CH 10. Di Balik Terjadinya Pernikahan

1383 Kata
"Apa kau mengundang seseorang ke apartemen kita?" Kepala Ruby langsung menggeleng. Lagi pula, mana mungkin Ruby mengundang seseorang ke apartemennya dengan Zero di saat dirinya berusaha untuk terus menyembunyikan status pernikahannya dengan pria itu. Ruby menyipitkan matanya ke arah Zero, lalu membuka suara untuk pertama kalinya. "Bagaimana denganmu? Apa jangan-jangan kau yang mengundang seseorang ke apartemen ini? Kau tidak memberitahukan tempat tinggal kita kepada orang lain, bukan?" Mendengar Ruby yang berbalik bertanya, sontak Zero bergeming. Ada sebagian orang yang sudah mengetahui alamat apartemennya dengan Ruby, tetapi hanya sebatas itu. Mereka sama sekali tidak tahu mengenai lantai berapa dan di apartemen nomor berapa Zero tinggal bersama istri kecilnya. Mereka juga belum mengetahui sosok Ruby yang merupakan istrinya. Zero hanya mengatakan kepada mereka bahwa dia sudah menikah, dan tidak lebih dari itu. "Ah! Jadi ternyata memang kau yang mengundang seseorang ke sini dan memberitahukan alamat tempat tinggal kita?" Ruby langsung menyimpulkan bahwa Zero memang pelakunya, padahal pria itu sama sekali belum mengatakan apa-apa. Zero kemudian mendengus, sebelum akhirnya menyangkal perkataan Ruby yang telah menuduhnya sembarangan. "Bukan aku. Daripada salah menuduh, lebih baik kita lihat saja siapa yang datang." Meskipun tuduhan Ruby tidak sepenuhnya salah, tetapi Zero tidak akan mengakuinya begitu saja. Gadis itu pasti akan langsung marah jika mengetahui fakta bahwa Zero membocorkan alamat tempat tinggal mereka ke sebagian teman-teman terdekatnya. Oleh sebab itu, Zero harus tetap menutup mulutnya dengan rapat. Zero menghampiri interkom yang terpasang di dinding. Sontak kedua matanya terbelalak, begitu mengetahui siapa yang berdiri di depan pintu apartemennya. Zero lantas menoleh ke arah Ruby yang seketika membuat Ruby mengangkat sebelah alisnya. "Siapa yang datang? Mengapa ekspresimu seperti itu?" Menghembuskan napas pelan, Zero akhirnya menjawab pertanyaan Ruby yang tampaknya sangat penasaran. "Ibuku ...." Bukan apa-apa, hanya saja Zero selalu merasa terganggu dengan kehadiran sang ibu yang tidak pernah berhenti bicara, menyuruhnya ini itu, dan sebagainya. Entah ada masalah apa sehingga ibunya datang ke apartemennya dengan Ruby, tetapi dia berharap jika ibunya tidak akan membuat suatu masalah setelah kedatangannya tersebut. Untuk sesaat tubuh Ruby menegang. Ruby hanya pernah bertemu satu kali dengan ibu mertuanya, dan itu pun pada saat hari pernikahan. Entah seperti apa sikap ibu mertuanya, yang jelas Ruby sangat khawatir saat ini. Bagaimana jika ibu mertuanya sangat galak? Oh, memikirkannya saja sudah membuat seluruh tubuhnya merinding. "Lebih baik kau segera membuka pintunya. Apa kau akan membiarkan ibumu berdiri terus di luar?" Meskipun Ruby mengatakan itu, tapi tetap saja Zero enggan membuka pintu. Dia bahkan sempat berpikir untuk berpura-pura tidak ada di dalam apartemen dan membiarkan ibunya pergi dengan sendirinya. "Kau ini bagaimana? Hanya membuka pintu saja sulit sekali!" Karena Zero hanya diam saja, akhirnya Ruby yang berjalan menghampiri pintu dan langsung membukanya. Ruby hendak meminta maaf karena telah membuat ibu mertuanya menunggu lama, tapi tiba-tiba wanita paruh baya itu langsung memeluknya erat. "Oh, menantuku! Bagaimana kabarmu, Nak! "Saya ... baik-baik saja ...." Ruby menjawab dengan suara pelan. Sebenarnya dia sempat ingin mengucapkan kata ibu di akhir kalimatnya, tetapi langsung urung karena rasanya sedikit sulit. Erina melepaskan pelukannya. "Apa Zero memperlakukanmu dengan baik? Dia pasti sangat merepotkan, 'kan?" Ruby hanya tertawa kaku menanggapinya, tentu saja karena dia merasa bingung harus memberi jawaban seperti apa. Sementara Zero yang mendengar perkataan ibunya pun langsung mendengus. Mengapa juga dia harus merepotkan Ruby? Yang paling merepotkan di apartemen ini justru adalah Ruby sendiri. Semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Zero, sedangkan Ruby hanya duduk manis tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Apa yang membawa Ibu ke sini? Ibu tidak berniat melakukan sesuatu yang aneh, bukan?" Erina langsung menjatuhkan dirinya di atas sofa dan menyuruh Ruby untuk duduk di sampingnya. Dia kemudian menggenggam tangan halus sang menantu, sebelum akhirnya menjawab. "Ibu hanya rindu padamu dan juga ingin bertemu dengan Ruby." "Benar, hanya itu?" Zero menyilangkan kedua tangannya di depan d**a sembari menatap sang ibu penuh selidik. Tidak mungkin jika ibunya datang hanya karena merindukannya dan ingin bertemu dengan Ruby. Pasti masih ada sesuatu yang belum dikatakan ibunya saat ini. "Sebenarnya Ibu berniat menginap di sini selama beberapa hari." Seperti dugaannya, ternyata ibunya memang memiliki maksud lain. Namun, mengapa harus menginap? Apartemennya dengan Ruby hanya memiliki satu tempat tidur, jadi akan sulit bagi ibunya untuk menginap di apartemen ini. Zero mendekati ibunya dan langsung menarik tangannya agar berdiri, setelah itu dia langsung membawa ibunya menghampiri pintu. "Zero, apa yang kau lakukan? Apa kau hendak mengusir Ibu?" "Lupakan soal menginap. Sebaiknya Ibu segera pulang dan tidak pernah datang ke sini lagi." Persetan dengan menginap atau apa pun itu. Selain tidak ada tempat tidur lain, Zero juga tidak percaya dengan ibunya yang selalu penuh dengan kejutan tersebut. Ibunya pasti ingin memata-matai kehidupan pernikahannya dengan Ruby, dan bukan hanya sekadar menginap biasa. Zero sangat mengetahui sifat luar dan dalam ibunya, jadi jangan harap ibunya bisa menipunya dengan mudah. "Ruby, tolong Ibu—" Bergegas Zero menutup pintu apartemennya sehingga sang ibu tidak bisa melanjutkan perkataannya. Dia kemudian menghembuskan napas pelan, lalu berjalan ke arah Ruby yang masih duduk di sofa. Sejak tadi gadis itu hanya diam, dan hal itu sama sekali berbeda dengan Ruby yang biasanya. Namun, tak lama setelahnya, gadis itu pun mulai membuka suara. "Apa tidak masalah mengusir ibumu seperti itu?" Zero menyandarkan punggungnya pada sofa, sedangkan kepalanya menengadah ke atas. "Tidak apa-apa. Dia ke sini hanya untuk memata-matai kita, jadi lebih baik kita mengusirnya saja." "Bagaimana kau tahu itu?" "Aku sangat mengetahui sifat ibuku. Memangnya kau kira gara-gara siapa aku berakhir menikah seperti ini? Dia yang memaksaku menikah dan menyuruhku memilih salah satu gadis di antara banyak foto yang dibawanya." Dipikir berapa kali pun, Zero masih tak habis pikir dengan tindakan ibunya. Banyak sekali hal yang ingin Zero lakukan di usianya yang masih 24 tahun, tetapi ibunya justru menyuruhnya untuk menikah dengan gadis yang tak dikenalnya. Sebelah alis Ruby terangkat ke atas, merasa janggal dengan perkataan Zero yang sangat berbeda dengan perkataan ayahnya. "Jadi, maksudmu, aku harus menikah denganmu bukan karena perusahaan ayahku yang akan jatuh dan hendak diambil alih oleh seseorang?" Kepala Zero menoleh ke arah Ruby. "Dari mana kau mendengar hal konyol seperti itu? Perusahaan ayahmu baik-baik saja dan tidak akan pernah jatuh ke tangan orang lain. Kau harus tahu bahwa ayahmu adalah seorang pebisnis yang hebat, jadi mana mungkin hal buruk seperti itu terjadi." Zero mungkin tidak mengenal sosok Ruby atau Gwen—kakak perempuannya. Namun, Zero sangat mengenal baik siapa itu Thomas Benckiser yang merupakan ayah mereka. Beliau merupakan orang yang hebat, bahkan Zero pun sangat mengaguminya. "Aish! Ternyata Ayah sudah membohongiku! Awas saja kalau nanti aku pulang ke rumah!" Ruby tidak menyangka jika kejadian aslinya seperti itu. Pada saat hari pernikahan, ayahnya terus memohon sembari bertekuk lutut di hadapannya, bahkan terus berbicara mengenai perusahaannya yang sedang bermasalah. Namun, ternyata semua itu hanya kebohongan ayahnya. Ruby mengutuk ayahnya dengan kata-kata kasar, lalu beralih menatap Zero. "Seharusnya kau tidak memilih foto kakakku waktu itu. Jika saja kau memilih foto orang lain, mungkin kakakku tidak akan kabur untuk menghindari pernikahannya denganmu dan aku pun tidak akan menggantikannya menikah!" Zero yang tidak terima dengan perkataan Ruby pun lantas mengernyitkan dahi. Apa Ruby baru saja menuduhnya atas pernikahan yang terjadi di antara mereka? Di sini bukan hanya Ruby yang menjadi korban, tetapi Zero pun adalah korban dari keegoisan ibunya. Ya, ayahnya sama sekali tidak ikut campur mengenai masalah pernikahan atau apa pun yang terjadi kepada Zero. Beliau adalah orang yang masa bodo. "Dengar, Ruby Benckiser! Aku mengerti jika kau merasa sangat terpaksa dengan pernikahan ini, dan aku pun begitu. Namun, karena semua ini sudah terjadi, bukankah kita hanya perlu menyesuaikan diri dengan kehidupan baru kita?" Begitu mudahnya Zero mengatakan hal itu. Zero mungkin tidak masalah dengan statusnya yang kini sudah menikah, tapi lain halnya dengan Ruby yang masih kuliah di tingkat pertama. Ruby beranjak dari sofa dan langsung berjalan meninggalkan Zero. Terserah dengan Zero yang hendak mengatakan apa, yang jelas Ruby tidak ingin mendengarnya lagi. "Menyesuaikan diri dengan kehidupan baru? Memangnya dia kira menyesuaikan diri itu sangat mudah? Cih! Menyebalkan!" Seandainya waktu bisa diputar, mungkin Ruby akan melakukan segala cara agar pernikahan ini tidak pernah terjadi. Sebenarnya Ruby menyesal karena sempat terbujuk oleh perkataan ayahnya yang terus memohon itu, membuatnya menyerah karena tidak ingin berdebat lebih lanjut. Seharusnya waktu itu Ruby tetap menolak saja meski kedua orang tuanya memaksa atau menggunakan cara yang licik. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Sekarang dia sudah menikah dengan Zero dan hanya bisa pasrah dengan kehidupannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN