Bagian 13
Dokter segera memeriksa kondisi Ibu. Kami diminta untuk keluar dan tidak diizinkan menemani Ibu. Aku dan Mas Fahri menurut saja, kami berdua segera keluar dan menunggu di depan ruangan.
Mas Fahri terus saja mondar-mandir. Sesekali duduk, lalu berdiri lagi. Mungkin ia begitu khawatir akan kondisi ibunya.
"Zahra, kalian tadi bahas apa? Kenapa sakit Ibu bisa kambuh? Padahal sebelumya Ibu udah agak mendingan, loh!" tanya Mas Fahri penuh selidik.
"Apa lagi kalau bukan bahas soal kamu dan wanita itu!" jawabku ketus.
"Kenapa pake bahas soal itu segala, sih? Kamu 'kan tahu sendiri kalau Ibu lagi sakit." Mas Fahri malah protes.
"Bukan aku yang mulai. Stop nyalahin aku!"
"Mas enggak berniat buat nyalahin kamu, Zahra. Sebelumnya Mas juga sudah meminta agar kamu maafin Mas biar sakit Ibu enggak kambuh lagi."
"Udah aku bilang, stop nyalahin aku. Harusnya kamu ngaca, dong! Biang dari semua masalah ini tuh kamu. Gara-gara kamu lah sakit Ibu kambuh. Terus sekarang, kamu malah melimpahkan kesalahanmu padaku? Enak bangat kamu, Mas!"
"Zahra, udahlah. Mas enggak mau berdebat lagi. Hanya satu permintaan Mas, terimalah Maria sebagai adik madumu dan kita akan hidup bahagia." Lagi, Mas Fahri kembali memaksaku.
"Mas, kenapa ya, kamu itu sepertinya sayang bangat sama Maria dan enggak rela pisah darinya? Apa istimewanya wanita itu, Mas? Lihat, saat Ibu lagi sakit, dia seolah tidak peduli. Menginjakkan kaki ke rumah sakit ini untuk menjenguk Ibu saja dia tidak mau. Apa kamu yakin wanita seperti itu bisa mengurus anak-anakmu dan juga merawat Ibu?"
Sengaja kutanyakan hal itu untuk melihat bagaimana reaksinya. Maria sudah terang-terangan menunjukkan bahwa ia tidak peduli pada Ibu, tetapi Mas Fahri sepertinya tidak keberatan dengan hal itu.
"Semua itu butuh proses, Zahra. Mas yakin bahwa Maria akan berubah. Mas juga yakin dia bisa menjadi istri sekaligus menantu yang baik. Apalagi, ada kamu yang akan mengajari Maria bagaimana caranya menjadi istri sekaligus menantu yang baik. Ajari dia agar bisa mengambil hati Ibu. Mas juga ingin Maria dekat dengan Ibu. Seperti kedekatanmu dengan Ibu."
Sepertinya, apa pun yang aku katakan tidak akan berpengaruh apa-apa bagi Mas Fahri karena mata hatinya sudah dibutakan oleh cinta.
"Sayangnya aku bukan guru, Mas. Silakan kamu sewa jasa guru atau siapapun yang bisa mengajari Maria, asalkan bukan aku."
Aku kemudian beranjak dari tempat dudukku dan berdiri di depan pintu kamar rawatnya Ibu. Aku tidak ingin lagi melanjutkan pembicaraan dengan Mas Fahri.
"Zahra!"
"Aku tidak ingin lagi membahas hal itu, Mas!"
Mas Fahri terdengar menghela napas, lalu mengacak rambutnya secara kasar. Aku yakin ia kesal karena aku tidak mau menuruti permintaannya.
Tiba-tiba pintu terbuka, lalu dokter keluar dari ruang rawatnya ibu.
Aku dan Mas Fahri segera menghampiri dokter tersebut.
"Apakah di sini ada yang bernama Zahra?"
Dokter langsung bertanya sebelum kami sempat menanyakan bagaimana kondisi Ibu.
"Saya, Dok."
"Bu Zahra bisa ikut saya sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan dengan anda. Ini terkait kondisi pasien."
"Baik, Dok."
"Tunggu dulu." Mas Fahri menghadang dokter. "Gimana kondisi Ibu saya, Dok? Saya butuh jawaban. Tolong jangan buat saya khawatir."
Dokter pun menjelaskan bagaimana kondisi Ibu. Dokter mengatakan kalau kondisi Ibu sudah kembali stabil, tetapi beliau belum bisa dijenguk. Untuk sementara hanya perawat yang boleh keluar masuk ke kamar Ibu, sedangkan kami hanya boleh menunggu di luar.
Mas Fahri hanya mengangguk setelah mendengar penjelasan dokter.
"Mari, Bu."
Aku pun segera menurut, berjalan mengekor di belakang dokter.
"Pasien terus-menerus memanggil nama Bu Zahra. Itu sebabnya saya meminta Bu Zahra ikut ke ruangan saya. Untuk membahas hal ini," ucap Pak Dokter begitu kami tiba di ruangannya.
Kenapa bisa seperti itu, ya? Jujur, aku tidak mengerti. Apa mungkin karena aku sudah menolak permintaannya?
"Saran saya, tolong jangan membuat pasien stres atau menambah beban pikirannya. Karena itu sangat berpengaruh terhadap kesehatannya."
"Baik, Dok."
"Satu lagi, jika ada permintaan pasien yang belum terpenuhi, coba usahakan. Barangkali dengan begitu, kondisi kesehatan pasien bisa membaik. Tidak ada salahnya mencoba. Yang penting kita sudah melakukan yang terbaik. Selanjutnya pasrahkan saja kepada Sang Khalik."
Setelah mengatakan hal itu, dokter juga menjelaskan tentang kondisi organ jantungnya Ibu. Menurut beliau sakit jantung yang diderita Ibu sudah cukup parah. Jika seumpama Ibu mendengar berita yang mengejutkan atau kabar yang tidak menyenangkan, maka bisa dipastikan sakitnya akan kambuh.
Dokter juga menunjukkan foto hasil Rontgen yang menunjukkan kalau kondisi jantung Ibu memang sudah cukup parah. Makanya dokter menyarankan agar kami selalu berhati-hati jika hendak menyampaikan sesuatu ke Ibu.
***
"Nak Zahra, syukurlah kamu datang. Ibu sangat mengkhawatirkanmu, Nak."
"Zahra sekarang di sini, Bu, dan Zahra baik-baik saja."
Ya, aku kembali ke rumah sakit untuk menjenguk Ibu. Semalam aku menginap lagi di rumah Bella. Apalagi Ibu belum boleh dijenguk, jadi kuputuskan untuk pulang. Ditambah bau obat-obatan yang khas, membuat perutku serasa diaduk-aduk. Makanya aku memutuskan untuk membiarkan Mas Fahri sendiri yang menunggu Ibu.
Sekarang aku sudah seperti gelandangan saja. Tidak punya rumah dan tempat tinggal. Tak jelas arah dan tujuannya.
"Nak Zahra, Ibu minta kamu jangan pergi ya. Setelah Ibu diperbolehkan pulang, kita akan kembali ke rumah, sepertinya dulu."
Bagaimana ini? Aku harus jawab apa? Jika kukatakan kalau aku tidak bersedia, pasti Ibu akan sedih dan sakit jantungnya akan kambuh. Namun, aku tidak bisa lagi memenuhi permintaan Ibu. Aku tidak mungkin sanggup tinggal satu atap dengan wanita lain.
Ya Allah, aku benar-benar dilema. Hamba mohon beri petunjukmu.
"Ibu tahu Fahri telah salah. Tolong maafkan Fahri, Zahra. Ibu tidak mau kalau sampai kalian pisah. Ibu tidak ingin berpisah darimu, Nak. Ibu sudah menganggapmu seperti anak sendiri. Asal kamu tahu, bahkan Ibu lebih menyayangimu dibanding Fahri."
Ibu mengatakan hal itu di depan Mas Fahri. Mas Fahri langsung menunduk setelah mendengar ucapan ibunya. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. Merasa bersalah atau tidak. Yang jelas, Mas Fahri lah dalang di balik semua ini.
"Selama menjadi menantu Ibu, kamu belum pernah sekalipun mengecewakan Ibu. Berbeda dengan Fahri, anak kandung Ibu sendiri. Fahri malah tega melukai hati Ibu dengan menikahi wanita yang tidak jelas itu. Fahri telah mengecewakan Ibu. Ibu benar-benar kecewa padamu, Fahri."
"Bu, maafin Fahri, Bu. Aku mengaku salah. Aku janji enggak akan pernah mengecewakan Ibu lagi."
Mas Fahri sampai menitikkan air mata saat mengucapkan permohonan maaf kepada ibunya. Aku tidak tahu itu air mata palsu atau tidak.
"Ibu akan maafin kamu. Asalkan kamu bersedia menuruti syarat yang telah Ibu berikan. Bagaimana?"
Syarat? Syarat apa yang Ibu maksud? Sungguh aku tidak mengerti.
"Baik, Bu. Aku setuju dengan syarat itu," jawab Mas Fahri, terlihat begitu yakin.
"Zahra, kemari lah, Nak."
Ibu kemudian menggenggam tanganku. Meminta maaf atas semua kesalahan Mas Fahri dan memintaku untuk tetap menjadi istri Mas Fahri.
Tenyata sebelum aku datang, Ibu sudah membuat perjanjian dengan Mas Fahri. Ibu meminta Mas Fahri untuk menceraikan Maria setelah melahirkan dan Mas Fahri menyanggupinya. Untuk itu, Ibu memintaku agar kembali ke rumah. Menurut beliau, pernikahan kami masih bisa diselamatkan. Hanya saja, untuk sementara aku harus sabar dan ikhlas menerima kehadiran Maria.
Apakah aku sanggup? Aku sendiri tidak yakin.
"Ibu sudah katakan semuanya. Fahri, sekarang giliranmu."
"Baik, Bu."
Mas Fahri tiba-tiba berlutut di hadapanku, meminta maaf atas segala kesalahannya dan memintaku agar tetap berada di sisinya.
"Mas janji akan menceraikan Maria setelah dia melahirkan sesuai dengan permintaan Ibu. Mas mohon jangan pergi, Zahra. Tetaplah berada di sisi Mas. Untuk sekarang dan untuk selamanya. Demi Ibu."
"Iya, Zahra, Ibu mohon maafin Fahri, ya. Sekarang Fahri telah menyadari kesalahannya. Fahri telah menyia-nyiakan berlian demi kerikil di pinggir jalan."
"Iya, Bu. Aku sadar sekarang."
Entah kenapa, aku tidak yakin dengan apa yang diucapkan oleh Mas Fahri meskipun ia sudah berjanji di depan ibunya. Aku berpikir bahwa ini hanyalah sebuah trik agar aku tidak meminta pisah darinya.
"Zahra, kamu mau ya, Nak. Ibu mohon kembalikan kebahagiaan keluarga kita seperti dulu. Dan kamu Fahri, setelah Maria melahirkan, penuhi janjimu."
"Beri Zahra waktu untuk berpikir, Bu. Zahra belum bisa memutuskan."
"Iya, Nak. Ibu ngerti. Pasti sulit bagimu."
"Kalau begitu Zahra permisi dulu ya, Bu. Zahra mau nyari makan."
Aku segera keluar dari kamar Ibu, menuju kantin untuk membeli air mineral. Aku butuh air untuk menyegarkan tenggorokan yang rasanya seperti tercekat. Ingin mengatakan yang sejujurnya, tetapi hati berkata lain. Aku takut jika menolak, sakit Ibu akan kambuh.
"Zahra!"
Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku, ternyata Mas Fahri mengikutiku.
Mas Fahri duduk di sampingku, kemudian memesan secangkir kopi kepada penjaga kantin.
"Zahra, Mas mohon jangan menolak permintaan Mas. Ini semua demi Ibu."
Sudah kuduga, pasti Mas Fahri akan membawa-bawa Ibu dalam hal ini.
"Zahra, Mas janji akan menceraikan Maria setelah bayi itu lahir. Jadi Mas mohon maafin Mas, ya." Mas Fahri kembali memintaku untuk menerimanya.
"Mas juga merasa kalau Maria bukanlah istri yang baik. Mas memintanya untuk menjenguk Ibu dan mengantar baju ganti, tetapi apa jawabannya? Dia tidak bisa karena tidak tahan dengan bau obat-obatan. Mas kecewa, Zahra."
"Kenapa sadarnya baru sekarang setelah aku telanjur kecewa dan sakit hati? Kenapa tidak dari dulu? Ke mana saja, Mas?"
"Ayolah Zahra. Jangan memancing perdebatan lagi. Mas capek. Sekarang Mas sudah sadar dan Mas akan berubah."
"Sadar dan berubah secepat itu?"
"Zahra, tolong jangan bahas hal itu lagi, ya. Mas tahu kamu sangat menyayangi ibu. Begitu juga dengan Mas. Jadi please kembali, ya."
Itu juga yang aku pikirkan. Kata dokter Ibu tidak boleh mendengar kabar yang tidak menyenangkan dan tidak boleh stres. Pasti sakit Ibu akan kambuh jika aku menolak.
Apa aku terima saja, ya? Lagian ini adalah kesempatan emas untuk merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.
"Baik, aku bersedia."
Senyum Mas Fahri mengembang saat mendengar jawabanku.
"Tapi ada syaratnya."
"Syarat apa?"
"Aku masih bersedia menjadi istrimu asalkan kamu mengembalikan hakku. Ubah kembali sertifikat rumah menjadi atas namaku. Tentang kamu yang akan menceraikan Maria, aku mau ada perjanjian hitam di atas putih, lengkap dengan materai. Agar jika suatu saat kamu ingkar janji, maka hukumlah yang akan bertindak. Bagaimana?"
Aku sengaja mengajukan syarat seperti itu untuk melihat keseriusannya. Mampukah Mas Fahri menyanggupinya atau ia hanya main-main?
"Oke, Mas setuju. Deal!"
Ternyata Mas Fahri serius dan menyanggupi syarat dariku.
"Makasih ya, Sayang, kamu masih bersedia menerima Mas. Mas janji enggak akan pernah mengecewakanmu."
Entah kenapa, aku merasa tidak bahagia dengan keputusan yang telah kuambil. Meskipun Mas Fahri telah berjanji dan bersedia membuat perjanjian hitam di atas putih, namun hatiku tetap saja ragu.
Bersambung