Perkiraan Stephani tidak salah. Di depan rumahnya, keluarga Brown memasang spanduk besar yang berisikan kata-kata yang terlihat sangat menjijikkan di mata gadis itu. Dasar keluarga penjilat! maki Stephani dalam hati. Senyum mengejek menghiasi wajah cantiknya sebelum memasuki rumah.
"Aku pulang!" seru Stephanie begitu memasuki rumah besarnya. Memang tidak sebesar rumah milik nona Elizabeth, tetapi rumahnya masih termasuk besar dibandingkan dengan rumah Shane yang sangat sederhana.
"Kau sudah pulang?"
Sambutan mama membuat Stephanie mengerutkan keningnya. Tumben saja mama sudah pulang jam. Biasanya lewat jam makan malam baru mana sampai di rumah.
"Mama?" Stephanie mengernyit. "Kenapa Mama pulang cepat?" tanyanya.
Katherine Grace, ibu Stephanie, memeluk putri semata wayangnya erat. Dia sangat merindukan gadis kecilnya yang sekarang sudah beranjak remaja. Rasanya banyak waktu yang terbuang, dia sudah melewatkan perkembangan putrinya. Namun mau bagaimana lagi, pekerjaannya sangat menyita waktu. Hari libur di setiap akhir pekan seolah tidak cukup untuk menukar waktu-waktu yang dihabiskannya dengan pekerjaan yang menumpuk. Beruntung, putrinya tidak pernah protes. Stephanie adalah gadis remaja yang pengertian. Stephanie tidak pernah menuntutnya untuk berada di rumah selama dua puluh empat jam.
"Pekerjaan Mama untuk hari ini sudah selesai, Sayang," jawab Katherine sambil mengusap rambut cokelat gelap putrinya. "Kau dari mana saja?" Gilirannya sekarang bertanya.
Stephanie mengurai pelukan. "Aku baru selesai makan malam bersama Brian dan Shane."
Katherine mengangguk. Dia sudah mengenal kedua nama yang disebutkan putrinya. Apalagi Brian. Stephanie sudah berteman dengan pemuda itu sejak mereka masih kecil. Lahir dan tumbuh di kota yang sama tentu saja membuat kedua remaja itu bersahabat. Sepertinya hubungan mereka tidak lebih dari itu. Dia tidak melihat ketertarikan lain di antara kedua remaja itu. Untuk Shane, dia juga sudah mengenal pemuda itu. Shane Miller adalah putra dari George dan Darla Miller. Dia juga mengenal keluarga itu, mereka sangat baik. Meskipun keluarga Miller tidak sekaya yang lain tetapi mereka sangat ramah. Keramahan itulah yang paling penting bagi Katherine. Jujur saja, dia lebih senang bergaul dengan Darla Miller yang selalu ceplas-ceplos dan jujur daripada tetangga di seberang rumahnya yang bermuka dua. Stephanie mengenal Shane saat memasuki sekolah menengah.
"Aku kira Mama pulang seperti biasa, jadi aku makan malam di luar. Maafkan aku, Mama," ucap Stephanie dengan raut wajah menyesal.
Katherine mencubit ujung hidung putri tunggalnya. "Kenapa harus meminta maaf?" tanyanya. "Kau kan tidak bersalah. Mama juga baru tiba, Sayang."
Stephanie tahu Mama berbohong. Mama tidak ingin membuatnya merasa bersalah lebih jauh lagi. Dan dia juga tidak ingin membuat Mama kecewa sehingga Stephanie membiarkan kebohongan itu.
"Bagaimana harimu di sekolah, apakah menyenangkan?"
Inilah yang paling disukai Stephanie dari Mama. Sesibuk apa pun Mama, beliau tidak pernah lupa menanyakan kesehariannya. Stephanie menggeleng. Wajah cerianya menjadi menekuk.
"Hari ini sedikit agak buruk." Stephanie mengikuti Mama duduk di salah satu sofa di ruang keluarga rumahnya. "Sekolah berencana untuk mengadakan pesta penyambutan bagi keponakan nona Bryant yang beberapa hari lagi akan tiba," adunya tanpa semangat. "Aku juga melihat beberapa rumah dan pertokoan di pusat kota yang memasang spanduk di depan pintu mereka."
Katherine mengangguk. "Mama juga melihatnya," sahutnya. "Mama rasa tetangga kita juga ikut memasangnya," sambung Katherine sambil menahan senyum.
Stephanie tertawa melihat reaksi Mama. Dia yakin Mama juga ingin tertawa seperti dirinya.
"Aku sudah melihatnya." Stephanie mengangguk. "Keluarga Brown memasang spanduk besar di beranda rumah mereka, dengan tulisan yang benar-benar menggelikan."
Saat mengatakan kalimat terakhir itu, Stephanie membuat mimik wajah yang membuat siapa pun akan tertawa bila melihatnya, termasuk Katherine. Perempuan berambut pirang itu bahkan sampai harus memegangi perutnya yang sakit karena tertawa geli.
"Jadi, kau juga melihatnya?" tanya Katherine setelah tawanya reda.
Stephanie mengangguk lagi. "Siapa pun pasti melihat spanduk yang sangat besar itu, Mama," sahutnya. "Kurasa Brian juga dapat melihatnya, begitu juga dengan orang-orang yang tinggal di sekitar rumah Brian."
Katherine kembali tertawa. Putrinya memang sangat pandai melawak. Namun sepertinya apa yang dikatakan Stephanie memang benar, kemungkinan besar keluarga Taylor dapat melihat spanduk itu dari kediaman mereka karena ukuran spanduk yang di atas rata-rata.
"Apa Mama tidak berniat untuk memasang spanduk seperti itu juga?" tanya Stephanie menggoda. Mata cokelat terangnya tersenyum jenaka.
"Untuk apa?" Katherine menggeliat jijik. "Nona Bryant tidak menginginkan ada penyambutan untuk keponakannya. Mereka orang kota besar yang tidak gila untuk dihormati. Lagipula, Mama rasa Sarah juga tidak akan suka."
Sepasang alis Stephanie terangkat mendengar Mama menyebut nama yang beberapa hari ini terdengar familiar di telinganya. Dalam hati gadis itu bertanya, apakah Mama mengenal gadis kota itu.
"Astaga! Ada apa dengan raut wajahmu itu?" tanya Katherine melihat cara putrinya menatapnya. "Kenapa menatap Mama seperti itu?"
"Tidak apa-apa." Stephanie menggeleng. "Hanya saja ... apa Mama mengenal keponakan nona Elizabeth? Maksudku, apa Mama pernah bertemu dengan gadis itu?"
Katherine memutar bola mata jengah mendengar pertanyaan putrinya. Apa maksud Stephanie bertanya seperti itu?
"Kenapa kau bertanya seperti itu?" Katherine balik bertanya heran. Alisnya mengernyit.
"Jawab saja, Mama!" pinta Stephanie dengan wajah memelas. "Apa Mama pernah bertemu dengan ... Sarah?"
"Tentu saja!"
Stephanie terlonjak mendengar jawaban Mama. Kedua alisnya terangkat dengan bola mata melebar.
"Benarkah?" tanya Stephanie masih tidak percaya. Siapa tahu kan Mama hanya membohonginya. "Mama benar pernah bertemu dengan Sarah?"
Katherine mengangguk. "Iya!" jawabnya.
"Mama tidak berbohong kan?" tanya Stephanie lagi. "Maksudku ... Mama tidak hanya ... ingin membuatku senang saja kan?" Gadis itu meralat pertanyaannya melihat mata Mama yang menyipit menatapnya.
Katherine menghela napas panjang kemudian mengembuskannya pelan melalui mulut. "Mama sering bertemu dengannya."
Bola mata Stephanie kembali melebar.
"Kau pikir berapa kali Mama pergi ke Kota New York menemani nona Elizabeth?"
Stephanie mengerutkan hidungnya berpikir. Mama memang sering pergi ke New York bersama nona Elizabeth. Mereka memiliki urusan di sana. Namun Stephanie tidak pernah membayangkan kalau Mama akan bertemu juga dengan keluarga nona Elizabeth lainnya.
"Sarah itu putri dari Alexander dan Samantha Bryant. Alexander adalah adik dari nona Elizabeth. Sarah keturunan satu-satunya keluarga Bryant, sehingga dia sangat disayangi. Nona Elizabeth juga sudah menganggap Sarah sebagai putrinya sendiri."
Stephanie mengangguk-anggukkan kepalanya pelan mendengar penjelasan Mama. Kenapa tidak terpikirkan olehnya seperti itu. Mama adalah asisten pribadi nona Elizabeth, tentu saja akan menemani nona Elizabeth ke mana pun beliau pergi, termasuk mengunjungi adik dan keponakannya. Stephanie meneouk dahi pelan.
"Kenapa aku tidak pernah terpikirkan hal itu, Mama?" tanyanya kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya dia sudah tahu dari awal kalau Mama pernah dan selalu bertemu Sarah setiap pergi ke New York. Kenapa dia tidak memikirkan kalau Mama pernah pergi ke New York. Astaga, steph! Ke mana saja kau selama ini? tanyanya gusar dalam hati.
"Kenapa, Sayang?" tanya Katherine heran melihat sikap putrinya. Stephani seolah menyalahkan diri sendiri.
"Tidak apa-apa!" jawab Stephanie cepat. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri secepat jawabannya tadi. "Menurut Mama bagaimana Sarah? Maksudku ... apakah dia baik atau buruk, cantik atau jelek?"
Tawa Katherine terlepas begitu saja mendengar pertanyaan Stephanie. "Kenapa kau bertanya seperti itu?" tanyanya kembali.
"Tidak apa-apa, Mama. Aku hanya perlu memastikan sesuatu," jawab Stephanie.
"Apa ini ada hubungannya dengan putri dari tetangga di depan rumah kita?"
Tebakan yang sangat tepat sekali. Stephanie tertawa kecil mendengar Mama menyebut tetangga di depan rumah. Sepertinya Mama tidak suka menyebut keluarga Brown. Memang bukan rahasia lagi kalau Mama tidak menyukai Clarissa Brown, sama seperti dirinya yang tidak menyukai Angelica Brown. Ibu dan anak itu mempunyai sifat yang sama, selalu membanggakan kekayaan mereka, juga selalu ingin menjadi yang terpopuler. Dengan cara apa pun. Meski harus berbohong sekalipun.
Stephanie mengangguk sekali lagi. "Angelica mengatakan kalau dia berteman dengan Sarah, katanya mereka sering bertemu. Kata Angelica juga dia pernah menginap di rumah keluarga Bryant di Kota New York dan tidur di kamar Sarah."
"Dan kau percaya hal itu?" tanya Katherine dengan kening berkerut.
Stephanie menggeleng. "Aku tidak pernah percaya pada apa yang dikatakan Angelica," jawabnya. "Sejak dulu."
"Angelica dan ibunya itu sama. Mereka pembohong," ucap Katherine. "Kau tidak boleh percaya begitu saja dengan semua yang mereka katakan."
"Iya, Mama," sahut Stephanie sambil mengangguk. "Jadi semua yang dikatakan Angelica itu tidak benar?" tanyanya lagi.
Katherine menghela napas. "Bagaimana Angelica bisa menginap dan tidur di kamar Sarah kalau dia tidak pernah keluar dari Grandville?" tanyanya. "Kau kan tahu kalau Arnold tidak mengizinkan istri dan anaknya untuk keluar kota."
Lagi-lagi Stephanie mengangguk. Keluarganya dan beberapa keluarga terpandang lainnya sudah tahu akan hal itu, keluarga Brown tidak pernah keluar dari kota Grandville. Namun mengapa Angelica masih nekat mengatakan kebohongan itu di depan mereka semua? Kali ini Angelica benar-benar nekat. Stephanie tidak habis pikir, mengapa Angelica mau melakukan itu. Apakah hanya untuk sebuah popularitas? Sangat disayangkan.
Arnold Brown, ayah Angelica, bersahabat dengan Mama sejak dulu. Paman Arnold tidak sama seperti istri dan anaknya. Pria berambut cokelat itu adalah pria yang ramah. Dia tidak pernah menyombongkan kekayaannya seperti yang dilakukan istri dan anaknya. Menurut Paman Arnold, kekayaan yang dimilikinya merupakan titipan dari keluarga Bryant. Kekayaan itu bukan miliknya, dia hanya bertugas untuk menjaganya saja. Karena itu dia tidak pernah membanggakan semua yang dimilikinya, karena itu hanya titipan dari pemilik sesungguhnya. Yaitu keluarga Bryant.
Paman Arnold juga sangat menyenangkan. Oleh sebab itu Stephanie senang beryeman dengan Paman Arnold. Pria itu tidak sombong.
"Shane meminta Angelica membawa foto bukti kedekatannya dengan Sarah besok ke sekolah," lapor Stephanie.
Katherine mengerutkan kening. "Kenapa begitu?" tanyanya.
"Angelica mengatakan semua itu di depan seluruh teman sekelas kami, dan Shane sangat tidak menyukainya. Shane yakin kalau Angelica hanya berbohong."
"Kenyataannya memang seperti itu," sahut Katherine santai.
"Iya, Mama, aku juga tahu itu," ucap Angelica. "Shane juga. Makanya Shane meminta bukti itu kepada Angelica."
Katherine mengangguk. "Permintaan yang sangat pintar!" pujinya. "Mama rasa harus ada orang yang membongkar semua kebohongan mereka, agar tidak ada lagi yang tertipu oleh mereka."
Katherine berkata begitu bukan karena dia iri pada apa yang didapat Clarissa. Untuk apa iri pada perempuan itu. Semua yang ada pada diri Clarissa tidak pantas untuk membuatnya merasa iri. Dia tidak menginginkan popularitas. Menurutnya, hal itu hanya akan mengganggu kenyamanannya saja. Lagipula dia sangat sibuk, tidak memiliki waktu untuk mengurusi hal-hal tidak penting semacam itu.
"Kita lihat saja besok, Mama," sahut Stephanie. "Jujur saja, aku sangat ingin Shane dapat membongkar semua kebohongan yang dikatakan Angelica. Aku muak dengan tingkah menyebalkannya."
Katherine tertawa kecil. "Tidak boleh itu dengan kepopuleran seseorang, Sayang."
Stephanie menggeliat jijik. Dia bahkan berpura-pura ingin muntah mendengar perkataan Mama.
"Sebaiknya Mama mengatakannya di depan Angelica bukan di depanku. Stephanie mendelik. "Aku bukan orang yang membangunkan popularitas!"
Sekali lagi Katherine tertawa, kali ini lebih keras dari tadi. Dia sudah tahu kalau putrinya bukan orang yang seperti itu dan dia sangat mensyukurinya.
"Baiklah! Mama rasa sebaiknya sekarang kau tidur dulu. Sudah jam berapa sekarang?" Katherine mengetuk-ngetuk jam tangan di pergelangan lengan kirinya, memperingatkan.
Stephanie mengerang. "Nanti dulu, Mama," pintanya memelas. "Mama belum menjawab pertanyaanku."
"Pertanyaan yang mana?" tanya Katherine dengan alis berkerut.
"Pertanyaanku tentang Sarah," jawab Stephanie. "Mama tidak mengatakan padaku bagaimana dia. Dia jeiek atau cantik, baik atau buruk."
Tawa Katherine kembali terdengar di ruang keluarga Grace. Dia menertawakan putrinya yang sangat ingin tahu bagaimana Sarah Bryant.
"Ayolah, Mama. Jawab saja."
Katherine berdehem sebelum menjawab. "Sarah gadis yang baik. Mana rasa seluruh keluarga Bryant sangat baik, mereka ramah. Kalau untuk rupanya, kau sudah melihat bagaimana nona Elizabeth. Bagaimana menurutmu, nona Elizabeth itu cantik atau tidak?" tanyanya dengan tatapan menggoda ditujukan kepada putrinya.
"Nona Elizabeth sangat cantik," jawab Stephanie.
"Itulah jawaban dari pertanyaanmu, Sayang." Katherine tersenyum kemudian berdiri. "Sarah juga sangat cantik. Rambutnya pirang karena memang seluruh keluarga Bryant itu berambut pirang."
Stephanie mengangguk untuk kesekian kalinya. "Terima kasih, Mama," ucapnya dengan senyum manis menghiasi wajah cantiknya.
Katherine juga mengangguk. "Ayo, sekarang kembali ke kamarmu. Kau harus beristirahat. Besok kau akan ke sekolah lagi."
Mendengar kata sekolah, Stephanie langsung berdiri dengan semangat. Rasanya dia tidak sabar lagi menunggu pagi. Dia yakin, besok akan ada pertunjukan menarik di sekolahnya. Dan semoga saja pertunjukan itu tidak berakhir buruk.
"Selamat malam, Mama." Stephanie mengecup pipi Mama sebelum meninggalkan ruang keluarga.
Stephanie bergegas menuju menaiki tangga untuk menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Dia tidak sabar lagi untuk mandi dan berbaring di tempat ternyaman di rumah untuknya. Stephanie hanya membutuhkan waktu sepuluh menit di dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Setelah mengenakan piyama, Stephanie langsung melompat ke atas tempat tidurnya. Rasanya sangat nyaman berbaring setelah seharian bersekolah dan berkeliling kota bersama kedua sahabatnya yang sangat menjengkelkan. Namun meskipun menjengkelkan dia sangat menyayangi mereka. Rasanya sangat tidak menyenangkan kalau tidak ada Brian dan Shane.
Stephanie menguap, dia sudah mengantuk. Gadis itu memejamkan mata perlahan, berdoa di dalam hati dan siap menjemput mimpi.