirnya. ***** Oh Sehun sudah selesai melakukan ritual mandi paginya. Ia pun keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya yang basah. Netranya tertuju pada seorang gadis yang tengah tertidur pulas di atas ranjangnya. Ia pun melirik ke arah jam dinding. Pukul 7 pagi, dan gadis itu belum bangun juga. Huh. Sejak semalam kenapa gadis itu selalu saja menyusahkannya? Sehun menggerutu dalam hati. Tampaknya, Sehun mulai menyesali keputusannya membawa gadis patah hati itu ke apartemennya. Setelah semalam muntah di bajunya, sekarang gadis itu akan membuat dirinya terlambat masuk kerja di hari pertamanya bekerja di kampus. Benar-benar gadis menyusahkan! Akhirnya, Sehun mendekati ranjangnya. Ia mengamati sekilas si pemilik tubuh polos yang hanya terbalut selimut putihnya itu. Lihat! Tidurnya pulas sekali. Bahkan saat Sehun melucuti pakaiannya semalam, gadis itu juga tidak terusik. Ia tetap tidur layaknya orang mati. Sehun baru saja akan membangunkan gadis itu saat gadis itu bergerak pelan dalam tidurnya. Sepertinya gadis itu akan segera bangun, jadi Sehun mengurungkan niatnya dan hanya memperhatikan gadis itu sambil bersedekap. Gadis itu membuka matanya lalu mengerjap pelan, menyesuaikan matanya dengan sinar matahari. Sejenak, ia tampak kebingungan. Mungkin, karena ia sadar kalau ia tidak berada di dalam kamarnya sendiri. Kemudian, gadis itu mengamati tubuhnya. Ia tampak begitu terkejut saat mengetahui kalau tubuhnya telanjang. Ia menoleh dan mendapati Sehun sedang berdiri sambil menatapnya tajam. "Aaa! Siapa kau?! Kenapa aku ada di sini? Kau apakan aku, hah?!" Gadis itu berteriak panik. Ia mengeratkan selimut yang membalut tubuhnya sambil beringsut ke ujung ranjang king size tempatnya berada. "A-Apa kau ... memperkosaku? Katakan, ada apa sebenarnya?!" Sekarang hazel gadis itu berkaca-kaca. Ia juga tampak sekali ketakutan. Sehun ingin tertawa melihatnya. Namun, ia menahannya dan tetap mempertahankan wajah datarnya. "Kau benar-benar tidak ingat ya dengan apa yang kau lakukan semalam? Kau tidak ingat kalau kita bertemu di kelab malam?" Sehun bertanya. Gadis itu berpikir sejenak, lalu menggeleng. Sehun tersenyum sinis, lalu berkata, "Semalam, kau memanggilku Tampan dan bertanya aneh-aneh, kau juga tidak ingat?" Gadis itu terkejut. "Be-Benarkah? Apa ... yang kutanyakan?" Sehun mendengus. "Sekarang, itu tidaklah penting. Yang penting sekarang adalah kau cepat turun dari ranjangku dan pergi dari apartemen ini. Aku harus segera pergi bekerja dan aku tidak mau meninggalkan orang asing sendirian di apartemenku." Gadis itu menggeleng keras. "Tidak, aku tidak akan pergi sebelum kau memberitahuku apa yang terjadi sebenarnya. Kenapa aku telanjang begini, hah? Apa ... kita melakukan—" "Tidak. Kita sama sekali tidak melakukan apa-apa," tegas Sehun. "Semalam, kau muntah dan muntahannya mengenai bajuku dan bajumu, jadi aku melucuti pakaianmu dan me-laundry-nya. Tapi, karena aku tidak punya pakaian wanita, akhirnya aku membiarkanmu telanjang begitu." Mulut gadis itu menganga tak percaya. "Jadi, k-kau sudah ... melihat semuanya?" Sehun mengangguk mantap. "Semuanya, tanpa terkecuali." Gadis itu semakin syok. Lantas, ia semakin mengeratkan selimut di tubuhnya dan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Oh, pastilah gadis itu malu, bukan? "Tidak usah malu, Lagi pula aku juga tidak tertarik oleh tubuhmu," ujar Sehun. Gadis itu mendongak dan menatap Sehun tersinggung. "Tidak tertarik, kau bilang? Kau laki-laki normal, setiap laki-laki normal pasti akan merasa tergiur oleh tubuh telanjang di hadapannya—" "—sayangnya, aku bukanlah laki-laki normal. Aku gay." Perkataan Sehun membuat gadis itu terbelalak. Ia langsung terbungkam seketika. "Kau ... benar-benar gay? Kau pasti bercanda, 'kan? Kau ... tidak serius, 'kan?" "Sayang!" Sehun baru akan membuka mulutnya saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Sehun dan gadis itu refleks melihat ke ambang pintu. Di sana, berdiri Park Chanyeol yang tampak terkejut dengan pemandangan di kamar Sehun di mana ada seorang gadis yang meringkuk telanjang di ranjang. Rahang Chanyeol mengeras. "Sayang, kenapa ada seorang gadis yang telanjang di atas tempat tidurmu? Siapa dia?" Sehun menatap datar pada Chanyeol. Kemudian, dengan santainya ia berkata, "Dia kekasihku. Kenapa? Ada masalah, Sayang?" "Apa?" Chanyeol menatap gadis itu dan Sehun tak percaya. Ia menggeleng, "Tidak, kau bohong. Sejak kapan orientasi seksualmu berubah? Lagi pula, seingatku kita masih menjalin hubungan. Katakan, kenapa kau bicara seperti itu, Sayang?" Sehun tertawa sinis. "Bahkan, kau masih berani memanggilku 'Sayang' setelah apa yang terjadi kemarin, hah? Kau sudah bosan dengan Baekhyun, maka dari itu kau menemuiku, begitu?" Kali ini, wajah Chanyeol berubah pucat. Ia tampak gugup. "B-Baekhyun? A-Apa ... maksudmu?" Sehun mencebik. Ia menatap Chanyeol penuh rasa benci. "Kau bermain dengan Baekhyun di belakangku, kan? Aku sudah mengetahuinya. Maka dari itu, mulai sekarang jangan pernah datang kemari lagi dan memanggilku dengan sebutan 'Sayang'. Mulai detik ini, aku bukan lagi kekasihmu, Park Chanyeol. Jadi, pergi dari apartemenku sekarang juga!" Sehun hendak berbalik membelakangi Chanyeol, tapi ia kembali berbalik menghadap mantan kekasihnya itu. "Oh, ya, terima kasih karena berkat dirimu, aku menjadi sadar bahwa mengencani seorang wanita jauh lebih baik daripada mengencani sesama pria." Dikatai begitu, dengan berat hati Chanyeol pun beranjak meninggalkan apartemen Sehun. Beberapa kali ia sempat kembali memohon pada Sehun, tapi hanya usiran dari pria itu yang ia dapatkan. Selepas kepergian Chanyeol, perhatian Sehun kembali terpusat pada gadis di atas ranjangnya. Gadis itu tampak begitu syok dengan apa yang baru saja dilihatnya. Ya, sebenarnya inilah alasan Sehun membawa gadis itu ke apartemennya. Agar Chanyeol melihat gadis itu dan merasa cemburu. Tak hanya itu, ia juga ingin agar Chanyeol merasa percaya bahwa Sehun sudah kembali menjadi straight. "Apa yang kau lakukan? Cepat bangun dan pergi dari apartemenku!" usir Sehun. Urusannya dengan gadis itu sudah selesai. Jadi, untuk apa lagi gadis itu di sini, bukan? "Yang tadi itu ... kekasihmu?" Gadis itu bertanya. Sehun mendengus. "Mantan kekasih lebih tepatnya. Kau lihat 'kan tadi, kami baru saja putus?" Sehun mengoreksi. Giliran gadis itu yang mendengus. "Dunia benar-benar tidak adil. Kenapa pria-pria tampan seperti kau dan mantan kekasihmu itu harus menjadi gay? Padahal, di luar sana pasti banyak gadis-gadis yang mengantri agar dapat berkencan dengan kalian—" "—termasuk kau?" Gadis itu tanpa sadar mengangguk, tapi begitu sadar kalau ia kelepasan, ia pun segera menggeleng. "Ti-Tidak, tidak! Tentu saja aku bukan salah seorang dari gadis-gadis itu." Gadis itu mengalihkan pandangan. Ia merutuki dirinya sendiri. "Benar, tentu saja kau bukan salah seorang dari gadis-gadis itu karena kau masih belum bisa move on dari mantan kekasihmu yang bernama Lee Taeyong itu, 'kan?" Gadis itu menoleh terkejut pada Sehun. "Dari mana kau tahu soal Taeyong?" "Kau sendiri yang mengatakannya. Semalam, kau meracau tak jelas sambil menyebut nama 'Taeyong' dan 'Jennie'." Wajah gadis itu berubah pias. Ia menunduk dan mengacak rambutnya frustrasi. Sehun tertawa dalam hati. Gadis itu sangat lucu saat merasa malu seperti itu. Sehun mendekati ranjangnya dan merunduk. Pria itu berbisik tepat di dekat telinga Nara, "Nah, sekarang cepat bangun dan segeralah pergi dari apartemenku karena aku sudah benar-benar terlambat kali ini." ***** Sungguh, hari ini rasanya sangat melelahkan bagi Nara. Bagaimana tidak? Ia baru saja pulang ke apartemennya dari apartemen si Pria Tampan yang Ternyata Gay itu dan ia harus menerima kenyataan kalau pagi ini ia harus pergi kuliah. Astaga, untungnya ia masih punya waktu yang cukup untuk berbenah diri dan mengambil buku serta diktatnya di rumah! Pasalnya, sekali saja kau absen dari kelas Kalkulus Prof. Kang, kau akan menjadi kandidat penerima nilai E di kelas. Tidak hanya itu, kau juga harus disiplin dalam mencatat dan mengerjakan tugas ataupun kuis serta tidak datang terlambat. Maka dari itu, Nara sampai rela berlarian di koridor kampus seperti orang dikejar hantu karena ia tidak ingin kena semprot oleh dosen yang terkenal killer itu. Saat Nara sampai di kelas, rupanya kelas belum dimulai. Nara sedikit keheranan karena tidak biasanya Prof. Kang datang terlambat. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00, biasanya Prof.Kang sudah datang lima menit sebelum kelas dimulai. "Prof. Kang belum datang? Tumben sekali." Nara bertanya pada Nana dan Shinbi yang sedang mengobrol. Mereka berdua berhenti bicara saat melihat Nara. "Kau belum tahu? Prof. Kang sudah resmi pensiun dan mulai hari ini kita akan diajar oleh dosen lain" jelas Nana. Nara melotot tak percaya. "Jadi, Prof. Kang benar-benar pensiun? Itu bukan sekedar rumor belaka?" Shinbi mengangguk antusias. "Benar sekali! Kita tidak akan diajar lagi oleh dosen killer itu. Dan katanya, dosen penggantinya itu masih muda dan sangat tampan," Shinbi tampak berbinar. Nana ikut berbinar di sampingnya. "Dengar-dengar, dosen muda itu lulusan Harvard dan usianya masih 27 tahun. Aku tidak sabar ingin melihat seperti apa dia," tambah Nana. Nara ber'oh' ria sambil mengangguk mengerti. Namun, diam-diam ia juga penasaran dengan sosok profesor muda yang dibicarakan oleh kedua sahabatnya itu. Masih semuda itu sudah bisa menjadi profesor? Hm ... pasti dia sangat jenius. "Oh, kau semalam ke mana saja? Kuhubungi, tapi ponselmu tidak aktif. Kau tahu, kukira terjadi sesuatu yang buruk padamu," ujar Shinbi khawatir. Nana ikut mengangguk sambil menatap Nara bertanya-tanya. "Kau tahu, kami bahkan sampai berpikir untuk membunuh Taeyong kalau sampai terjadi hal buruk padamu. Dia memang berengsek. Jennie juga. Awas saja kalau aku bertemu mereka! Akan kubuat mereka menyesal karena telah membuatmu patah hati." Nara hanya tersenyum kikuk. Sebenarnya, ia tidak ingin bilang pada kedua sahabatnya itu kalau ia mabuk sendirian di kelab. Pasalnya, kedua sahabatnya itu tahu betul bagaimana kebiasaan buruk Nara saat mabuk. Apalagi setelah kejadian yang dialaminya beberapa jam lalu. Ugh, pasti kalau Nana dan Shinbi tahu, ia akan diomeli habis-habisan oleh mereka berdua. "Eh itu ... aku ...." "Selamat pagi, semuanya! Saya adalah Profesor Oh Sehun, dosen Kalkulus kalian yang baru." Suara bariton seseorang yang digadang-gadang sebagai dosen pengganti Prof. Kang pun menyapa, menandakan kalau kelas sudah dimulai. Ungkapan kekaguman langsung terdengar setelah para mahasiswa dan mahasiswi melihat bagaimana rupa dan penampilan sang Profesor. Wajahnya begitu tampan bak dewa dengan tatapan mata setajam elang serta hidung mancung dan dagu super lancipnya. Perawakannya juga tinggi, tubuhnya tegap, bahu dan dadanya bidang. Rambut hitam legamnya, ia dorong ke belakang. Oh, dan jangan lupakan gaya pakaiannya yang begitu fashionable layaknya model. Ia begitu seksi. Semua mahasisiwi terpesona tentunya oleh penampilan sang Profesor yang bernama lengkap Oh Sehun itu. Tak terkecuali Nara yang terkejut oleh sosok di depan kelas itu. Namun, bukan ketampanan dan penampilannya yang membuat Nara menganga tak percaya. Melainkan, karena orang itu adalah orang yang baru beberapa jam lalu ia tinggalkan apartemennya. Orang itu adalah si Pria Tampan yang Ternyata Gay! Dan tampaknya, di sini bukan hanya Nara yang terkejut. Di balik wajah datarnya, Sehun juga tampak terkejut oleh keberadaan Nara di kelasnya. Hal itu, dapat terlihat dengan jelas dari tatapannya yang tidak beranjak dari Nara. ***** Setelah kelas berakhir, Nara langsung bergegas mengejar Sehun yang keluar dari kelasnya dengan sedikit terburu-buru. Shinbi dan Nana yang melihat sikap buru-buru Nara sedikit heran. Namun, setelah Nara berkata kalau ia hendak ke toilet, mereka pun langsung mengangguk mengerti. Nara mengejar Sehun sampai ke parkiran. Saat Sehun hendak masuk ke mobilnya, Nara langsung menutup pintu mobil yang terbuka. "Hey, apa-apaan kau?!" Sehun memrotes. Nara memicing sambil menatap Sehun curiga. "Harusnya aku yang bilang 'apa-apaan'. Katakan, kenapa kau tiba-tiba ada di kampusku dan menjadi dosenku?! Apa kau menguntitku?" Sehun ternganga kemudian terbahak mendengar perkataan Nara. Sedetik kemudian, ia balas memicing pada Nara. "Atas dasar apa aku menguntitmu? Karena aku menyukaimu, begitu? Apa kau berpikir kalau aku menyukaimu, Kim Nara?" Mata Nara membulat tak percaya."Lihat! Kau bahkan tahu namaku. Woah, kau benar-benar seorang maniak!" Nara geleng-geleng tak percaya sambil menatap Sehun penuh penghakiman. Sehun mendengus kesal. Ia menatap Nara tak habis pikir. "Kau amnesia atau apa, hah?! Tadi 'kan aku mengabsen namamu, jadi tentu saja aku tahu," sembur Sehun tak terima. Nara berpikir. Oh, iya, ya? Tadi sebelum perkuliahan dimulai, Sehun memang sempat mengabsen mahasiswa satu-persatu. Dengan IQ setinggi itu, tentu saja Sehun mudah mengingat nama beserta wajah, bukan? "Lalu, kenapa kau bisa ada di sini? Beberapa jam lalu, kita baru saja bertemu. Sekarang, kita bertemu lagi. Itu tidak mungkin sebuah kebetulan—" "—Tapi bagaimana kalau itu memang sebuah kebetulan?" Sehun menyergah. Ia menatap Nara kesal. "kau pikir aku tahu kalau kau kuliah di sini? Asal kau tahu saja, aku sudah melamar kerja di sini sejak sebulan lalu saat aku masih di Amerika. Aku juga baru tahu kau semalam. Lalu atas dasar apa aku menguntitmu?" Nara berpikir. Benar juga yang dikatakan oleh pria di hadapannya itu. Untuk apa Sehun menguntitnya? Atas dasar apa? Namun, tiba-tiba Nara teringat sesuatu. "Ah! Mungkin saja setelah melihat tubuhku semalam, kau jadi terobsesi padaku lalu menguntitku? Bagaimanapun, kau pria. Walaupun kau tidak tertarik dan tidak punya hasrat pada wanita, kau pasti juga penasaran ingin merasakan bagaimana rasanya menjamah tubuh wanita, bukan? Apalagi, semalam aku benar-benar telanjang bulat di hadapanmu." Nara meringis ngeri sambil memeluk tubuhnya sendiri. Sehun semakin menatap Nara tak mengerti. Gadis di hadapannya itu benar-benar punya pikiran yang tidak waras sepertinya. "Tolong hentikan pikiran gilamu itu, Kim Nara!" ujar Sehun penuh penekanan. Ia benar-benar menatap Nara marah kali ini. "Sebenarnya, apa masalahmu kalau aku mengajar di sini sehingga membuatmu berpikiran buruk tentang diriku? Kau juga sudah tahu bagaimana orientasi seksualku, lalu kenapa kau masih saja bersikeras kalau aku menguntitmu—oh! Atau, sebenarnya itu yang kauharapkan?" Sehun menyeringai saat mendapati wajah terkejut Nara. "Jangan-jangan kau tertarik padaku lalu kau sengaja menuduhku sebagai penguntit dan maniak agar kau bisa merayuku, begitu?" "A-Apa, maksudmu?" Nara gugup. "Aku 'kan sudah tahu kalau kau adalah gay, jadi mana mungkin aku tertarik padamu dan ingin merayumu?" Nara mengalihkan pandangannya dari Sehun. Ia mengedarkan matanya ke segala arah, menutupi kegugupannya. Namun, hal itu justru membuatnya seolah mati rasa. Tak jauh dari tempatnya dan Sehun berdiri, ia melihat Taeyong dan Jennie sedang berduaan. Mereka sedang asyik berjalan berdua sambil bergandengan tangan mesra. Hati Nara seolah remuk seketika juga. Baru sehari putus, Taeyong justru semakin mesra dengan Jennie. Nara terkejut saat sebuah tangan dengan begitu lembutnya menangkup kedua pipinya. Tak lama kemudian, ia dikejutkan oleh sapuan bibir yang begitu lembut menyapa bibirnya. Nara melotot kaget karena Sehun tiba-tiba menciumnya. Apalagi, ciuman itu bukan sekedar sapuan bibir semata. Sehun memberinya lumatan-lumatan kecil di bibir bawah dan atasnya secara bergantian. Nara yang awalnya terkejut pun langsung membalas perlakuan Sehun begitu melihat ekspresi terkejut dari Taeyong dan Jennie melalui ekor matanya. Rasakan, kalian berdua! ejeknya dalam hati. Saat Nara mengalungkan tangannya ke leher Sehun, Sehun pun langsung memperdalam ciumannya dengan melesatkan lidahnya ke dalam rongga mulut Nara. Nara pun tidak menolak. Dengan senang hati, ia meladeni permainan Sehun dengan saling membelitkan lidahnya dengan lidah Sehun. Setelah lama berciuman, akhirnya Sehun melepaskan tautan mereka. Mereka berdua saling menatap intens pada satu sama lain. Seringai tipis muncul di bibir keduanya. "Terima kasih," bisik mereka bersamaan. Nara mengernyit tak mengerti. "Kau berterima kasih untuk apa? Harusnya aku yang berterima kasih padamu karena telah membuat Taeyong terkejut setengah mati melihatku berciuman mesra dengan lelaki lain di hadapannya." "Begitu juga aku. Di belakang punggungmu, ada mantan kekasihku. Aku menciummu karena melihatnya sedang berjalan ke sini tadi. Dengan menciummu, semoga saja dia benar-benar percaya kalau aku benar-benar sudah menjadi normal dan sudah tidak mencintainya lagi. Jadi, terima kasih!" Nara tersenyum manis. "Kembali." ***** Kini, semua orang di kampus sudah tahu soal ciuman Nara dan Sehun. Para dosen dan mahasiswa semuanya dibuat heboh. Sampai-sampai Nara dan Sehun pun dipanggil oleh rektor karena tindakan tercela mereka tersebut. Pasalnya, tindakan mereka itu dapat membuat nama baik kampus menjadi tercemar. Itu karena kasus mereka itu dapat dikategorikan sebagai skandal antara dosen dan mahasiswa. Namun, kabar mencengangkan justru keluar dari mulut mereka. Di depan para petinggi kampus, mereka mengaku sudah bertunangan. Ya, setelah insiden ciuman itu Nara dan Sehun memang sepakat untuk berpura-pura menjalin hubungan dengan satu sama lain. Dengan begitu, hal yang terjadi di antara mereka tersebut bukanlah sebuah skandal. Walaupun begitu, mereka tetap mendapatkan sanksi dari pihak kampus dengan skorsing selama seminggu. "Skorsing masih tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan dikeluarkan dari kampus. Kalau itu sampai terjadi, aku bisa dibunuh oleh orang tuaku," ujar Nara saat ditanya oleh Sehun perihal sanksi yang diberikan oleh kampus pada mereka. Nara saat ini sedang berada di apartemennya bersama Sehun. Ini adalah hari ketiga mereka diskorsing. Sehun berkomitmen untuk memberikan Nara kuliah secara privat sebagai tanda terima kasih sekaligus maafnya karena membuat Nara ikut terkena sanksi. Karena hal itu, mereka justru menjadi semakin dekat. "Omong-omong, kau tinggal sendirian di sini? di mana kedua orang tuamu?" Sehun bertanya sebelum meneguk kopi yang dibuatkan Nara untuknya. Senyum tipis menghiasi wajah Nara. "Kedua orang tuaku tinggal di Tokyo. Tadinya, aku juga ikut tinggal di sana bersama mereka sejak kecil hingga SMA. Setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk kuliah di Seoul, jadilah aku tinggal sendiri di sini." "Kau juga tinggal sendiri. Di mana orang tuamu? Amerika?" Nara bertanya. Sehun menggeleng. Nara mengernyit bingung. Sehun tersenyum sendu sambil berkata, "Mereka sudah meninggal sejak aku berumur sepuluh tahun." Nara terkejut. "Maaf, aku tidak—" "Tidak, tidak apa-apa. Kau hanya ingin tahu saja, 'kan?" Sehun tersenyum menenangkan. Ia menunduk sambil memainkan sendok kopi di tangannya. "Sehun, boleh aku bertanya sesuatu?" Nara bertanya takut-takut. Sehun mendongak menatap Nara. "Apa yang ingin kau tanyakan?" "Tapi ... pertanyaanku ini ... sedikit pribadi." Sehun mengernyit. Tak lama, seringai kecil muncul di bibirnya. Ia meletakkan kedua tangannya ke atas konter dapur lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Nara yang kemudian berubah gugup. "Apa itu soal ke-gay-anku? Apa yang ingin kau tahu? Tanyakan saja!" Nara menggigit bibirnya sambil menelan saliva gugup. "Benar, ini soal ke-gay-anmu. Mm, sejak kapan kau menjadi gay? Apa yang membuatmu seperti itu?" Sehun tersenyum. Dahinya berkerut saat ia mulai mengingat. "Entahlah, aku juga tidak terlalu ingat kapan tepatnya orientasi seksualku berubah. Sepertinya, ini karena pengaruh pergaulanku di Amerika? Sejak kecil aku sudah tinggal di sana. Orang tuaku juga meninggal di sana. Kemudian, aku diasuh oleh nenekku yang memang orang Amerika. Tetangganya adalah keluarga asli Korea yang menetap di sana. Mereka memiliki anak lelaki yang seumuranku. Aku selalu bermain dengannya sampai kami berdua beranjak remaja. Kami sangat dekat. Sampai suatu hari di usia kami yang ke tujuh belas tahun, kami melakukan sesuatu yang tidak seharusnya kami lakukan, yaitu hubungan intim. Aku tidak ingat siapa yang pertama kali memulainya saat itu. Tapi yang pasti setelah itu, aku sadar kalau orientasi seksualku adalah pada laki-laki, bukan perempuan. Sejak saat itu, aku dan temanku itu menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih." Nara tertegun mendengar cerita Sehun. Sungguh, ia tidak tahu harus berkomentar seperti apa. "Temanmu yang merupakan kekasih gay pertamamu itu bukan mantan kekasihmu yang kemarin itu, ya?" Sehun menggeleng. "Bukan. Aku dan temanku itu sudah putus sejak kami lulus SMA karena dia kuliah ke London. Mantan kekasihku yang kau lihat itu adalah kekasihku yang ke tujuh." "Jadi, kau sudah berkencan sebanyak tujuh kali? Lalu, kau seme atau uke?" Nara mendadak antusias. Sehun sedikit mengernyit heran melihat sikap Nara yang berubah drastis itu. Namun, sambil terkekeh pelan ia pun menjawab. "Aku pernah jadi dua-duanya." "Hah?! Jadi ... kau...." Tahu apa yang Nara pikirkan, Sehun pun mengangguk sambil menahan senyum geli. Wajah tak menyangka sekaligus terkejut Nara begitu lucu di matanya. "Aku adalah tipe orang yang fleksibel. Kalau aku bertemu dengan seme, maka aku yang akan menjadi uke-nya. Begitu pula sebaliknya. Kalau dengan kekasih yang ketujuhku itu, aku adalah uke-nya." Nara tertawa. "Pantas saja cara marahmu seperti cara marah seorang gadis yang diselingkuhi. Rupanya itu karena kau yang bertindak sebagai uke," Nara kembali tertawa. Sehun ikut tertawa kecil melihat tawa Nara. "Tahu tidak, kau itu terlalu sempurna untuk jadi seorang gay," ujar Nara setelah tertawa. "Kau sangat tampan, penampilanmu juga begitu keren, dan kau jenius. Setiap gadis di luar sana pasti mengharapkanmu untuk menjadi pasangan mereka. Tapi sayangnya, itu hanyalah angan-angan semata." "Kenapa? Kau juga salah satu dari mereka?" Sehun bertanya. Nara tersenyum sambil mengangguk antusias. Sehun membulatkan matanya terkejut. "Kau itu adalah tipe idaman setiap gadis di dunia, Sehun. Termasuk diriku. Bukankah sudah kubilang kalau kau itu adalah sosok yang begitu sempurna?" "Tapi, tidak ada yang benar-benar sempurna di dunia ini, Nara. Setiap hal yang tampak sempurna di luar, pasti juga memiliki kecacatan di dalam. Dan kecacatanku adalah ke-gay-anku" Sorot mata dan nada bicara Sehun yang sendu membuat Nara tersentuh. Entah kenapa ia seperti ikut merasakan apa yang Sehun rasakan. Sehun benar, kesempurnaan itu hanyalah milik Tuhan. Tidak ada sesuatu apa pun yang sempurna di muka bumi ini. Setiap hal yang tampak sempurna di dunia ini sebenarnya tidaklah benar-benar sempurna. Pasti ada paling tidak satu hal yang membuat kesempurnaan itu menjadi tidak seratus persen sempurna. Suara bel pintu apartemen Nara membuat Nara dan Sehun sedikit tersentak dari lamunan mereka masing-masing. Nara bergegas menuju pintu. "Tada!" "Oppa?!" Nara dengan begitu gembiranya memeluk Kai, kakak sepupunya yang datang dari London. Rupanya pria itu ingin memberinya kejutan dengan datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Kai sangat dekat dengan Nara. Hal ini karena mereka sama-sama anak tunggal di keluarga inti masing-masing. Jadi, mereka sudah menganggap diri mereka satu sama lain seperti kakak dan adik kandung mereka sendiri. "Oppa, aku rindu sekali padamu! Kenapa setahun ini tidak menghubungiku?" Nara merajuk. Kai terkekeh pelan sambil mengacak surai kecokelatan Nara dengan gemas. "Maaf, ya Oppa begitu sibuk di London selama setahun ini. Banyak sekali proyek-proyek yang harus Oppa tangani langsung. Jadi, Oppa tidak punya waktu untuk menghubungimu," jelas Kai. Nara mengangguk mengerti. "Lalu kenapa Oppa ada di sini? Bukankah Oppa sibuk?" "Salah satu proyek itu adalah bekerja sama dengan perusahaan asal Korea, jadi di sinilah aku sekarang. Rencananya aku akan tinggal di apartemenmu, boleh 'kan?" "Tentu saja boleh. Oh ya, di dalam ada temanku. Ayo, kukenalkan padanya!" Nara merangkul lengan Kai dan membawa pria itu ke dapurnya. Kai hanya bisa pasrah ditarik oleh Nara seperti itu. Namun, saat tiba di dapur, Nara merasa kalau tubuh Kai menegang sambil menatap Sehun tak percaya. Hal yang sama juga dilihatnya pada Sehun. Bahkan, Sehun tanpa sadar sampai berdiri dari kursinya dan menatap Kai tak percaya. "Kai Kim." "Oh Sehun." Nara memperhatikan keduanya bergantian dengan ekspresi bingung yang begitu kentara. "Apa kalian sudah saling kenal sebelumnya?" Nara bertanya. "Kami sudah saling kenal sejak 17 tahun yang lalu," jawab Kai tanpa mengalihkan pandangannya dari Sehun. "Dan dia adalah teman yang kuceritakan padamu tadi," tambah Sehun. "Teman yang—" Nara pun syok sambil menatap Kai dan Sehun tak percaya. "Tidak mungkin ...." ***** Nara makan malam dengan begitu tak berselera. Setelah mendengar pengakuan Kai yang mengejutkan tentang hubungannya dengan Sehun serta tentang jati dirinya, Nara merasa ... entahlah. Perasaannya sedang tak menentu saat ini. Kalau dibilang terkejut, jelas Nara sangat terkejut. Bayangkan saja, kakak sepupumu yang menjadi Kingka di sekolah maupun di kampusnya ternyata adalah gay. Bahkan, Nara juga baru tahu kalau ternyata kepindahan Kai ke London adalah perintah dari orang tuanya yang sudah mengetahui perihal hubungan putra mereka dengan sahabatnya yang ternyata adalah kekasihnya. Ya, sebenarnya Sehun dan Kai putus karena orang tua Kai mengetahui hubungan mereka, bukan karena Kai pindah ke London. Pertanyaannya sekarang, apakah Sehun dan Kai akan menjalin kembali hubungan mereka setelah lama berpisah kemudian bertemu lagi seperti tadi sore? Nara juga tidak tahu jawabannya, tapi ia justru merasa gelisah. Namun, apa yang membuat gadis itu gelisah? Mungkinkah karena ia tidak ingin Sehun dan Kai kembali bersama? Tapi, kenapa? Apakah mungkin karena Nara cemburu? Haha. Nara mana mungkin cemburu? Memangnya Nara menyukai Sehun? Tidak, 'kan? Sehun gay, jadi mana mungkin Nara menyukai pria itu? Tapi, apakah benar dia tidak menyukai Sehun? Tiap kali bersama Sehun, Nara merasa sangat nyaman. Bahkan, terkadang ia lupa kalau Sehun gay sehingga Nara menganggapnya seperti pria normal biasa. Sikap Sehun yang seperti pria normal itulah yang membuat Nara kadang terlena. Ugh! Tapi benarkah ia menyukai Sehun? "Nara, sedang memikirkan apa?" Pertanyaan Kai membuat Nara tersadar dari lamunannya. Ia menoleh pada Kai dengan gelagapan. "Oh, uh, aku ... tidak memikirkan apa-apa, Oppa," ujarnya sambil mengulas senyum tipis. Ia pun menunduk menyantap makanannya. Kai menghembuskan napas lesu. "Kau masih terkejut dengan pengakuanku tadi, ya?" Nara mengangkat kepala dan menatap Kai terkejut. "Ti-Tidak, Oppa. Aku hanya ...." "Hanya apa?" Kai memancing. Nara hanya menatap Kai ragu, tak bisa berkata apa-apa. Karena Nara tidak mau bicara, Kai kembali bertanya, "Nara, apa kau menyukai Sehun?" Kali ini, Nara melotot kaget. Ia terlihat gugup saat berkata, "Ke-Kenapa Oppa bertanya seperti itu? Ma-Mana mungkin ... aku suka padanya?" Nara terkekeh sumbang. Kemudian, ia langsung diam dan meminum jus jeruknya lalu melanjutkan makan malamnya. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, menghindari kontak mata dengan Kai. "Jujurlah, Nara! Tidak apa-apa jika kau menyukainya. Dia lelaki yang baik." Mendengar perkataan Kai, Nara pun menatap pria itu aneh. "Apa maksud Oppa berkata seperti itu? Maksudku, dia itu seorang gay. Dia tidak mengencani perempuan sepertiku. Dia hanya mengencani lelaki. Lagi pula," Nara sedikit ragu untuk melanjutkan, "Tidakkah kau cemburu jika aku ... berkencan dengannya?" Kai terbahak mendengar perkataan Nara. Kerutan di dahi Nara makin dalam. Ada apa sih dengan Kai? Kenapa Oppa-nya itu begitu aneh hari ini? "Nara, hubunganku dan Sehun sudah lama berakhir. Kami sudah tidak memiliki hubungan apa pun lagi. Lagi pula, di London aku juga sudah memiliki kekasih. Kenapa kau takut aku cemburu, hm? Oh, atau jangan-jangan kaulah yang cemburu padaku, benar begitu? Jangan-jangan, itu juga yang kau pikirkan sejak tadi, ya?" Kai memicing menatap Nara sambil menggodanya. Nara semakin gugup dan gelagapan. Karena sudah terlanjur malu dan tidak tahu harus berkata apa-apa, ia pun memilih untuk kabur ke kamarnya. "Nara!" Kai mencoba memanggil dan mengejar Nara, tapi dengan sigap Nara menutup pintu kamar dan menguncinya rapat-rapat. Kai terdengar tertawa terbahak di depan kamarnya. Tak lama, Kai menghentikan tawanya. "Nara, kalau benar kau menyukai Sehun, katakan saja padanya! Kau tidak perlu khawatir soal jati dirinya yang merupakan seorang gay. Justru, aku berharap kalau kau akan membuatnya menjadi pria normal kembali." Kai terdengar kembali tertawa, tapi kali ini tawanya terdengar miris. "Nara, akulah penyebab dia menjadi seorang gay. Akulah yang benar-benar gay di sini, dia tidak. Aku yakin, kalau kau berusaha dengan keras, maka kau akan berhasil membuat Sehun juga menyukaimu." Kata-kata Kai membuat Nara terkejut. Ternyata, Sehun awalnya memang straight. Itu berarti, ia tidak benar-benar gay. Ia bisa tergoda oleh wanita. Tapi, kalau memang benar begitu, kenapa Sehun tidak tergoda sama sekali oleh tubuh Nara saat ia menelanjangi Nara yang habis muntah saat itu? Atau mungkin, Sehun memang tergoda tapi ia menahan diri? ***** Sudah hampir satu jam berlalu sejak Sehun meninggalkan apartemen Nara. Ia masih begitu terkejut oleh kemunculan Kai yang ternyata kakak sepupu dari Nara di apartemen gadis itu. Kenangan tentang kebersamaan ia dan Kai kembali berputar di otaknya bagai kilasan film. Bahkan, hari di mana orientasi seksualnya berubah karena Kai juga masih diingat olehnya dengan begitu baik. Hari itu, di kamar Kai, tanpa adanya orang tua Kai di rumah, pria itu bercerita mengenai keanehan yang ada padanya kepada Sehun. Kai bercerita kalau ia terus memikirkan fantasi aneh tentang laki-laki. Ia tidak tertarik kalau melihat gadis-gadis seksi yang hanya berbikini, tapi justru tertarik menyaksikan pria yang bertelanjang d**a. Ia juga tidak merasakan getaran apa pun saat bersentuhan dengan perempuan. Ia justru merasakan getaran saat bersentuhan dengan laki-laki tak terkecuali Sehun. Kemudian, entah siapa yang memulai, mereka berciuman dan akhirnya melakukan hubungan intim. Tentu saja itu adalah yang pertama bagi mereka. Sejak saat itu, mereka pun menjalin hubungan spesial. Namun, setelah upacara kelulusan, hubungan mereka harus berakhir lantaran hubungan keduanya sudah diketahui oleh orang tua Kai. Setelah itu, Kai pun dikirim kuliah di London dan sejak itu, mereka hilang kontak. Setelah bertahun-tahun, mereka pun dipertemukan kembali tanpa terduga di apartemen Nara. Sehun merasa sangat terkejut. Pasalnya, ia tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Kai. Kenapa pula harus di apartemen Nara? Sehun merasa sangat malu karena ketahuan pernah mengencani kakak sepupu dari mahasiswinya yang kini diketahui orang-orang sebagai tunangannya itu. Ah, tapi kenapa Sehun harus malu? Toh, Nara sudah tahu kalau Sehun memang seorang gay, 'kan? Tapi, kenapa rasanya begitu tidak nyaman saat teringat oleh wajah terkejut Nara sore tadi? Dan kenapa ia seolah biasa-biasa saja saat melihat Kai? Ia tidak merasakan efek bertemu mantan sama sekali. Padahal, dulu ia dan Kai , 'kan berkencan? Apa karena saat itu bukanlah cinta yang mereka rasakan, melainkan hanya nafsu belaka? Oh, Sehun juga merasakan hal yang sama pada mantan-mantannya yang lain. Jadi, selama ini Sehun tidak pernah mencintai Kai dan mantan-mantannya itu? Sehun hanya sekedar memiliki nafsu pada mereka? Akan tetapi, setelah Sehun ingat kembali, ia tidak pernah berhubungan dengan seseorang diawali oleh nafsu. Walaupun, memang dialah yang selalu 'ditembak' duluan. Dan lagi, Sehun tidak pernah meminta hubungan intim pada pasangannya, justru ialah yang sering diajak berhubungan intim oleh pasangannya Lantas, selama ini apa yang melandasinya menjalin hubungan dengan seseorang? Kini, Sehun mulai meragukan dirinya sendiri. Apalagi, ia juga selalu merasa aneh saat bersama Nara. Nara? Ya, selama ini Sehun tidak pernah sebegitu dekat dengan seorang gadis. Hanya pada Nara lah ia bisa bersikap begitu rileks. Apakah ini efek dari melihat tubuh telanjang bulat Nara dan juga ciumannya saat itu? Tapi, kenapa hal itu berefek begitu besar pada pria yang notabenenya gay seperti dirinya? Sepertinya, ke-gay-an Sehun patut dipertanyakan. ***** "Kenapa kau bertanya seperti itu? Bu-bukankah kau sudah tahu alasannya adalah karena dia selingkuh?" Nara menatap Sehun bertanya-tanya. Ia merasa gugup saat tiba-tiba Sehun menanyakan perihal putusnya ia dan Taeyong. Mereka sedang berada di kafe bandara setelah mengantar Kai untuk kembali ke London. Rupanya Kai langsung pulang ke London setelah selesai bertemu dengan rekan bisnisnya. Sebelum pergi, Kai sempat meminta maaf pada Sehun perihal apa yang pernah terjadi di antara mereka yang akhirnya mengubah hidup Sehun selamanya. Kai pun mengusulkan agar Sehun mengencani wanita untuk memastikan apakah ia benar-benar gay atau tidak sambil berkedip pada Nara. Hal itu membuat Nara kikuk di hadapan Sehun. Dan kini, Nara semakin gugup karena Sehun menanyakan perihal ia dan Taeyong. Untuk apa pria itu tahu? "Bukan itu maksudku. Aku ingin tahu, menurutmu apa yang membuat Taeyong berselingkuh dengan Jennie? Maksudku, kau itu gadis yang baik. Kau juga cantik, dan cukup pintar. Kenapa Taeyong justru mencampakkanmu dan memilih Jennie?" "Apa lagi kalau bukan seks?" desah Nara lalu tertawa miris. "Sejak kami menjalin hubungan, kami hanya pernah berciuman dan sekedar b******u satu sama lain. Kami tidak pernah sampai berhubungan intim karena aku belum bisa percaya penuh padanya. Mungkin, Taeyong bosan padaku lalu akhirnya ia berselingkuh dengan Jennie yang memang terkenal sering bergonta-ganti pasangan dan tidak ragu untuk melakukan seks dengan pasangannya." "Tapi, aku justru bersyukur dengan hal itu," lanjut Nara sambil tersenyum lebar. "Dengan adanya hal itu, aku justru sadar kalau Taeyong ternyata bukan pria yang baik untukku. Dia hanya lelaki berengsek yang hanya mementingkan seks. Aku tidak butuh pria seperti itu." Sehun tersenyum sambil mengangguk setuju. "Pria seperti itu memang tidak pantas diperjuangkan," komentarnya. Nara mengangguk sambil meneguk Americano-nya. "Bagaimana denganmu? Apa kau berpikir untuk mencoba saran Kai Oppa?" Nara bertanya sambil menggigit bibirnya gugup. Dilihatnya kini Sehun yang menatap Nara bertanya-tanya. "Kalau iya, kenapa? Kalau tidak, kenapa?" Sehun mengangkat alisnya. Ia tampak begitu penasaran dengan jawaban Nara. Nara mengangkat bahunya gugup. "Hanya ingin tahu saja." "Dan kenapa kau ingin tahu?" Pertanyaan Sehun selanjutnya membuat Nara benar-benar dilanda kegugupan yang bahkan kini membuatnya membeku di kursinya. Wajah Sehun yang menatapnya penuh minat dan terlihat sangat menggoda baginya semakin memperparah keadaan. Jantung Nara kini berdegup dengan begitu kencang. Tubuh Nara seolah melemas kala Sehun dengan sengaja mendekatkan wajahnya ke wajahnya sendiri yang Nara yakini sudah memerah seperti kepiting rebus. "Kalau aku ingin mencoba saran Kai, apakah kau mau menjadi volunteer?" Sehun bertanya dengan suara husky-nya yang terdengar seksi di telinga Nara. "Vo-Volunteer?" "Ya, volunteer untuk untuk menjadi wanita pertama yang berkencan denganku. Apa kau mau, Kim Nara?" Seperti tersihir, Nara tidak mampu mengalihkan hazelnya dari almond Sehun. Tanpa sadar, Nara mengangguk. Seringai kecil menghiasi bibir Sehun. Kemudian, pria itu memutuskan kontak matanya dengan Nara dan kembali duduk tegak di kursinya. Nara pun tersadar. "Syukurlah kalau begitu. Aku senang mendengarnya." Sehun tersenyum hingga menampilkan eye smile-nya. Wajah Nara memerah melihat wajah tampan Sehun yang  sedang tersenyum itu. Dengan sedikit gelagapan, ia meneguk Americano-nya kembali hingga habis. Sehun tersenyum kecil melihat tingkah lucu Nara. ***** "Kenapa menatapku terus?" Sehun bertanya di sela kegiatannya menyetir. Mereka sedang dalam perjalanan pulang dari bandara. Nara tersentak dari lamunannya. Ia segera mengalihkan pandangan ke arah lain sambil berdeham pelan. Diam-diam ia merutuk dalam hati. Bisa gawat jika Sehun tahu kalau ia sedang asyik menikmati pahatan sempurna milik pria itu. "A-Aku tidak sedang memperhatikanmu. Aku hanya—" "Hanya sedang menikmati wajah tampanku?" "Iya, eh! Tidak! Tidak seperti itu. Aku ...." Nara berubah panik setelah keceplosan bicara. Hal ini sukses membuat tawa Sehun pecah melihat kegugupan gadis itu. Nara menundukkan wajahnya. Sungguh ia malu ketahuan sedang mengagumi wajah pria yang duduk di sampingnya. Tiba-tiba saja, Sehun menepikan mobilnya. Hal ini membuat Nara kebingungan. Ia menatap Sehun bertanya. Tepat setelah menepikan mobilnya, Sehun menoleh pada Nara. Tatapannya begitu intens saat bertanya, "Kim Nara, kumohon jujurlah padaku. Apa kau menyukaiku sebagai lelaki?" Pertanyaan Sehun membuat Nara diam tak berkutik. Ia sendiri juga sebenarnya tidak tahu apakah ketertarikannya pada Sehun sudah berkembang menjadi rasa suka atau belum. Atau bahkan cinta? Nara benar-benar tidak tahu dengan perasaannya sendiri. Kalau dulu dengan Taeyong, rasa yang ia rasakan pada pemuda itu sudah jelas bisa ia artikan sebagai rasa cinta karena saat itu keadaannya tidak serumit saat dengan Sehun. Tanpa banyak kata, Sehun melepas seatbelt-nya dan mencondongkan tubuhnya pada Nara. Nara terkejut saat Sehun tiba-tiba mencium bibirnya. Namun, tak lama berselang, Nara membalas perlakuan Sehun. Ia memejamkan matanya lalu mengalungkan tangannya ke leher Sehun dengan mesra. Setelah beberapa detik, Sehun menarik diri. Ia memperhatikan wajah Nara yang memerah. Senyum kecil menghiasi bibirnya. Ia mengusap pelan pipi Nara sambil berbisik, "Apa yang sebenarnya kau lakukan padaku, Kim Nara? Kenapa kau selalu membuatku bingung dengan diriku sendiri sejak kita pertama bertemu?" Nara mengernyit tak mengerti mendengar perkataan Sehun. Sehun tersenyum makin lebar lalu ia menyatukan kening mereka berdua. Almondnya menatap lurus pada hazel Nara. "Mungkin Kai benar. Aku bukanlah seorang  gay. Aku dan alam bawah sadarku  yang berpikir begitu. Aku mulai menyadarinya saat  melihat tubuh telanjangmu dan menciummu untuk pertama kalinya. Seperti lelaki normal, aku selalu memikirkannya. Bahkan aku selalu menahan diri untuk tidak kembali mengecap manis bibirmu. Aku selalu merasa aneh jika berada di dekatmu. Semua yang ada pada dirimu membuatku gila. Hal ini sungguh berbeda jika dibandingkan dengan kedekatanku bersama mantan-mantan kekasihku. Tapi aku juga belum tahu tentang perasaanku ini. Aku tidak tahu apakah ini cinta atau sekedar nafsu belaka." "Kalau begitu cari tahulah, Sehun! Cari tahu apa arti dari perasaanmu itu." "Tapi bagaimana caranya? Aku buta dengan hal semacam ini, Nara." "Cukup dengan jalani semua ini bersamaku. Selama ini jujur saja aku juga merasakan perasaan itu. Aku senang bila berada di dekatmu. Semua yang kau lakukan selalu membuat jantungku berpacu beberapa kali lebih cepat. Bahkan kurasa aku selalu tampak bodoh dan konyol karena terlalu gugup. Hal ini karena dirimu, Oh Sehun." "Apa itu artinya kau menyukaiku?" Semburat merah menghiasi pipi Nara. Sambil tersenyum ia menjawab, "Sepertinya begitu." Alih-alih merasa senang dengan pengakuan Nara, Sehun justru terdiam dengan wajah yang ia tundukkan. Hal ini lagi-lagi membuat Nara dilanda kebingungan. "Sehun, kau ken—" "Aku kotor, Nara." Kata-kata Sehun membuat Nara melotot terkejut. Sehun mendongak lalu menatap Nara sendu. "Tidakkah kau jijik padaku? Aku sudah banyak melakukan hal-hal kotor dengan lelaki lain di luar sana. Setiap inchi bagian tubuhku sudah pernah disentuh maupun menyentuh bagian tubuh pria lain. Setelah kuingat kembali aku justru merasa jijik pada diriku sekarang. Aku yakin kau—" Kata-kata Sehun terputus kala Nara menyatukan material basah milik mereka berdua. Ciuman yang Nara begitu lembut. Tanpa nafsu sedikitpun. Awalnya Sehun sempat terkejut dengan kelembaban itu. Namun pada akhirnya ia justru membalas perlakuan Nara dengan sama lembutnya. Tak lama berselang, mereka pun sama-sama menarik diri. Nara tersenyum dan berujar, "Kau merasakannya tadi? Aku menciummu sebagai bukti kalau aku sama sekali tidak jijik padamu, Sehun. Sejak awal aku tidak pernah sekali pun merasa begitu. Kalau aku jijik, mana mungkin aku terima saja saat kau menciumku di kampus waktu itu? Padahal sudah tahu sejak awal bahwa bibir ini—" Nara mengusap bibir Sehun dengan ibu jarinya. "—pernah merasakan milik lelaki. Dan kalau aku jijik padamu, sejak awal aku tak akan merasakan gejala-gejala orang jatuh cinta seperti yang kukatakan tadi." "Benarkah?" Sehun masih ragu. Gemas melihat ketidakpercayaan Sehun pada kata-katanya, Nara pun kembali menari rahang Sehun dan menyatukan bibir mereka. Singkat saja kali ini. "Harus berapa kali lagi aku menciummu agar kau percaya, huh?" Sehun terkekeh dan kembali mendekatkan wajahnya ke wajah Nara. Ia menjawil hidung Nara dengan hidungnya sendiri lalu berkata, "Kalau kau tidak keberatan aku rela dicium berkali-kali olehmu." Nara hendak menimpali perkataan Sehun dengan sebuah protes, tapi hal itu tidak pernah terlaksana karena Sehun sudah lebih dulu membungkam bibirnya dengan ciuman basah nan panjang. "Aku mencintaimu, Kim Nara," ungkap Sehun di sela-sela ciumannya. Nara membalas ungkapan cinta Sehun dengan merangkul leher Sehun mesra. "Aku juga mencintaimu, Prof. Oh Sehun," ujar Nara saat menarik diri. Kemudian, mereka pun kembali berciuman. Ciuman yang begitu manis tanpa nafsu sedikit pun tapi langsung berubah saat mereka sampai di apartemen Nara. ***** Hari sudah terang. Matahari sudah menerangi bumi, menandakan kalau hari sudah berganti. Namun, Nara dan Sehun seolah masih betah berbaring berdua di atas ranjang sambil berpelukan mesra seperti itu. Setelah menyelesaikan hubungan intim, mereka tidak langsung tidur. Mereka asyik dengan obrolan intim mereka sejak resmi menjadi pasangan kekasih. "Jadi, lebih enak seks dengan laki-laki atau wanita?" Nara bertanya. Ia bersandar di d**a bidang Sehun. Sementara Sehun bersandar di kepala ranjang. Sehun berpikir. "Kalau disuruh memilih, untuk saat ini aku memilih seks dengan wanita" Nara tersenyum sambil mengeratkan pelukannya pada Sehun. "Memang begitu seharusnya," ujar Nara gembira. Sehun terkekeh pelan sambil mengeratkan pelukannya pada Nara. "Terima kasih karena telah hadir dalam hidupku. Tahu begini, seharusnya kau datang ke dalam hidupku lebih awal." Nara mengangguk. "Kau juga. Seharusnya kau datang sebelum si berengsek Taeyong" Sehun kembali terkekeh dan mengacak surai Nara pelan. Nara mendongak menatap Sehun. Sehun pun mendekatkan wajahnya ke wajah Nara dan mempertemukan bibir mereka. FIN  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN