Dipaksa Menerima Kenyataan

2273 Kata
Bagian 12 Di sinilah kami sekarang. Menunggu di depan ruang UGD dengan perasaan harap-harap cemas. Ibu sedang ditangani oleh tim medis di dalam sana, sedangkan Mas Fahri sibuk mondar-mandir. Ponselnya sedari tadi terus berdering. Aku yakin, pasti Maria yang meneleponnya. Tadi Maria sempat mencegah Mas Fahri agar jangan ikut, tetapi Mas Fahri tidak menghiraukannya. Mas Fahri memilih untuk ikut mengantar ibu ke rumah sakit. Tak berapa lama, pintu ruang UGD terbuka. Keluarlah seorang dokter dari dalam. Begitu melihat dokter tersebut keluar, kami langsung menghampirinya untuk menanyakan kondisi ibu. Dokter mengatakan kondisi ibu sudah stabil. Namun Ibu perlu dirawat inap agar kondisi kesehatannya kembali membaik. Mas Fahri langsung mengiyakan dan segera mengurus administrasinya. "Zahra, semoga Tante enggak kenapa-kenapa, ya. Aku khawatir banget. Maaf ya, Zahra, gara-gara aku sakitnya Tante jadi kambuh." "Udahlah, Bel, ini semua bukan salahmu, tapi Mas Fahri dan wanita itu." "Iya, tapi tetap saja aku merasa bersalah. Aku tidak ingin kamu diapa-apain sama Fahri, Zahra. Makanya aku pasang badan buat melindungi kamu." "Bella, aku mau bicara berdua dengan Zahra. Kamu tolong tinggalkan kami sebentar," ucap Mas Fahri setelah ia kembali dari mengurus biaya rumah sakitnya Ibu. Bella menatapku sejenak seolah meminta jawaban apakah aku bersedia bicara berdua dengan Mas Fahri. "Oke! Tapi kamu jangan macam-macam sama Zahra," jawab Bella setelah melihatku menganggukkan kepala. "Bella, kamu ini aneh, deh! Zahra ini istriku. Enggak mungkinkah aku macam-macam." "Siapa yang bisa menjamin? Pokoknya jika kamu menyakiti Zahra lagi, awas ya!" Setelah mengucapkan kata-kata itu, Bella pun meninggalkan kami berdua. "Zahra." Mas Fahri meraih tanganku, tetapi aku menepisnya. "Zahra, Mas boleh minta tolong?" tanya Mas Fahri. "Mau minta tolong apa?" "Mas minta, tolong kamu terima Maria. Ini semua demi Ibu. Kamu tahu, kan? Dari dulu Ibu sangat menginginkan seorang cucu. Sekaranglah saatnya untuk kita mengabulkan keinginannya. Tolong jangan buat keributan lagi di depan Ibu biar sakitnya tidak kambuh. Mas melakukan semua ini untuk menyenangkan hati Ibu. Mas juga tahu kalau kamu sangat menyayangi Ibu dan ingin membahagiakannya. Jadi, Mas mohon ya," pintanya tanpa peduli bagaimana perasaanku. Di sini aku yang jadi korban, kenapa seolah-olah aku lah penyebab sakit Ibu kambuh? Ini sungguh tidak adil! "Apa susahnya menerima Maria? Mas yakin jika kamu mau menerimanya, kalian bisa jadi teman dekat." "Cukup! Jangan meminta hal yang tidak bisa aku lakukan, Mas. Aku enggak bisa. Asal kamu tahu, Ibu sakit gara-gara kamu. Kamulah penyebabnya. Jadi stop nyalahin aku!" "Please, jangan keras kepala, Zahra. Cobalah untuk sedikit mengalah!" Aku tersenyum sinis mendengar ucapannya barusan. Sedikit mengalah katanya? "Harusnya kamu yang mengalah dengan meninggalkan wanita itu, Mas. Seenaknya aja kamu suruh aku yang mengalah. Kamu sudah mengkhianati aku, mengambil hak aku dengan cara curang. Sekarang kamu masih sampai hati menyuruhku mengalah? Hati kamu itu terbuat apa, sih?" Aku sungguh tidak habis pikir. Mas Fahri benar-benar tidak punya hati. "Mas tidak berniat mengambil rumah itu darimu. Mas hanya mengubah nama kepemilikannya saja. Jika kamu bertanya untuk apa Mas melakukan itu? Jawabannya karena Mas tidak mau kamu ninggalin Mas setelah mengetahui semuanya. Rumah itu tetap milikmu sampai kapanpun dan kamu tidak boleh pergi." Alasan saja! Pasti Mas Fahri takut diusir. Makanya ia melakukan cara yang licik. Itu sudah pasti karena aku tidak akan terima dikhianati. Sekarang aku tidak bisa melakukan apa-apa karena bukti kepemilikan rumah di sertifikat sudah berubah. Namun aku tidak akan tinggal diam. Aku akan merebut apa yang sudah menjadi hakku, yaitu rumah dan juga mobil yang dipakai oleh Mas Fahri. Aku yakin, Allah bersamaku. Allah pasti akan mendengar doa orang yang terzalimi sepertiku. "Zahra, tolonglah, turuti permintaan Mas kali ini aja." Mas Fahri sengaja menjadikan ibunya sebagai alat untuk meluluhkan hatiku karena ia tahu jika aku sangat menyayangi ibunya. Licik! "Sekali tidak tetap tidak! Ambil saja rumah itu dan berbahagialah dengan gundikmu itu. Silakan kalian berbahagia di atas penderitaanku. Namun kamu harus ingat satu hal. Apa yang didapatkan dari cara yang curang tidak akan bertahan lama. Insyaallah, cepat atau lambat azab Allah akan datang. Tunggu saja!" Aku memang tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya Allah yang kupunya. Aku yakin Allah tidak tidur. Dia selalu mengawasi hambanya dan aku sangat yakin suatu saat Allah akan menurunkan pertolongannya untuk membantu hambanya yang lemah. "Kamu menyumpahi Mas, Zahra? Kamu ingin Allah murka dengan Mas?" Pertanyaan macam apa itu? Jelas-jelas ia sudah tahu jawabannya. Kenapa mesti bertanya? "Iya, karena kamu sudah merebut rumahku dengan cara yang licik. Sekarang aku baru ingat. Kamu pernah memintaku untuk menandatangani sebuah kertas bermaterai dan melarangku untuk membacanya. Karena aku sangat percaya padamu dan saat itu aku juga sedang kurang enak badan makanya aku nurut saja. Ternyata kamu malah menggunakan tanda tanganku tersebut untuk mengubah nama di sertifikat. Hebat! Dua jempol untukmu." "Zahra, tolong jangan salah sangka. Kan udah Mas jelaskan alasan Mas melakukan itu." "Terserah! Yang jelas suatu saat nanti kamu akan mendapatkan balasan atas setiap perbuatan yang kamu lakukan, Mas, itu aja. Sekarang lebih baik kamu talak aku. Setelah itu aku akan angkat kaki dari rumah dan tidak akan pernah mengganggu hidupmu lagi." "Tidak, Zahra. Mas enggak bisa." "Aku juga tidak bisa menuruti keinginanmu itu, Mas. Aku tidak mau dimadu." "Harus dengan cara apalagi Mas membujukmu agar kamu bersedia, Zahra?" "Tidak usah pake cara apapun. Kamu yang harus menuruti permintaanku. Tinggalkan wanita itu untukku selamanya maka aku akan memaafkanmu." Aku masih memberinya kesempatan, berharap Mas Fahri bisa merubah keputusannya. "Maria itu sedang mengandung, Zahra. Mas tidak mungkin menceraikannya. Bukankah kamu sudah tahu, dari dulu Mas sangat menginginkan anak? Begitu juga dengan Ibu. Ibu sangat mendambakan cucu, Zahra." "Jika istrimu sendiri bisa memberikannya, kenapa harus mencari wanita lain? Aku bisa memberimu keturunan, Mas, karena saat ini aku se--" "Mau mengunggu sampai kapan?" Mas Fahri langsung memotong ucapanku. "Kamu enggak akan pernah bisa hamil, Zahra. Mas lelah menunggu." Niat hati ingin memberitahu kabar kehamilanku, kuurungkan. Sudah tidak penting! Mas Fahri sudah tak mau peduli. "Oke, silakan pertahankan keputusanmu. Aku juga akan mempertahankan keputusanku. Sampai jumpa di pengadilan. Permisi!" Perpisahan adalah jalan terbaik. Pernikahan ini sudah hancur. Kapal yang sudah karam, tidak akan bisa berlayar lagi. *** "Zahra, kamu di mana? Ibu dari tadi nyariin kamu terus. Kamu ke ruang rawat Ibu sekarang, ya." Bunyi pesan dari Mas Fahri. Aku tidak membalasnya. Sengaja kuabaikan pesan tersebut karena masih dilema. Jika aku menemui Ibu sekarang, pasti beliau akan memintaku agar tetap bersama Mas Fahri. Sungguh aku tidak bisa dan tidak sanggup membayangkan kalau harus tinggal satu atap dengan wanita itu. "Zahra, itu makanannya kok cuma diaduk-aduk, sih? Kapan berpindah ke perut? Ayolah, makan sedikit saja, setidaknya pikirkan bayi yang ada di dalam kandunganmu. Jangan egois karena bayi kamu butuh nutrisi. Jangan siksa dia. Ayo!" Bella benar, aku harus makan biarpun tidak berselera. Suapan pertama kumasukkan ke mulut, terasa hambar. Namun aku tetap memakannya demi bayiku. Ya, ini semua demi buah hatiku. "Zahra, maaf banget nih, ya. Aku 'kan mau berangkat kerja, kamu mau tetap di sini atau mau diantar ke rumah sakit? Aku sih enggak keberatan jika kamu tinggal di sini. Kamu boleh tinggal bersamaku sampai kapanpun yang kamu mau. Kamu tahu sendiri, kan? Mama sering keluar kota. Aku hanya tinggal bersama asisten rumah tangga. Jadi aku akan senang bangat jika kamu mau tinggal bersamaku." Bagaimanapun ini? Apa aku tinggal bersama Bella saja, ya? Ponselku tiba-tiba berdering, di layar terlihat dengan jelas nama Mas Fahri. "Siapa, Zahra?" "Mas Fahri!" "Angkat aja!" "Malas, biarin aja!" "Yaudah, kamu lanjutin makannya, ya. Aku mau siap-siap dulu." Bella segera beranjak dari tempat duduknya, menuju ke kamarnya. Bella bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor impor. Bella merupakan anak tunggal. Papa dan mamanya sudah bercerai sejak Bella masih duduk di bangku SD. Bella sejak kecil tinggal bersama mamanya, sedangkan papanya menikah lagi dengan wanita lain dan sudah memiliki anak dari wanita tersebut. Sejak kecil, Bella sudah terbiasa ditinggal oleh mamanya dan dititipkan kepada asisten rumah tangga. Mamanya Bella adalah seorang wanita yang pekerja keras. Beliau melakukan semua itu agar bisa memenuhi kebutuhan Bella karena papanya Bella tidak pernah memberikan nafkah untuk Bella setelah bercerai dari mamanya. Karena terlalu sering ditinggal orang tua, membuat Bella tumbuh menjadi gadis yang tomboi dan mandiri. Hubungannya dengan sang ibu juga agak renggang karena keduanya jarang bertemu. Tak jarang, Bella sering curhat padaku. Ia selalu menginginkan mamanya agar menjadi ibu rumah tangga biasa karena dirinya sudah bekerja dan bisa mencari nafkah. Bukan materi yang Bella butuhkan, gadis itu lebih membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari seorang ibu. Ya, begitulah hidup. Ada-ada saja cobaannya. "Kok bengong aja?" Ucapan Bella berhasil membuyarkan lamunanku. Aku tidak sadar ternyata Bella sudah berdiri di sampingku. "Itu nasi kok belum dihabisin, sih? Enggak selera? Atau kamu pengen sarapan dengan menu lain? Bubur ayam, nasi uduk atau bubur kacang ijo?" "Cilok aja sekalian," sahutku. "Iya, iya. Kamu sih, itu nasi bukannya dimakan tapi cuma diaduk-aduk aja. Ya kali aja kamu pengen makan bubur ayam atau apa, gitu? Tenang, aku yang beliin. Dompetku masih tebal, Zahra, habis gajian!" "Sombong!" "Maklum nih, ya, aku itu kan jomblo. Itulah enaknya jadi jomblo. Punya duit ya dinikmati sendiri. Punya keluh kesah, ya tanggung sendiri. Pengen curhat, ya curhat sama bantal. Itu udah resiko seorang jomblo seperti aku, sih!" Aku kemudian tertawa mendengar candaan Bella. Bella berhasil membuatku sejenak melupakan persoalan hidup. Aku benar-benar beruntung memiliki sahabat sebaik Bella. "Makanya buruan cari pendamping hidup, biar ada teman berbagi." "Enggak, ah! Aku takut nanti disakiti kayak kamu disakiti oleh suamimu. Ops, maaf!" Bella langsung menutup mulutnya setelah mengucapkan kalimat itu. Aku tahu Bella niatnya hanya bercanda. Enggak tahunya malah ke arah situ larinya. "Zahra, maaf ya, kamu jangan tersinggung. Aku enggak ada maksud buat nyinggung perasaan kamu. Suwer!" "Siapa juga yang tersungging. Itu memang fakta, Bel, fakta! Santai aja, aku enggak marah." "Makasih, ya!" Bella kemudian memelukku. "Eits, jangan senang dulu. Sebagai permintaan maaf, aku mau kamu traktir aku makan sate Padang. Aku lagi pingin makan sate Padang, nih." Aku merengek seperti anak kecil. Entah kenapa aku ingin sekali menikmati makanan itu. "Kamu jangan gila deh, mana ada yang jual sate Padang jam segini! Kalau nasi Padang iya, banyak!" "Bukan harus sekarang, kok. Nanti kapan-kapan. Pokoknya kamu punya hutang sama aku, ya. Hutang sate Padang, ingat itu!" "Siap, Bu Zahra!" Bella malah memberi hormat padaku, membuatku kembali tertawa. Puas dengan candaan di meja makan, Bella pun mengantarku ke rumah sakit sesuai dengan permintaanku. Aku memutuskan untuk menjenguk ibu mertua ke rumah sakit karena khawatir juga akan kondisinya. "Nanti kabarin aku ya, Zahra. Pokoknya jika Fahri memaksa, kamu jangan mau. Tinggalin saja lelaki jahat itu. Aku siap nampung kamu di rumahku. Jika bukan karena tuntutan pekerjaan, pasti aku akan dampingi kamu. Ingat pesan aku, ya. Jangan lupa kontrol emosi dan jaga kesehatan. Aku pamit dulu. Bye!" Bella melambaikan tangannya, lalu mobil yang dikendarainya pun melesat, membelah jalanan kota yang tidak terlalu ramai. Setelah mobil Bella menghilang dari pandangan mata, aku segera melangkahkan kaki menuju ruang rawatnya ibu. "Assalamualaikum." Aku langsung mengucap salam, setibanya di depan kamar rawatnya Ibu. "Waalaikumsalam." Mas Fahri dan Ibu menjawab secara serentak. "Zahra, syukurlah kamu sudah datang. Kamu ke mana saja? Mas nyari-nyari kamu, loh! Kata Maria semalam kamu tidak pulang ke rumah. Mas khawatir, Sayang!" Mas Fahri kembali menyebut nama wanita itu. Membuat hatiku yang tadinya sudah tenang, kembali memanas. "Apa kamu nginap di rumah Bella?" Mas Fahri kembali bertanya. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Kenapa kamu enggak ngangkat telepon dari Mas? Pesan Mas juga tidak dibalas, kenapa?" Mas Fahri memang menghubungi ponselku. Menelepon dan mengirim pesan berulang kali. Namun aku tidak menghiraukannya karena aku masih marah padanya. "Bu, gimana kabar Ibu?" Aku langsung menanyakan kabar Ibu, malas mendengar ocehan Mas Fahri. "Alhamdulillah Ibu baik. Syukurlah kamu sudah datang. Ibu khawatir, Nak. Ibu takut terjadi sesuatu denganmu." Tangan keriput itu menggenggam tanganku, dapat kurasakan kenyamanan saat beliau menggenggam tanganku. Oh Ibu, jika anakmu tidak mengkhianatiku, mungkin aku tidak akan merasa sehancur ini. Aku sakit dan terluka, Bu. "Fahri, bisa tinggalkan Ibu dengan Zahra sebentar? Ibu mau bicara dengan Zahra." "Baik, Bu. Zahra, Mas keluar dulu, ya!" Aku tidak merespon, pura-pura tidak mendengar. "Yasudah, aku keluar dulu ya, Bu." Setelah Mas Fahri keluar, Ibu pun memulai pembicaraan. "Nak Zahra, wajahmu pucat sekali, Nak. Apa kamu sakit?" Bukan cuma sakit, Bu. Tapi hancur dan terluka. Sayangnya kata-kata itu tidak mampu untuk kuucapkan. Aku tidak mau membuat sakit ibu semakin parah. "Zahra, Ibu tahu kamu pasti marah dan kecewa pada Fahri. Oleh karena itu Ibu mau minta maaf atas nama Fahri. Ini salah Ibu juga karena tidak becus mendidik Fahri." "Udahlah, Bu. Kita jangan bahas itu sekarang, ya. Zahra lagi enggak mood, Bu." "Nak Zahra, Ibu mohon jangan pergi, ya. Kamu tidak boleh meninggalkan rumahmu. Jangan biarkan wanita itu merebut Fahri dan juga rumahmu. Kamu harus tetap bertahan ya, Nak. Ibu yakin suatu saat Fahri akan berubah dan kembali lagi ke padamu. Ibu yakin akan hal itu." Aku juga sebenarnya tidak rela meninggalkan rumahku sendiri. Tapi apa boleh buat? "Maaf, Bu, Zahra enggak bisa. Zahra enggak sanggup dimadu." "Ibu sudah mencoba membujuk Fahri, tapi dia keras kepala, Nak." "Biarkan saja, Bu. Biar Zahra yang mundur. Zahra akan membesarkan anak ini sendiri tanpa Mas Fahri. Insyaallah Zahra kuat karena Allah bersama Zahra." Ibu menggeleng. "Jangan, Nak." "Maaf, Bu, Zahra enggak bisa." Tiba-tiba Ibu melepas tangannya yang tadinya menggenggam tanganku dan langsung memegangi dadanya. "Bu, Bu, Ibu kenapa?" Astaghfirullah! Apa sakit Ibu kambuh lagi? Aku langsung panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Ibu seperti kesulitan untuk bernapas, sepersekian detik kemudian, Ibu pun tak sadarkan diri. "Mas … tolong, Mas!" Aku berteriak memanggil nama Mas Fahri karena tidak tahu harus berbuat apa. Pintu didorong dengan kasar, Mas Fahri muncul dengan raut wajah panik, sama sepertiku. "Ibu kenapa?" Mas Fahri malah balik bertanya. "Enggak tahu. Cepat kamu panggilkan dokter Mas, buruan!" Mas Fahri pun menurut. Ia segera berlari keluar untuk memanggil dokter. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN