Bab 4

2024 Kata
Brian tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan. Shane ada-ada saja, pikirnya. Namun memang tidak ada salahnya bertanya. Daripada nanti salah informasi dan tersebar. Tentu akan sangat merugikan bagi semua pihak. "Menurut kalian bagaimana rupa keponakan Nona Bryant?" tanya Stephanie dengan raut wajah penasaran. "Apakah gadis kota itu secantik Nona Elizabeth?" Brian mengangkat bahu. "Entahlah," jawabnya. "Aku belum pernah melihatnya." "Katanya di rumah Nona Bryant ada foto gadis itu," celetuk Shane. "Benarkah?" tanya Stephanie dengan bola mata melebar. Kentara sekali kalau gadis itu semakin penasaran. "Aku tidak pernah melihatnya." Stephanie menggeleng pelan. "Di mana letak foto itu? Apa kau pernah melihatnya, Bri?" Gadis itu menatap Brian. Sekali lagi Brian mengangkat bahu. "Aku benar-benar tidak tahu, Steph." Brian menghela napas. "Dan sungguh, aku benar-benar tidak peduli." Stephanie cemberut. Dia memang bukan gadis yang manja tetapi kalau sedang kesal tetap saja dia akan cemberut. Seperti sekarang. "Kau menyebalkan!" sungut Stephanie kesal dengan bibir meruncing. "Kukira kau tidak bisa cemberut seperti itu, Steph," komentar Shane. "Kukira selama ini kau bukan gadis manja." "Apa maksudmu?" tanya Stephanie berang. Dia paling tidak suka dikatakan sebagai gadis manja, karena pada kenyataannya dia tidak seperti itu. "Aku bukan gadis manja!" Brian berdecak. Lagi-lagi sepertinya Shane salah kata. "Mungkin maksud Shane bukan seperti itu, Steph," ucap Brian menengahi. "Mungkin Shane hanya ingin mengatakan kalau kau terlihat berbeda ketika cemberut." Shane mengangguk cepat. "Iya, maksudku seperti itu," ucapnya secepat anggukan kepalanya itu. Stephanie mendelik. "Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau katakan tadi, hah?" tanyanya kesal. "Dan kau!" Stephanie memutar kepala ke arah Brian. "Berhenti membela sahabatmu yang bodoh ini." "Hei, perhatikan mulutmu! Aku tidak bodoh!" protes Shane tidak terima dengan perkataan Stephanie. Mulut gadis itu benar-benar pedas. Shane heran, bagaimana dia bisa bersahabat dengan Stephanie. "Aku tidak membelanya, Steph," bantah Brian. "Aku hanya meralat perkataannya." "Apa bedanya!" sahut Stephanie jengkel. Wajah cantiknya masih saja menekuk. "Tidak ada!" Brian menghela napas panjang. Kedua sahabatnya memang sudah sering membuat keributan seperti ini, tetapi mereka juga sangat akur. Terutama dalam menghujat Angelica. Dan berbicara mengenai Angelica, Brian kembali teringat dengan gadis kota keponakan Nona Elizabeth yang sampai sekarang masih belum mereka tahu bagaimana rupa aslinya. Dan Brian kembali teringat dengan spanduk-spanduk yang tadi dilihatnya di sepanjang jalan menuju kafe ini. Spanduk untuk menyambut kedatangan gadis keponakan Nona Elizabeth. "Apa kalian melihat spanduk-spanduk yang dipasang orang-orang?" tanya Brian pada kedua sahabatnya yang masih berselisih. Shan dan Stephanie langsung menatap Brian. "Maksudmu spanduk-spanduk menggelikan itu?" tanya Shane. "Jadi menurutmu juga seperti itu?" Brian kembali bertanya. Shane mengangguk. "Tentu saja!" sahutnya cepat. "Dasar penjilat! Mereka yang memasang spanduk adalah orang-orang yang suka mencari muka di depan Nona Elizabeth." Stephanie ikut mengangguk. "Kau benar, Shane," ucapnya. "Orang-orang itu sangat menjijikkan." Gadis itu menggeliat jijik. "Kupikir hanya aku yang berpikiran seperti itu." Brian tersenyum kecut. Ternyata kalian juga." "Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran mereka." Stephanie menggeleng. "Kurasa tidak perlu memasang spanduk semenggelikan itu hanya untuk menarik perhatian Nona Elizabeth. Nona Elizabeth itu orang yang ramah kepada siapa saja, dia tidak pernah memilih dalam berinteraksi." Shane mengangguk. "Kuharap ibuku tidak meminta ayah untuk membuat spanduk penyambutan yang sangat-sangat tidak perlu itu " Brian tertawa. "Benarkah itu?" tanyanya. "Maksudku, ibumu ingin memasang spanduk?" Shane mengerang. "Aku berharap tidak, Bri. Jangan sampai ibuku mendengarnya, beliau akan mengira pemasangan spanduk sedang trend di kota kita. Kalian tahu kan bagaimana ibuku, sangat suka mengikuti trend yang menggelikan." Stephanie ikut tertawa. Sangat lucu baginya membayangkan saat Shane pulang ke rumah dan melihat rumahnya juga dipasangi spanduk. Mungkin Shane akan pingsan. "Kurasa keluarga Angelica juga memasang spanduk di depan rumahnya," ucap gadis itu. "Jadi kau tidak perlu khawatir, Shane, karena kau tidak sendiri." Tawa Stephanie pecah lagi. "Menurutmu begitu?" tanya Brian. Stephanie mengangguk. "Aku sangat yakin," jawabnya. "Kau sungguh sangat tidak lucu, Steph!" erang Shane kesal. "Lawakanmu parah dan hancur!" "Sayangnya aku tidak melawak," balas Stephanie santai. Gadis itu mengangkat bahu kemudian bersandar ke belakang dengan tangan bersedekap. "Astaga! Aku sangat benci semua ini!" Shane kembali mengerang kesal untuk yang entah keberapa kali. "Aku harap ibujuntidak mengikuti trend dadakan ini." "Kurasa kau sudah harus berdoa mulai sekarang," saran Stephanie terkikik. Shane mendelik kesal ke arah gadis itu. Melemparkan kembali kepada Stephanie bola-bola tisu yang tadi digunakan gadis itu untuk melemparinya. "Teruslah tertawa, Steph. Teruslah menertawakan kesialanku." Tawa keras Stephanie kembali pecah. Gadis itu menertawakan ekspresi Shane saat mengatakan dua kalimat itu. Wajah memelas Shane terlihat lebih lucu dari wajah seorang badut sekalipun. Brian kembali menggeleng kecil menyaksikan tingkah kedua temannya. Dia mengenal Darla Miller, ibu Shane. Perempuan gemuk yang cantik itu memang sedikit aneh, tetapi baik. Ibu Shane sangat menyukai hal-hal yang sedang trend di kota mereka. Apa pun itu dia pasti mengikutinya. Jadi wajar saja Shane khawatir kalau-kalau ibunya ikut-ikutan memasang spanduk karena mengira hal itu sedang trend. Padahal sebenarnya tidak. Orang-orang itu berinisiatif sendiri. Atau mungkin mereka yang memasang spanduk berpikir kalau mereka sedang melakukan sebuah persaingan. Entahlah. Asalkan orang tuanya tidak mengikuti hal-hal aneh dan gila yang dilakukan penduduk Grandville, dia tidak peduli. "Apa ibumu tidak ingin memasang spanduk juga, Steph?" tanya Shane. Stephanie menggeleng. "Untuk apa?" tanyanya balik. "Ibuku tidak peduli dengan hal-hal semacam itu. Pekerjaan ibuku saja sudah banyak. Kau tidak tahu seberapa padatnya jadwal Nona Elizabeth setiap harinya. Mereka berdua hampir-hampir tidak pernah beristirahat." Stephanie mengembuskan napas berat. "Kadang aku kasihan dengan ibuku, tetapi mau bagaimana lagi. Itu sudah pekerjaan ibuku." Brian menatap iba pada Stephanie. Gadis itu pasti sangat merindukan saat-saat bersama ibunya. Waktu Katherine Grace, ibu Stephanie, tersita untuk bekerja. Sebagai asisten pribadi Nona Elizabeth, ibu Stephanie memang harus selalu siap saat Nona Elizabeth membutuhkannya. Untungnya Nona Elizabeth seorang perempuan yang pengertian. Sebanyak apa pun pekerjaannya, Nona Elizabeth hanya akan bekerja saat hari kerja saja. Pada akhir pekan, walaupun masih ada pekerjaan, pasti libur. Dan waktu libur itulah yang digunakan Stephanie untuk bersama keluarganya. Saat akhir pekan, Stephanie tidak pernah terlihat berkumpul bersama teman-temannya. Gadis itu hanya akan bersama kedua orang tuanya. Kedua orang tua Stephanie memang bekerja pada Nona Elizabeth. Steven Grace, ayah Stephanie, adalah seorang yang dipilih oleh Nona Elizabeth untuk memimpin salah satu perusahaannya di kota ini. Sehingga hari libur benar-benar digunakan keluarga Grace untuk berkumpul. "Berhenti menatapku seperti itu, Bri!" Stephanie melemparkan bola-bola tisu baru pada Brian. "Aku tidak semenyedihkan itu sampai-sampai harus kau tatap dengan tayapan ibamu itu!" Brian mengangkat bahu. "Aku hanya kasihan padamu," sahut Brian cuek. "Kalau kau tidak mau dikasihani ya sudahlah." Shane mengerjap. Ia mengenal kedua sahabatnya ini dengan baik. Baik Brian maupun Stephanie, kedua orang tua mereka sama sibuknya. Anna Taylor, ibu Brian, pemilik sebuah butik ternama di kota mereka. Ibu Brian lebih sering berada di butiknya daripada berada di rumah, kecuali pada hari libur dan akhir pekan tentunya. Sementara Richard Taylor, ayah Brian, adalah seorang pengacara yang bekerja pada Nona Elizabeth. Ayah Brian adalah pengacara pribadi Nona Elizabeth. Pekerjaan ayah Brian memang lebih santai kalau dibandingkan dengan pekerjaan orang tua Stephanie. Namun ayah Brian juga lebih sering berada di kantornya pada hari kerja. Yang beruntung selalu bisa bersama ibu di rumah adalah dirinya. Ibunya bukan perempuan pekerja seperti ibu kedua temannya. Ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Ayahnya juga tidak seperti ayah kedua sahabatnya. Ayahnya hanyalah seorang pengawas proyek yang juga bekerja kepada Nona Elizabeth, mengawasi salah satu proyek pembangunan gedung di pinggir kota. Kata ayahnya, Nona Elizabeth ingin membangun sebuah pertokoan lagi di pinggir kota. Nona Elizabeth benar-benar ingin memajukan Grandville, di semua sektor. Pembangunan di Grandville dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Nona Elizabeth tidak akan membeli lahan yang masih produktif, perempuan itu membeli lahan atau bangunan yang sudah tidak terpakai. Di atas lahan biasanya akan dibangun tempat rekreasi. Sementara bangunan yang dibelinya direnovasi dan dijadikan pertokoan yang nantinya bisa digunakan penduduk untuk berdagang. Kota Grandville mengalami kemajuan yang pesat setelah Nona Elizabeth memutuskan untuk pindah ke kota mereka. Dan dari semua itu, Nona Elizabeth tetap mempertahankan keasrian kota. Hutan-hutan dilestarikan. Tidak boleh ditebang apalagi dihancurkan. Pokoknya Grandville adalah kota kecil yang makmur dan hijau. "Seharusnya kau bercermin dan tatap dirimu sendiri di dalam cermin itu dengan tatapan yang tadi kau berikan padaku!" saran Stephanie ketus. "Aku sudah sering melakukannya," jawab Brian. Jawaban yang membuat Shane dan Stephanie melongo dengan tidak elitnya. "Sungguh kau melakukan itu?" tanya Shane tak percaya. Brian mengangguk. "Aku selalu seperti itu setiap kali aku bercermin, setiap hari," jawabnya jujur. "Kecuali malam hari, karena orang tuaku ada di rumah pada malam hari." Shane menelan ludah susah payah mengengar pengakuan Brian. Ternyata, meskipun keluarganya tidak sekaya keluarga mereka, dan meskipun ibunya tidak seperti ibu-ibu mereka, dia lebih bahagia dibandingkan kedua temannya. Dia bisa berkumpul dan merasakan masakan ibunya setiap kali mereka makan. Juga disambut ibunya setiap kali dia pulang sekolah atau pulang dari bermain bersama kedua sahabatnya. Dia lebih beruntung dibanding mereka. "Shane, ibumu masak apa untuk makan malam?" tanya Stephanie. "Aku malas makan malam di rumahku, hanya aku sendiri." Stephani mengembuskan napas melalui mulut, kemudian kembali bersandar. "Aku ingin ikut makan malam di rumahmu saja," lanjutnya tanpa basa-basi. "Aku tidak tahu apa yang dimasak ibuku," jawab Shane jujur. "Aku tidak bertanya tadi." Shane menggaruk tengkuknya. "Bagaimana kalau kita makan malam di sini saja?" usul Brian. "Aku traktir kalian." "Padahal aku ingin makan malam di rumah Shane," sahut stephaie lemas. Namun ia tidak menolak tawaran Brian untuk makan malam di kafe tempat mereka berkumpul sekarang. "Bagaimana menurutmu, Shane?" tanya Brian. "Kau mau kan makan malam bersama kami malam ini?" "Terserah kalian sajalah," sahut Shane. "Aku menurut saja, tetapi aku harus menghubungi ibuku dulu, mengatakan kalau aku tidak makan malam di rumah malam ini." Brian mengangguk. Membiarkan Shane menghubungi ibunya dengan panggilan suara. Tak lama panggilan itu berakhir. "Bagaimana?" tanya Brian. "Apa ibumu mengizinkan kau makan malam bersama kami?" Shane mengangguk. "Iya," jawabnya. "Kata ibuku, untung aku cepat menghubungi, kalau tidak ibuku akan memasak sebanyak biasanya." Brian tertawa. Keluarga Shane memang seperti itu. Ibu Shane selalu menasak makanan sesuai jumlah orang yang makan di rumahnya. Entah karena mereka ingin menghemat atau apa, yang pasti ibu Shane tidak suka memanaskan masakannya, dia lebih suka memasak yang baru. "Kapan-kapan kalian harus makan malam lagi di rumahku," ucap Shane tersenyum. "Tentu saja!" sahut Stephanie cepat. Dia paling suka kalau makan di rumah Shane, masakan ibu Shane sangat enak. Berbeda dengan ibunya yang tidak bisa memasak. Seandainya saja bisa, dia ingin seperti keluarga Shane, selalu makan bersama. "Kau memang harus melakukannya," ucap Brian tertawa kecil. "Anggap saja kau membayar makan malam yang sekarang." Shane juga tertawa. "Tentu saja!" serunya. Brian mengangkat tangan memanggil pelayan. Mereka akan memesan. Sebentar lagi waktunya makan malam. Pantas saja keadaan kafe semakin ramai. Ketiga kafe yang berada di Grandville memang selalu dipadati pengunjung. Para anak muda dan pekerja yang baru pulang dari kantor atau toko mereka biasanya memadati kafe, untuk sekedar makan dan minum ataupun menghibur diri setelah seharian bekerja. Bagi para anak muda, mereka biasanya berpasangan dengan kekasih mereka. Bagi yang tidak memiliki pasangan akan menghabiskan waktu bersama teman-teman, seperti mereka bertiga. "Kalian tahu apa yang Kusuka dari kafe ini?" tanya Shane pada kedua temannya. Brian dan Stephanie hanya menggeleng sebagai jawaban. Mereka tidak bersuara, mulut mereka sedang penuh. Sangat tidak sopan berbicara saat mulutmu penuh bukan? "Pizza ini tentu saja!" Shane tertawa sambil mengangkat sepotong pizza, sebelum memasukkan potongan itu ke mulutnya. Stephanie mengangguk membenarkan perkataan Shane. Pizza di cafe ini paling enak, lebih enak dari pizza yang dijual di kedai pizza. "Aku setuju," sahut Brian begitu mulutnya sudah kosong. "Pizza di sini memang yang paling enak, tetapi kita tidak boleh terus memakan makanan cepat saji." Stephanie mengangguk lagi. "Tapi aku sangat suka," jawabnya setelah menelan pizza di mulutnya. "Aku sering meminta sopir keluargaku untuk membelikanku pizza di sini." "Pantas saja kau gendut!" ucap Brian spontan. Stephanie mengurungkan niatnya untuk menggigit sepotong pizza lagi. Gadis itu menatap Brian dengan mata yang melebar. "Apa katamu?" tanya Stephanie galak. "Ulangi sekali lagi!" pintanya. "Kau gendut!" ulang Brian dengan berani. Dia tidak bermaksud untuk menantang Stephanie, dia hanya bercanda. Namun Brian tidak tahu kalau kata gendut sangat terlarang untuk dikatakan di depan kaum perempuan. "Habislah kau, Bri," ucap Shane menelan ludah kasar. "Rip!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN