"Aku muak dengan kebohonganmu, Angie!" sentak Stephanie keras. "Tidak bisakah sekali saja kau berkata jujur?"
Wajah Angelica memerah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Stephanie. Terlalu kurang ajar baginya. Dia memang berbohong saat mengatakan mengenal keponakan nona Elizabeth tetapi tidak perlu mempermalukannya seperti ini juga kan? Angelica menatap tajam pada Stephanie, yang dibalas Stephanie dengan tatapan santai.
"Kenapa kau diam?" tanya Stephanie dingin. "Dan tatapanmu itu, apa-apaan?" Senyum mengejek terbit di bibir Stephanie yang tidak dipoles apa-apa.
"Kurasa aku tahu kenapa." Madison yang menjawab. "Karena dia sudah tidak memiliki kata-kata lagi untuk menyangkal. Semua kebohongannya terbongkar sekarang!"
Bukan hanya senyum mengejek yang dilayangkan Madison tetapi juga tatapan mencemooh, yang membuat Angelica semakin marah. Angelica yakin, Stephanie dan Madison sudah bersekongkol untuk menjatuhkan dan mempermalukannya. Kedua gadis yang tidak populer itu pasti iri dengannya. Tentu saja karena dirinya lebih populer dibandingkan mereka. Lalu Shane, pemuda berkasta rendahan itu juga bersekongkol dengan Stephanie dan Madison untuk membuatnya terjatuh. Namun mereka tidak akan bisa, dia masih memiliki orang-orang yang akan membela dan percaya padanya.
"Aku tidak peduli dengan kebohonganmu yang lain itu. Aku hanya ingin kau memberikan aku bukti yang kuminta itu. Sekarang, mana fotonya?" desak Shane. Tangannya terulur di depan Angelica, siap menerima barang yang akan diberikan gadis itu seperti permintaannya. "Kau pasti membawanya bukan?"
"Ini juga yang kutunggu!" sambar Madison semangat. Sejak tadi dia sudah menunggu saat ini, dia ingin tahu alasan apa lagi yang akan dikatakan Angelica untuk menutupi kebohongannya.
Kedua tangan Angelica mengepal di sisi tubuhnya. Matanya memicing menatap Madison dan Shane bergantian. Seandainya mata biru itu bisa mengeluarkan sinar laser, sudah pasti Shane dan Madison telah tertembus sinar laser itu. Namun baik Shane maupun Madison tidak takut. Mereka hanya meminta sesuatu yang dijanjikan Angelica.
"Kau tidak memiliki foto seperti yang kau katakan kemarin bukan?" Pertanyaan Shane semakin menyudutkan. "Sudahlah, Angelica. Akui saja kalau kau memang tidak memilikinya. Kau hanya berbohong kemarin saat mengatakan kalau kau mengenal keponakan nona Elizabeth." Shane kembali tersenyum mengejek.
"Bagaimana dia bisa mengenal dan berfoto bersama dengan orang yang tidak pernah ditemuinya?"
Angelica menatap Stephanie penuh permusuhan. Kata-kata yang diucapkan Stephanie lebih menyebalkan dari kata-kata yang dilontarkan Shane dan Madison.
"Sarah Bryant belum pernah ke kota kita sebelumnya, begitu juga dengan Angelica."
Saat mengatakan sudah muak dengan semua kebohongan yang diucapkan Angelica, Stephanie tidak berbohong. Karena Angelica tidak mengakui juga kebohongannya itu, dia berniat untuk membongkar salah satu kebohongan Angelica yang terbaru. Yaitu tentang kedekatannya dengan Sarah Bryant.
"Mungkin tidak banyak yang tahu kalau Angelica dan kekuarganya tidak pernah keluar kota, Paman Arnold tidak mengizinkannya." Senyum mengejek kembali menghiasi bibir Stephanie. "Hanya orang-orang yang cukup dekat dengan keluarga mereka saja yang mengetahui hal itu. Lalu, yang menjadi pertanyaanku adalah, bagaimana mungkin dua orang yang tidak pernah bertemu bisa berfoto berdua? Bisa kau jelaskan, Angelica?"
Stephanie sengaja meminta Angelica untuk berbicara. Bukan hanya Madison dan Shane yang menginginkan kejujuran Angelica, dia juga menginginkannya.
Angelica meneguk ludah kasar. Mulutnya masih bungkam dengan bibir yang tertutup rapat. Otaknya mengekang kemana-mana, dia harus menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Stephanie dan antek-anteknya.
"Kenapa masih diam, Angelica? Ayolah!" Shane semakin memaksa. "Jangan hiraukan Stephanie. Taruhanmu hanya denganku bukan dengan Stephanie atau Madison atau siapa pun. Kau fokus saja padaku, jangan pedulikan mereka. Berikan saja foto yang kuminta dan kau bisa terbebas dari tuduhan sebagai seorang pembohong!"
Shane sengaja menekankan kata terakhirnya. Dia hanya ingin Angelica menyadari kalsu apa yang dilakukannya itu salah. Kepopuleran memang tidak salah. Yang salah adalah jalan yang dipakai Angelica untuk mendapatkan kepopuleran itu.
Angelica menatap Shane tajam. Dagunya kembali terangkat angkuh. "Aku tidak membawa foto yang kau minta!" ucapnya ketus. "Untuk apa aku membawanya ke sekolah? Tidak penting juga aku harus menunjukkannya padamu."
"Benarkah?" tanya Shane dengan kedua alis terangkat. "Bukan karena kau tidak memilikinya?"
Wajah Angelica kembali memerah. Perkataan Shane barusan menamparnya. Angelica menggeram tertahan dalam hati. Shane memang sangat kurang ajar! Bagi Angelica, Shane sangat tidak tahu malu. Pemuda itu tidak menyadari statusnya yang hanya putra seorang pengawas proyek.
"Sudahlah, Shane!" Stephanie berdecak. "Dia tidak akan mau menunjukkannya. Well, maksudku Angelica tidak bisa menunjukkannya pada kita karena dia tidak memilikinya. Angelica hanya berbohong pada kita, dia sebenarnya tidak mengenal Sarah Bryant. Jangankan mengenalnya, tahu bagaimana rupa Sarah Bryant saja dia tidak tahu." Stephanie menatap Angelica datar. "Akui saja kebohonganmu, Angelica. Kurasa itu lebih baik daripada salah satu dari mereka mengetahui kebenaran yang sesungguhnya." Stephanie melayangkan tatapan ke arah teman-teman satu sekolahnya yang sudah memenuhi kelas mereka.
Suara berdengung datang dari para siswa yang mengerubungi mereka. Angelica melirik semua teman-temannya itu dengan ekor matanya. Mereka mereka semua, Angelica semakin meyakinkan dirinya untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.
"Kurasa dia tetap tidak akan mengatakan apa-apa kecuali nona Elizabeth atau keponakannya sendiri yang membongkar kebohongan Angelica." Madison tertawa geli. "Aku tidak dapat membayangkan kakau hal itu benar-benar terjadi."
Shane memutar bola mata. Kedua sadis temannya sangat senang menyerang psikis seseorang. Shane tidak ingin berurusan dengan para gadis, mereka berbahaya.
"Berhentilah, Nona-nona!" tegur Shane. "Biarkan Angelica menunjukkan fotonya padaku. Maksudku pada kita semua," ralat Shane.
Stephanie memutar bola mata kesal. Siapa pun yang mendengar perkataan Shane pasti tahu kalau pemuda itu juga mempermainkan Angelica. Shane menyerang Angelica secara lembut, tidak kasar seperti dirinya dan Madison. Sungguh Stephanie hanya ingin Angelica mengakui kebohongannya kali ini. Dia tidak akan memaksa lagi seandainya Angelica mau melakukannya.
Stephanie mengembuskan napas kesal. "Terserah kau sajalah!" sahut Stephanie mengangkat bahu. "Yang penting Angelica mau jujur."
Angelica mendelik tajam ke arah Stephanie.
"Apa?" tanya Stephanie pada Angelica melihat delikan itu. "Kau pikir aku takut denganmu? Sama sekali tidak! Aku tidak pernah peduli dan takut padamu, Angelica. Kau hanya seorang gadis manja yang sangat menjunjung tinggi kepopuleran."
"Dan kau hanyalah seorang gadis yang selaku iri dengan semua yang kudapat!" balas Angelica.
Stephanie mengangkat bahu. "Kau bisa memakan kepopuleranmu itu. Aku tidak peduli," sahutnya.
"Tentu saja kau tidak peduli, karena kau memang tidak populer. Juga tidak ada yang peduli denganmu." Angelica berkacak pinggang. Dagunya kembali terangkat menatap Stephanie. "Kau itu pada kepopuleran yang kudapat."
Madison tertawa keras mendengar itu. Saking kerasnya sampai-sampai sudut matanya berair. Madison mengusapbya dengan tisu yang selaku tersedia di saku seragamnya.
"Astaga!" Madison menggelengkan kepala. "Kukira kau hanya seorang pembohong, Angelica. Tidak tahunya kau juga pembual." Madison kembali tertawa dengan kepalanya yang terus menggeleng.
"Aku...!"
"Angelica!"
Angelica dan semua mata menatap ke arah sumber suara. Brian ternyata sudah turun dari atas meja Shane yang didudukinya. Dengan langiah tegap Brian menghampiri Angelica.
"Aku mohon berhentilah membohongi teman-teman kita," pinta Brian lembut dan manis. "Beberapa dari kami sudah tahu kebenarannya. Jangan membuat diriku maku seperti yang sudah-sudah. Akui saja pada Shane kalau kau kalah. Katakan pada semuanya kalau kau tidak memiliki foto itu. Katakan kau hanya membohongi mereka."
"Brian, kau juga menuduhku seperti itu?" tanya Angelica tidak percaya. Kedua tangannya terangkat menutup mulutnya yang terbuka. Kepalanya menggeleng kuat. "Aku tidak berbohong. A-aku ... aku hanya ...." Bola mata Angelica bergerak liar, menatap ragu pada seluruh teman-temannya yang masih memadati kelas mereka.
"Kau apa?" sambar Shane tak sabar. "Kau berbohong begitu?"
"Tidak!" teriak Angelica tertahan. "Aku hanya bercanda! Iya, benar, Teman-teman, aku hanya bercanda. Aku tidak serius kemarin itu." Angelica mengangguk beberapa kali, meyakinkan teman-teman mereka atas perkataannya.
"Astaga!" Stephanie menggeleng pelan. "Begitu sulitkah bagi dirimu untuk mengakui kebohongan itu?" tanyanya kesal.
"Angelica, aku mohon...."
"Aku tidak berbohong, Bri!" potong Angelica cepat. Bagaimanapun caranya dia tidak boleh ketahuan kalau telah berbohong. "Aku sungguh-sungguh hanya bercanda. Teman-teman, kalian percaya padaku bukan? Apa aku pernah membohongi kalian?" tanyanya kepada kerumunan teman-temannya.
"Sering!" seru seorang siswa laki-laki. "Kau terlalu sering membohongi kami, Angelica Brown!"
Kevin Ronald, siswa laki-laki yang berbicara tadi maju dan berdiri di dekat Stephanie. Kevin juga merupakan salah satu orang yang tidak menyukai Angelica. Kevin sering menyangkal semua yang dikatakan oleh Angelica.
"Kau sudah terlalu sering berbohong, Angelica," ucap Kevin. "Tidakkah kau malu?"
"Dia sudah tidak memilikinya," celetuk Madison. "Urat malunya sudah putus."
Tawa bukan hanya menghambur dari mulut Madison, tetapi juga dari siswa-siswa lain yang juga tidak menyukai Angelica. Seluruh siswa yang kontra dengan tingkah Angelica saking berbisik dan menyoraki Angelica. Mereka ingin Angelica mengakui semuanya.
"Brian, aku mohon percaya padaku!" pinta Angelica dengan wajah memelas. Kedua tangannya memeluk lengan Brian, mengguncang-guncangnya pelan, meminta pemuda itu memercayai perkataannya. Angelica tidak peduli dengan pendapat siswa yang lain, yang terpenting baginya adalah pendapat Brian. Dia ingin mendapatkan kepercayaan pemuda itu. "Aku sungguh tidak berbohong."
Brian mengembuskan napas lelah melalui mulutnya. Mata birunya menatap dalam mata Angelica yang sewarna matanya. Brian menemukan ketakutan berpendar di mata Angelica. Takut dan malu. Dia memang tidak bisa membaca pikiran seseorang, dan dia bukan orang yang percaya dengan hal-hal semacam itu. Namun dia dapat mengetahui apa yang dirasakan seseorang dari matanya. Oh ayolah, jangan mengira kalau Brian itu seorang cenayang atau seseorang yang memiliki kelebihan atau apa pun, karena semua itu tidak benar. Semua orang dapat melakukan seperti yang dilakukannya, itu hal yang sangat mudah. Kau hanya perlu melihat pergerakan matanya. Kalau bola matanya bergerak liar, itu tandanya si pemilik mata sedang ketakutan ataupun malu. Hal itu yang dialami Angelica saat ini. Kalau mata seseorang berbinar, itu tandanya dia sedang bahagia. Lihat, semudah itu kan? Kau tidak perlu memiliki kekuatan apa-apa hanya untuk mengetahui perasaan seseorang.
"Aku tidak mengerti apa yang ada dalam pikiranmu, Angelica. Untuk apa kau mempertahankan kebohonganmu?" tanya Brian.
Habis sudah. Dia sudah tamat. Brian juga tidak memercayainya. Brian bahkan ikut menyudutkannya. Seharusnya dia sudah tahu, Brian adalah sahabat Stephanie dan Shane, tentu saja Brian berada di pihak mereka.
"Kau juga tidak percaya padaku?" tanya Angelica serak. Dia sudah hampir menangis. Apalagi melihat gelengan kepala Brian, mata Angelica langsung berkaca-kaca. Sebenarnya sudah dari awal tadi dia ingin menangis. Hanya saja dua menahannya. Rasa malu dan takut yang menyerangnya membuat dadanya terasa sesak. Jadi, air mata yang keluar sekarang ini hanyalah sebuah kamuflase belaka.
Sayangnya Brian tidak tersentuh melihat air mata itu. Dia terlalu mengenal Angelica, sehingga dia tahu kalau air mata angekica adalah sejenis air mata buaya.
"Maafkan aku, Angelica," ucap Brian menyesal. "Tapibaku memang tidak percaya padamu. Semua yang kau katakan! Apa kau tidak kapok dengan semya kebohonganmu yang telah terbongkar? Tidakkah kau malu dengan semua itu?" tanyanya.
Angelica menggeleng. Dia tidak peduli dengan semua itu. Yang penting baginya selain Brian adalah popularitas. Dia harus mendapatkan semua itu dengan cara apapun. Meskipun harus berbohong dia tidak peduli.
"Kenapa aku harus malu?" tanya Angelica dengan tangan mengusap air matanya kasar. "Aku tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum. Satu lagi, aku terkenal! Hanya pemuda bodoh yang menolakku!"
Brian tersenyum masam. Dia tahu siapa yang dimaksudkan Angelica, gadis itu sedang menyindirnya. Namun apakah dia peduli? Jawabannya adalah tidak! Dia tidak menyukai Angelica, maksudnya dalam arti khusus. Duabtidak memikik perasaan apa pun kepada Angelica. Perasaan adalah sesuatu yang tidak dapat dipaksakan. Dia masih belum tahu kepada siapa hatinya nanti akan berlabuh. Untuk saat ini dia masih belum menemukan gadis yang bisa membuatnya berdebar. Dan saat menemukan gadis itu, sungguh Brian berharap kalau gadis itu bukanlah Angelica.
"Hanya pemuda bodoh yang menerima gadis yang selaku hetbohing demi mendapatkan sebuah popularitas!" balas Brian kalem. Senyum mengembang di wajah tampannya. Membuat gadis-gadis yang mengidolakannya memekik tanpa suara.
Stephanie tertawa kecil melihat wajah Angelica yang semakin memerah akibat perkataan Brian.
"Kau yang terbaik!" pujinya lirih sambil menyenggol lengan pemuda itu.
Brian hanya mengangkat bahunya sebagai tanggapan. Menurutnya apa yang dikatakannya tadi bukanlah sesuatu yang baik, dan pujian yang diberikan Stephanie padanya salah tempat.
Angelica mendengus. Kekesalannya semakin memuncak melihat Stephanie membisiki Brian. Entah apa yang dilihat Brian pada diri Stephanie sehingga Brian lebih suka bergaul dengan gadis yang menurutnya sangat menyebalkan itu. Semua orang juga tahu kalau dirinya lebih baik dari Stephanie yang tomboi.
"Baiklah! Aku akui kalau aku memang berbohong pada kalian soal keponakan nona Elizabeth," ucap Angelica lantang. Dia mengubah keputusannya setelah mendengar kata-kata yang diucapkan Brian. Dia berharap semoga Brian lebih dekat dengannya daripada dengan Stephanie setelah dia berkata jujur. "Aku tidak mengenal dan tidak pernah bertemu dengan gadis itu. Aku mengatakannya hanya agar kalian lebih memilih berteman denganku daripada ...." Jeda. Angelica tidak melanjutkan perkataannya. Hanya matanya saja yang menatap Stephanie dengan tatapan mengejek. "Kurasa tidak perlu disebutkan kalian sudah tahu dia siapa."
Kembali bisik-bisik terdengar dari kerumunan. Angelica memutar bola mata melihatnya. Kaki jenjangnya melangkah mendekat ke arah Brian dan Stephanie.
"Kalian sudah puas?"