"Ibu mau ke mana?"
Nara bertanya pada Joohyun yang keluar dari kamarnya dengan satu koper di tangan. Wajah Nara tampak sekali terkejut. Sehun yang pulang sekolah bersama gadis itu juga bertanya-tanya memperhatikannya.
Satu desahan pelan mengawali kalimat yang keluar dari mulut wanita berusia 40 tahun itu. "Ibu harus ke Jepang selama seminggu, Sayang. Ada pertemuan mendadak dengan klien, jadi—"
"What?! Ibu, besok 'kan ulang tahunku?" Nara kini merajuk. Dengan wajah merasa bersalah, Joohyun mendekati putri semata wayangnya.
"I'm sorry, Sweety. I'm really sorry. Pertemuan ini benar-benar sangat mendadak. Ibu tidak bisa meninggalkannya—"
"Ibu tidak bisa meninggalkan pertemuan itu, tapi bisa meninggalkanku yang besok berulang tahun?" Nara menggeleng tak percaya. "Ibu jahat!" Nara berlari ke kamarnya di lantai dua. Sehun dan Joohyun memanggilnya. Namun, Nara yang keras kepala seolah tak mau mendengar.
"Bibi, biar aku saja yang menjelaskan padanya," ujar Sehun saat Joohyun hampir beranjak ke kamar Nara. Joohyun menatap Sehun ragu-ragu. Ia melirik tangga sekilas lalu mengangguk pada pemuda itu. Melihat hal tersebut, Sehun pun bergegas ke kamar sahabatnya.
Saat Sehun membuka pintu kamar bercat putih milik Nara, gadis itu sedang berbaring miring di ranjang membelakangi posisinya saat ini. Walaupun ia tidak bisa melihat ekspresi wajah Nara, ia tahu kalau gadis itu sedang sangat sedih sekarang. Sehun berjalan pelan menghampiri gadis itu.
"Nara ...." sapanya pelan. Nara bergeming. Sehun menghembuskan napas pelan sambil duduk di tepi ranjang yang tidak ditempati Nara. "Na—"
"Tidakkah Ibu mengerti?" Nara memotong ucapan Sehun dengan suara pelan. Sehun diam, berusaha mendengar curahan hati sahabatnya dengan baik. "Aku hanya ingin bersama dengan orang-orang yang kucintai pada hari ulang tahunku. Terutama orang tuaku. Ayah jelas tidak bisa berada di sisiku karena dia sudah bercerai dengan Ibu dan kini tinggal di Perancis. Kini yang ada hanya Ibu, tapi Ibu harus bekerja—"
"Nara, Ibu mu bekerja juga demi dirimu. Sejak Paman dan Bibi bercerai, Bibi harus mengurusmu sendirian. Ya ... walaupun Paman secara rutin mengirimimu biaya hidup dan pendidikanmu, sebagai orang tua yang membesarkanmu Bibi juga harus tetap membiayaimu dan dirinya sendiri. Bibi melakukan itu semua—bekerja keras, membanting tulang— hanya demi dirimu. Untuk kebahagiaanmu."
Mendengar perkataan Sehun, Nara pun perlahan menegakkan badannya. Ia memutar badannya untuk menatap Sehun sendu. "Hun, aku hanya rindu kasih sayang kedua orang tuaku. Kau tahu 'kan, sejak mereka bercerai lima tahun yang lalu aku tidak pernah lagi merayakan ulang tahunku bersama mereka? Hanya kado dan ucapan selamat yang mereka berikan padaku." Nara menunduk dalam, menahan air matanya yang hampir melesak keluar.
"Aku hanya ingin kehadiran mereka di sisiku, Hun. Hanya itu," lanjut Nara. Sehun mengerti benar dengan apa yang dirasakan Nara saat ini.
Perceraian Kim Junmyeon dan Bae Joohyun—orang tuanya— lima tahun yang lalu memang membuat hidup Nara berubah. Gadis yang selalu ceria itu kini sering murung. Awal-awal perceraian orang tuanya dulu, ia sering sekali tampak bersedih. Tapi, kesedihan itu tidak terus-menerus menaunginya karena ada Sehun yang selalu menghiburnya dan ada untuknya. orang tua Sehun pun juga perhatian padanya sama seperti mereka perhatian pada anak kandung mereka sendiri.
Tapi, setegar-tegarnya seorang Nara, ia tetaplah seorang anak yang membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya.
"Kalau kau mau, Ibu akan membatalkan pertemuan itu, Sayang." Joohyun memecah keheningan antara Nara dan Sehun. Ia berdiri di ambang pintu kamar putrinya yang terbuka lebar. Atensi Nara dan Sehun tertuju penuh padanya. Namun, melihat Ibu nya berjalan menghampirinya, Nara kembali menundukkan kepalanya.
"Sayang," desah Joohyun setelah duduk di samping Nara dan mendongakkan kepala putrinya itu agar menatapnya. "Ibu tahu kau sangat terluka dengan perceraian Ibu dan Ayah. Kau juga pasti rindu dengan kebersamaan kita bertiga terutama pada hari ulang tahunmu. Tapi, waktu akan terus berjalan. Kau tidak bisa mengingkari kalau perceraian itu telah terjadi dan mengubah segalanya."
Kristal bening mulai mengalir di kedua pipi Joohyun. Nara dan Sehun terkesiap karenanya.
"Ibu ...."
"Maafkan Ibu yang seolah-olah mengabaikanmu demi setumpuk pekerjaan itu, Sayang. Tapi, kau juga harus tahu kalau Ibu melakukannya karena kewajiban Ibu sebagai ibu sekaligus ayah bagimu. Bagaimanapun, sekarang Ibu adalah seorang single parent—"
Kata-kata Joohyun terputus saat tiba-tiba Nara memeluknya erat sambil terisak. "Aku tahu, Ibu. Maafkan aku. Maafkan keegoisanku. Seharusnya aku tahu kalau tidak hanya aku yang tersakiti oleh perceraian Ibu dan Ayah, tapi Ibu dan Ayah juga."
Nara menarik diri dari pelukan Joohyun. Ia tersenyum tipis pada wanita cantik yang mewariskan kecantikannya pada dirinya itu. "Ibu pergilah ke Jepang. Aku tidak apa-apa."
"Tapi bagaimana—"
"Ada Sehun di sisiku." Nara beringsut merangkul lengan Sehun. Senyum cerah menghiasi wajahnya. Sementara itu, Sehun tampak terkejut dengan perubahan sikap sahabatnya itu.
"Sehun selalu ada untukku di saat aku senang ataupun sedih. Termasuk saat aku berulang tahun. Bukankah dia adalah salah satu orang yang kusayangi? Jadi, walaupun Ayah dan Ibu tidak bisa berada di sisiku, masih ada Sehun yang bisa menemaniku. Dengan begitu, aku tidak akan bersedih lagi."
"Sungguh tidak apa-apa?" Joohyun bertanya dengan ragu-ragu. Kali Sehun yang menjawab.
"Bibi tidak perlu khawatir. Nara pasti akan baik-baik saja bersamaku."
Mau tak mau, Joohyun tersenyum. Ia menghapus air matanya dan menatap Nara penuh kasih sayang. "Terima kasih kau sudah mau mengerti, Sayang!" ditariknya tubuh Nara ke dalam pelukannya. Nara mengangguk sambil bergumam pelan.
*****
Satu hembusan napas pelan keluar dari bibir mungil Nara. Ia tersenyum menatap bintang yang berkelap-kelip indah di langit. Ini adalah agenda rutin yang dilakukannya bersama Sehun di detik-detik menuju hari ulang tahunnya. Menikmati indahnya langit penuh bintang dari balkon kamar Sehun.
Sehun tersenyum kecil memperhatikan tingkah sahabatnya itu. Padahal, beberapa jam yang lalu, ia masih merasa sedih melepas kepergian Joohyun ke Jepang untuk waktu yang bisa dibilang tidak sebentar. Akan tetapi, begitu Sehun membawanya ke balkon kamarnya, senyum gadis itu langsung kembali.
"Sehun, orang tuamu masih berapa lama lagi berada di New York?" Nara tiba-tiba bertanya. Ia mengalihkan pandangannya ke Sehun. Pemuda itu tampak sedikit berpikir.
"Um, mungkin sekitar dua minggu?" Sehun mengangkat bahu. "Ya, kau tahulah orang tuaku sedang mengurus bisnis di sana. Dan kalau sudah berurusan dengan bisnis, mereka seolah lupa akan waktu."
Nara menatap Sehun tak mengerti. Bagaimana tidak? Sehun membicarakan kepergian orang tuanya dengan begitu santai. Sehun memang sering ditinggal orang tuanya untuk berpergian ke luar negeri untuk mengurus bisnis mereka. Tapi, apakah pemuda tidak pernah merasa kesepian atau bahkan diabaikan seperti yang ia rasakan beberapa saat lalu? Ah, atau mungkin karena Sehun sudah terbiasa?
"Nara?" Panggilan pelan yang Sehun tujukan padanya membuatnya seketika tersadar.
"Ya?"
"Happy birthday!" Sehun tersenyum lebar. Nara untuk sesaat hanya bisa mengerjap lucu. Lalu ia cepat-cepat memeriksa Rolex-nya. Ia ikut tersenyum lebar. Sekarang, Nara sudah genap 17 tahun.
"Aku yang pertama seperti biasa, bukan?" tanya Sehun bangga. Nara mencebik sambil menonjok pelan bahu pemuda itu. Sehun terkekeh pelan.
Tak lama kemudian deringan ponsel Nara terdengar. Nara mengangkat panggilan itu sambil tersenyum girang.
"Ayah!"
"Happy birthday! Wish you all the best, Sayang."
"Thanks, Ayah. I miss you!"
"Yeah, me too." Jeda sejenak. "Hei, kado apa yang kau inginkan, hm?"
Nara menggeleng. "Aku tidak ingin kado, Ayah. I just wanna see you. Bisakah Ayah ke Korea?"
Junmyeon tampak berpikir. "Akan Ayah usahakan, Sayang. Masalahnya, Ayah sedang banyak urusan di sini. Mungkin saat Natal dan tahun baru nanti Ayah baru bisa berkunjung. Tidak apa-apa, 'kan?"
Nara mengangguk pelan. Akan tetapi, raut kecewa terlihat jelas di wajahnya. "Itu jauh lebih baik daripada tidak sama sekali, Ayah," ujarnya sendu.
Setelah Ayahnya, Nara juga mendapat panggilan dari Ibunya yang baru mendarat di Narita International Airport. Percakapan dengan Joohyun berlangsung lebih singkat daripada percakapannya dengan Junmyeon.
Setelah mengakhiri panggilan, Nara kembali tampak bersedih.
"Hey, are you alright?" tanya Sehun sambil merangkul bahu Nara. Nara menoleh dan tersenyum kecut padanya.
"Not alright at all," desahnya.
"Hei, kenapa bersedih seperti itu? Kau 'kan sudah berjanji untuk tidak bersedih lagi?" Perlahan, Sehun memutar bahu Nara dan menatapnya dalam.
"Nara, ada aku di sini. Kau tidak perlu bersedih lagi. Bukankah kau sendiri yang mengatakannya? Please, smile for me!" Seulas senyum pun tampak di wajah Nara. Sehun ikut tersenyum dan mengacak surai kecokelatan Nara dengan gemas.
Tak lama, Sehun terkesiap. "Oh, ya kau ingin kado apa dariku?"
Nara bertepuk tangan sekali. "Ah, benar! Aku belum minta kado darimu." Sedetik kemudian, ia berpikir.
Setelah berapa lama berpikir, wajah Nara lama-kelamaan berubah serius. Ia menatap Sehun ragu-ragu. "Se-Sehun" panggilnya pelan. Sungguh, ia begitu gugup saat ini. Kado yang ia inginkan dari Sehun bukanlah sesuatu yang mudah untuk dipenuhi. Dan ia juga takut Sehun akan berpikiran macam-macam tentang dirinya setelah mendengarkan permintaannya.
"Hm?"
"Kalau aku menginginkan sesuatu darimu ... maksudku, sesuatu yang tidak biasa ... apa kau mau memberikannya?"
Pertanyaan Nara membuat dahi Sehun berkerut tajam. Gelagat Nara sangat aneh menurutnya. Tidak biasanya seorang Nara gugup begini di hadapannya. Sepertinya, gadis di hadapannya itu sedang ragu mengungkapkan isi pikirannya.
"What do you want, Nara? Just say it. It's okay."
Nara menelan saliva gugup lalu berujar, "Aku ingin ... kau menjadi yang pertama ... bagiku, Hun."
Sehun membelalak terkejut. Nara ingin Sehun menjadi yang pertama baginya dalam hal apa? "Maksudmu ... yang pertama dalam ... hal apa?"
Nara menjilat bibirnya. "Aku ingin kau ... menjadi orang pertama ... yang menciumku dan ... b******a denganku. Please?"
Dan perkataan Nara membuat jantung Sehun terasa seperti jatuh ke perutnya. Ayolah, permintaan macam apa ini?! Nara—sahabat karibnya— memintanya untuk mencium dan b******a dengan dirinya? Sungguh, sebenarnya apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh gadis di hadapannya itu?
"Nara, permintaanmu itu sama sekali tidak masuk akal. Ke-Kenapa kau memintaku untuk melakukannya, hm?"
Nara menundukkan kepalanya takut. "Karena aku ingin kau selalu menjadi yang pertama bagiku, Sehun. Aku tahu permintaanku ini aneh, tapi sungguh ... aku ingin kau yang pertama kali mengambil dua hal paling berharga milikku itu. Aku hanya rela jika kau yang mengambilnya, bukan orang lain."
Sehun memijat pelipisnya pelan. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat bagaimana. Sisi binatang dari dirinya jelas menyuruhnya untuk berkata 'ya', tak peduli dengan berbagai macam alasan yang Nara katakan. Tapi, sisi manusia dari dirinya juga tak ingin mengiyakan. Nara adalah sahabatnya. Ia sangat menyayangi gadis itu. Nara bagaikan saudara perempuan baginya. Tidak mungkin 'kan ia merebut ciuman pertama dan keperawanan saudara perempuannya sendiri yang seharusnya justru ia jaga?
"Nara, suatu saat nanti ada orang yang lebih pantas merebutnya dari—"
"No, Sehun. No!" Nara menggeleng keras. Ia mendongak menatap Sehun yang mengernyit heran. "Yang orang yang lebih pantas itu adalah kekasih atau suami, 'kan? Aku tidak akan pernah memilikinya karena aku tidak percaya lagi dengan yang namanya ikatan—komitmen— berlandaskan cinta. Aku tidak mempercayainya."
Sehun semakin membelalak menatap sahabat kecilnya itu. Ia sendiri tidak tahu alasan Nara tidak mempercayai cinta, komitmen, dan segala t***k bengeknya seperti yang dideklarasikan olehnya barusan. Padahal seingatnya sejak dulu Nara selalu berandai-andai menjadi mempelai wanita yang tampak cantik memakai gaun pernikahan. Tapi sekarang?
"Ini semua karena orang tuaku, Hun. Kau tahu sendiri 'kan apa yang menimpa mereka? Aku trauma dengan semua itu. Aku tidak ingin mengalami apa yang mereka alami karena aku tahu betul bagaimana sakitnya."
Tanpa berkata apa-apa, Sehun menarik tubuh Nara ke dalam dekapannya. Sehun memeluk Nara dengan begitu erat. Nara yang awalnya sedikit terkejut sekarang membalas pelukan itu dengan sama eratnya. Bahkan, ia memejamkan matanya untuk merasakan hangatnya dekapan sahabatnya itu.
"Aku mengerti sekarang," ujar Sehun pelan tanpa melepaskan dekapannya. Nara membuka matanya demi mendengarkan kalimat Sehun selanjutnya. "Kau ingin sekali merasakan dua hal itu. Tapi dua hal itu hanya bisa dilakukan dengan pasangan kita. Di sisi lain, kau tidak mau mempunyai pasangan karena kau tidak ingin berkomitmen. Maka dari itu, kau mau melakukannya denganku karena aku adalah sahabatmu dan kita tidak pernah berkomitmen akan hal itu. Am I right?"
Nara mengangguk antusias di d**a Sehun. Kemudian, ia menarik diri dari dekapan Sehun untuk menatap wajah tampan pemuda itu. "Aku tidak akan memaksamu untuk melakukannya sekarang juga, Sehun. Terserah kau mau melakukannya kapan. Yang pasti, jika kau memintaku untuk melakukannya aku selalu siap kapan pun itu." Nara tersenyum manis.
Melihat senyum itu, d**a Sehun bergemuruh. Adrenalin-nya berpacu cepat. Entah kenapa saat ini tangannya justru menarik tengkuk Nara agar mendekat padanya. Sehun mempertemukan bibirnya dan bibir Nara, menciumnya dengan begitu lembut. Nara melotot kaget, tapi sedetik kemudian ia memejamkan matanya lalu membalas ciuman itu dengan kelembutan yang sama. Well, ini sama-sama ciuman pertama untuk Sehun dan Nara.
Setelah beberapa detik berciuman manis, Sehun dan Nara pun menarik diri. Mereka saling menatap dengan jantung yang berdetak cepat. Sehun menarik ujung bibirnya melihat ekspresi terkejut Nara yang sialnya terlihat sangat lucu di matanya. "That's our first kiss. How do you feel now?"
Nara tampak gugup. Sial, Sehun kini tampak begitu mempesona di matanya. Sambil menatap bibir Sehun, Nara berujar, "It's ... great. Rasanya ... manis."
Sehun terkekeh pelan. "Apa kau menggodaku, Kim Nara?"
"Huh?" Nara menatap Sehun tak mengerti. Pikirannya kembali kacau saat Sehun kembali mempertemukan bibir mereka. Namun, kali ini Sehun melakukannya lebih tergesa. Ia melumat bibir atas dan bawah Nara bergantian. Lidahnya mencoba melesak mulut Nara. Dan tak butuh lama, kini lidah itu sudah menjelajah mulut Nara lantaran Nara yang langsung membuka mulutnya.
Oh, ini gila! ujar Nara dalam hati. Ia tidak menyangka Sehun—sahabat kecilnya— itu sangat pandai berciuman. Padahal, ini juga pertama kalinya bagi Sehun. Perlakuan Sehun sungguh membuat Nara kacau. Hatinya berdebar tak karuan karenanya.
Setelah beberapa menit, akhirnya Sehun menarik diri. Ia memberikan kesempatan pada Nara dan dirinya sendiri untuk mengambil pasokan oksigen.
"Apa kau mau kita melanjutkannya?" Sehun bertanya dengan disertai geraman. Oh, Nara mengerti.
Nara tersenyum lalu menggeleng cepat. Sambil menyeringai, Sehun mencium kilat bibir Nara dan berkata, "Let's do it, then!"
Sehun segera menarik tangan Nara untuk masuk ke kamarnya dan menutup pintu balkon kamarnya dengan tergesa.
Dengan perasaan yang campur aduk, Sehun pun memulai kegiatan yang tak seharusnya dilakukan oleh remaja seumuran mereka. Kegiatan itu terus berlanjut hingga pelepasan-pelepasan dari sepasang sahabat yang sedang diselimuti nafsu tersebut.
*****
Jam dinding di kamar Sehun sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Sinar matahari jelas sudah menelusup ke jendela kamar bernuansa abu-abu tersebut. Perlahan, kelopak mata Sehun terbuka. Ia sedikit mengernyit saat sinar matahari tak sengaja menusuk almond-nya. Sehun pun menelengkan kepalanya ke samping. Matanya seketika terpaku pada keindahan di depan wajahnya. Keindahan itu adalah wajah tidur seorang Kim Nara.
Ingatannya pun kembali ke beberapa saat yang lalu. Saat di mana ia dan Nara melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan oleh sepasang sahabat.
Bercinta.
Mau bagaimana lagi? Ia dan Nara memang sama-sama ingin melakukannya. Mereka sama-sama ingin menjadikan satu sama lain yang pertama melakukan 'itu' dengan mereka.
Akan tetapi, Sehun juga tidak dapat memungkiri rasa bersalah yang bersemayam di hatinya. Bagaimanapun, ia telah merenggut keperawanan gadis yang begitu disayanginya. Sahabat yang sangat dilindungi olehnya.
"Sehun?" Suara parau Nara memecah lamunannya. Rupanya, Sehun tidak sadar kalau Nara sudah bangun. "Kau kenapa?"
Dengan gugup, Sehun menjawab, "Ah, tidak ... Tidak apa-apa."
Nara tersenyum lebar lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Sehun. Sebuah ciuman singkat mendarat di bibir pemuda itu. Sehun tampak terkejut.
"Morning kiss," ujar Nara disertai kekehan pelan. Sehun mengumpat pelan. Miliknya kembali menegang karena tindakan kecil Nara. Apalagi ia dan Nara masih dalam keadaan telanjang. Damn!
Sehun pun secara tiba-tiba menyerang bibir yang kini menjadi candunya itu dengan begitu menuntut. Dalam sekejap mereka mengulang kegiatan yang mereka lakukan malam sebelumnya tanpa perlu khawatir terlambat sekolah karena hari ini adalah hari Sabtu.
FIN