Bagian 11
Sepertinya rumah tanggaku bersama Mas Fahri tidak bisa lagi dipertahankan. Aku menyerah dan memilih untuk mundur. Biarlah aku telan luka ini seorang diri. Membiarkan mereka berbahagia di atas penderitaanku.
Tak mengapa. Insyaallah aku kuat. Bagiku lebih baik berpisah dari pada harus dipaksa menerima kenyataan pahit.
"Zahra, ayolah. Apa susahnya menerima Maria? Toh, kamu enggak akan rugi, kok. Kamu tidak perlu susah-susah program kehamilan lagi karena Maria yang akan memberikan anak untuk kita." Mas Fahri kembali memaksaku.
Tega sekali Mas Fahri bicara seperti itu. Aku tidak habis pikir. Terbuat dari apakah hatinya? Suami yang sangat kubanggakan itu tega menorehkan luka di hatiku. Setelah itu mamaksaku untuk menerima wanita selingkuhannya. Benar-benar sudah tidak punya hati!
"Sudah berapa kali kukatakan, aku tidak mau. Begini saja, silakan kamu hidup bahagia dengan gundikmu ini, tapi ceraikan aku sekarang juga!"
Kalimat cerai tidak sembarang aku ucapkan. Jika sudah keluar dari mulutku, berarti aku sudah benar-benar siap.
"Tidak, Ibu tidak setuju kamu menceraikan Zahra. Ibu lebih setuju jika wanita itu yang kamu ceraikan, Fahri." Ibu mertua angkat bicara.
"Tidak bisa, Bu. Aku enggak bisa kehilangan salah satu dari mereka. Aku sayang sama Zahra dan aku juga cinta sama Maria. Tolonglah Bu, jangan suruh aku untuk memilih salah satu di antara kedua istriku. Aku enggak sanggup memilih."
Cuih! Rasanya ingin kuludahi saja wajah Mas Fahri. Aku muak sekali melihatnya. Jika selama ini rasa cintaku kepadanya begitu besar, sekarang tidak lagi. Rasa itu telah terkalahkan oleh rasa benci dan sakit di hati ini.
"Mas, asal kamu tahu. Aku tidak mau lagi jadi istrimu. Jika kamu tidak mau menceraikan aku, tunggu saja surat panggilan dari pengadilan agama. Kita selesaikan urusan kita di pengadilan agama."
"Seharusnya kamu melakukan itu dari dulu, Zahra. Keputusan yang kamu ambil ini sudah tepat dan aku akan mendukungmu." Bella menggenggam tanganku, mengisyaratkan seolah ia akan selalu ada bersamaku.
"Hey, gadis jadi-jadian, diam kamu! Aku tahu, kamu kan, yang sudah mempengaruhi Zahra? Aku tahu Zahra itu seperti apa. Zahra tidak mungkinlah mau minta pisah dariku karena dia sangat mencintaiku. Pasti kamu yang sudah menghasut agar Zahra minta cerai, iya, kan?" Mas Fahri malah menuduh Bella yang tidak-tidak.
"Pulang sana! Ngapain kamu masih di sini? Keluar kau sekarang juga!" bentak Mas Fahri.
"Kalau aku enggak mau, terus kamu mau apa?" tantang Bella.
"Hey, manusia setengah cewek setengah cowok, ngapain kamu masih di sini? Keluar, enggak? Apa perlu aku yang menyeretmu keluar, hah?" sahut Maria.
"Coba aja kalau berani. Aku yakin, kamu pasti akan mampus di tanganku. Kamu itu bisanya merebut suami orang. Jual aurat. Kupastikan kamu akan kalah sebelum aku mengeluarkan jurus-jurus karateku. Ngelawan kamu mah kecil, dalam hitungan detik aja pasti udah tumbang, terus mampus deh!" Bella malah tertawa setelah mengucapkan kata-kata itu. Membuat Maria semakin kebakaran jenggot.
"Mas, dia menghinaku. Usir dia, Mas." Maria merengek lagi.
Mas Fahri semakin marah. Terlihat dari caranya menatap wajah Bella.
"Bella, sebaiknya kamu keluar dari sini!"
"Mas, kamu enggak berhak ngusir Bella. Dan kamu pelakor, jangan pernah menghina sahabatku. Asal kamu tahu, wajah Bella jauh lebih cantik daripada wajahmu yang bergantung pada skincare itu. Jika tanpa skincare, aku yakin wajahmu pasti hitam dan jelek."
"Betul tuh. Bisanya cuma ngatain orang. Enggak sadar dengan wajah sendiri." Bella kembali tertawa sambil memegangi perutnya.
"Biarin. Yang jelas Mas Fahri kesemsem sama aku. Daripada kamu, wajah cantik, putih serta mulus, eh malah diduain. Sekarang bukan kecantikan yang utama. Yang paling penting tuh seksi dan menggoda. Iya kan, Mas?"
"Modal aurat aja belagu. Nanti kalau udah lahiran dan melar, pasti suamimu akan berpaling. Betul enggak Zahra?"
"Diam!" Maria berteriak.
"Apa hak kamu nyuruh kami diam, hah? Kamu tidak sadar sedang berada di mana sekarang? Ini rumahku. Tidak ada satu orang pun yang bisa ngatur aku. Paham!"
Entah apa yang terjadi padaku hari ini. Aku begitu berani. Tiada rasa takut sedikitpun.
"Siapa bilang ini rumah kamu, Zahra? Ini rumahnya Mas Fahri, suamiku."
"Kamu bilang apa barusan?" Aku menatap wajah wanita yabg telah merebut suamiku itu dengan tatapan benci. Rasanya ingin ku cakar-cakar saja wajahnya.
"Kurang jelas, ya? Aku ulangi nih, ya. Ini bukan rumahmu, tapi rumah Mas Fahri suamiku," ulangnya, terlihat begitu yakin.
"Enggak usah ngaku-ngaku. Rumah ini adalah milikku. Warisan dari orang tuaku dan bukan rumahnya Mas Fahri."
"Kamu yang ngaku-ngaku. Buktinya di sertifikat tertulis dengan jelas nama Mas Fahri sebagai pemiliknya."
Apa lagi ini? Apa mungkin Mas Fahri telah mengubah sertifikat rumah menjadi atas namanya? Tidak mungkin! Mas Fahri tidak mungkin setega itu.
"Fahri, apa maksud wanita itu? Apa yang kamu lakukan, hah? Apa benar kamu telah merubah nama di sertifikat?" Kali ini giliran ibu mertua yang bertanya.
Mas Fahri hanya mengangguk, kemudian menundukkan kepalanya.
Aku terdiam. d**a terasa sesak. Bibirku kelu tak mampu mengucapkan kata-kata. Hanya bulir bening yang kembali mengalir membasahi pipi. Aku luruh.
"Bangun, Zahra, kamu enggak boleh lemah. Aku yakin kamu kuat!" Bella memberi semangat sambil membantuku berdiri.
"Astaghfirullah, Fahri! Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu telah merebut yang bukan milik kamu, Nak. Ibu minta kembalikan hak Zahra. Jika kamu ingin bersama dengan wanita itu, silakan. Tapi kembalikan dulu apa yang seharusnya menjadi milik Zahra."
"Maaf, Bu. Aku enggak bisa. Aku sengaja melakukannya agar Zahra tidak minta cerai dariku, Bu. Dengan demikian, Zahra tidak akan mungkin pergi dari sini dan dia akan tetap menjadi istriku."
"Mas Fahri, kamu benar-benar jahat. Apa belum puas kamu menyakiti Zahra? Sekarang kamu malah merebut haknya! Kamu memang harus dikasih pelajaran, ya." Bella langsung melayangkan bogem mentah tepat ke wajah Mas Fahri.
Mas Fahri tidak tinggal diam. Ia ingin membalas tetapi Ibu menahan tangannya.
"Kamu sudah kelewatan, Bella. Kamu pikir aku tidak bisa membalasmu, hah?" Mas Fahri terlihat murka.
"Diam kamu Fahri. Ibu melarangmu menyentuh Bella. Sekarang kembalikan apa yang menjadi haknya Zahra. Jika kamu tidak mau meninggalkan wanita itu, ceraikan Zahra dan kita pindah dari sini. Kamu jangan serakah jadi orang. Ibu malu, Fahri. Malu punya anak seperti dirimu!"
"Tidak bisa dong, Bu. Harusnya Zahra yang keluar dari rumah ini. Bukan kita. Ini kan rumahnya Mas Fahri, ngapain kita harus pergi dari sini?" sahut Maria.
Jujur, aku belum yakin. Pasti Mas Fahri hanya mengancamku saja. Ia tidak mungkin selicik itu.
Aku langsung berlari ke kamar. Segera membuka pintu dan menuju lemari. Aku akan memastikan sendiri benar atau tidaknya. Seingatku, sertifikat rumah itu tersimpan rapi di laci paling bawah. Namun saat aku mencarinya, sertifikat itu sudah tidak ada.
Aku tidak putus asa. Kucari di bawah tumpukan baju, tapi nihil. Laci meja rias, bawah tempat tidur semuanya sudah kucari. Namun hasilnya tetap sama.
Berarti benar, Mas Fahri telah mengambilnya.
Selama ini, aku begitu percaya terhadap Mas Fahri. Tidak pernah terlintas di pikiran untuk curiga padanya. Namun ternyata Mas Fahri malah berbuat curang. Benar-benar tega!
"Jahat kamu, Mas. Kamu benar-benar ingin menghancurkan hidupku," teriakku sambil memukuli bantal untuk melampiaskan kemarahan.
"Zahra, udahlah, berhenti menangis. Takutnya berpengaruh dengan kandunganmu. Tadi juga kamu sempat berlari. Kamu sedang hamil loh, Zahra. Gimana jika kandunganmu kenapa-kenapa?" Bella terlihat cemas. Sahabatku itu juga ikut menangis.
Ya, bahkan aku lupa kalau aku sedang mengandung. Pikiranku dirasuki oleh benci dan amarah. Aku tidak bisa lagi berpikir dengan jernih.
"Mas Fahri jahat, Bella. Dia bukan hanya mengkhianatiku. Tapi dia juga mengambil hak aku, Bel." Tangisanku pecah di pelukan Bella. Sungguh rasanya begitu sakit. Bahkan lebih sakit saat memergoki suamiku dengan wanita lain.
"Aku ngerti, Zahra. Kamu sabar, ya. Aku janji akan bantu kamu. Kita akan bawa kasus ini ke jalur hukum. Kamu tenang saja. Aku akan selalu ada untuk kamu." Bella melepas pelukannya, lalu menggenggam tanganku.
"Ya sudah, aku bantu beresin pakaian yang udah kamu bongkar ini, ya. Kamu tenangkan diri dulu. Insyaallah, pasti ada jalan keluarnya.
Tidak! Aku tidak bisa bersabar lagi. Mereka akan semakin ngelunjak jika aku diam saja.
"Bella, aku harus melakukan sesuatu."
Gegas aku keluar kamar, meninggalkan Bella yang sibuk memasukkan kembali pakaian yang telah aku bongkar tadi ke dalam lemari. Mengambil sapu di dapur, lalu kembali lagi ke ruang tamu.
Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya melampiaskan kemarahan ini. Yang jelas aku harus melampiaskannya.
"Zahra, kenapa kamu bawa-bawa sapu?"
Aku tidak menghiraukan pertanyaan Maria. Tanpa berpikir panjang, langsung saja kupukul tubuh Maria menggunakan sapu itu.
"Rasakan kamu, pelakor. Kamu pantas mendapatkan ini."
"Mas, tolong!"
"Zahra, kamu apa-apaan, sih? Hentikan."
Mas Fahri berusaha merebut sapu yang berada di tanganku. Tapi aku justru memukulinya.
"Hentikan!" bentak Mas Fahri. Sepersekian detik kemudian, sapu tersebut sudah berpindah ke tangan Mas Fahri.
"Jangan paksa Mas untuk berbuat kasar padamu, Zahra."
"Kamu mau berbuat kasar? Silakan! Bunuh aku saja, Mas. Bukankah kamu menginginkan kematianku? Ayo lakukan apa yang ingin kamu lakukan!"
"Fahri, Zahra, udah, Nak. Tolong jangan ribut lagi. Ibu tidak kuat melihat kalian berantem seperti ini, Nak." pinta Ibu sambil memegangi dadanya. Apa mungkin sakit Ibu kambuh lagi?
"Oh, jadi selain menyakiti hati Zahra, kamu juga mau berbuat kasar padanya, hah? Fahri … Fahri. Zahra itu tidak pantas untuk dikasari. Zahra pantasnya disayang dan dimanja. Jika kamu mau adu kekuatan, ayo lawan aku," tantang Bella.
"Mas, dia menantangmu. Hajar aja, Mas." Maria malah memanas-manasi Mas Fahri.
Mas Fahri terlihat semakin murka. Tangannya mengepal dan matanya memerah. Namun entah mengapa, ia tidak berani melawan Bella.
"Aku minta sekarang juga kamu keluar dari rumahku. Jangan tunggu aku sampai khilaf, Bella."
"Tidak. Aku tidak mau. Aku akan tetap di sini untuk melindungi Zahra."
Mas Fahri langsung menggebrak meja, membuat kami semua terkejut. Terutama Ibu. Ibu yang sedari tadi memegangi dadanya seketika terjatuh ke lantai.
Semua orang panik melihat kondisi Ibu. Mas Fahri langsung mengangkat tubuh Ibu, membaringkannya di sofa.
Bella berlari ke dapur, kemudian kembali dengan segelas air putih di tangannya. Aku sibuk menepuk-nepuk pipi Ibu, sedangkan wanita itu hanya diam saja. Ia malah duduk santai di sofa sambil memainkan ponselnya. Benar-benar tidak punya rasa simpati.
Wanita seperti itu yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya Mas Fahri? Wanita seperti itu yang akan jadi menantu dan merawat ibu mertua? Melihat sakit Ibu kambuh saja dia tidak peduli. Aku benar-benar tidak habis pikir. Bisa-bisanya Mas Fahri jatuh cinta dengan wanita yang tidak punya akhlak sepertinya.
"Zahra, sebaiknya Tante dibawa saja ke rumah sakit. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk dengan Tante."
Ya, aku setuju dengan Bella. Ibu memang sebaiknya mendapatkan penanganan medis.
"Alah, cuma pingsan doang, masa harus dibawa ke rumah sakit?" sahut Maria. "Kasih kayu putih aja, ntar juga siuman," ucapnya lagi.
"Kamu tuh, ya. Benar-benar enggak peduli pada ibu mertua sendiri. Enggak punya hati. Apa perlu aku mencabik-cabik jantungmu itu biar kamu tahu gimana rasanya sakit jantung? Tante pingsan gara-gara kamu. Kamu sudah membawa api ke rumah ini. Dasar pelakor enggak ada akhlak."
"Bella, sudah. Sebaiknya kita bawa Ibu ke rumah sakit. Enggak ada gunanya meladeni orang yang sudah tidak waras seperti dia. Ayo bantu aku."
Mas Fahri langsung mengangkat tubuh Ibu sebelum aku dan Bella melakukannya.
"Mas, kamu enggak ikut ke rumah sakit. Biar mereka saja! Kamu temenin aku di rumah. Aku butuh kamu malam ini. Aku udah beli lingerie baru, loh!"
Astaghfirullah! Dalam keadaan seperti ini, masih sempat-sempatnya wanita itu berpikiran ke arah situ. Nauzubillahi.
Bersambung