That Should (not) Be Me
Tidak ada hal lain di muka bumi yang lebih menyenangkan daripada melihat wajah tertidur milik Oh Sehun di pagi hari. Setidaknya, itu berlaku bagi Kim Nara. Sebenarnya, ia sudah bangun sejak tiga puluh menit yang lalu. Namun, melihat wajah rupawan Sehun yang tengah berbaring di sampingnya, membuat Nara tak rela bangkit dari ranjang. Ia hanya terus tersenyum sambil menatap wajah itu. Ia bahkan tak berani menyentuh ujung hidung pria itu barang sebentar saja, walaupun sebenarnya ia ingin. Ia hanya tak ingin membangunkan Sehun dan merusak kesenangannya yang mungkin hanya sesekali ia dapatkan itu.
"Eungh ...."
Sehun menggeliat pelan dalam tidurnya. Pertanda kalau pria itu akan segera bangun. Nara pun dengan panik kembali memejamkan matanya, berpura-pura masih tidur. Ia tidak ingin ketahuan oleh Sehun, omong-omong. Kalau Sehun tahu Nara mengamati wajahnya, maka pria itu akan menggodanya habis-habisan. Sungguh, Nara sama sekali tidak ingin kalau sampai itu terjadi.
"Sayang, kau belum bangun?" Suara parau Sehun memecah kesunyian di kamar itu. Nara konsisten memejamkan matanya. Ia berniat membuka matanya kalau Sehun sudah mulai membangunkannya.
Tidak mendapatkan jawaban, Sehun kini semakin merapat pada Nara, membuat tubuh polos mereka di balik selimut semakin menempel. Hal ini tentu saja membuat Nara sedikit panik. Semalam, mereka baru selesai melakukan hubungan intim jam tiga pagi. Dengan tubuh polos yang menempel seperti ini, bukan tidak mungkin akan membuat Sehun ingin memulai lagi kegiatan semalam bukan?
Sehun merengkuh tubuh Nara. Nara sedikit tersentak, tapi ia tetap memejamkan matanya. Ia berpikir kalau Sehun ingin mengatakan sesuatu, jadi ia memutuskan untuk tetap berpura-pura tidur, walaupun sebenarnya ia sedikit risih dengan tubuh polosnya yang begitu menempel dengan tubuh polos Sehun.
"Aku selalu berharap kalau kita akan seperti ini selamanya, Nara," bisik Sehun sendu. "Kenapa takdir begitu kejam memisahkan kita berdua? Seharusnya bukan Kiara, tapi kau yang menjadi pendamping hidupku."
Tak tahan berpura-pura, akhirnya Nara membuka matanya. Ia mendongakkan kepalanya agar bisa menatap Sehun dengan lebih jelas. "Sehun, kenapa kau mengungkit soal ini lagi? Aku baik-baik saja. Percayalah."
Nara menyentuh pipi Sehun sambil tersenyum tipis. Sehun memejamkan matanya saat Nara melakukannya. Tak lama kemudian, ia membuka matanya dan membawa tangan Nara yang berada di pipinya ke bibirnya. Diciuminya berkali-kali punggung tangan wanita tercintanya. "Aku mencintaimu, Nara. Aku sangat mencintaimu. Harusnya dulu aku menolak perjodohan itu mati-matian. Sayangnya, saat itu uang menjadi kelemahanku. Aku tidak bisa menolaknya karena ayahku hampir bangkrut kalau Ayah Mertua tidak menolongnya—"
"Sst, Sehun! Sudah, tidak perlu dibahas lagi." Nara menghentikan kata-kata Sehun dengan jarinya. Senyum lagi-lagi menghiasi wajahnya. "Apa yang terjadi di masa lalu tidak perlu diungkit terus-menerus. Biarlah semua menjadi masa lalu. Lagi pula, sampai sekarang kita masih bersama, bukan? Walaupun sebenarnya—" Nara tercekat. Wajahnya mendadak muram. Ia mengalihkan pandangannya.
Sehun meraih pipi kanan Nara dan mengarahkannya agar kembali menatapnya. "Walaupun sebenarnya apa? Walaupun sebenarnya kau merasa bersalah pada Kiara karena masih mengencani suaminya? Apa kau merasa sebagai selingkuhanku?" Sehun mendengus. "Kalaupun harus ada yang merasa bersalah di sini, Kiara-lah orangnya, Nara. Bukan kau ataupun aku. Sejak awal, aku adalah milikmu. Dia tahu itu. Tapi apa yang dilakukannya? Ia memohon-mohon pada Ayah Mertua agar dijodohkan denganku, bahkan ia sampai mengancam akan bunuh diri kalau keinginannya tidak terpenuhi." Sehun mendadak terpancing emosi. Ia kemudian mengatur napasnya, menahan amarahnya.
"Aku tahu, dia adalah sahabatmu," Sehun kembali berujar dengan nada bicara kembali normal. "Tapi itu dulu, sebelum dia merasa iri denganmu kemudian mengkhianatimu. Jadi, kumohon lupakan kalau kau pernah bersahabat dengan wanita penghisap darah itu! Aku yakin, dia juga pasti sudah sepenuhnya lupa kalau kau pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya."
Nara tertohok dengan perkataan Sehun. Di sisi lain, ia juga tidak menampik kalau perkataan Sehun memang akurat. Kiara bukanlah sahabat yang dikenalnya dulu. Wanita itu sudah banyak berubah karena rasa iri dan cintanya yang terlewat batas pada Sehun. Hal ini sudah terbukti saat tiga hari yang lalu, ia tak sengaja bertemu Kiara di sebuah kafe.
*****
"Lama tak berjumpa, Kim Nara."
Sapaan yang dilontarkan Kiara membuat Nara seketika tersadar dari rasa terkejutnya. Ia tadi sedang keluar dari kafe saat tanpa sengaja menabrak seseorang yang di depan pintu. Orang itu adalah Kiara Jung, mantan sahabat yang sudah menjadi istri dari kekasihnya. Saat ini, Kiara sedang menatapnya dengan wajah dinginnya.
Nara berdeham pelan. Ia tersenyum kecil saat menjawab, "Ya, sudah lama kita tak berjumpa. Sekitar tiga tahun? Terakhir kita bertemu, saat hari pernikahanmu, bukan?"
Seringai kecil menghiasi bibir Kiara. "Benar. Kita terakhir bertemu di hari pernikahanku dengan Sehun. Dan kupikir, itu juga 'kan yang membuatmu menghilang bak ditelan bumi?"
Nara meremas ujung roknya, menahan rasa sesak akibat perkataan Kiara yang seolah mengolok-oloknya.
"Kupikir, setelah melihat kekasihmu menikah dengan sahabatmu, kau akan depresi berat atau merasa sedih yang berkepanjangan, tapi ternyata kau terlihat baik-baik saja," ujar Kiara sambil menilai penampilan Nara yang memang terlihat normal. Nara berpenampilan seperti wanita kantoran pada umumnya dengan blazer dan rok span di atas lutut. Wajahnya pun dipolesi make up secukupnya dengan rambut panjangnya yang terurai.
"Hidup harus tetap berjalan, 'kan? Jadi, untuk apa mengingat masa lalu?"
Kiara hanya diam tak menanggapi perkataan Nara. Ia dan Nara bertatapan cukup lama sebelum pada akhirnya ponsel Kiara berdering. Dengan masih menatap Nara sengit, ia mengambil ponsel lalu menjawab panggilan tersebut.
"Sayang!" Kiara mendadak berubah ceria saat mendengar suara Sehun di ujung sambungan. Tubuh Nara langsung menegang saat mendengar sapaan yang keluar dari mulut Kiara. Ia tidak bodoh untuk mengetahui untuk siapa panggilan tersebut disematkan. Sehun. Melihat hal tersebut, Kiara pun sengaja memperkeras suaranya dan membuat nada suaranya semanis mungkin, berniat memanas-manasi Nara.
"Oh, kau ingin bertemu di kafe di dekat Gangnam saja? ... Baiklah, aku akan segera ke sana. Lagi pula, aku juga belum masuk ke kafe ... Dah, Sayang!"
Kiara mengakhiri panggilan. Ia tersenyum mengejek pada Nara. "Kau dengar 'kan tadi? Sehun dan aku ada janji berdua. Jadi, aku harus pergi sekarang karena aku tidak mau membuat suamiku menunggu lama. Oh ya, aku setuju dengan kata-katamu yang terakhir tadi. Kita tidak perlu lagi mengingat masa lalu. Maka dari itu, aku ingin kau melupakan pertemuan kita hari ini termasuk juga masa lalu kita. Aku juga sudah lama melupakannya karena semua hal yang pernah terjadi di masa lalu kita, sudah tidak berarti lagi bagiku."
Kiara berbalik pergi meninggalkan Nara yang merasa semakin sesak mendengar perkataannya. Namun, lebih dari itu, Nara merasa kasihan pada Kiara. Kiara memang terlihat angkuh seperti biasa, tapi sebetulnya ia sedang merasakan sakit yang teramat dalam di hatinya. Nara bisa melihatnya dari tatapan matanya. Dan rasa sakit yang dialami Kiara berasal dari Sehun juga Nara secara tidak langsung.
*****
Saat Sehun sampai di rumah, rupanya Kiara sudah duduk manis di sofa ruang santai, menunggu kedatangannya. Ia duduk sambil menyilangkan kaki dan bersedekap. Matanya menatap lurus ke layar televisi yang menyala.
"Bahkan sekarang kau mulai pulang pagi?" Kiara bersuara saat mendengar langkah kaki Sehun yang hendak menaiki tangga. Sehun menghentikan langkahnya. Kiara menatap punggung Sehun sendu. "Biasanya, kau hanya akan pulang larut malam. Tapi, sekarang kau pulang pagi. Lalu selanjutnya kau akan pulang kapan? Dua hari sekali? Seminggu sekali? Atau bahkan tidak akan pulang sama sekali?"
Air mata meluncur dengan mulusnya di pipi Kiara. Sungguh, hatinya sakit sekali karena sikap Sehun padanya selama tiga tahun sejak pernikahan mereka. Sehun tidak pernah menyentuh sebagaimana seorang suami menyentuh istrinya. Itulah yang membuat rumah tangga mereka belum diramaikan oleh hadirnya keturunan. Sikap Sehun pun dingin pada Kiara. Ia hanya akan bicara seperlunya pada Kiara. Bahkan, di depan orang tua mereka pun, Sehun tidak pernah sekali pun bersikap manis dan mesra padanya.
Tidak hanya itu, Sehun juga lebih senang menghabiskan waktunya di luar rumah. Sehun selalu berangkat ke kantor lebih awal dan pulang dengan larut. Terkadang, saat ia harus melakukan perjalanan bisnis, ia tidak pernah bilang pada Kiara. Kiara benar-benar merasa tidak dianggap oleh Sehun. Ia istri Sehun, tapi Sehun memperlakukannya seolah-seolah ia adalah hantu.
"Sehun, sampai kapan kau akan bersikap begini padaku? Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi agar kau mau memperlakukanku dengan semestinya—"
"Bagimana denganmu?" Sehun berbalik dan menatap Kiara dengan tatapan benci. "Sampai kapan kau akan mengikatku seperti ini? Sejak awal sudah kukatakan, padamu kalau kau mungkin bisa mengikatku sebagai suamimu, tapi kau tidak akan pernah bisa memiliki hati dan tubuhku. Hati, tubuh, dan semua yang ada dalam diriku sepenuhnya milik Nara. Tidak ada yang bisa memilikinya selain dia. Karena apa? Karena hanya Nara satu-satunya wanita yang kucintai di muka bumi ini. Hanya dia satu-satunya wanita yang pantas mendampingiku. Maka dari itu, jangan berharap lebih dariku, Kiara Jung."
"Nara, Nara, dan Nara. Selalu Nara!" Kiara berteriak marah. "Kenapa semua orang selalu ada di pihaknya dibandingkan aku? Apa lebihnya dia dibandingkan dengan diriku? Aku jauh lebih cantik, kaya, dan populer darinya. Dia hanyalah bayang-bayangku. Tapi, kenapa kau, Ayah, Ibu dan semua orang lebih memilih dia dibandingkan aku?"
