CH 8. Ruby Sakit

1712 Kata
Zero memegang tengkuknya yang terasa pegal. Banyak sekali pekerjaan dan dokumen yang harus diperiksanya hari ini, dia bahkan sampai melewatkan jam makan siang karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagian besar orang mengatakan bahwa menjadi seorang direktur perusahaan pasti sangat menyenangkan, setiap hari hanya duduk manis sembari menyuruh bawahannya untuk bekerja. Namun, semua yang pikirkan adalah salah! Apanya yang menyenangkan? Meskipun hanya duduk seharian di kursi yang empuk, tetapi tangan dan otaknya digunakan untuk bekerja, matanya terus melihat dokumen dan laptop, kakinya selalu berjalan ke sana ke mari untuk menghadiri rapat, dan terkadang dia pun harus pergi ke suatu tempat untuk menangani situasi darurat. Kesimpulannya, menjadi seorang direktur itu sangat tidak menyenangkan! Zero menghembuskan napas pelan dan langsung menyandarkan punggungnya pada kursi. Kepalanya menengadah ke atas, menatap langit-langit ruangan yang didominasi oleh warna putih. Entah ada angin apa, tiba-tiba Zero memikirkan Ruby yang belum dilihatnya sama sekali untuk hari ini. Tadi pagi gadis itu sudah menghilang dari tempat tidur, bahkan tas dan sepatunya pun menghilang dari tempatnya. Zero berpikir kalau gadis itu pasti masih marah terhadapnya, lalu sengaja menghindarinya dengan berangkat ke kampusnya lebih awal. “Ternyata dia memang masih anak-anak. Bagaimana bisa aku menikah dengan gadis yang belum dewasa sepertinya?” Zero tidak pernah berpikir untuk menikah sebelumnya, hanya saja kedua orang tuanya terus memaksa dengan alasan bahwa mereka ingin segera memiliki cucu yang nantinya akan menjadi penerus perusahaan. Saat itu ibunya memberikan beberapa foto gadis cantik yang memiliki latar belakang bagus dan kemudian menyuruh Zero untuk memilih salah satunya. Zero lantas mengambil satu foto secara acak, lalu ibunya langsung menghubungi keluarga gadis yang ada di foto tersebut dan bahkan langsung mengatur tanggal pernikahan. Terdengar sangat gila, namun memang seperti itu kenyataannya. Pada hari pernikahan, Zero mendengar bahwa gadis yang seharusnya menikah dengannya justru kabur. Hal itu tentu saja membuat Zero senang bukan main, tetapi lagi-lagi ibunya mengatakan sesuatu yang konyol dengan menyuruh keluarga Benckiser untuk menggantikan gadis yang kabur tersebut dengan adik perempuannya. Ya, kira-kira seperti itulah mengapa dia bisa berakhir menikah dengan Ruby. Zero melirik arloji di tangannya, lalu segera bangkit dari tempat duduknya untuk kemudian berjalan meninggalkan ruangan. Sekarang sudah waktunya Ruby pulang kuliah, dan entah mengapa dia langsung memiliki pikiran untuk menjemput gadis itu. Dia tahu kalau Ruby masih marah karena tindakannya kemarin, dan karena itulah sekarang dia ingin menjemput Ruby untuk sekalian meminta maaf dengan tulus. Membayangkan jika Ruby memusuhinya dan mendiamkannya selama beberapa hari ke depan, tanpa sadar langsung membuat tubuh Zero bergidik. *** Ruby membereskan alat tulisnya dan langsung memasukkannya ke dalam tas. Semua murid yang ada di ruang kelas sudah berhamburan ke luar meninggalkan ruangan, begitu pula dengan Sheila yang sudah pergi sejak tadi. Sekarang ini Ruby benar-benar tidak bertenaga, padahal biasanya dia yang selalu paling semangat kalau urusan pulang. Setelah memastikan semuanya masuk ke dalam tas dan tidak ada yang tertinggal, sontak Ruby mengayunkan langkahnya meninggalkan kelas yang sudah kosong dan hanya tersisa dirinya. Ruby berjalan dengan kepala yang menunduk, sedangkan kedua tangannya memegang erat ujung tali tas punggungnya. Ruby lantas menghela napas panjang, apalagi ketika memikirkan bahwa dia akan pulang ke apartemennya dengan Zero. Meskipun baru dua hari tinggal bersama, tetapi entah mengapa sudah seperti dua tahun lamanya. “Aku ingin pulang ke rumahku yang dulu.” Ruby merindukan kamarnya dan juga masakan ibunya. Betapa dia ingin sekali kembali ke kehidupannya yang dulu, lebih tepatnya pada saat dia belum menikah. Meskipun dia tahu jikalau suatu saat nanti dirinya pasti akan menikah dan merasakan perasaan menyiksa seperti yang dirasakannya sekarang ini, tetapi tetap saja ini terlalu cepat. Menikah di usia yang masih sangat muda dan bahkan di saat statusnya masih seorang pelajar. Jika semua orang mengetahui hal itu, entah apa yang akan terjadi nantinya. Karena terus berjalan sembari menundukkan kepala, Ruby kemudian tak sengaja menabrak punggung seseorang yang seketika membuatnya nyaris terjatuh. Sontak dia meminta maaf kepada orang yang telah ditabraknya, lalu kembali melanjutkan jalannya. Sejurus kemudian, terdengar suara ramai siswi perempuan yang sepertinya tengah membicarakan sesuatu. Mereka berkumpul di dekat gerbang kampus, membuat Ruby bertanya-tanya dengan apa yang sebenarnya terjadi. “Apakah ada kecelakaan?” Ruby bertanya kepada dirinya sendiri, lalu menerobos kerumunan di hadapannya dengan rasa penasaran. Namun, alih-alih kecelakaan yang dilihatnya, Ruby justru mendapati sosok Zero yang tengah berdiri di depan mobil sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. “Cih! Sok keren!” Tanpa sadar Ruby mengatakan itu, membuat para siswi di sekitarnya langsung memberikan tatapan sinis. Padahal Ruby hanya mengatakan apa yang ada di pikirannya, tetapi entah mengapa mereka langsung bersikap seperti itu terhadapnya. Selain itu, bukankah mereka terlalu berlebihan? Bagaimana bisa mereka berkumpul di satu tempat hanya untuk melihat Zero yang tengah menebar pesona? Benar-benar seperti drama saja! Ruby mengerlingkan mata, sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka. Dengan langkah gontai, Ruby kemudian berjalan mendekati Zero yang dia yakini memang sengaja datang untuk menjemputnya. Meski sebenarnya Ruby ingin mengabaikan Zero karena takut status pernikahan mereka terbongkar, tetapi sepertinya dia tidak bisa melakukannya sekarang. Ruby senang tidak punya banyak uang untuk naik bus atau taksi, dia pun tidak mungkin berjalan kaki dengan keadaan yang lemah seperti ini. Berhubung Zero sudah datang menjemputnya, jadi yang harus dia lakukan sekarang adalah pulang bersama pria itu. “Lain kali, jika ingin menjemputku pulang, tolong parkirkan mobilmu sedikit lebih jauh dari area kampus. Aku tidak ingin melihat keributan seperti ini lagi.” Ruby lantas membuka pintu mobil depan untuk kemudian memasukinya. Ini adalah kedua kalinya Ruby menaiki mobil Zero, setelah sebelumnya dia menaiki mobil pria itu pada saat hari pernikahan. “Pakai sabuk pengamanmu.” “Hn.” Dengan malas Ruby pun langsung memasang sabuk pengamannya. Dia sedang tidak ingin berdebat dengan siapa pun lagi, maka dari itulah dia langsung menurut. Zero mengangkat satu alisnya ke atas, sedikit heran dengan sikap Ruby yang tidak banyak bicara seperti biasanya. “Ada apa denganmu?” “Jalankan saja mobilnya. Aku sangat lelah dan ingin segera pulang.” Seketika Zero menggelengkan kepala, sebelum akhirnya dia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tampaknya Ruby memang masih marah terhadapnya, tetapi syukurlah karena gadis itu tidak menghindarinya seperti tadi pagi. Melirik ke arah Ruby melalui ekor matanya, Zero lantas berdeham kecil dan mulai membuka suara lagi. “Untuk yang kemarin ... aku minta maaf. Aku sudah menyebutmu tidak manis dan bahkan sudah melakukan sesuatu yang membuatmu marah. Kau tahu? Sifatku memang seperti ini, jadi aku harap kau bisa menyesuaikan diri denganku.” Tidak ada jawaban dari Ruby, satu kata pun tidak ada. Dalam hatinya Zero lantas bertanya-tanya, apakah Ruby tidak berniat memaafkannya sehingga gadis itu dengan sengaja mengabaikannya? Namun, begitu Zero menolehkan kepalanya ke arah samping, ternyata gadis itu sudah terlelap entah sejak kapan. “Jadi, sebenarnya aku barusan berbicara dengan siapa?” Padahal Zero sudah berkata panjang lebar dan memberanikan diri untuk meminta maaf terlebih dahulu, tetapi orang yang menjadi target minta maafnya justru tidak mendengar perkataannya. Setelah cukup lama di perjalanan, akhirnya mereka sampai di parkiran gedung apartemen. Zero menyandarkan punggungnya pada kursi, sedangkan kepalanya menoleh ke arah Ruby yang masih memejamkan kedua matanya. Dia sempat berpikir untuk membangunkannya, tetapi langsung urung karena tidak tega melihat Ruby yang tampak kelelahan. Dua jam terlewati, Ruby masih tetap memejamkan matanya dan belum ada tanda-tanda akan bangun. Sejujurnya Zero merasa sedikit pegal dengan posisi duduknya saat ini, ingin segera keluar dari mobil dan kemudian kembali ke kantor. Zero sempat berkata kepada sekretarisnya bahwa dia tidak akan pergi lama-lama, tetapi kenyataannya justru sampai sekarang dia masih belum kembali. “Kenapa dia tidur lama sekali? Memangnya apa yang dia lakukan di kampusnya hingga terlihat kelelahan seperti ini?” Zero tidak bisa menunggu lebih lama lagi, jadi dia terpaksa harus membangunkan Ruby yang masih terlelap. Zero mencondongkan tubuhnya ke arah Ruby, hendak menggoyangkan bahunya pelan untuk membangunkannya. Namun, tak sengaja dia menyentuh kulit leher gadis itu yang terasa begitu panas. “Panas sekali. Apa jangan-jangan dia demam?” Zero lantas menaruh telapak tangannya di atas kening Ruby dan langsung mendapati bahwa gadis itu memang sedang demam tinggi. Tidak heran mengapa Ruby masih saja tertidur pulas, ternyata gadis itu sedang sakit. Betapa bodohnya dia karena baru menyadari hal itu. Keluar dari mobil, Zero lantas menggendong tubuh mungil istri kecilnya itu di depan d**a. Bagaimana pun juga dia harus segera membawanya ke apartemen dan merawatnya hingga sembuh. Ruby yang sehat memang sangat merepotkan, tetapi Ruby yang sakit justru akan lebih merepotkan. Oleh sebab itu, Zero harus membiarkan Ruby beristirahat dan harus membuatnya meminum obat penurun demam agar istri kecilnya itu lekas sembuh dan tidak merepotkannya lagi. “Mengapa tubuhnya berat sekali, padahal kelihatannya sangat kurus?” Zero hendak memasukkan kode pintu apartemennya, tetapi dia sedikit kesulitan karena tengah menggendong tubuh Ruby di depan dadanya. Untuk sesaat dia menatap wajah Ruby yang masih tertidur, lalu memperbaiki posisi gendongan gadis itu yang sempat melonggar. Setelah menghembuskan napas pelan beberapa kali, Zero kembali berusaha memasukkan kode pintu apartemennya hingga pada akhirnya pintu tersebut terbuka dan kemudian dia langsung memasukinya. “Beruntung karena kau sedang sakit, jika tidak maka aku pasti akan membaringkanmu di sembarang tempat.” Entah sudah ke berapa kalinya Zero mengeluh, hingga kemudian dia sampai di dalam kamar dan langsung membaringkan tubuh mungil Ruby di atas ranjang. Zero duduk di sisi ranjang dengan napas yang terengah-engah, menggendong Ruby dari lantai dasar menuju lantai tujuh belas. Meskipun terbantu oleh lift, tetapi tetap saja terasa sangat melelahkan. “Argh! Sepertinya aku akan mati. Seluruh tubuhku terasa sakit.” Zero memijat lengannya secara bergantian, sebelum akhirnya pergi ke dapur untuk membasahi tenggorokannya. Dia lantas mengambil sebuah mangkuk berukuran sedang untuk kemudian mengisinya dengan air hangat, juga sebuah handuk kecil yang tersimpan di dalam laci dapur. Setelah semuanya siap, dia lantas kembali ke dalam kamar. “Jika kau tahu kalau aku yang merawatmu saat demam, seharusnya kau tidak akan marah lagi, bukan?” Dengan cekatan, Zero kemudian menaruh handuk yang sudah dibasahi dengan air hangat tersebut ke atas kening Ruby. Untuk sekarang dia hanya bisa melakukan hal kecil seperti ini, berharap jika mengompresnya akan sedikit menurunkan demam. Cukup lama terjaga, kedua mata Zero tiba-tiba terasa berat hingga kemudian dia menguap lebar dan langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan. Zero tidak bisa menahan rasa kantuknya, akhirnya memutuskan untuk merebahkan dirinya di samping Ruby, berpikir bahwa dia hanya akan tidur sebentar saja. Namun, baru saja memejamkan mata, tiba-tiba ponselnya berdering yang seketika membuatnya mendengus kesal. “Ck, sial! Siapa yang menghubungiku? Mengganggu saja!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN