Aira nampak bingung, setelah memasuki kamar Andri, yang terlihat begitu suram.
“Ya elah, ini kamar apa kuburan sih, gelap banget. Malah aku mulai lapar lagi,” gumam Aira. Efek banyak beban membuat Aira menjadi mudah lapar.
“Aku sudah memindahkan sebagian pakaianku, kamu bisa menggunakan lemari sisi kanan untuk menaruh baju-bajumu,” kata Andri berdiri di hadapan Aira.
“Eh, kirain bakal di rapikan sekalian,” lirih Aira, yang masih bisa di dengar oleh Andri. Namun lelaki itu terlihat cuek, dan pura-pura mendengar ucapan istrinya. Yah siapa yang mau, masak iya, semua Andri yang mengerjakan. Apa gunanya dia sebagai istri jika semua pekerjaan Andri yang mengambil alih. Mendigan dia single forever kalo begini ceritanya.
Andri mengembuskan napas berat lalu meninggalkan Aira di dalam kamar.
“Begini amat nasibku,” gumam Andri lalu menuju ke ruang televisi. Malas untuk melademi istrinya yang super bawel.
Aira terlihat semakin bingung, dari mana dirinya mulai untuk menyusun barang-barang miliknya.
Ketika sedang asik menyusun baju ke dalam lemari, tiba-tiba saja sebuah notifikasi di ponsel Aira berbunyi. Senyum mengembang nampak di bibir Aira.
[Jodie]
‘Ra, bagaimana keadaan kamu? Masih oke kan? Masih waras juga kan?’
Aira mengernyitkan dahinya setelah membaca pesan yang dikirim oleh sahabat karibnya.
[Aira]
‘Tenang, aman kok. Sampai tahap ini aku belom gila, nggak tau nanti sore. Oh iya, gimana kerjaan? Apa nggak apa-apa nih aku libur selama ini? Ya kali, nanti tiba-tiba di pecat, kan nggak lucu. Bakal kere dong aku, nggak bisa jajan seblak sama cilok.’
[Jodie]
‘Aman aja deh Ra, kamu urus semua masalah kamu aja dulu. Masalah jajan, emang iya, lakimu nggak ngasih uang?Lagian kamu juga lagi berduka, pasti bos juga bakal ngerti kok.’
[Aira]
‘Ya, mana aku tahu Jod. Baru juga nikah, masak aku udah minta-minta uang, malah aku sempat kabur segala. Kan malu kalo minta duit. Oke deh, makasih banyak udah mau bantuin aku buat izin kerja. Tenang, kamu jangan kangen sama aku, lagian minggu depan juga aku udah mulai kuliah dan masuk kerja.’
Begitulah kira-kira pesan narsis yang dikirim oleh Aira.
Jodie yang membaca pesan dari sahabatnya itupun ingin sekali menjitak kepala Aira, sayangnya mereka sedang berjauhan.
“Dasar, otak separo. Udah nikah masih aja gaje,” gumam Jodie sambil terkekeh.
.
Aira keluar dari kamar mencoba mencari sesuatu untuk mengisi perutnya yang mulai keroncongan. Ia menuju ke kulkas, berharap ada makanan yang bisa langsung dia makan tanpa di masak. Yah namanya juga nggak bisa masak, taunya cuma tinggal makan. Derita Aira sih. Siapa suruh jadi anak manja sewaktu masih single.
Kekecewaan muncul seketika di wajah Aira, setelah dirinya tak mendapati makanan apapun di dalam kulkas.
“Ya elah, tandus bener deh. Udah kayak gurun sahara. Katanya pengusaha, ngisi kulkas aja nggak mampu. Gimana mau kasih makan aku yang rakus ini,” gumam Aira yang masih terfokus pada isi kulkas.
Andri yang mendengar ucapan Aira sedikit menggeleng.
“Kamu lapar?” Suara Andri membuat Aira sedikit tersentak. Ia segera menutup kembali kulkas kosong.
Aira berkacak pinggang. “Menurutmu? Masak iya aku kebelet, buka kulkas,” sahut Aira dengan bibir yang di manyun-manyunkan. Seolah mengolok Andri.
“Jaga bibirmu, nggak lama bakal jatuh tu. Bahkan mungkin bisa dipake gelantungan monyet,” olok Andri lalu berlalu meninggalkan Aira.
“Yak enak aja! Mau ke mana? Ini perutku mau di kasih makan!” teriak Aira, ketika Andri menjauh darinya.
“Enak aja, nyamain aku sam monyet. Berarti dia suaminya monyet juga dong ya. Hei sesama monyet dilarang menghina!” tariak Aira.
“Buruan kalo mau makan, aku lagi nggak mood masak,” jawab Andri sedikit berteriak.
Senyum Aira mulai mengembang, ia segera berlari menuntut Andri menuju ke halaman depan.
“Cepat naik, atau aku tinggal!”
Aira lalu segera membuka pintu depan di samping Andri.
“Jangan senyum-senyum sendiri, nanti aku dikira bawa orang gila,” kata Andri, sengaja mengisengi Aira.
“Enak aja, aku masih waras,” ketus Aira. “Lagian nih ya, ngapain sih. Kamu mau dijodohin sama aku? Emang kamu nggak laku banget ya, sampe nerima perjodohan konyol ini?” protes Aira. Yah secara umur udah matang, pekerjaan juga mapan. Kenapa jodoh musti dicarikan. Begitulah pikiran Aira.
Andri melirik Aira sesaat, namun enggan untuk memberikan alasannya.
“Bukan urusan kamu,” sahut Andri. Jawaban dari suaminya membuat Aira sedikit geram.
“Ya udah kalo nggak mau jawab, aku anggap kamu emang gak laku,” ujar Aira. Andri masih bergeming beberapa saat. Lalu melihat ke arah Aira.
“Jangan lupa pasang sabuk pengaman, nanti kena tilang kan aku rugi,” gumam Andri, yang bisa di dengar jelas oleh Aira.
“Pelit amat, kita mau ke mana sih?”
“Kamu mau makan apa? Sekalian kita belanja buat isi kulkas. Aku nggak mau nanti kamu tinggal sama aku jadi kurus. Entar dikira nggak mampu nafkahin istri,” sindir Andri. Apalagi tadi sempat mendengar Aira menggerutu di samping kulkas. Sekalian aja dilepasin, daripada di pendam entar jadi bisulan, ya kan?
‘Waduh, gawat nih. Kayaknya dia denger perkataan aku tadi,’ gumam Aira dalam hatinya.
Andri menyalakan mesih mobil berwarna putih miliknya, lalu segera menuju ke pusat perbelanjaan.
“Ke pasar aja ya,” kata Andri.
“Kenapa nggak ke swalayan aja. Biar sekalian bisa ngadem,” protes Aira seolah tak terima jika di bawa ke pasar tradisional.
“Biar irit, lagian kalo kita belanja pasar tradisional kan bisa berbagi rezeki untuk pedagang kecil,” tutur Andri.
Aira kali ini hanya mengangguk menanggapi ucapan Andri. Karena ucapan suaminya kali ini ada benarnya.
Setelah sepuluh menit mereka sampai di pasar.
“Kita cari daging sama ayam dulu, lanjut ke sayur, bumbu dan buah,” kata Andri lalu mengambil keranjang dari bagasi mobilnya.
“Nih bawa!” Andri menyerahkan keranjang Untuk Aira.
“Lah kok aku yang bawa? Apa guna suami kalo istri yang bawa?” gerutu Aira.
“Nanti kalo ada isinya aku yang bawa,” sahut Andri.
“Oh ... Oke.”
“Heran deh, dulu kamu rajin minum susukan, tapi tetep aja kamu pendek,” olok Andri.
“Apa hubunganya, susuu sama Tinggi badan. Jangan suka body salimming dong,” kata Aira.
“Apaan, body shaming kali. Udah ngotot salah lagi,” sindir Andri. “Yah wajar dong, aku protes. Entar mempengaruhi pertumbuhan anakku. Aku nggak mau ankku cebol,” ujar Andri.
“Enak aja, lagian siapa yang mau punya anak sama situ?”
“Ya kamu lah, masak iya aku mau punya anak sama kambing. Sayurannya di bungkus ya Bu,” kata Andri sambil memberi uang kepada pedagang.
“Istrinya ya Mas, biasanya belanja sendiri,” kata penjual langganan Andri.
“Iya Bu, baru kemarin nikah,” jawab Andri.
Aira hanya terlihat malu saat ini.
“Wah, Selamat ya Mas dan Mbak. Ini bonus saya kasih sayuran, yah itung-itung buat kado pernikahan.”
‘Kado pernikahan sayur, coba yang lebib estetik dikit kek,’ kata Aira dalam hatinya.
“Tidak usah Bu, saya bayar aja,” tolak Andri tidak enak. Namun pedagang itu tetap menolak dan kekeh memberikan sayuran gratis kepada Andri.
Setelah selesai berbelanja, Aira melihat penjual jajanan tradisional.
“Aku mau itu!” tunjuk Aira.
“Ya udah sana ambil, nanti aku yang bayar,” kata Andri.
“Beneran?”
“Aku emang pernah bohong?”
Aira mencoba mengingat-ingat, namun seingatnya Andri tak pernah ingkar janji maupun membohongi dirinya. Jawaban Aira hanya gelengan kepala sambil nyengir.
“Mau yang mana mbak?” tanya penjual.
“Saya mau yang warna hijau sama coklat Pak, boleh di cicipin nggak pak?” tanya Aira.
“Boleh, silahkan,” kata penjual. Memberikan garpu untuk Aira.
“Apa itu?” Andri tiba-tiba muncul dari arah belakang.
“Kue anget, nggak tau namanya.” Aira menyuapkan sepotong kue yang menurut dirinya berbau wangi khas coklat itu.
“Hem ... Enyak bawngett, tapi pawnass,” kata Aira dengan mulut penuh.
“Benerkah?”
“Ini kalo nggak percaya,” kata Aira menyodorkan sepotong kue panggang untuk Andri. Di luar dugaan, ternyata Andri langsung memakan dari suapan Aira.
Entah mengapa, melihat hal itu malah membuat Aira salah tingkah dan malu. Aira segera memalingkan wajahnya ke samping.
“Minta tiga puluh ribu ya, Pak,” kata Andri lalu memberikan uang untuk penjual.
”Baik Mas.”
“Mau apa lagi?” tanya Andri.
“Tadi aku lihat ikan nemo di depan pasar,” kata Aira.
“Terus, kamu mau buat hidupnya terancam?” tanya Andri.
“Yah, buat dipelihara dong. Emang aku mau bunuh dia?”
“Sadar nggak, di rumah sudah ada kucing. Memperlancar rantai makanan? Mending nggak udah deh.”
“Ish, pelit. Ya udah nanti kalo aku gajian beli sendiri,” kata Aira kesal.
Andri hanya bisa mengelus dadanya melihat Aira, seolah dia benar-benar seorang Ayah yang menemani anak gadisnya berbelanja.
“Iya deh, nanti kita beli,” kata Andri.
Mata Aira tertuju pada warung bakso yang baru saja dia lewati.
“Bakso!” teriak Aira antusias.
“Ya udah kita makan, baru pulang,” kata Andri.
“Bungkus apa makan di tempat mas?” tanya pedagang bakso.
“Makan di sini aja, Pak,” sahut Aira cepat.
Setelah memesan makan, keduanya duduk dengan fokus menyantap hidangan di hadapannya.
“Akh ... Akhirnya kenyang. Alhamdulillah.”
“Masih ada yang mau di beli?” Tanya Andri, takut jika sudah di rumah ada yang ketinggalan.
“Apa ya, oh iya sendal,” kata Aira.
“Ya udah, kita cari di toko perlengkapan aja.”
Mereka menuju ke toko perlengkapan di ujung jalan dekat rumah.
Aira segera memasuki toko menuju tempat sendal.
“Yah tinggi bener,” gumam Aira, melihat ke kiri dan ke kanan. Namun dia tak melihat ada yang akan membantu dirinya.
Aira melompat beberapa kali untuk mendapatkan sendal yang dia inginkan. Namun, usahanya nampak begitu sia-sia.
“Kalo butuh bantuan tuh bilang, dasar pendek!” kata Andri tepat di belakang Aira mengambil sendal di bagian rak paling atas.
“Dasar tiang listrik,” olok Aira.
Setelah selesai, mereka berjalan menuju kasir.
“Aira, itu kamu kan?” sapa seorang lelaki dari arah belakang.
Andri menoleh ke sumber suara, yang menyapa Aira. Ia nampak bingung dengan situasi saat ini. Terlebih mata lelaki itu nampak berbinar menatap ke arah Aira.
“Kak Radeya, lama nggak jumpa. Apa kabar?” tanya Aira hendak mengulurkan gangannya.
“Saya Andri, suami Aira,” kata Andri menyerobot tangan Radeya, sebelum Aira meraih tangan pria itu.
“Said Radeya.”
Kedua pria itu nampak saling menatap tajam satu sama lain.