"Karena hatimu tidak secantik wajahmu," Sehun menjawab. Kiara terpekur mendengar perkataan Sehun. "Kau memang cantik. Jauh lebih cantik daripada Nara. Sayangnya, hatimu tidak secantik wajahmu. Hatimu penuh iri dengki dan hal-hal buruk lainnya. Sedangkan Nara? Ia memiliki wajah dan hati yang sama cantiknya. Itulah yang membuat semua orang lebih menyukainya dibandingkan dirimu."
Usai mengatakan kata-kata tersebut, Sehun benar-benar meninggalkan Kiara yang termangu sambil terus menangis. Kiara ambruk ke lantai dan tangisnya makin jadi. Ia berteriak marah. Namun, tak ada seorang pun yang peduli padanya.
*****
Dua bulan telah berlalu. Nara melewati hari-harinya seorang diri tanpa kehadiran Sehun di sisinya. Bukan tanpa alasan karena Sehun sedang melakukan perjalanan bisnis ke Dubai. Anehnya, Sehun belum memberi kabar apa pun padanya. Terakhir kali mereka bertukar pesan adalah dua minggu setelah kepergian Sehun ke Dubai. Setelah itu, Sehun tak memberi kabar apa pun lagi.
Khawatir? Tentu saja Nara begitu khawatir pada awalnya. Pasalnya, Sehun juga tak mengangkat panggilannya ataupun membalas pesannya. Tapi, setelah dipikirkan lagi, mungkin saja Sehun sedang sibuk, bukan? Atau malah Sehun sudah mencampakkannya? Tidak. Itu tidak mungkin. Tapi, kalaupun itu benar juga tidak apa-apa, 'kan? Karena seharusnya sudah sejak tiga tahun yang lalu ia dan Sehun mengakhiri hubungan mereka. Akan tetapi, ada sesuatu yang harus disampaikan Nara pada Sehun. Sesuatu yang sangat penting.
Nara sedang hamil. Usia kandungannya memasuki trimester pertama. Astaga, harusnya Nara bahagia dengan kabar itu! Namun pada kenyataannya, ia tidak sepenuhnya bahagia. Bagaimana tidak? Di sini, bukan Nara yang berstatus sebagai seorang istri dari Oh Sehun. Tetapi justru dialah yang mendapatkan seluruh cinta dan raga Sehun. Bahkan kini, dia juga yang mengandung darah daging Sehun.
Seharusnya, Kiara lah yang harus merasakan semua itu. Kiara adalah istri Sehun. Sementara Nara? Sejak lima tahun yang lalu, statusnya tidak pernah beranjak dari kekasih Sehun. Atau, seharusnya dialah yang menjadi istri Sehun? Sepertinya itulah yang tepat karena Kiara yang merebut Sehun darinya. Tapi, itu tetaplah tidak benar. Bagaimanapun, Sehun adalah suami Kiara baik di mata Tuhan maupun hukum. Nara lah yang bukan siapa-siapa di sini.
Oh, Tuhan ... lalu bagaimana seharusnya Nara menyikapi kehamilannya ini?
Suara bel pintu apartemen membuyarkan lamunan Nara seketika. Ia pun bergegas membukakan pintu. Saat itulah, ia merasa begitu terkejut sekaligus bahagia di saat yang sama. Sebab, Sehun-lah yang sedang berdiri di sana dengan senyum tipisnya. Sehun memeluk Nara dengan begitu erat. Meluapkan rasa rindunya. Nara pun tak tinggal diam. Ia membalas pelukan Sehun dengan sama eratnya.
"Sehun, kau ke mana saja? Kenapa tak memberi kabar padaku?" Nara bertanya di sela tangis harunya. Ia masih setia memeluk Sehun dengan eratnya.
"Maafkan aku. Ada banyak hal yang harus kuurus yang membuatku begitu sibuk hingga tak sempat mengabarimu," ujar Sehun lirih dan terdengar begitu parau di telinga Nara. Sadar kalau ada yang tidak beres, Nara menarik diri untuk mengamati wajah Sehun, mencari petunjuk dari raut wajah atau mungkin dari pancaran matanya.
Namun, Sehun justru menahan Nara agar tetap berada di pelukan pria itu. Nara semakin merasa aneh dengan sikap Sehun ini. "Sehun, ada apa?" Nara bertanya pelan.
Sehun menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memelukmu seperti ini untuk beberapa saat. Kau tahu 'kan betapa rindunya aku padamu?"
"A-Aku tahu, tapi ... apa ada hal buruk yang terjadi? Sikapmu aneh, Sehun."
Pelan-pelan, Sehun menarik diri. Ia menatap Nara dengan tatapan yang begitu dalam. "Sebenarnya, ada sesuatu yang harus kusampaikan padamu. Maukah kau ikut denganku sekarang?"
Nara menatap Sehun dalam diam. Ia tak butuh waktu lama untuk mengangguk setuju.
*****
Tangis Nara tidak dapat tertahankan lagi saat melihat sesuatu yang memilukan terjadi di hadapannya. Tidak jauh dari tempatnya berada, di dalam sebuah kamar rawat, ada seorang wanita yang sedang berteriak marah saat dua orang perawat mencoba menenangkannya dengan memegang kedua pergelangan tangannya. Wanita itu tidak lain dan tidak bukan adalah Kiara, sahabatnya.
"Setelah aku pulang dari Dubai, aku mendapati Kiara menangis histeris di kamarnya. Aku tidak tahu dengan apa yang terjadi padanya saat itu. Apalagi, ia juga langsung menyerangku begitu melihatku. Ia tampak begitu terluka, tapi anehnya, ia menyebutku berengsek dan c***l. Aku tidak mengerti dengan maksud perkataannya itu. Tapi beberapa hari kemudian, aku baru tahu kalau ternyata ...." Sehun menghembuskan napas pelan sebelum melanjutkan kata-katanya. Ia memejamkan matanya saat berkata, "... Kiara diperkosa oleh beberapa pemuda random saat dia pergi kelab."
Nara membekap mulutnya tak percaya. Oh, Tuhan ... berat sekali cobaan yang harus dialami Kiara. Sekarang, ia tahu apa yang membuat Sehun begitu sibuk akhir-akhir ini. Itu semua karena Sehun harus menjaga dan merawat Kiara di rumah sakit jiwa ini sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai seorang suami.
"Dan akhir-akhir ini Dokter Kang juga berkata bahwa Kiara hamil," lanjut Sehun.
Bagai tersambar petir di siang bolong, Nara hampir saja limbung kalau Sehun tidak menangkap tubuhnya dengan sigap. "Nara, apa kau baik-baik saja?" Sehun bertanya dengan wajah yang tampak begitu khawatir. Nara mengangguk pelan sambil terisak. Sungguh, ia merasa sangat bersalah pada Kiara. Kiara pergi ke kelab pasti karena ia depresi dengan pernikahannya dengan Sehun. Kalau tidak, untuk apa wanita itu pergi ke tempat laknat itu?
"Nara, apa kau sakit? Wajahmu pucat sekali," tanya Sehun lagi. Nara hanya menggeleng. Saat ia hendak menjawab, tiba-tiba rasa mual menyerangnya. Ia pun buru-buru pergi ke toilet.
Setelah selesai memuntahkan isi perutnya, Nara pun keluar dari toilet. Sehun menunggunya dengan cemas.
"Apa kau sedang hamil, Nara?" Sehun langsung bertanya. Ia mencengkeram pelan bahu Nara sambil menatap wanita itu penuh harap. Sambil tersenyum tipis, Nara mengangguk mengiyakan.
Senyum haru mengembang di kedua sudut bibir Sehun. Ditariknya Nara ke dalam pelukannya. "Terima kasih, Nara. Terima kasih!"
Perkataan Sehun membuat tangis Nara semakin jadi. Sempurnalah rasa bersalah yang bersemayam di benaknya. Bukan dia yang seharusnya mengalami semua kebahagiaan ini, melainkan Kiara. Kiara-lah yang berhak mendapatkan semua itu. Nara sama sekali tidak pantas mendapatkannya.
Kenapa semua nasib baik selalu menghampirinya, tapi tidak pada Kiara? Kemalangan jusru selalu menghampirinya. Dan hal itu sukses membuat Nara merasa bahwa di sini, ialah yang jahat, bukan Kiara.
Maafkan aku, Kiara, ujarnya dalam hati.
FIN