CH 9. Memaksa Ruby Minum Obat

1409 Kata
Zero duduk di sisi ranjang dengan perasaan sedikit malas, lalu menyambar ponselnya yang tersimpan di atas nakas. Kedua matanya melihat nama kontak yang tertera di layar, dan begitu mengetahui bahwa sekretarisnya yang menghubungi, Zero langsung menggeser ikon berwarna hijau untuk kemudian menempatkan ponselnya di samping telinga. “Aku harap kau menghubungiku karena ada masalah penting.” Zero langsung mengatakan kalimat itu sebagai pembuka, membuat Philip—sekretarisnya menghela napas panjang di seberang sana. Philip kemudian mengatakan maksudnya yang tiba-tiba menghubungi, tak lupa juga dia meminta maaf karena telah mengganggu waktu Zero. Banyak sekali yang Philip katakan, tetapi kesimpulannya hanya satu; dia meminta Zero untuk datang menemuinya. “Aku akan turun sekarang.” Zero mengakhiri panggilannya dengan satu kalimat itu dan langsung menyimpan kembali ponselnya di atas nakas. Sebenarnya Zero ingin sekali pergi memejamkan mata dan memberi istirahat kepada tubuhnya yang sudah lelah, terlebih setelah dia menggendong Ruby dengan kedua tangannya dari parkiran gedung menuju kamar apartemen. Namun, sayangnya, sekarang dia harus menunda keinginannya terlebih dahulu karena ada sesuatu yang perlu diurusnya bersama sang sekretaris. Setelah keluar dari lift, Zero langsung mengayunkan langkahnya menghampiri Philip yang sekarang ini tengah berdiri di depan pintu masuk gedung. Pria yang usianya tiga tahun lebih tua itu tampak berantakan, bahkan dasi yang biasanya terpasang rapi pun sudah hilang entah ke mana. Apakah dia baru saja dirampok? Mengapa bisa terlihat berantakan seperti itu? Sungguh Zero merasa heran dengan sekretarisnya. “Mana dokumennya?” Zero berbicara sembari mengulurkan tangannya ke hadapan Philip, meminta dokumen yang harus segera ditandatanganinya. Ya, dia hanya perlu membubuhkan tandatangannya dan setelah itu dia bisa kembali ke apartemen. “Apa Anda tidak akan kembali ke kantor?” “Tidak. Aku memiliki seseorang yang tidak bisa aku tinggalkan begitu saja, jadi aku tidak akan kembali ke kantor.” “Baiklah, saya mengerti.” Zero mengembalikan pena dan dokumen yang sudah ditandatanganinya kepada Philip. “Apa hanya dokumen ini saja yang perlu aku tandatangani? Bagaimana dengan yang lain? Jika masih ada sesuatu yang perlu aku urus secara langsung, katakan saja.” “Tidak ada, Direktur. Karena saya sudah mendapatkan apa yang saya inginkan, kalau begitu saya permisi.” Zero tidak menanggapi perkataan Philip yang saat ini sudah pergi dari hadapannya. Setelah memastikan sosok Philip menghilang dari pandangan, Zero lantas menghela napas panjang. Terkadang dia tidak habis pikir dengan sekretarisnya tersebut. Hanya karena ingin meminta tandatangannya, Philip bahkan hingga rela datang ke gedung apartemen yang ditinggalinya. Selain itu, meskipun dokumen tersebut sangat penting, bukankah dia bisa meminta Zero untuk menandatanganinya besok? Zero melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir lima belas menit dia meninggalkan Ruby, entah Ruby sudah bangun atau belum, tetapi yang jelas dia sangat mengkhawatirkan gadis tersebut hingga membuatnya terburu-buru kembali ke apartemen untuk melihat kondisinya. Setelah membuka pintu, Zero langsung mengayunkan langkahnya menuju kamar. Namun, sosok Ruby yang seharusnya berbaring di tempat tidur justru tidak ditemukan. Hal itu tentu saja membuat Zero panik dan bergegas mencarinya ke ruangan lain. Tempat pertama yang terlintas di dalam kepalanya adalah dapur, berpikir bahwa gadis itu pasti merasa lapar karena baru saja pulang dari kuliah. Namun, sayangnya dugaan Zero salah karena ternyata Ruby sama sekali tidak ada di sana. Seketika Zero mendengus. Kakinya hendak bergerak lagi mencari keberadaan Ruby. Namun, begitu mendengar suara berisik dari arah kamar mandi, Zero kemudian langsung mengurungkan niat. Selang beberapa waktu, Ruby pun muncul dengan rambut yang dibungkus menggunakan handuk kecil berwarna putih, serta pakaian yang sudah berganti menjadi pakaian kasual yang biasa digunakan sehari-hari. “Ada apa? Mengapa kau menatapku seperti itu?” Saat ini Zero terlihat sedang menatapnya dengan pandangan aneh, membuat Ruby merasa heran dan bertanya-tanya. Tak ingin memedulikannya lagi, Ruby sontak berjalan ke arah kulkas untuk mencari makanan yang bisa mengganjal perutnya yang lapar. Namun, lagi-lagi yang dilihatnya hanya bahan-bahan mentah dan bumbu-bumbu aneh yang dia pun tidak tahu namanya. Ruby kembali menutup pintu kulkasnya dengan perasaan kecewa. Baru saja berbalik, Ruby langsung mendapati Zero yang sudah berdiri di hadapannya, membuat tubuhnya sedikit terlonjak karena terkejut. Pria itu kemudian menaruh telapak tangannya di atas kening Ruby, sedangkan Ruby hanya diam membiarkan. “Sepertinya demamnya sudah turun. Syukurlah kalau begitu.” Ruby berdeham kecil sembari mengerlingkan matanya ke arah lain. Meskipun dia tahu kalau Zero yang telah merawatnya ketika demam, tetapi dia tidak akan mengucapkan kata terima kasih atau semacamnya. Siapa juga yang akan mengucapkan kata itu kepada pria seperti Zero? Dibayar dua miliar pun dia enggan mengucapkannya. Ah, tidak! Sepertinya dia akan mengucapkannya jika memang dibayar sebanyak itu. “Kau bilang bisa memasak, bukan? Bisakah kau memasak sesuatu untukku? Aku sangat lapar dan sepertinya sebentar lagi aku akan pingsan. Aaahh ... tiba-tiba kepalaku sakit sekali ....” Zero menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat akting Ruby yang benar-benar buruk. Bagaimana bisa gadis itu berpura-pura tidak berdaya dengan ekspresi dan cara bicaranya yang datar? Semua orang yang melihatnya pun pasti akan langsung tahu bahwa dia sedang berbohong. Zero lantas menghela napas, tampaknya pernyataan mengenai tidak sembarang orang bisa menjadi aktris itu memang benar, dan Ruby baru saja membuktikannya. “Kau tunggulah di meja makan. Aku akan memasak sesuatu untuk kita berdua.” Ruby mengangguk dan langsung menghampiri meja makan untuk kemudian duduk di salah satu kursi yang kosong. Sejak terbangun beberapa menit yang lalu, Ruby merasa sangat lapar dan seluruh tubuhnya pun sangat lengket. Tadinya Ruby ingin langsung makan untuk memulihkan energi. Akan tetapi, begitu menyadari bahwa Zero tidak ada di dalam apartemen, Ruby akhirnya terpaksa membersihkan dirinya terlebih dahulu dari setiap peluh yang menempel di permukaan kulit. Bau harum masakan langsung tercium oleh penciuman Ruby, tanpa sadar membuatnya memejamkan mata hingga kemudian mengendus aromanya lebih tajam. Harus dia akui, Zero memang sangat pandai memasak dan rasa masakannya tidak bisa diragukan lagi. Hal itu terkadang membuatnya malu dan membuat harga dirinya sebagai seorang perempuan seolah langsung jatuh terkalahkan. Rata-rata orang mengatakan bahwa sudah sepantasnya seorang perempuan yang berada di dapur, memasak untuk suaminya. Namun, dalam situasinya saat ini justru berbanding terbalik dengan pernyataan di atas. Seketika Ruby berdeham kecil, apalagi ketika melihat Zero yang sudah selesai memasak dan tengah berjalan ke arahnya sembari membawa dua piring di tangannya. Pria itu menaruh satu piring di hadapan Ruby, sedangkan yang satunya lagi ditaruh di hadapannya. “Aku tidak ingin membuatmu menunggu terlalu lama, jadi aku sengaja membuatkan sesuatu yang hanya membutuhkan sedikit waktu untuk memasaknya. Sekarang, makanlah! Kau pasti merasa sangat kelaparan hingga rasanya ingin pingsan, bukan?” Perkataan Zero langsung membuat Ruby menatapnya tajam. Pria itu baru saja menyindirnya yang tentu saja membuat Ruby sedikit kesal. Namun, karena sekarang ini Ruby sedang tidak ingin berdebat, terlebih dengan tenaganya yang hanya tersisa sedikit, jadi Ruby tidak akan menggubris perkataan Zero dan hanya akan fokus terhadap makanannya. Hingga kemudian makanannya habis tak tersisa, dengan segera Ruby beranjak dari tempatnya dan berniat pergi ke dalam kamar. “Jangan lupa minum obat.” Sontak Ruby berhenti melangkah dan kembali menoleh ke arah Zero. Sebenarnya, sejak kecil Ruby sangat tidak suka dengan yang namanya obat. Ketika ada seseorang yang menyuruhnya meminum obat pun, Ruby hanya akan berpura-pura meminumnya, dan setelah orang itu pergi maka dia akan langsung meludahkan semuanya di kamar mandi. “Aku tidak perlu obat karena demamnya sudah turun.” “Kau harus tetap meminumnya.” “Aku tidak mau. Mengapa terus memaksa?” Zero menghela napas. Meskipun demamnya sudah turun, tetap saja Ruby harus meminum obat setelah dia makan. Sekarang suhu tubuhnya memang sudah kembali normal, tetapi bagaimana dengan nanti? Zero hanya khawatir jikalau nantinya Ruby terserang demam lagi dan membuatnya harus kerepotan mengurusnya. Namun, karena Ruby tampaknya tidak bisa diajak bekerja sama maka Zero yang akan membuatnya meminum obat sekalipun harus menggunakan cara paksa. Zero mengambil satu butir parasetamol yang seketika membuat Ruby membelalakkan mata. Ruby berpikir untuk kabur, tapi sayangnya Zero langsung menahan tangannya saat itu juga. Zero kemudian menyodorkan satu butir parasetamol ke hadapan mulut Ruby. “Buka mulutmu. Kau hanya perlu menelannya dan setelah itu selesai, bukankah itu sangat mudah?” Sontak kepala Ruby menggeleng, mulutnya tertutup rapat, sedangkan tangannya berusaha melepaskan diri dari Zero. Ingin sekali dia memukul Zero dan berkata kasar, tetapi sekarang ini dia tidak bisa melakukannya. Prioritasnya saat ini adalah menyelamatkan diri. “Mmm!” Ruby masih terus menggelengkan kepala di saat Zero masih berusaha mencekcokinya dengan sebutir obat. Bagaimana pun, dia tidak akan pernah minum obat! Semua obat memiliki rasa yang tidak enak dan hanya membuat lidahnya tidak nyaman. Hingga tiba-tiba ada seseorang yang menekan bel pintu, membuat perhatian mereka berdua teralihkan sembari bertanya-tanya, siapa yang kira-kira datang ke apartemen mereka?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN