"Apakah kalian sudah puas?"
Angelica menatap Shane dan Shane serta Madison dan Kevin dengan wajah memerah. Bukan hanya wajahnya saja yang memerah tetapi matanya juga. Bahkan mata biru itu berkaca-kaca, Angelica sudah tidak dapat lagi menahan air matanya. Brian yang biasanya hanya diam sekarang juga ikut-ikutan menyudutkannya.
"Aku memang berbohong saat mengatakan keponakan nona Elizabeth dan aku berteman, tetapi itu untuk saat ini. Nanti, kalau dia sudah tiba di sini, aku yakin kalau kami pasti akan menjadi teman akrab." Angelica mengahapus air matanya sebelum keluar dari kelas diikuti oleh Megan dan Zara.
Stephanie mengembuskan napas panjang, lega. Senyum mengembang di bibirnya yang tanpa pewarna. Namun dari caranya tersenyum Brian tahu kalau ada rasa khawatir akan apa yang terjadi pada Angelica. Meskipun tidak akur dan selalu terlihat bermusuhan, tetapi mereka dan Angelica sejak kecil selaku bersama. Mereka berteman dan dekat. Hanya saja Angelica yang memang sejak kecil sudah manja dan egois, selalu bertentangan dengan Stephanie yang santai. Dan dia lebih memilih berteman dengan Stephanie karena itu.
Angelica yang semakin besar semakin menunjukkan kesombongannya, membuat mereka semakin menjauhinya. Terlebih lagi Angelica selalu ingin menjadi nomor satu. Demi itu Angelica akan melakukan apa saja, termasuk berbohong sekalipun. Kebohongannya bukan hanya sekali ini, terungkap juga bukan sekali ini. Namun anehnya Angelica tidak pernah kapok apalagi jera.
"Kurasa aku memenangkan taruhan."
Perkataan Shane memecah kebisuan yang terjadi di kelas mereka. Entah siapa yang memulai dan karena apa, kelas mereka yang dipenuhi oleh puluhan siswa mendadak hening setelah Angelica keluar tadi. Tak ada uang bersuara, sampai-sampai mereka dapat mendengar suara jam dinding yang berdetak.
Brian mengangguk. "Yeah," sahutnya dengan senyum menghiasi wajah. "Kau pemenangnya."
"Sudah kuduga dia berbohong," ucap Madison. "Dan apa katanya tadi, mereka akan menjadi teman? Yang benar saja!" Madison menggeleng.
"Tidak ada seorang pun yang mau berteman dengan pembohong," celetuk Stephanie. "Kurasa Sarah Bryant juga seperti itu. Aku yakin dia cukup pintar untuk tidak berteman dengan gadis seperti Angelica."
"Kurasa juga begitu," sahut Madison. "Astaga! Aku tidak percaya kalau dia masih bisa berkata seperti itu. Dasar tidak punya malu!" Madison menggeram kesal.
"Tapi aku juga kasihan pada Angelica." Stephanie melangkah kembali ke kursinya. "Dia rela berbohong agar menjadi nomor satu."
Madison hanya mengangkat bahu. "Aku tidak peduli dengan hal itu," dengusnya. "Well, karena semua sudah selesai kurasa aku akan pergi ke kantin. Begaimana dengan kalian?" tanya gadis itu.
Stephanie menggeleng. "Aku rasa aku akan tetap di sini dulu," sahutnya. "Bagaimana dengan kalian?" Stephanie menatap Brian dan Shane bergantian.
"Kurasa aku akan di sini juga bersamamu, Steph," jawab Brian. "Aku tidak bersemangat ke kantin siang ini."
Shane juga demikian. Meskipun lapar tetapi dia sangat enggan untuk ke kantin.
"Aku juga sedang malas untuk kemana-mana," ucap Shane. "Aku akan di sini saja sementara waktu."
Madison menghela napas, mengembuskannya pelan melalui mulut. Dia memang tidak begitu dekat dengan ketiga orang ini. Meski keluarganya juga merupakan salah satu keluarga berada dan bekerja pada nona Elizabeth juga sama seperti yang lain, tapi tempat tinggalnya agak berjauhan dengan mereka. Karena itu dia tidak berteman akrab dengan Brian dan Stephanie, apalagi Angelica. Khusus untuk Brian, dia memang mencoba untuk lebih dekat lagi. Gadis mana yang tidak tertarik pada pemuda tampan dan rendah hati seperti Brian? Hanya gadis buta yang bodoh, dan dia bukan termasuk tipe itu.
"Baiklah, kalau begitu pergi dulu. Perutku minta diisi." Madison meringis. "Sampai nanti!"
Stephanie menatap kepergian Madison. Sampai gadis itu menghilang di balik pintu kelas yang terbuka lebar barulah dia mengalihkan pandangan. Stephanie kembali ke kursinya, diikuti oleh Brian dan Shane. Kedua pemuda itu duduk di kursinya masing-masing. Hening tercipta di antara mereka. Masing-masing dari ketika remaja itu tak ada yang mau bersuara. Mulut-mulut mereka tertutup rapat. Terus seperti itu sampai beberapa saat berikutnya, sampai Stephanie membuka suara.
"Baru pertama kali aku melihat Angelica menangis," ucap Stephanie lirih. Namun masih bisa didengar oleh Brian dan Shane.
Brian mengangguk mengiakan. Sementara Shane yang memang tidak dekat dan tidak menyukai Angelica hanya diam, tapi dalam hati Shane membenarkan apa yang dikatakan Stephanie. Beberapa tahun satu sekolah dan satu kelas dengan Angelica, tidak pernah sekalipun Shane melihatnya menangis. Walau kebohongannya terbongkar Angelica selalu memikiki alasan untuk membela diri dan tetap angkuh seperti biasanya. Namun tadi si sombong itu menangis. Siapa pun pasti melihat luka yang menganga di mata birunya itu.
"Dan kurasa itu karena kau, Bri," sambung Stephanie menatap Brian.
Brian mengernyit. Bukan karena tatapan kosong Stephanie tetapi juga karena perkataan gadis itu.
"Apa maksudmu?" tanya Brian tanpa menyembunyikan kebingungan dalam suaranya.
Stephanie mengangguk. "Biasanya kau hanya diam saja, tidak pernah ikut berbicara saat aku atau Madison atau teman yang lain membongkar kebohongan Angelica. Tetapi tadi kau juga ikut bicara, kau juga memintanya untuk jujur." Stephanie menjilat bibirnya yang terasa kering. "Aku yakin itu yang membuat Angelica menangis. Dia merasa kau juga memojokkannya."
Brian mengusap wajah, punggungnya bersandar pada kepala kursinya. "Aku hanya ingin dia jujur, Steph. Itu saja!" Kepala pirang Brian menggeleng pelan. "Aku tidak bermaksud menyudutkannya. Tadi itu dia sangat keras kepala tidak mau mengaku, dan aku tidak bisa tidak ikut bersuara."
"Aku mengerti hal itu," sahut Stephanie. "Tetapi Angelica itu menyukaimu dan kurasa sangat menyakitkan ketika orang yang kita sukai juga ikut menyudutkan kita."
Brian menggeleng. "Aku tidak menyudutkannya!" bantahnya. "Aku hanya...."
"Aku tahu itu!" potong Stephanie. Matanya membelalak ke arah Brian. "Tapi bagi Angelica memang seperti yang itu!"
Shane terkikik. Siapa pun orangnya tidak akan bisa menang melawan Stephanie dalam adu debat, termasuk Brian. Stephanie selalu menang. Saat berdebat, aura d******i Stephanie terlalu kuat.
"Sudah kubilang bukan, kalau Angelica itu menyukaimu!" sambung Stephanie dengan mata memicing.
"Semua orang juga sudah tahu itu, Steph," sahut Shane. "Kau tidak perlu mengulang-ulang lagi."
Sekarang tatapan membunuh Stephanie mengarah kepada Shane, membuat pemuda itu meneguk ludah kasar. Shane merasa dia tidak melakukan atau menyebut sesuatu yang salah.
"Semua orang sudah tahu kecuali Brian yang tidak peka!" ketus Stephanie.
"Aku tahu kalau masalah itu," celetuk Brian, tetap santai meskipun Stephanie terlihat ingin mengulitinya. "Hanya saja kurasa semua ini tidak ada hubungannya dengan itu. Masalah kebohongan Angelica dan rasa sukanya padaku adalah dua hal yang berbeda. Tidak bisa disangkutpautkan."
Stephanie mendengus. Brian selalu menggunakan otak pintarnya dalam setiap perdebatan, bahkan perdebatan tidak penting mereka seperti sekarang ini.
"Dan aku tidak merasa bersalah sama sekali atas tangisan Angelica meskipun kalian mengatakan aku penyebab dia menangis," lanjut Brian.
Stephanie memutar bola mata. "Tidak ada yang menyalahkanmu, Bri. Aku hanya mengatakannya saja."
"Brian, bagaimana kalau setiap kali Angelica berbohong kau saja yang memintanya untuk jujur?" usul Shane. Yang membuat Shane kembali mendapatkan tatapan membunuh. Kali ini bukan hanya dari Stephanie melainkan juga dari Brian. "Apa? Aku hanya mengusulkan saja!" Shane membela diri.
"Usulmu tidak diterima!" seru Brian dan Stephanie bersamaan.
"Aku tidak mau berurusan dengan gadis jadi-jadian seperti Angelica!" sambung Brian bergidik.
Tawa langsung menghambur dari mulut Stephanie dan Shane. Perumpamaan tentang Angelica yang disebutkan Brian terdengar sangat lucu di telinga mereka.
"Aku setuju soal gadis jadi-jadian ini," ucap Stephanie di sela tawanya dengan kepala yang bergerak turun-naik beverapa kali.
"Angelica merasa kalau dia jelmaan boneka barbie bukan?"
Stephanie dan Shane mengangguk hampir bersamaan. Tawa mereka masih terdengar meski tidak sekeras tadi.
"Sebutan apalagi yang cocok bagi Angelica selain gadis jadi-jadian?" tanya Brian dengan sebelah alis terangkat.
"Gadis plastik kurasa juga cocok," jawab Shane.
Tawa keras Stephanie kembali menggema. Gadis jadi-jadian dan gadis plastik untuk Angelica, benar-benar lucu baginya. Sekarang ruang kelas yang hanya diisi oleh tiga orang murid itu menjadi berisik oleh tawa mereka. Kalau tadi mereka hanya berdiam sekarang ketiganya sudah kembali seperti sediakala.
***
Ruang kesehatan itu dikunci dari dalam. Tak boleh ada seorang siswa pun yang memasukinya di saat Angelica berada di dalam ruangan. Hampir seluruh siswa sudah mengetahui hal itu. Seperti saat ini, ruangan yang seharusnya diperuntukkan bagi siswa yang terluka ataupun sakit, sekarang diisi oleh Angelica yang katanya sedang sakit.
Angelica yang ditemani kedua ajudannya, Megan dan Zara, meringkuk di salah satu ranjang yang beradavdi sudut ruangan. Kedua kakinya diangkat, ditekuk, dan dipeluk. Sementara wajahnya disembunyikan di antara kedua lutut yang dipeluk tadi. Megan dan Zara hanya bisa diam. Mereka tidak tahu harus berbuat apa untuk menghentikan tangis Angelica. Kedua gadis itu hanya berdiri mematung di depan ranjang. Menyentuh Angelica pun mereka tidak berani.
Angelica sendiri tidak memedulikan kedua temannya itu. Dia hanya ingin menangis. Dadanya sangat sesak dengan apa yang Brian lakukan. Setiap mengingat apa yang dikatakan pemuda itu, hatinya terasa teriris. Sangat perih. Brian kembali dengan terang-terangan menolaknya, di depan teman-teman sekolah mereka. Rasa malu yang dirasakan Angelica menjadi berlipat-lipat.
Namun semua itu tidak dapat membuatnya membenci Brian. Dia terlalu menyukai pemuda itu, sejak mereka kecil sampai sekarang rasa sukanya tidak berubah, tidak juga berkurang malah semakin bertambah. Sementara Brian semakin menjauhinya. Entah apa yang membuat Brian seperti itu, padahal dia gadis sempurna, tanpa ada kekurangan sedikitpun. Sepertinya dugaannya tentang Stephanie benar. Pasti gadis itu yang menjelek-jelekannya di depan Brian sehingga Brian semakin menjauhinya.
Sejak kecil Angelica sudah tidak menyukai Stephanie. Brian lebih suka bermain dengan Stephanie yang tidak ada cantiknya sama sekali. Stephanie sejak kecil tomboi, rambutnya juga tidak pernah panjang seperti dirinya. Rambut Stephanie selalu saja sebatas bahu dan diikat ekor kuda. Terlihat dekil karena tidak pernah berdandan. Namun Brian sangat dekat dengan Stephanie, dia tidak pernah berhasil memisahkan mereka. Lalu tadi ada Madison, saingan utananya dalam memperebutkan hati Brian. Madison tadi berdiri berdampingan dengan Brian, dan itu sangat menyakitkan baginya. Dia tidak rela.
Angelica mengangkat kepala. Mengusap air mata kasar menggunakan punggung tangannya. Kedua tangan itu mengepal setelahnya. Dia kesal pada Brian, marah pada Stephanie, benci pada Shane dan Madison. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa pada mereka. Jujur, dia takut. Selama ini dia hanya berpura-pura berani. Bagaimanapun dia juga seorang perempuan, bukan anak laki-laki.
Kepala Angelica kembali tersembunyi di kedua lututnya. Air matanya kembali mengalir. Tidak biasanya memang dia seperti ini. Dia tidak pernah menangis saat di sekolah, ini yang pertama. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan lawan maupun pemujanya. Namun kali ini pertahanannya runtuh. Hanya karena kata-kata yang keluar dari mulut Brian. Pemuda itu seolah jijik padanya.
Rasanya Angelica ingin berteriak sekarang. Dia juga sangat ingin menghancurkan dan melempar barang-barang yang ada di ruangan ini. Saat sedang seperti ini, kalau di rumah biasanya dia akan melemparkan semua barang di kamarnya sampai dia merasa lega. Tidak peduli semua barang itu hancur ataupun rusak. Namun sekarang dia berada di sekolah, tidak mungin melempar properti milik sekolah. Dia tidak mau didenda apalagi kalau sampai dihukum. Nama baiknya akan tercoreng kalau sampai itu terjadi. Bisa-bisa penggemarnya menjauh. Tidak! Angelica menggeleng memikirkan itu semua. Dia tidak mau itu terjadi. Sungguh dia tidak sanggup tanpa para pemujanya.
"Angelica, bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Zara hati-hati. Dia tidak ingin membuat mood Angelica yang hancur menjadi lebih hancur lagi. "Apakah sudah baikan? Aku mohon berhenti menangis. Hatiku ikut sakit melihatmu terus menangis seperti ini."
Megan mengerjap mendengar perkataan Zara, mulutnya terbuka membentuk huruf O. Megan tidak percaya kalau kata-kata murahan itu terlontar dari mulut Zara. Memang Zara itu bodoh, Angelica mau berteman dengannya karena Zara bisa disuruh-suruh tanpa protes. Well, bukan hanya Angelica yang seperti itu, dia juga sering memanfaatkan Zara. Sayang rasanya tidak ikut menyuruh-nyuruh Zara. Lagipula Zara tidak pernah menolak.
"Astaga, Zara! Tidak bisakah kau menghibur Angelica dengan kata-kata yang lebih baik?" tanya Megan kesal. Kepalanya menggeleng pelan beberapa kali.
Zara mengerjap. Dia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Megan. Apakah kata-katanya tidak baik? Tapi menurutnya sudah sangat baik. Lalu kata-kata yang baik menurut Megan itu bagaimana?
"Sudahlah!" Megan mengibaskan tangan kacau. Duduk di ranjang yang diduduki Angelica, Megan memberanikan diri menyentuh tangan gadis itu. "Angelica, jangan menangis lagi. Kau harus membalas mereka, bukan menangis dan membiarkan."
Angelica kembali mengangkat kepala, menatap Megan dengan linangan air mata. Megan benar, dia tidak boleh menangis. Dia itu idola, tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan para penggemarnya.
"Kau benar, Megan. Tidak seharusnya aku menangis. Hanya saja aku sangat kesal pada Brian. Apa kekuranganku sehingga dia terus saja menolakku?" Air mata Angelica kembali mengalir. "Brian lebih rela berdekatan dengan Madison daripada denganku."
Megan menghela napas. Brian adalah kelemahan utama Angelica. Banyak orang yang memuja Angelica, baik itu laki-laki maupun perempuan, tapi Angelica malah memuja Brian. Jujur saja, dia juga menyukai Brian, dan suatu saat dia pasti akan bisa mendapatkan pemuda itu. Angelica? Siapa yang peduli. Senyum Megan merekah di dalam hati.