Matahari bersinar cerah pagi ini. Malah sepertinya terlalu cerah. Baru pukul delapan pagi saja panasnya sudah menyengat. Brian memasuki kelasnya duduk di kursi yang biasa di dudukinya bersama Shane dan Stephanie. Brian melirik dua kursi kosong di depan dan di sampingnya, Stephanie dan Shane belum datang. Brian mengerang kesal, kedua pelindungnya tidak ada. Dia tidak merasa aman tanpa kedua sahabatnya itu, Angelica akan leluasa mendekatinya.
Brian sudah berniat keluar kelas lagi begitu dilihatnya Angelica melangkah ke arah mejanya. Syukurlah Stephanie dan Shane datang tepat waktu, sehingga Brian tidak jadi beranjak dari kursinya.
"Kalian dari mana saja?" tanya Brian dengan suara lirih kepada kedua sahabatnya. "Kenapa kalian terlambat?"
"Aku bangun kesiangan." Stephanie mengerang kesal. Meletakkan tas dengan suara suara yang cukup mengundang perhatian sebelum duduk di kursinya.
Shane menggeleng pelan, duduk di kursinya dengan pelan juga. Seolah takut kalau kursi itu akan meledak saat bersentuhan dengan bokongnya.
Brian yang melihat tingkah kedua temannya berdecak. "Ada apa dengan kalian?" tanyanya masih dengan suara yang lirih. "Kau juga, Shane. Kenapa kau juga nyaris terlambat?"
"Kau tampak tidak bersemangat, Shane," komentar Stephanie. "Padahal hari ini kita akan melihat bukti foto dadi Angelica. Ayo, bersemangat lah!"
Bukannya bersemangat seperti permintaan Stephanie, Shane malah merebahkan kepalanya di atas meja. Tanpa alas apa-apa.
"Justru itu yang membuatku lemas," sahut Shane lirih.
Stephanie dan Brian saling berpandangan sesaat. Sepasang alis mereka berkerut. Kenapa Shane tidak bersemangat dengan bukti foto Angelica? Apakah Shane merasa kakau dia akan kalah?
"Aku bermimpi buruk tadi malam." Shane mengangkat kepala. Menyangga dagunya dengan tangan, sementara siku bertumpu pada meja. Shane terlihat seperti anak perempuan sekarang dan dia tidak peduli sama sekali dengan itu. "Aku bermimpi kalau aku kalah dari Angelica dan dia memperbudakku."
Tawa Brian dan Stephanie seketika pecah mendengar apa yang dikatakan Shane. Sangat lucu bagi mereka membayangkan Shane yang menjadi b***k Angelica.
"Tertawalah sepuas kalian!" belalak Shane kesal. Bukannya ikut prihatin dengan mimpinya, kedua sahabatnya malah menertawakan. "Kalian sepertinya sangat senang melihatku menderita!"
"Bukan seperti itu!" Brian menggeleng sambil tangan memegangi perutnya yang sakit karena harus menahan tawa. "Hanya saja, agak lucu bagiku membayangkannya. Benar kan, Steph?" Brian menyenggol lengan Stephanie menggunakan ujung sikunya.
Stephanie yang masih tertawa hanya mengangguk. "Sangat-sangat lucu bagiku!" sahutnya di sela tawa.
Shane mengerang. "Ayolah, Kalian. Apanya yang lucu?" tanyanya dengan wajah menekuk. "Di mimpi itu aku lebih buruk daripada seorang pelayan!" bisiknya.
Brian makin kuat memegangi perutnya setelah mendengar bisikan itu. Bahkan Brian yang awalnya berdiri di sisi meja Shane sekarang berpindah duduk di kursinya, kepalanya tersimpan di meja. Dari bahunya yang bergoyang kentara sekali kalau Brian sedang tertawa.
Stephanie lebih parah lagi. Gadis itu memukul-mukul meja saking gemasnya menahan tawa. Ingin dia tertawa sekencang-kencang tetapi dia juga tak ingin menjadi pusat perhatian. Brian dengan gelarnya sebagai pangeran sekolah saja sudah cukup menjadikan mereka sebagai pusat perhatian, apalagi kalau mereka tertawa terbahak.
Shane menatap kedua sahabatnya dengan mata memicing. Kesal tentu saja. Brian dan Stephanie memang sangat senang melihatnya ternistakan.
"Maafkan aku, Shane. Aku tidak bermaksud menertawakanmu," ucap Brian setelah tawanya reda. "Tapi ini memang sangat lucu." Brian tersenyum lebar.
"Kalian memang menyebalkan!" Shane mendengus sambil membuang muka. Bertepatan dengan Angelica yang menatap ke arahnya. Namun hanya sekejap, gadis itu langsung melengos menghindari pertemuan mata mereka.
"Kurasa dia takut padamu, makanya dia menghindari pandangan," komentar Stephanie yang melihat kejadian itu.
Shane hanya mengangkat bahu tak peduli. "Aku harap kau benar," sahutnya. "Yang pasti aku tidak ingin mimpi burukku jadi kenyataan."
Stephanie tertawa lagi, kali ini tak sekeras tadi. Sementara Brian hanya tersenyum saja.
***
Angelica terlihat gelisah. Sebentar lagi istirahat jam makan siang, dan dia belum menemukan alasan kenapa tidak membawa foto yang diminta Shane. Tadi malam dia tidur cepat, kelelahan setelah membantu para pelayan di rumahnya memasang spanduk untuk menyambut kedatangan Sarah. Rasanya dia tidak sabar lagi menunggu kedatangan gadis itu. Dia yakin kalau mereka pasti akan menjadi teman dekat, persis seperti keinginannya.
Suara bel yang menandakan jam makan siang telah tiba memekik kencang. Angelica berjengit kaget. Mata birunya liar mengawasi beberapa siswa yang bergegas keluar kelas. Para siswa itu menuju kantin untuk makan siang. Angelica berharap, Shane salah satu dari siswa-siswa yang keluar kelas itu. Agar dia tidak perlu menunjukkan foto yang diminta pemuda itu. Jujur saja, dia berharap Shane melupakan taruhan mereka kemarin. Namun sayangnya, harapannya tidak terkabul. Shane tetap duduk manis di kursinya. Di seberang pemuda itu, Stephanie juga masih merapikan alat tulisnya. Hanya Brian yang berdiri.
Harapan Angelica sekarang tertuju pada puda yang disukainya itu. Dia berharap Brian akn mengajak kedua sahabatnya ke kantin seperti biasanya. Harapan yang juga tidak terkabul, Brian justru duduk di atas meja Shane. Mereka sedang terlibat pembicaraan yang tidak bisa didengarnya. Suara mereka sangat lirih nyaris berbisik. Angelica yakin Shane sedang membicarakannya. Tatapan pemuda itu memgarah padanya.
Angelica masih sibuk menatap Brian dan Shane yang semakin asyik saja dengan pembicaraan mereka, ketika Madison Eve memasuki kelas mereka. Madison adalah siswa kelas sebelah dan saingannya, dalam segala hal. Selain bersaing siapa yang paling populer, Madison juga saingannya dalam merebut hati Brian. Madison juga menyukai Brian.
"Halo, Angelica," sapa Madison ramah. Dia berdiri tepat di depan meja Angelica dengan kedua tangan di pinggang.
"Mau apa kau kemari?" tanya Angelica. Dagunya terangkat angkuh, menantang Madison. "Tidak ada yang memanggilnu untuk ke kelasku bukan?"
Madison tersenyum tak kalah congkak. Dia tidak menyukai Angelica bukan karena gadis itu selalu berada setingkat di atasnya. Dia tidak menyukai Angelica karena Angelica selaku berbohong untuk mendapatkan kepopulerannya itu. Setelah mendengar taruhan antara Shane dan Angelica kemarin, melalui sepupunya yang sekelas dengan Angelica, Madison langsung menemui Angelica untuk menyerang gadis itu. Madison semakin memanas-manasi Angelica tentu saja. Sekarang Madison berada di kelas ini, untuk melihat secara langsung bukti foto yang akan diberikan Angelica untuk memenangkan taruhannya dengan Shane.
"Aku datang hanya untuk menyapa Shane."
Angelica mendengus kesal. Nyata sekali kalau Madison sedang berbohong. Kalau Madison ingin menyapa Shane, lalu kenapa Madison justru berada di depannya sekarang?
"Dasar pembohong!" cibir Angelica. "Kau kemari pasti ingin mengejekku bukan?"
Madison tersenyum mengejek. "Kau selalu berprasangka buruk tentangku." Madison menghela napas berpura-pura sesak. Padahal sesungguhnya dia ingin terbahak melihat wajah Angelica yang memucat. Sementara kedua sahabat Angelica yang lebih terlihat seperti pembantu gadis itu hanya diam, tidak berani berbicara sepatah kata pun untuk membela majikannya. "Tapi aku tidak heran, itu kan memang sifatmu, selalu berprasangka dan memandang orang lain buruk. Seharusnya kau tidak memotong perkataanku tadi, karena kau belum selesai."
Mata biru Angelica memicing menatap Madison penuh permusushan. Dari awal, sejak mereka kecil Madison selalu ingin sejajar dengannya. Namun tidak pernah berhasil. Angelica yakin kalau Madison iri padanya sehingga Madison selalu mencari celah untuk mengalahkannya. Seperti sekarang ini. Madison dan Shane tidak dekat, mereka tidak pernah terlihat berbicara satu sama lain. Bukankah sangat aneh kalau tiba-tiba Madison datang ke kelasnya hanya untuk menyapa Shane?
"Aku bukan hanya ingin menyapa Shane, tetapi juga ingin memberikan dukunganku padanya," ucap Madison dengan alisnya yang terangkat sebelah. "Halo, Shane." Madison menyapa Shane, kaki jenjangnya kemudian melangkah mendekati Shane yang masih duduk di kursinya. "Aku hanya ingin mengatakan kalau aku seratus persen mendukungmu."
"Benarkah?" tanya Shane dengan suara yang dibuat sesenang mungkin. "Terima kasih kalau begitu."
"Tidak masalah," jawab Madison. Senyum manisnya mengembang pada Brian yang masih duduk di atas meja Shane. Sudah menjadi rahasia umum kalau dia juga menyukai Brian, dan bukan rahasia lagi juga kalau Brian hanya menganggapnya teman saja. Bagi Madison tidak masalah, asal Brian tidak memusuhi dan menjauhinya seperti yang dilakukan Brian pada Angelica. "Aku hanya berharap kau tidak melupakan taruhan kalian." Mengatakan taruhan, Madison sengaja mengeraskan suaranya. Tujuannya tentu saja agar Angelica mendengarnya.
"Aku tidak lupa tentu saja," jawab Shane tersenyum. Sudut matanya melirik Angelica di sana. "Makanya aku tetap dam di sini. Mungkin saja kan Angelica akan menunjukkan foto yang kuminta kemarin."
Angelica mengepal erat di tempatnya. Wajah cantiknya berubah-ubah warna. Sebentar memerah sebentar kemudian menjadi pucat. Dia tidak memiliki foto seperti yang diminta Shane. Bagaimana dia bisa memiliki foto bersama Sarah kalau bertemu dengan gadis itu saja dia belum pernah? Dia memang berbohong kemarin itu, agar selalu dianggap yang pertama. Dia tidak rela kalau ada orang lain yang lebih dulu mengenal gadis dari kota besar itu. Dia tidak bisa terima kalau tempat teratas yang seharusnya selaku menjadi miliknya diduduki oleh orang lain. Terlebih orang itu adalah Stephanie atau Madison.
Dia tidak heran kalau baik Stephanie maupunmadisin tidak memercayai perkataannya. Namun yang sangat tidak diduganya adalah si b******k dan tidak tahu diri Shane Miller meminta bukti kedekatannya dengan keponakan orang terkaya di kota ini. Yang paling buruk si miskin Shane meminta bukti sebuah foto, tentang kedekatannya bersama Sarah Bryant. Sungguh sangat mengesalkan! Dia tidak memiliki foto seperti yang diminta Shane ataupun bukti lainnya. Karena dia memang tidak pernah bertemu apalagi dekat dengan gadis itu.
"Angelica!"
Angelica menghela napas kasar mendengar Shane memanggilnya.
"Aku harap kau tidak lupa pada permintaanku kemarin." Shane melangkah, berdiri tepat di depan meja Angelica. Shane menadahkan tangan, meminta pada Angelica yang sekarang pucat. "Bisa kau betikan fotonya sekarang?" pinta Shane. "Mumpung ada Madison di sini. Kau mau menjadi saksi bukan, Madie?" tanya Shane menoleh ke arah Madison yang berdiri di sebelah Brian.
Tentu saja Madison mengangguk cepat. Dia dengan senang hati menjadi saksi kebohongan besar dari seorang Angelica Brown. Gadis yang selalu merasa paling cantik dan paling populer di Grandville.
"Aku juga meminta Stephanie untuk menjadi saksi. Apa kau keberatan, Steph?" tanya Shane pada Stephanie. Gadis itu masih duduk dengan santai di kursinya. "Mana foto yang kuminta, Angelica?" tuntut Shane. "Tunjukkan pada kami kalau kau memang dekat dengan keponakan nona Elizabeth!"
Angelica bergerak serba salah. Matanya menatap bergantian kedua temannya yang sepertinya juga meminta jawabannya. Megan dan Zara pasti juga menduga kalau dia memang berteman dengan Sarah Bryant. Kedua sahabatnya itu selalu oercaya dengan perkataannya. Dia yakin, kali ini pun mereka juga pasti akan percaya kepadanya.
"Ayo, Angelica! Mana fotonya?" desak Shane. Angelica yang hanya diam membuat Shane yakin kalau gadis itu benar-benar berbohong tentang pertemanannya dengan gadis itu. "Atau jangan-jangan kau tidak memilikinya karena kau berbohong saat mengatakan semua tentang pertemanan kalian itu?"
Skakmat! Angelica tidak dapat menghindar lagi. Dia harus mengatakan sesuatu atau si b******k Shane akan mempermalukannya di depan seluruh teman sekelas mereka. Angelica tidak tahu kapan kelasnya penuh lagi. Seingatnya tadi kelasnya sudah kosong, teman-teman sekelasnya pergi ke kantin. Hanya beberapa orang saja yang masih berada di dalam kelas, termasuk si jelek Madison.
"Kau pasti berbohong kan, Angelica?" cibir Madison. "Dasar pembohong!"
Semua mata sekarang menatapnya dengan tatapan menuduh. Angelica menggeleng pelan. Dia harus bisa memutar keadaan. Angelica menarik napas kuat, mengembuskannya perlahan agar tidak ketahuan kalau dia sedang gugup.
"A-aku memiliki fotonya tentu saja." Angelica menyumpah dalam hati, kenapa dia harus tergagap di saat yang tidak diinginkan. "Aku hanya lupa untuk membawanya." Angelica kembali mengangkat dagu. Dia sangat bersyukur tidak lagi tergagap.
"Benarkah?" Stephanie yang bertanya. Dia sudah muak dengan semua kebohongan Angelica. "Di mana kalian bertemu dan mengambil foto? Di Grandville ataukah di kediaman Sarah di Kota New York? Karena seingatku keluargamu tidak pernah pergi berlibur keluar kota. Paman Arnold tidak mengizinkan."
Wajah Angelica kembali memucat. Dagunya yang tadi terangkat perlahan turun lagi seperti sediakala.
"Lalu, kalau kalian bertemu di Grandville, kenapa aku tidak pernah tahu?"
"Untuk apa memberitahumu?" Angelica kembali mengangkat dagu. Dia merasa memiliki peluang untuk melawan dan memenangkan taruhan. "Kau orang yang tidak penting!" Angelica bersedekap.
Stephanie tersenyum dingin. "Apa kau lupa kalau ibuku adalah sekretaris sekaligus asisten pribadi nona Elizabeth? Atau kau perlu kuingatjan lagi tentang itu?" tanyanya santai. "Ibuku slyang mengatur jadwal nona Elizabeth, dan selama ini tidak pernah ada jadwal nona Elizabeth yang dikunjungi keponakannya. Lagipula, bukankah keponakan nona Elizabeth tidak pernah ke kota kita?" Stephanie menatap seluruh teman-teman sekelasnya. Senyum puas terbit di bibirnya melihat mereka semua mengangguk. "Nona Elizabeth sendiri yang mengatakan kalau keponakannya tidak pernah ke sini. Baru sekali ini dan itu akan terjadi beberapa hari lagi."
"Kau benar sekali, Steph." Madison berdiri di samping Stephanie dan meletakkan lengan di bahu Stephanie. "Keponakan nona Elizabeth belum pernah ke kota kita, sekali pun. Bagaimana Angelica bisa berdiri bersama Sarah?"
"Di dalam mimpi mungkin?" celetuk Shane. Senyum mengejek menghiasi wajah tampan pemuda itu. "Jujur saja, Angelica. Akui kejalahannu dan berhenti mengatakan kebohongan kepada kami."
"Aku muak dengan kebohonganmu, Angie!" seru Stephanie keras.